Translate

Minggu, 08 November 2009

** Tarekat Qadiriyah dan Naqshabandiyah

Perkembangan
Tarekat Qadiriyah dan Naqshabandiyah
Di Pandeglang Banten

By. Muhammad Hakiki, MA

Tarekat Qadiriyah dan Naqshabandiyah (TQN) adalah merupakan tarekat asli racikan ulama asal Nusantara, beliau adalah Syaikh Ahmad Khatib Sambas. Sambas adalah nama sebuah kota di sebelah utara kota Pontianak, Kalimantan. Pada usia sembilan belas tahun beliau pergi ke Makkah untuk menuntut ilmu. Syaikh Ahmad Khatib Sambas menjadi ulama besar di Makkah dan mempunyai banyak murid terutama murid-murid yang berasal dari Kawasan Asia khususnya Asia Tenggara. Di antara murid kesayangan beliau yang kemudian menggantikan posisi gurunya untuk menyebarkan TQN di Nusantara adalah Syaikh ’Abd al-Karim Banten (lahir 1840). Beliau adalah ulama kelahiran Kampung Lempuyang dekat dengan Kampung Tenara tempat kelahiran ulama besar yakni Syaikh Nawawi al-Jawi.
Meskipun Syaikh ’Abd Karim ditugasi sebagai wakil oleh Syaikh Khatib Sambas di Nusantara khususnya Banten, akan tetapi ia tak cukup lama tinggal di tempat kelahirannya dan pindah kembali ke Makkah sampai beliau wafat. Kepindahan belia menurut sebagian peneliti disebabkan beliau dipanggil oleh gurunya, akan tetapi menurut hemat penulis kemungkinan dikarenakan ketatnya pengawasan Belanda atas perkembangan TQN di Banten. Karena itu ia menunjuk khalifah atau wakil beliau di wilayah Banten. Yang kemudian ditunjuk oleh beliau adalah Syaikh Asnawi Caringin. Di tangan Syiakh Asnawi Caringin-lah kemudian TQN berkembang lebih pesat. Estafet perkembangan TQN kemudian dilanjutkan oleh putranya yakni Kiyai Kazim yang kemudian mengembangkan TQN di daerah Menes. Setelah Kiyai Kazim, kemudian diteruskan oleh putranya yakni Kiyai Ahmad.
Kiyai Asnawi Caringin nampaknya tidak hanya menunjuk putranya sebagai khalifah (wakil), akan tetapi ia juga menunjuk khalifah lainnya di Cilegon yakni Kiyai ’Abd al-Latif bin ’Ali dari Pesantren Cibeber yang kemudian dilanjutkan oleh Kiyai Muhaimin. Setelah wafatnya Syaikh Asnawi Caringin, maka untuk wilayah Banten Syaikh TQN kemudian dipegang oleh Kiyai Armin dari Cibuntu, Pandeglang. Dilihat dari garis keturunannya, Kiyai Armin adalah merupakan keponakan dari Syaikh Asnawi Caringin. Pada masa hidupnya, beliau pernah mengunjungi Makkah dan Baghdad untuk menuntut ilmu. Pada masanya, beliau menjadi ulama besar di Pandeglang.
Setelah wafatnya Kiyai Armin Cibuntu, tidak diketahui secara jelas kepada Siapa beliau memberikan mandat untuk melanjutkan mata rantai TQN. Yang diketahui secara jelas mata rantai perkembangan TQN hanya melalui jalur Kiyai ’Abd al-Latif bin ’Ali dari Pesantren Cibeber yang kemudian dilanjutkan oleh Kiyai Mushlih dari Meranggen (Jawa Tengah). Dari garis Kiyai Mushlih-lah, kemudian TQN berkembang di daerah Jawa Tengah, Jombang, Jawa Timur, Cirebon.
Pada tahun 2007, penulis sempat mengunjungi komplek pesantren Kiyai Armin yang kini tinggal puing-puing bangunan. Jika dilihat dari bangunan fisiknya, penulis menduga bahwa pada masanya (masa hidup Kiyai Armin) Pesantren tersebut cukup ramai dan banyak dikunjungi oleh para pe-ziarah. Hal tersebut terlihat dari bangunan Masjid yang cukup megah. Sayang semuanya kini tinggal kenangan. []

* Penulis adalah Alumni Magister Filsafat and Mistisisme, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta

Dimuat di Buletin Vol 1 edisi Juli 2008

** Etika Politik Islam

Teks Orasi Ilmiah


Etika Politik Islam;
Sejauhmana Aplikasinya di Indonesia

Assalamu ‘alaikum Wr.Wb

Yang terhormat ………
Yang terhormat……….
Yang Terhormat……….

Muqaddimah

Memperbincangkan persoalan etika politik adalah sesuatu yang sangat penting dalam Islam, karena barbagai alasan, di antaranya; Pertama, politik itu dipandang sebagai bagian dari ibadah, karena itu harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip ibadah. Misalnya, dalam berpolitik harus diniatkan dengan lillahi taala. Dalam berpolitik, kita tidak boleh melanggar perintah-perintah dalam beribadah, karena pelanggaraan terhadap prinsip-prinsip ibadah akan dapat merusak “kesucian” politik itu sendiri. Kedua, etika politik dipandang sangat perlu dalam Islam, karena politik itu berkenaan dengan prinsip Islam dalam pengelolaan masyarakat (Irfan Idris: 2009). Dalam berpolitik sering menyangkut hubungan antar-manusia, misalnya saling menghormati, saling menghargai hak orang lain, saling menerima dan tidak memaksakan pendapat sendiri. Itulah menurut hemat saya prinsip-prinsip hubungan antar-manusia yang harus berlaku di dalam dunia politik kita saat ini.

Akan tetapi, ada sebagian pengamat politik yang justru berpendapat sebaliknya, bahkan berpandangan sinis: “mereka berkata; bahwa membahas tentang etika politik itu seperti ‘berteriak di padang pasir’ ”. lebih jauh mereka mengatakan bahwa “etika politik itu nonsense”. Menurutnya, realitas politik itu sebenarnya pertarungan kekuatan dan kepentingan dan tak ada kaitan dengan etika. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara seperti apa yang diajarkan oleh filosof Machiavelli.

Dari pandangan singkat di atas, maka wajar jika salah seorang filosof yakni Immanuel Kant pernah menyindir bahwa ada dua watak binatang terselip di setiap “insan politik”: watak merpati dan watak ular. Politisi kadang memiliki watak merpati yang lemah lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi, di sisi lain terkadang ia juga mempunyai watak ular yang licik dan jahat, serta selalu berupaya untuk memangsa merpati. Akan tetapi celakanya, yang sering menonjol dimiliki oleh insan politik adalah “watak sisi ular” ketimbang watak “ sisi merpati”-nya. Dari sikap itu sehingga memunculkan pemikiran bahwa politik itu kotor, akal-akal-an, tipu muslihat, licik, serta kejam dalam mencapai suatu tujuan, dan anggapan ini hingga kini masih dianut oleh sebagian bahkan mayoritas orang, dan tentunya hal ini mencederai pengertian politik itu sendiri yang padahal menurut filosof Aristoteles bahwa politik itu sendiri justru bertujuan mulia. Di sinilah pentingnya etika politik sebagai alternative solusi piihan untuk mewujudkan prilaku politik yang santun demi terwujudnya kondisi Negara yang tentram, aman dan maju.

Bagaimana sebenarnya etika politik dalam Islam ?

Secara literal kebahasaan, etika berarti tatasusila, pola laku, atau tatacara pergaulan. Makna dasar dari etika ialah ethos (bahasa: Yunani) yang berarti adat kebiasaan. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata “etika” biasanya diartikan sebagai “sistem perilaku atau prinsip-prinsip moral.” Sedangkan dalam The World Book Dictionary (1973: 219), “Ethics the study of standard of right and wrong; that part if philosophy dealing with moral conduct, duty, and judgement. Ethics is concerned with morality; a formal or professional rules of right and wrong; system of conduct or behaviour.” Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan “etika” adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang ukuran baik dan buruk; merupakan bagian kajian filsafat yang berkenaan dengan perilaku moral, kewajiban, dan hukuman. Etika membahas masalah moralitas, aturan-aturan formal tentang kriteria baik dan buruk; dan sistem tingkah laku manusia.

Dalam kehidupan sehari-hari, kata “etika” sering disamakan dengan “akhlak”, akan tetapi ada sebagian ahli membedakannya. Misalnya Ahmad Amin, dalam Kitab al- Akhlaq mendefinisikan akhlak sebagai “ilmu yang menyelidiki segala perbuatan manusia kemudian menetapkan hukum baik dan buruk.” Sedangkan Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din (jilid 3), mengemukakan bahwa akhlak adalah “sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang menimbulkan bermacam macam pola laku secara spontan dan mudah; tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.” Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh kedua ahli ini terdapat kesamaan antara etika dan akhlak, yaitu sama-sama membahas kriteria baik dan buruk (right and wrong).

Jika kita merujuk pada isi kandungan al-Qur’an, ternyata ada sekitar 500 ayat yang membicarakan tentang konsep atau ajaran etika. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya etika dalam sistem kehidupan manusia. Etika yang diajarkan al- Qur’an mengacu kepada standar yang ditetapkan oleh Allah sendiri. Actor yang menjadi contoh konkret dalam bidang etika ini adalah langsung Nabi Muhammad Saw sendiri (al- Ahzab/33: 21 dan al-Qalam/68: 4). Karena itu, dalam perspektif Islam etika tidak saja merupakan ajaran yang bersifat konseptual saja, tetapi juga dilengkapi dengan praktikal empiric.

Keberadaan Nabi Muhammad Saw sebagai figur keteladanan dalam bidang tingkah laku (behaviour) telah memberikan kontribusi penting dalam penerapan nilai-nilai etika yang dapat ditiru secara langsung oleh manusia. Nabi Muhammad Saw sendiri mengaku bahwa seluruh kandungan al-Qur’an adalah cerminan akhlaknya. Dari sisi ini, al-Qur’an berarti kitab yang mengajarkan etika, akhlak, atau moral bagi kehidupan manusia. Maka, tidaklah mengherankan jika kajian etika politik pun dapat dirujuk kepada al-Qur’an (Basri et.al, 2002: 189). Dalam kaitan ini, Tosiko Izutsu (Intelektual Muslim Jepang) (1993: 3), menyatakan bahwa “al-Qur’an mengandung pesan-pesan moral yang sangan sistematik; ajaran-ajaran tentang moral ini dapat dijadikan sebagai satu standar nilai yang dituangkan dalam bentuk etika Qur’ani.”

Etika Qur’ani mempunyai ciri-ciri tersendiri yang membedakannya dengan etika lain. Etika Qur’ani sekurang-kurangnya mempunyai lima ciri utama: pertama, rabbani; kedua, manusiawi; ketiga, universal; keempat, keseimbangan; dan kelima, realistik (Ilyas, 2000: 12). Ciri rabbani menegaskan bahwa etika Qur’ani adalah etika yang membimbing manusia ke arah yang benar, jalan yang lurus atau sirath al-mustaqim (al-An’am/6: 153). Ciri manusiawi berarti etika Qur’ani memperhatikan dan memenuhi fithrah manusia serta menuntunnya agar memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (al-Rum/30: 30). Ciri universal ialah etika Qur’ani membawa misi kasih sayang kepada umat manusia di seluruh dunia (rahmat li al-‘alamin), menegakkan kedamaian, menciptakan keamanan dan ketenangan baik secara individual maupun komunal (al-Anbiya’/21: 107). Ciri keseimbangan (tawazun) artinya etika Qur’ani mengajarkan bahwa manusia memprioritaskan kepentingan ukhrawi, namun tidak boleh melupakan kepentingan duniawi, dan memenuhi keperluan rohani tanpa mengabaikan keperluan jasmani (al-Baqarah/ 2: 201 dan al-Qashash/28: 77). Sedangkan ciri realistik adalah etika Qur’ani memperhatikan kenyataan hidup manusia. Al- Qur’an memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk bekerja dan berkarya, memperhatikan tingkat kemampuan manusia dalam menjalankan kewajiban dan sekaligus memberikan keringanan (rukhshah) bagi yang tidak mampu melakukannya (al-Baqarah/2: 173 dan 286).

Sedangkan definisi kata “politik” itu sendiri adalah berasal dari kata “Polis” (bahasa Yunani) yang artinya “Negara Kota”. Dari kata “polis” muncul beberapa kata di antaranya;
1. Politeia artinya segala hal ihwal mengenai Negara.
2. Polites artinya warga Negara.
3. Politikus artinya ahli Negara atau orang yang paham tentang Negara atau negarawan.4. Politicia artinya pemerintahan Negara.

Dari uraian di atas, secara umum dapat dikatakan bahwa politik adalah kegiatan dalam suatu system politik atau Negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari system tersebut dan bagaimana melaksanakan tujuannya. Dan Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Dari definisi di atas, kegiatan berpolitik terkait dengan Kekuasaan yaitu kemampuan sesorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok sesuai dengan keinginan dari pelaku. Untuk lebih jelasnya di bawah ini akan diuraikan beberapa definisi ilmu politik menurut beberapa tokoh;

Joyce Mitchel dalam bukunya Political Analysis and Public Policy: “Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk seluruh masyarakat.” (Politics is collective decision making or the making of public policies for an entire society).
Harold D. Laswell dan A. Kaplan dalam buku Power Society: “Ilmu Politik mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan”, dan dalam buku Who gets What, When and How, Laswell menegaskan bahwa “Politik adalah masalah siapa, mendapat apa, kapan dan bagaimana.”
W.A. Robson dalam buku The University Teaching of Social Sciences: “Ilmu Politik mempelajari kekuasaan dalam masyarakat, … yaitu sifat hakiki, dasar, proses-proses, ruang lingkup dan hasil-hasil. Fokus perhatian seorang sarjana ilmu politik … tertuju pada perjuangan untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas orang lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu.” (Political science is concerned with the study of power in society … its nature, basis, processes, scope and results. The focus of interest of the political scientist … centres on the struggle to gain or retain power, to exercise power of influence over other, or to resist that exercise).
Deliar Noer dalam buku Pengantar ke Pemikiran Politik: “Ilmu Politik memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pengertian etika politik mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan..., ketiga, membangun institusiinstitusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. “Hidup baik bersama dan untuk orang lain” tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warganegara atau kelompokkelompok dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan warganegara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif (etika sosial).

Sedangkan jika dikaitkan dalam konsep agama—dalam hal ini agama Islam, dapat dipahami bahwa etika politik Islam adalah seperangkat aturan atau norma dalam bernegara di mana setiap individu dituntut untuk berperilaku sesuai dengan ketentuan Allah sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an. Adapun mengenai aplikasi nilai-nilai etika tersebut merujuk kepada pola kehidupan Nabi Muhammad Saw baik dalam kehidupan secara umum maupun secara khusus, yaitu dalam tatanan politik kenegaraan.

Tidak diragukan lagi bahwa sistem kepemimpinan yang paling sempurna dan ideal adalah kepemimpinan yang dijalankan oleh Nabi Muhammad Saw. Sistem kepemimpinan yang dipraktikkan Rasulullah didasarkan atas kapasitasnya sebagai nabi dan rasul Allah yang memiliki sifat-sifat shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Keempat sifat inilah yang mewarnai pola laku dan kebijakan Rasulullah dalam memimpin umatnya. Setelah kewafatan beliau, sifat-sifat ini tidak dimiliki sepenuhnya oleh empat khalifah sesudahnya. Namun, salah satu sifat itu tetap menonjol dalam sistem kepemimpinan mereka, seperti sifat shiddiq sangat menonjol dalam kepribadian Abu Bakar. Sifat amanah menjadi ciri khas kepemimpinan Umar bin Khattab. Sifat tabligh sangat menjiwai Utsman bin ‘Affan. Dan sifat fathanah (cerdas dan berpengetahuan luas) menjadi karakteristik Ali bin Abi Thalib. Sistem kepemimpinan umat pasca kewafatan Rasulullah menjadi sebuah model untuk kepemimpinan umat masa-masa berikutnya. Memang benar bahwa Rasulullah tidak meninggalkan wasiat mengenai penggantinya untuk meneruskan kepemimpinan, tetapi para sahabat dapat menilai di antara mareka yang lebih berhak dan pantas untuk memimpin. Maka, tampillah Abu Bakar sebagai khalifah pertama yang diangkat berdasarkan musyawarah para sahabat dari golongan Muhajirin dan Anshar. Kemudian, tampil Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua berdasarkan kaderisasi yang dilakukan Abu Bakar dan dimusyawarahkan bersama sahabat-sahabat lain pada masa hidupnya. Selanjutnya, khalifah yang ketiga, Utsman bin ‘Affan dipilih berdasarkan musyawarah tim formatur yang dibentuk oleh Umar bin Khattab semasa hidupnya, yang diketuai oleh Abdurrahman bin ‘Auf. Setelah itu, kepemimpinan digantikan oleh Ali bin Abi Thalib, sebagai khalifah keempat, yang diangkat oleh mayoritas kaum muslimin. Namun, ada juga pihak yang tidak setuju karena perbedaan prinsip dan kepentingan. Sejarah mencatat bahwa sejak akhir pemerintahan Utsman bin ‘Affan sampai pemerintahan Ali bin Abi Thalib, situasi politik terus bergejolak. Kemudian, sistem kepemimpinan berganti dengan dinasti, yaitu Dinasti Bani Umayyah dan Dinasti Bani Abbasiyyah dan dinasti-dinasti lainnya.

Apa sebenarnya tujuan Etika Politik

Etika, atau filsafat moral (Telchman, 1998) mempunyai tujuan menerangkan kebaikan dan kejahatan. Etika politik dengan demikian, memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik yang baik dan sebaliknya. Apa standar baik? Apakah menurut agama tertentu? Bisa iya, bisa juga tidak! Tapi yang penting adalah standar baik dalam konteks politik adalah bagaimana politik diarahkan untuk memajukan kepentingan umum. Jadi kalau politik sudah mengarah pada kepentingan pribadi dan golongan tertentu, itu etika politik yang buruk. Sayangnya, itulah yang terjadi di negeri kita tercinta ini.

Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warga Negara karena menyangkut tindakan kolektif. Maka hubungan antara pandangan hidup seseorang dengan tindakan kolektif tidak langsung, akan tetapi membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif. Perantara itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-nilai: simbol-simbol agama, demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya. Melalui simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan sebanyak mungkin warga negara agar menerima pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Maka politik disebut seni karena membutuhkan kemampuan untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, kebohongan, pengkhianatan dan kekerasan. Etika politik akan kritis terhadap manipulasi atau penyalahgunaan nilai-nilai dan symbol-simbol itu. Ia berkaitan dengan masalah struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif. Tuntutan pertama etika politik adalah “hidup baik bersama dan untuk orang lain”. Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warganegara. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral. Dalam sejarah filsafat politik, filsuf seperti Socrates sering dipakai sebagai model yang memiliki kejujuran dan integritas. Politik dimengerti sebagai seni yang mengandung kesantunan. Kesantunan politik diukur dari keutamaan moral. Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal balik dan hubungan fair di antara para pelaku. Pemahaman etika politik semacam ini belum mencukupi karena sudah puas bila diidentikkan dengan kualitas moral politikus. Belum mencukupi karena tidak berbeda dengan pernyataan. “Bila setiap politikus jujur, maka Indonesia akan makmur”. Dari sudut koherensi, pernyataan ini sahih, tidak terbantahkan. Tetapi dari teori korespondensi, pernyataan hipotesis itu terlalu jauh dari kenyataan (hipotetis realis). Etika politik, yang hanya puas dengan koherensi norma-normanya dan tidak memperhitungkan real politik, cenderung mandul. Namun bukankah real politik, seperti dikatakan Machiavelli, adalah hubungan kekuasaan atau pertarungan kekuatan? Masyarakat bukan terdiri dari individu-individu subjek hukum, tetapi terdiri dari kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan yang saling berlawanan. Politik yang baik adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apa pun caranya. Relevansi etika politik terletak pada kemampuannya untuk menjinakkan kekuatan itu dan mengatur kepentingan-kepentingan kelompok dengan membangun institusi institusi yang lebih adil.
Beberapa prinsip ajaran Islam yang dapat dijadikan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini antara lain meliputi kekuasaan sebagai amanah, musyawarah, prinsip keadilan sosial, prinsip persamaan, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia, prinsip peradilan bebas kepentingan, prinsip perdamaian dan keselamatan, prinsip kesejahteraan, prinsip ketaatan rakyat.

Politik Islam adalah aktifitas politik yang didasari oleh nilai/prinsip Islam tersebut di atas, baik dari titik tolak (starting point), program, agenda, tujuan, sarana dan lainnya harus sesuai dengan petunjuk Islam. Oleh karenanya, di lapangan, politik Islam harus tampil beda dengan politik non-Islam. Jika politik konvensional bisa menggunakan cara apa saja untuk mencapai tujuannya, maka politik Islam tidak boleh demikian. Ada variabel lain yang harus diperhatikan, seperti etika Islam, ketentuan hukum Islam dll. Bukankah dalam kitab suci al-Qur’an sendiri, Allah mengatakan dalam Surat At-Tin dengan istilah asfalas safilin, lebih rendah ketimbang binatang. Manusia bisa terjerembab pada level itu. Karenanya, kita harus selalu wapada, berjihad melawan hawa nafsu. Jangan sampai larut dan terhanyut pada apa yang Pujangga Ranggawarsita sebut sebagai “zaman edan”.

Bagaimana kondisi penerapan etika politik di Indonesia ?

Jika kita perhatika semenjak era reformasi yang serba boleh ini, kemunduran etika politik para elite dalam setiap jejak perjalanannya membuat kita menjadi “miris”. Kemunduran etika politik para elite ini salah satunya ditandai dengan menonjolnya sikap pragmatisme dalam perilaku politik yang hanya mementingkan individualisme dan kelompoknya saja. Kepentingan bangsa, menurut mereka bisa dibangun hanya melalui kelompoknya. Dan masing-masing kelompok berpikir demikian.

Jika kondisinya seperti itu, maka akan muncul pertanyaan; Ke arah manakah etika politik akan dikembangkan oleh para politisi produk reformasi ini? Dalam praktik keseharian, politik seringkali bermakna kekuasaan yang serba elitis, dari pada kekuasaan yang berwajah populis dan untuk kesejahteraan masyarakat. Politik identik dengan cara bagaimana kekuasaan diraih, dan dengan cara apa pun, meski bertentangan dengan pandangan umum.

Tanpa kita sadari, nilai etis politik kita cenderung mengarah pada kompetisi yang mengabaikan moral. Buktinya, semua harga jabatan politik setara dengan sejumlah uang. Semua jabatan memiliki harga yang harus dibayar si pejabat. Itulah mengapa para pengkritik dan budayawan secara prihatin menyatakan arah etika dalam bidang politik (dan bidang lainnya) sedang berlarian tunggang-langgang (meminjam istilah Giddens, “run away”) menuju ke arah “jual-beli” menggunakan uang maupun sesuatu yang bisa dihargai dengan uang

Kita boleh bangga karena freedom house (2006) memasukkan negara kita sebagai negara demokrasi yang damai terbesar ketiga setelah Amerika dan India. Kita boleh bangga karena pemilu yang kita selenggarakan pasca reformasi berlangsung ramai dan damai.

Akan tetapi fenomena politik yang menyeruak belakangan ini mengarah pada arus balik yang cenderung mengotori demokrasi. Demokrasi pada titik ini tercederai oleh distingsi antara perilaku para politisi dengan nilai-nilai yang dibuatnya sebagai landasan etis bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Contoh kasus yang mencederai etika politik di Indonesia
Soal etika dan perilaku politik, para pemimpin nampaknya juga masih perlu belajar banyak bahkan perlu belajar dan memahami konsep etika politik dalam Islam.
Di negara kita tercinta ini banyak terjadi—baik ditingkat nasional maupun daerah. Misalkan dalam pemilu si A terpilih menjadi wakil rakyat, itu berarti si A harus selalu bertanggungjawab selama lima tahun kedepan kepada rakyat yang menjadi konstituennya. Namun, jika di tahun pertama atau kedua (pokoknya sebelum berakhir masa jabatannya di parlemen) si A kemudian ’loncat pagar’ ikut pilkada demi merebut jabatan kepala daerah (entah gubernur atau walikota/bupati), tidakkah ia sebenarnya telah ingkar janji kepada rakyat yang sebelumnya telah memberinya kepercayaan untuk menjadi wakil rakyat? Apalagi jika si A menang dan akhirnya melepas jabatannya di parlemen.
Itulah di antara salah satu contoh hasrat berkuasa para elit politik kita yang begitu menggebu-gebu sampai-sampai mampu mengalahkan etika politik (meskipun juga sebenarnya banyak para elit politik negeri kita yang juga birsikap amanah). Jika hasrat tersebut muncul, maka biasanya membuat si A sanggup menabrak rambu-rambu politik, baik di lingkungan internal partainya maupun eksternal (peraturan pemerintah atau negara), niscaya perilaku-perilaku politik yang menyimpang dari ketentuan atau melanggar peraturan pun sanggup dilakukannya di kemudian hari. Maka jika hal itu terjadi, Negara akan rusak dan rakyat menderita punya pemimpin seperti itu.
Fenomena hasrat berkuasa yang membara itu ternyata bisa juga berwujud sebaliknya: dari eksekutif ingin ’lompat pagar’ ke legislatif. Itulah yang diperlihatkan dalam waktu beberapa bulan kemarin yakni ada salah seorang Gubernur dan Bupati di negeri ini, yang ingin meraih kursi di DPR RI. Padahal dia seharusnya memiliki komitmen untuk menduduki jabatan itu selama lima tahun. Jangan sampai di tengah-tengah harus ganti arah. Sudah diberikan amanah dan itu harus dijalankan sesuai dengan waktunya,”
Dinegeri ini marak terjadi penyebaran “virus-virus pemikiran” yang menghalalkan segala cara untuk diperaktekkan demi mempertahankan eksistensi dirinya. Atau dalam bahasa Fukuyama agar guncangan dalam dirinya bisa ditekan sedemikian rupa dengan melemparkan beragam isu tanpa peduli validitas dan eksesnya. Maka kemudian konsekuensinya muncul korban-korban yang sejatinya tak perlu terjadi

Penguatan etika politik Islam sebagai tawaran

Francis Fukuyama (1999) menyebutkan bahwa memang setiap perubahan akan merangsang terjadinya guncangan (disruption). Guncangan karena adanya distingsi antara nilai baru dengan nilai lama dalam sebuah masyarakat. Guncangan bisa juga merupakan shock culture akibat ketidaksiapannya menjalani perubahan yang diluar kerangka nalarnya.

Tetapi satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah, bahwa nilai-nilai agama dapat digunakan untuk membuat politik lebih berarti. Nilai-nilai keagamaan juga memberikan pengaruh penting pada kultur politik dan mempengaruhi kecenderungan individu maupun masyarakat ke arah pola-pola tertentu kehidupan politik. Karena itu dalam "negara-negara baru" agama sedang mengalami proses penafsiran kembali. Penafsiran itu berkisar pada upaya perumusan sistem politik yang tetap mempunyai etika politik dan budaya politik yang kurang lebih Islami.

Dan inilah tantangan yang dihadapi demokrasi modern di tengah perubahan yang bergulir begitu cepat. Yaitu tatanan sosial yang melemah dalam kerangka kebersamaan (a weakening of social bonds and common values). Perilaku menyimpang dan pengebirian etika politik di kalangan politisi salah satunya disebabkan oleh guncangan tersebut. Mereka tidak siap untuk menjalani perubahan yang begitu luar biasa sementara secara intrinsik mereka masih terjebak dengan nilai (kesadaran) masa lalunya.

Karena itu, standar etika perlu ditegakkan melalui barometer yang dapat dipertangungjawabkan secara empiris dan praksis. Dalam konteks itu, karena itu Paul Ricoeur (1990) mengukur etika politik secara teleologis. Dan dalam hal ini konsep etika politik islam bisa menjadi tawaran solutif untuk mengobati negeri kita yang sedang dirundung sakit ini—terutama para elit politiknya.

Menurutnya Paul Ricoeur, ada tiga tujuan yang hendak dicapai dari etika politik, yaitu terciptanya kehidupan bersama dan untuk orang lain secara baik (to be a constituent in a ”‘good life’ with and for others); memperluas ruang lingkup kebebasan baik dan bertanggung jawab; dan membangun institusii-nstitusi yang adil (just institutions). Ketiga alat ukur etika politik ini dapat diimplementasikan melalui pembacaan terhadap perilaku politik seluruh warga negara, khususnya kaum elit negeri kita.

Kritik, kontrol, dan segala macam input untuk negara harus diletakkan dalam kerangka kebaikan bersama. Bukan dalam rangka mendapatkan ”durian runtuh”. Eksistensi kepemimpinan melalui konsensus lima tahunan harus didukung dan ditoleransi selama berada dalam koridor kebersamaan. Begitupun kontrol yang dilakukan oleh rakyat terhadap legislatif, yudikatif dan eksekutif atau control yang dilakukan oleh legislatif terhadap eksekutif harus mengacu pada kepentingan bersama (rakyat), bukan pada prestise lembaga apalagi vested interest. Dengan cara seperti itu, maka Negara kita akan menjadi Negara dengan meminjam istilah Munawir Syadzali “religious state” yang memperhatikan nilai-nilai agama dalam hal ini agama Islam.

Dengan cara seperti itu, maka adigium yang dikenal bahwa politik itu kotor, korup, kejam, tak manusiawi, dipenuhi dengan taktik dan intrik demi merebut dan mempertahankan kekuasaan. Saling menyikut dan saling menjegal acap terjadi, bahkan terhadap teman sekalipun, karena dalam politik tidak ada pertemanan abadi, yang abadi hanyalah kepentingan bisa dibenahi menjadi baik dan mulia.

Namun demikian, pertautan antara moral dan politik perlu medapat perhatian yang lebih, sebab, moral merupakan salah satu faktor kunci yang diharapkan mampu berperan untuk memperbaiki krisis bangsa. Moral dianggap sebagai sumber inspirasi dan kekuatan etis yang dapat memberikan wajah manusiawi terhadap proses pembangunan politik (Sayyid Husain Muhammad Jafri: Moral Politik Islam. 2003).

Di sinilah, pemikiran tentang revolusi moral politisi muncul dan merupakan kebutuhan mendesak berdasarkan kenyataan bahwa hingga kini sistem politik bangsa Indonesia belum dapat menyediakan cara-cara yang dapat membawa bangsa ini keluar dari krisis. Perubahan moral politisi menjadi hal yang penting untuk agenda perbaikan bangsa mengingat di tangan merekalah segala kebijakan yang menyangkut hajat hidup rakyat dipertaruhkan. Mereka adalah pemegang kekuasaan yang dapat menentukan hitam-putihnya bangsa ini.

Revolusi moral para politisi adalah suatu ikhtiar menuju pemerintahan yang bersih (clean government). Upaya ini bukan semata-mata bermaksud untuk melakukan perubahan sistem, namun juga perubahan signifikan pada moralitas yang dikedepankan para politisi. Asumsi ini berdasar pada argumentasi bahwa sistem tetap memiliki “ketergantungan” terhadap siapa yang mengatur atau menjadi penguasanya. Sebagaimana ungkapan “man behind the gun”, sistem sebaik apa pun, tanpa ada mekanisme kontrol yang kuat dari masyarakat, tetap bisa diselewengkan oleh penguasa. Bahkan, sistem bisa diciptakan oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.

Bukankah kita juga senang jika para pemimpin sungguh-sungguh mengedepankan etika politik dan perilaku politik yang baik dalam memimpin bangsa ini. Etika dan perilaku sama-sama berkait dengan moral, sedangkan moral diturunkan dari norma dan nilai. Jadi, jika etika dan perilaku politik para pemimpin sungguh-sungguh mengindahkan moral yang sesuai dengan norma dan nilai yang kita junjung tinggi, niscayalah persoalan dan masalah yang menimpa bangsa ini tak akan terlalu banyak.
Meskipun memang sulit memberi penilaian etis tidaknya kepada mereka yang berperilaku politik seperti itu (kotor), karena dasar hukumnya memang tidak ada. Namun, etika memang bukanlah soal hukum (peraturan tertulis), karena etika haruslah dilandasi dengan apa yang di Indonesia disebut ’kepantasan’ atau ’kepatutan’. Jadi, ia haruslah mempertimbangkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Ia juga harus memperhatikan kelaziman-kelaziman serta suasana batin masyarakat sesuai konteks waktu dan perkembangan situasi kondisi. Ada nalar, juga rasa, yang mestinya diseimbangkan. Dengan demikianlah niscaya kekuasaan betul-betul didayagunakan sebagai alat demi mewujudkan kebaikan, keadilan, dan kebenaran bagi rakyat dan negara. Dengan demikianlah kekuasaan tak semata berorientasi kepentingan praktis, melainkan alat belaka untuk melayani. Itulah yang pernah dikatakan oleh Dr Johannes Leimena, seorang deklarator Sumpah Pemuda 1928 dan negarawan besar di era pemerintahan Soekarno.
Etika terkait dengan hakikat kebaikan dan keburukan. Etika menjadi penjelas bagi kita semua bahwa ada perbuatan yan digolongkan baik dan ada yang buruk. Dengan demikian, maka etika politik juga menjelaskan tentang mana politik yang baik dan mana yang buruk. Nah kewajiban kita sebagai orang yang memiliki religiositas adalah mengikuti politik yang baik dan menjauhi politik yang buruk.
Dalam praktik kehidupan politik di negeri ini, politisi tampaknya memahami hakekat politik secara sempit dan konservatif. Politik dimengerti terbatas pada cara bagaimana seorang politikus atau parpol dapat memenangkan pemilu, meraih kursi atau posisi di legislatif dan eksekutif, kemudian melanggengkannya sehingga memperoleh posisi “terhormat” dalam masyarakat. Di samping itu, terjun ke “dunia” politik dianggap menjanjikan penghasilan besar lewat jalan pintas, tanpa syarat pendidikan tinggi. Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang memandang politik sebagai salah satu cara untuk menata kehidupan negara agar terwujud kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran rakyat.
Kebanyakan politisi masih dikuasai hasrat berkuasa ketimbang sebagai “penyambung lidah” dan penyalur aspirasi rakyat. Tanpa ada beban moral sedikit pun, mereka kerap melupakan begitu saja janji-janji kampanyenya setelah mereka berkuasa. Pada titik inilah, masyarakat dibuat kecewa, sinis dan skeptis dengan politik.
Itulah sekelumit gambaran singkat dan sederhana akan kondisi negeri kita tercinta yang carut marut ini. Akan tetapi kita harus tetap optimis demi untuk kemajuan Negara ini. Sebagai kata akhir dalam orasi ilmiah ini, mari kita berdo’a, dan berusaha memberikan arahan dan kritik yang sifatnya membangun bagi para pemangku jabatan di negeri ini agar selalu bertindak lebih baik, dan lebih baik dikemudian hari dan menerapkan etika politiknya. Sehingga dengan demikian, politisi kita diharapkan lebih berwatak hanif, cinta dan konsisten pada kebenaran, Mengutip kata- kata tokoh moral India Mahatma Gandhi yang menyatakan bahwa salah satu dosa sosial yang menjadi penyebab merosotnya kualitas kehidupan masyarakat ialah penyelenggaraan kehidupan politik tanpa dilandasi oleh prinsip dasar (politics without principles). Kehidupan politik saat ini lebih banyak berisi permainan uang, kata dan perebutan kuasa sebagai gejala infantilisme yang jauh dari dunia pikir, refleksi dan kontemplasi. Wallahu a’lam.

Rekomendasi:

Melihat perkembangan realita politik dan tingkah laku para elit politik kita yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini sudah jauh melanggar etika berpolitik yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena mereka lebih mengutamakan factor-faktor kepentingan yang sifatnya sesaat bukan yang hakiki. Kepentingan individu atau kelompok lebih ditamakan dan terkesan melupakan kepentingan seluruh masyarakat Indonesia. Karena itu, mudah-mudahan pendidikan etika politik Islam bisa menjadi obat untuk mengarahkan kepada yang lebih baik.
Kritik dan saran yang sifatnya membangun kepada para elit politik pemangku jabatan dinegeri ini tentunya harus terus di sampaikan dan diperjuangkan demi kebaikan negeri ini, saat ini, dan dimasa yang akan datang.
Dunia pendidikan sebagai salah satu lembaga pendidikan yang mencerdaskan generasi bangsa dan disitu negara Indonesia menggantungkan harapannya, mudah-mudahan selalu menjaga independensi dari kepentingan politik dan tentunya harus selalu memperjuangkan pendidikan politik yag berbudi.
Para Insan pendidik yang ada di lingkungan Lembaga pendidikan terutama yang berada di fakultas atau jurusan ilmu politik atau ilmu politik Islam sebagai salah yang bertanggungjawab di dalam “melahirkan” atau “memproduksi” para generasi penerus bangsa dalam bidang ilmu politik diharapkan selalu memberikan teladan, konsistensi dan arahan yang baik ketika menyampaikan dalam bentuk perkuliahan atau diluar perkuliahan.
Demikianlah rekomendasi ini, mudah-mudahan bermanfaat dan dapat diwujudkan dalam dunia nyata.



Daftar Bacaan

Abu Zahra, (Ed), Politik Demi Tuhan. Nasionalisme Religius di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Hidayah 1999)
Ahmad Amin, Al- Akhlak, (Kairo, Dar al- Kutub al- Mishriyah, t.t.)
Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta, Rajawali Pers, 1987)
Ati Hildebrandt Rambe, Memahami Hubungan Islam dan Politik di Indonesia, Jurnal STT Intim Makassar, Edisi No. 5 - Semester Ganjil 2003.
Azyumardi Azra, Etika Politik Dalam Islam, Republika : 12 Juli 2008
Benny Susetyo Pr. “Etika Politik & Politisi Reformasi”, Sinar Harapan, Tajuk Rencana, 23 Mei 2005.
Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, ( Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1994)
Edmund Burke and Ira M. Lapidus, (Eds.), Islam, Politics, and Social Movements (Berkeley et al: University of California Press, 1988).
Euben, L. Roxanne, Enemy in the Mirror. Islamic Fundamentalism and The Limits Of Modern Relationalism. (Princenton 1999). Diterjemahkan: Musuh Dalam Cermin. Fundamentalisme Islam dan Batas Rasionalisme Modern, (Jakarta: Serambi, 2002).
Fachry Ali, Musyawarah dan Demokrasi sebagai Dasar Etika Politik Islam, Makalah yang disampaikan dalam Annual Conference on Islamic Studies, Dirjen Pendidikan Islam, Departemen Agama, Palembang, 4 November, 2008.
Frans Von Magnis, Etika Umum, (Yogyakarta, Yayasan kanisius, 1975)
Hasan Basri al-Mardawy, Etika Politik dalam Perspektif Al-Qur’an, Madina: 30 Juni – 8 Juli 2008.
Irfan Idris, Etika Politik Dalam Islam, Fajar: 19 Juni 2009
Johannes, Richard L, Etika Komunikasi, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1992)
Kastorius Sinaga, “Tentang Etika Politik“, Kompas, 9 April 2008.
Lawrence B. Bruce, Menepis Mitos. Islam di Balik Kekerasan?, (Jakarta: Serambi 2002.
M Alfan Alfian, “Dari Perbendaharaan Etika Politik”, The Akbar Tandjung Institute, Jakarta, 8 Juli 2008.
Nurcholish Madjid, Islam Doktren dan Peradaban, (Jakarta, Paramadina, 1992)
Sayyid Husain Muhammad Jafri: Moral Politik Islam. 2003).
Sayyid Qutb, Petunjuk Jalan. Maalim Fi at-Thariiq (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)
William Frankena, Ethics, (New Jersey : Prentice Hall, 1973)
W. Poespoprodjo, Filsafat Moral, (Bandung, Remajakarja, 1986)


Terimakasih
Wasalamu ‘alaikum Wr.Wb ……


K. Muhammad Hakiki, MA

** Respon Islam Terhadap Globalisasi

Respon Islam Terhadap Globalisasi

Oleh: K. Muhammad Hakiki
Santri S3 Program Religious Study Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung.

Tulisan sederhana ini berawal dari sebuah renungan ketika saya mengikuti seminar Internasional terbatas yang diadakan oleh Yayasan YADMI (Yayasan Dakwah Malaysia Indonesia) di Institut Tekhnologi Bandung (ITB) bertema “Kontekstualisasi Sains dan Pendidikan Islam Integratif di Alam Melayu” pada 22 Oktober 2009 lalu. Dari hasil seminar itu di sepakati bahwa Islam dengan khazanah pemikirannya yang kaya saat ini harus terus digali dan tentunya dikontekstualisasikan agar lebih tepat guna dalam rangka menghadapi tantangan dunia modern (globalisasi dan Liberalisasi). Lalu pertanyaannya, mungkinkah hal itu bisa dengan mudah diterapkan saat ini khususnya di Indonesia yang pola pikir masyarakatnya heterogen, atau meminjam istilah Ulil Abshar Abdallah “warna-warni”.? Hal ini menurut saya penting untuk “dipecahkan”.

Kalau saja saya boleh jujur, sebenarnya kita sedang dirundung kerugian yang besar—dan sangat besar. Islam dengan kitab suci al-qur’an-nya dan khazanah pengetahuan Islam-nya yang begitu tinggi dan kaya, seakan-akan tak berkutik dalam menghadapi dunia modern ini. Islam saat ini jujur saja sedang kalah dan terpuruk dibandingkan dengan dunia Barat yang terus menancapkan dominasi dan pengaruhnya. Bukankah Islam dahulu ketika zaman Dinasti Abasiyah dengan khalifahnya Harun al-Rasyid pernah menjadi penguasa bumi ini. Lalu kenapa sekarang justru sebaliknya.

Globalisasi sebenarnya adalah sebuah era di mana dunia ini seakan tak bersekat, batas-batas territorial seakan tak berarti. Dalam era globalisasi interaksi antar budaya, peradaban dan negara semakin mudah dilakukan. Adanya proses saling mempengaruhi satu sama lain tak bisa dinafikan—baik bersifat positif maupun negatif. Dan, pada akhirnya globalisasi menjadi alat untuk saling mempengaruhi antara budaya, peradaban, idiologi, bahkan masuk pada agama. Dan ujungnya agama, budaya, idiologi, dan peradaban telah terkontaminasi dari pengaruh unsur-unsur lain.

Di era globalisasi ini, proses saling mempengaruhi satu sama lain tak bisa ditawar-tawar. Peranan media sebagai alat “penular” telah menembus sekat-sekat itu. Dan konsekuensinya sebuah idiologi atau budaya bisa memasuki idiologi dan budaya lainnya. Dengan kondisi ini, maka kegoncangan bisa terjadi jika penularan virus globalisasi itu tidak sesuai dengan karakteristik kultur dan sosialnya.

Dari realita di atas-lah maka Islam sebagai agama tanpa bisa menolaknya harus terlibat sebagai perwujudan agama yang membawa pesan rahmatan lil aalamin atau shalihun li kulli zaman wa al-makan (sesuai dengan kondisi zaman dan tempat). Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, maka, mau tak mau umat dan para pemikir Islam negeri ini harus “menyingsingkan lengan bajunya” untuk mencoba merformulasikan respon Islam yang terbaik dalam menghadapi arus globalisasi. Di sinilah menurut Syaikh al-Akbar Yusuf Qardawi (Intelektual muslim dari Mesir) sikap manusia (baca: umat Islam) terbagi tiga kelompok dalam merespon arus globalisasi;

Pertama; mereka yang secara bergairah dan bersemangat menyambut datangnya globalisasi. Mereka ini adalah orang-orang yang berenang di atas gelombangnya dan berinteraksi dengannya tanpa ada batas dan tanpa reserve.

Kedua; adalah mereka yang melarikan diri dari medan pertempuran globalisasi. Dan mereka ini adalah orang-orang yang tidak tahu pola pemikiran apa yang sedang berkembang. Dan sikap ini kini banyak diambil oleh orang-orang yang merasa takut untuk berhadapan dan berinteraksi dengan orang lain. Dan salah satu reson yang dilakukan oleh kelompok ini adalah selalu berkaca pada masa lalu atau klasik dan sangat anti terhadap hal-hal yang baru—apalagi jika hal yang baru itu datangnya dari Barat.

Ketiga; adalah mereka yang berfikir moderat. Mereka ini mewakili orang-orang yang bersikap terbuka terhadap globalisasi, namun dibarengi dengan pendekatan yang jeli dan kritis; pemilihan adalah salah satu syarat yang mutlak harus dilakukan terhadap prodak-prodak globalisasi.

Dari ketiga kelompok di atas, dimanakah atau akan berada dikelompok manakah kita bersikap?. Di sinilah pentingnya kita untuk memilih dan berpihak, jika kita yakin bahwa agama Islam dengan doktrinnya menghendaki agar pemeluknya dapat hidup bertahan, lebih baik dan tentunya lebih maju.

Disinilah nampaknya dua pola pikir kita dipertaruhkan; apakah Islam sebagai sebuah agama harus mengikuti atau menyesuaikan dengan perkembangan zaman, atau sebaliknya; zaman yang harus disesuaikan dengan agama kita.

Jika kita berada pada posisi kedua (zaman yang harus sesuai atau dipaksakan sesuai dengan Islam) maka kita akan berfikir ekslusif dan tentunya hal ini akan mempersulit umat Islam dalam berkembang menjadi maju. Tetapi sebaliknya, jika kita berada pada posisi yang pertama (Islam harus sesuai dengan zaman) maka konsekuensilogisnya kita akan berfikir inklusif atau terbuka dalam menyesuaikan dengan perkembangan zaman ini, dan cara ini menurut saya yang harus diambil oleh umat Islam sekarang dengan alasan bahwa arus perkembangan zaman dengan usaha apa pun tak dapat bisa dibendung oleh kita—apalagi harus lari.

Berfikir Inklusif dan moderat

Jika kita mengacu pada pola klasifikasi yang diutarakan oleh Yusuf Qardawi di atas, maka menurut hemat saya langkah yang tepat untuk dilakukan oleh umat Islam saat ini di dalam merespon perkembangan globalisasi yang tak dapat dibendung ini adalah langkah yang dilakukan oleh kelompok ketiga yakni mereka yang berfikir moderat dan kritis. Kelompok ini-lah menurut saya yang paling bisa membawa Islam dan umatnya ikut bersaing dan tentunya menjadikan Islam semakin maju. Dan akhirnya Islam sebagai agama rahmat bagi semua umat manusia bisa terwujud dan terbukti.

Di sini-lah pentingnya kita berfikir kritis, berjiwa inklusif, toleran, dan tetunya menjauhkan sikap anti apalagi redikal dalam beragama seperti banyak yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia. Dengan sikap ini, maka saya yakin Islam tidak akan ditinggalkan oleh pemeluknya, dan Islam bisa kembali bangkit seperti masa kejayaannya yang pernah diraih pada masa lalu, baik dalam pemikiran atau ilmu pengetahuan maupun peradaban. Ini-lah menurut saya cara jihad yang paling tepat untuk saat ini, bukan dengan teror, apalagi dengan aksi-aksi bom yang kurang bahkan tidak beradab itu, yang kemudian menjadikan Islam sebagai agama redikal dan menuai klaim-klaim agama teroris. Mudah-mudahan kita mau merenungkannya. Wallahu a’lam.

Tulisan ini pernag di muat kolom opini di harian Fajar Banten, edisi 30 Oktober 2009

Minggu, 25 Oktober 2009

** Pesantren dan Arus Globalisasi

Pesantren Dan Arus Globalisasi


Oleh: K. Muhammad Hakiki, MA
Pemerhati Dunia Pesantren

Tulisan ini adalah sebuah refleksi singkat dari perjalanan penulis ke berbagai pelosok desa dalam rangka mengunjungi beberapa pondok pesantren (baca: salafi) di daerah pedesaan. Pada saat kunjungan tersebut, ternyata penulis menemukan banyak sekali—saat ini—pondok pesantren yang ditinggalkan oleh penghuninya (santri). Pondok pesantren yang dahulu terkenal ramai, kini sedikit demi sedikit ditinggalkan peminatnya.

Hampir disemua pondok pesantren tradisional terkecuali pondok pesantren modern sepi dari peminat. Entah fenomena apa yang terjadi. Apakah saat ini masyarakat kita sudah enggan untuk mendalami ajaran Islam ataukah memang masyarakat kita sudah terracuni oleh anggapan bahwa pendidikan pesantren adalah pendidikan yang tidak menjanjikan masa depan yang cerah, atau apakah ini yang merupakan dampak negatif dari arus globalisasi yang lebih mementingkan pengejaran materi atau duniawi, semua itu menjadi mungkin.

Padahal pesantren (atau pondok, surau, dayah atau nama lain sesuai daerahnya) dibandingkan dengan institusi pendidikan lainnya adalah merupakan salah satu tipologi institusi pendidikan khas Indonesia yang telah hadir beratus-ratus tahun yang lalu.

Tapi siapa yang menyangka, institusi pendidikan yang dianggap kolot, tradisional, konservatif, terbelakang, tak modern, dan masih banyak lagi penilaian negatif lainnya adalah sebuah institusi pendidikan yang mempunyai jasa tinggi di dalam mempertahankan tanah air tercinta ini. Kalau saja kita mau jujur dan membaca sejarah, maka kita akan mengetahui bahwa lembaga pendidikan yang di sebut kolot ini ternyata telah melahirkan banyak pemimpin yang masyhur di negeri ini.

Lihat saja pada masa jauh pra-kemerdekaan, sebagai contoh berbegai perjuangan yang dilakukan oleh kalangan pesantren melawan para penjajah telah mampu merepotkan kolonialisme di negeri ini, seperti misalnya pemberontakan petani Banten yang dimotori oleh para santri-santri pengikut tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah pada tahun 1888 telah mampu mengobarkan perlawanan terhadap kolonial Belanda sehingga bangsa Indonesia dapat bertahan yang pada akhirnya meraih kemerdekaannya pada 1945 M.

Zaman kini telah berubah, lembaga pendidikan pesantren nampaknya tak bisa mengelak menghadapi perkembangan zaman yang semakin maju, bak banjir di musim penghujan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi saat ini tak bisa di bendung. Lembaga pendidikan pesantren kini tak bisa mempertahankan eklusivitasnya, akan tetapi sebaliknya, pesantren kini harus membuka matanya lebar-lebar dan mengalihkan orientasinya untuk lebih inklusif atas perubahan zaman agar pesantren tak kehilangan penggemarnya.

Sebagai langlah menuju perubahan itu, menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang sangat urgen untuk direkonstruksi dalam tubuh pendidikan pesantren tradisional sendiri;

Pertama, rekonstruksi kurikulum pendidikan pesantren. Kurikulum pendidikan pesantren yang lebih memprioritaskan kajian agama saat ini harus kembali dibenahi. Pesantren saat ini harus membuat kurikulum terpadu, sistematik, egaliter, dan bersifat buttom up (tidak top down). Maksudnya, penyusunan kurikulum pesantren tidak lagi didasarkan pada konsep plain for student tetapi harus plain by student.

Kedua, rekonstruksi metode pembelajaran pesantren. Alternatif ke dua ini ditawarkan mengingat proses belajar-mengajar di lingkugan pesantren tradisional masih berkutat pada bahan dan materi dan bukan pada tujuan yang sebenarnya.

Di lingkungan pesantren tradisional, seorang santri dikatakan berhasil jika ia mampu menguasai materi-materi yang disampaikan sang guru dan kemudian di hafalkannya dengan apik, karena menurutnya, parameter keilmuan seseorang dinilai berdasarkan kemampuannya dalam menghafal teks-teks. Orientasi ini kini sudah harus dibenahi. Seorang peserta didik tidak harus cakap dalam menghafal materi pelajaran, akan tetapi ia juga harus bisa beradaptasi dengan kondisi riil di masyarakat.

Jika kita memperhatikan kondisi di masyarakat, banyak sekali prilaku-prilaku yang sangat bertolak belakang dengan norma agama. Hal inilah yang harus dimengerti oleh para peserta didik pesantren untuk bisa beradaptasi dan menyikapi atas kondisi di masyarakt tersebut, agar kemudian tidak terjadi pertentangan yang bisa saja menimbulkan konflik. Untuk itu, perpaduan antara kemahiran ilmu agama dan kemahiran bersosial di masyarakat sudah seharusnya menjadi perhatian kalangan pesantren. Salah satu caranya adalah dengan menyediakan wahana aktualisasi diri di tengah-tengah masyarakat.

Ketiga, peningkatan tradisi tulis menulis. Di lingkungan pesantren bahkan di lembaga-lembaga pendidikan sekolah lainnya sampai saat ini, tradisi tulis menulis sangatlah minim bahkan mungkin tidak ada. Padahal dunia ini tidak akan berkembang seperti saat ini jika saja para ilmuan tempo dulu tak rajin mengarsipkan hasil penemuannya dalam bentuk buku. Begitu banyak karya-karya manumental yang telah dihasilkan yang seharusnya kita kembangkan kembali, bukan hanya di baca kemudian diceritakan.

Keempat, melengkapi sarana penunjang proses pembelajaran, seperti perpustakaan yang berisi tidak hanya buku-buku agama akan tetapi menyediakan buku-buku yang mengkaji ilmu pengetahuan lainnya seperti buku-buku eksakta, dan sosial.

Langkah keempat ini memang tak bisa dilakukan oleh lembaga pesantren seorang diri. Langkah ini akan berjalan dengan lancar jika saja dukungan dari kalangan pemerintah baik itu pusat maupun daerah atau para donatur memberikannya secara maksimal seperti kepada lembaga-lembaga pendidikan umum lainnya. Pihak pemerintah sudah saatnya kini menyamakan lembaga pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya dan tidak melihatnya dengan sebelah mata.

Kelima, rekonstruksi pola kepemimpinan pesantren. Rekonstruksi ini merupakan yang terpenting dalam tubuh lembaga pendidikan pesantren. Karena jika seorang pemimpin pesantren enggan untuk melakukan rekonstruksi di atas, dan masih menganggap sebagai pemegang dan penentu kebijakan dengan tidak mempertimbangkan saran-saran dari pengurus bawah pesantren untuk melakukan rekonstruksi, maka yakinlah umur pesantren tersebut—dengan tidak menunggu waktu yang lama—akan menemui ajalnya.

Kerugian lainnya yang ditimbulkan dari pola kepemimpinan semacam itu adalah munculnya ketidakpastian dalam perkembangan pesantren yang bersangkutan, karena biasanya dalam tradisi pesantren semua hal bergantung pada keputusan pribadi sang pemimpin. Seringkali proses pengembangan yang telah direncanakan secara matang harus terhenti hanya karena menunggu restu dari sang kiyai, sehingga kemudian akan menghilangkan gairah untuk melakukan perubahan-perubahan yang berarti bagi pesantren.

Lebih parah dari itu, kondisi tersebut juga bisa menimbulkan keengganan bagi generasi muda pesantren untuk melakukan inovasi-inovasi baru demi pengembangan pesantren lantaran khawatir dianggap melangkahi kebijakan tertinggi di pesantren tersebut dan bisa menumbuhkan ketakutan akan ilmu yang tidak bermanfaat.

Untuk itu, sebagai upaya pemecahan mendasar atas kondisi tersebut, maka tak ada cara lain selain usaha merekonstruksi dan mencari terobosan atau solusi yang mencerahkan seperti pembagian job penentu kebijakan dalam tubuh pesantren sudah seharusnya diterapkan jika pesantren yang dianggap kolot ingin bangkit, eksis dan dapat bersaing dengan lembaga pendidikan lainnya terutama dalam menghadapi tantangan dunia modern yang semakin maju ini.

Keenam, hilangkan persepsi adanya dikotomi (pembagian) ilmu menjadi ilmu umum (eksakta, sosial, dll) dan ilmu agama. Biasanya dalam tradisi pesantren masih melekat sekali anggapan bahwa penguasaan ilmu agama itu jauh lebih penting dari pada penguasaan ilmu umum. Hal ini dapat dilihat dari pendidikan putra-putri kiyai pemilik pesantren yang biasanya lebih mementingkan pendidikan agama dengan belajar di pesantren-pesantren dan menyampingkan pendidikan formal. Padahal kalau kita mau melihat kiprah para ulama tempo dulu banyak sekali ulama-ulama yang tidak hanya menguasai ilmu agama akan tetapi ilmu-ilmu lainnya; seperti Al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Sina, Al-Khawarizmi, Ibn Bajah, dan lain sebagainya. Untuk itu, marilah kita hilangkan anggapan dikotomi ilmu itu, dan mulai rajut kembali integrasi ilmu dengan menganggap segala macam ilmu adalah hal yang sangat penting.

Beberapa langkah di atas, mudah-mudahan bisa dijadikan sebagai obat penawar atas kondisi pesantren yang saat ini semakin lama semakin "tergilas" oleh perkembangan zaman yang semakin maju. Bukankah dalam tradisi pesantren ada ungkapan yang mengatakan; "memelihara nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik". Kenapa kita harus takut untuk merubahnya! []


Tulisan ini pernah dimuat dalam kolom Opini Fajar Banten, Agustus, 2007

** Zaid bin Tsabit

Zaid bin Tsabit;
Penyusun Kodifikasi Al-Qur’an Pertama

Oleh: K. Muhammad Hakiki, MA
Mahasiswa S3 UIN Bandung

Di seluruh dunia tak seorang muslim pun meragukan keaslian dan keabsahan kitab suci al-Qur’an yang merupakan verbum dei (kalam Allah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw secara verbatim dengan perantara Malaikat Jibril selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Bukti keyakinan itu sampai detik ini jutaan kaum muslimin masih mentadaruskan dan mengkaji isi kandungan al-Qur’an terutama pada bulan suci Ramadhan ini.
Turunnya al-Qur’an yang memakan waktu cukup lama, membuat al-Qur’an terpisah-pisah. Bukti historisnya adalah dalam ilmu al-Qur’an ada yang dinamakan ayat-ayat Makiyyah (ayat yang diturun di Makkah) dan Madaniyyah (ayat yang turun di Madinah). Lalu bagaimana proses pengumpulan dari yang terpisah dan tercecer kini menjadi satu kumpulan utuh yang dinamakan Mushaf Utsmani, siapa yang telah berjasa men-tadwin-kan atau mengkodifikasikan itu?
Jika kita membaca bagaimana sejarah peng-kodifikasi-an al-Qur’an, maka kita akan menemukan sahabat nabi yang bernama Zaid bin Tsabit. Zaid bin Tsabit adalah tokoh yang berjasa dalam mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang tercecer. Ia mendapat rekomendasi dari tiga Khalifah yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan untuk segera mengumpulkan al-Qur’an dengan pertimbangan banyaknya sahabat Nabi (para penghafal al-Qur’an) yang terbunuh dalam perang Yamamah.
Tulisan ini akan menyoroti diseputar pemilihan Zaid bin Tsabit sebagai ketua tim pentadwinan al-Qur’an dengan permasalahan: Apa kriterianya, mengapa zain bin Tsabit yag terpilih, apakah tidak ada sahabat lain yang mempunyai kemampuan lebih dari Zaid sendiri. Pertanyaan-pertanyaan itu yang akan menjadi fokus kajian dalam kesempatan kali ini.
Zaid bin Tsabit adalah salah seorang sahabat nabi dari kaum Anshar dan berasal dari suku Khazraj. Nama lengkapnya adalah Abu Kharijah Zaid bin tsabit bin ad-Dahhak bin Zaid bin Laudan bin Amr bin Abd Manaf bin Ganam bin Malik bin an-Najjar al-Ansari al-Khazraji. Beliau ditinggalkan oleh ayahnya ketika berusia sebelas tahun.
Sejak masa muda, Zaid sudah hafal surat dan ayat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw ketika berada di Madinah. Ia diangkat menjadi sekretaris Nabi untuk menulis wahyu yang turun dan menulis surat-surat kepada orang Yahudi. Ia sangat cerdas dan cepat memahami bahasa asing. Bahasa Yahudi menurut satu riwayat, dipelajarinya dalam waktu 17 hari. Kecerdasan dan luasnya pengetahuan membuatnya dijuluki “ulama masyarakat” ia juga terkenal sebagai ahli dalam ilmu fara’id (pembagian harta pusaka).
Bahkan menurut riwayat, Abddullah bin Abbas sering mendatangi rumahnya untuk berguru, padahal Abdullah bin Abbas sendiri dikenal sebagai bapak Para Mufassir al-Qur’an. Ia berkata: “ilmu itu didatangi, bukan mendatangi” kata Ibn Abbas ketika ditanya orang, mengapa ia selalu mendatangi rumah Zain bin Tsabit. Suatu ketika Abdullah bin Abbas memegang pelana kuda yang akan dinaiki oleh Zaid, tetapi Zaid mencegahnya karena hal itu dipandang terlalu memuliakannya. Ibn Abbas menjawab, “beginilah cara aku memuliakan ulama”. Kemudian Zaid mengambil tangan Ibn Abbas dan menciumnya sambi berkata: “Beginilah kami disuruh memuliakan keluarga Nabi”.
Menurut sebuah hadits yang kemudian dijadikan alasan pemilihan Zaid dikemudian hari adalah pertimbangan Abu Bakar memilih Zaid. Dalah hadits itu di jelaskan bahwa ketika Abu Baker ditanya oleh Zaid perihal alasannya memilih Zaid adalah bahwa Zaid adalah termasuk orang yang cekatan, relative masih muda, tidak diragukan kemampuannya, pernah menjadi pencatat wahyu atau sekretaris Rasulullah. Pertimbangan-pertimbangan inilah yang kemudian Abu Bakar dan Umar memilih Zaid untuk menjadi orang yang bertugas mengumpulkan al-Qur’an.
Jika melihat dari pertimbangan Abu Bakar dalam memilih Zaid di atas, nampaknya faktor-faktor tersebut tidak begitu berperan penting dalam kaitan tentang tugas sebagai pengumpul al-Qur’an. Ada sebenarnya faktor yang justru berpengaruh dan urgen akan tetapi tidak dijelaskan bahkan atau mungkin tidak dijadikan alasan oleh Abu Bakar yakni prihal kemampuan Zain dalam menghafal al-Qur’an.
Menurut realita sejarah tidak ada garansi yang diberikan oleh Rasulullah perihal kemampuan Zaid bin Tsabit. Berbeda misalnya dengan apa yang terjadi pada Abdullah bin Abbas atau Ali bin Abi Thalib sendiri yang mendapat garansi dari Rasul perihal kemampuannya. Akan tetapi kenapa justru Zaid bin Tsabit yang mendapatkan atau dipercayai sebagai pentadwin al-Qur’an?
Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib adalah termasuk keponakan Nabi yang masuk Islam pada usia yang relative muda, ia juga termasuk diantara sahabat yang masuk Islam pertama. Menurut riwayat Ia masuk islam setelah istri Nabi Khadijah, dalam riwayat lain ia orang kedua yang masuk Islam setelah Abu Bakar.
Diceritakan dalam sebuah riwayat bahwa Ali sebagai pungumpul pertama al-Qur’an berdasar perintah nabi sendiri. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Zanjani bahwa suatu ketika Nabi pernah berkata kepada Nabi: “Hai Ali, al-Qur’an ada dibelakang tempat tidurku, (tertulis) di atas shuhuf, sutera dan kertas, ambil dan kumpulkanlah, jangan sia-siakan seperti orang yahudi menyia-nyiakan Taurat.” Disebutkan oleh al-Zanjani bahwa pada waktu itu Ali menuju ke tempat itu dan membungkus bahan-bahan tersebut dengan kain berwarna kuning, kemudian disegel”.
Disamping kepercayaan yag diberikan Rasul di atas, Ali pernah dijuluki oleh Nabi sebagai pintu dari pada ilmu, ia juga pernah dido’akan oleh Nabi: “Semoga Allah meneguhkan lisanmu dan memberikan petunjuk pada hatimu”. Kemudian dalam sebuah cerita yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim bahwa Ali pernah berkata: “Demi Allah, tidaklah turun suatu ayat kecuali aku benar-benar mengetahui sebab apa ia diturunkan. Sungguh, Tuhanku telah menganugrahkan kepadaku hati yang berakal dan lisan yang aktif bertanya”.
Ibn Mas’ud
Ib Mas’ud yang mempunyai nama lengkap ‘Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil bin Habib al-Hadzli ra adalah salah seorang sahabat Nabi yang mempunyai otoritas besar dalam al-Qur’an. Ia juga merupakan salah seorang dari empat besar sahabat yang direkomendasikan oleh Nabi sebagai tempat bertanya tentang al-Qur’an. Otoritas dan populeritasnya dalam kajian al-Qur’an memuncak ketika ia bertugas di Kuffah, dimana mushafnya memiliki pengaruh besar dan luas. Masyarakat Kuffah pada waktu itu memiliki dua versi mushaf al-Qur’an yang disusun oleh Ibn Mas’ud sendiri dan mushaf Utsmani. Bahkan keberadaan mushaf versi Ibn Mas’ud pada waktu itu telah diperbanyak, seperti; mushaf Alqamah ibn Qais, Mushaf al-Rabi’, mushaf Ibn Khutsaim, mushaf al-Aswad dan masih banyak lagi yang lainnya.
Bagi saya Yang menarik dan patut dipertanyakan tentang Ibn Mas’ud adalah berkaitan dengan tidak masuknya ia dalam deretan tim pengumpul al-Qur’an versi kalangan elite pemerintah Khalifah Umar dan Ustman yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit. Padahal seperti yang dikatakan oleh Ibn Abu Daud penulis kitab Mashahif, Ibn Mas’ud lebih dahulu masuk Islam dibandingkan Zaid bin Tsabit. Dan yang lebih penting adalah keberadaan mushaf Ibn Mas’ud sudah populer ketika mushaf versi Utsmani belum muncul.
Abdullah bin Abbas
Dalam peta perkembangan kajian al-Qur’an, nama Abdullah bin Abbas mempunyai peranan penting dan menduduki posisi yang sangat terkemuka. Hal tersebut terlihat dari figurasi dirinya sebagai “tarjuman al-Qur’an” (penafsir al-Qur’an terbaik), ia juga dijuluki sebagai “al-habr al-Ummah” (intelektual ummat). Yang menarik dari sosok Ibn Abbas ini adalah ia pernah di do’akan oleh Rasulullah: “Ya Allah, anugrahilah dia pemahaman dalam urusan agama dan ajarilah ia takwil).
Bahkan menurut riwayat, Ibn Abbas telah membuat satu kodifikasi atas al-Qur’an yang menurut beberapa ahli mempunyai kualitas yang sama dengan mushaf Ibn Mas’ud, akan tetapi ketenaran akan alimnya dan garansi yang diberikan oleg Rasul ternyata tidak berdampak besar terhadap periode awal pentadwinan teks al-Qur’an.
Nama-nama yang disebutkan di atas di antara sahabat-sahabat Nabi yang masyhur dan mempunyai kualitas lebih atau peling rendah sebanding dengan Zaid bin Tsabit sendiri khususnya tentang penguasaan al-Qur’an. Meskipun sebanarnya banyak sahabat-sahabat lain yang juga terkenal bahkan mempunyai kodifikasi musfah sebelum munculnya mushaf Utsmani, diantaranya: Salim ibn Ma’qil (juga mendapatkan rekomendasi dari rasul perihal pencatatan wahyu dan pengajaran al-Qur’an kepada kaum muslimin), Ubai bin Ka’b (sekretaris Nabi ketika ia di Madinah), Abu Musa al-Asy’ari, Ummu Salamah, Ibn Zubayr, Ana ibn Malik, dan sahabt-sahabat lainya.
Kesimpulan
Hadirnya tulisan ini bukan berarti menggugat atau mempertanyakan kembali mengenai keotentikan al-Qur’an yang sudah lama kita pegang dan kita yakini. Tulisan ini hanya sekedar menyajikan realita sejarah yang tak mungkin kita pungkiri karena bagaimanapun sejarah diseputar kodifikasi al-Quran itu memang benar-benar terjadi dan harus kita ketahui sebagai sebuah ilmu.


Artikel ini pernah dimuat di surat Kabar Radar Lampung 2006

** Kodifikasi Alqur'an

Telaah Kritis Kodifikasi al-Qur’an

Oleh: K. Muhammad Hakiki
Alumni IAIN Raden Intan; Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Di seluruh dunia tak seorang muslim pun meragukan keaslian kitab suci al-Qur’an yang merupakan verbum dei (kalam Allah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw secara verbatim dengan perantara Malaikat Jibril selama lebih dari dua puluh tahun. Bukti keyakinan itu sampai detik ini jutaan kaum muslimin masih mentadaruskan dan mengkaji kandungan al-Qur’an terutama pada bulan suci Ramadhan ini.
Turunnya al-Qur’an yang memakan waktu cukup lama, membuat al-Qur’an terpisah-pisah. Bukti historisnya adalah dalam ilmu al-Qur’an ada yang dinamakan ayat-ayat Makiyyah (ayat yang diturun di Makkah) dan Madaniyyah (ayat yang turun di Madinah).
Lalu bagaimana proses pengumpulan dari yang terpisah dan tercecer kini menjadi satu kumpulan utuh yang dinamakan Mushaf Utsmani, siapa yang berjasa mengkodifikasikan itu?
Jika kita membaca bagaimana sejarah kodifikasi al-Qur’an, maka kita akan menemukan sahabat Nabi yang bernama Zaid bin Tsabit. Zaid adalah tokoh yang berjasa dalam mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang tercecer. Ia mendapat rekomendasi dari tiga Khalifah yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Afan untuk segera mengumpulkan al-Qur’an dengan pertimbangan banyaknya sahabat Nabi (para penghafal al-Qur’an) yang terbunuh dalam perang Yamamah.
Tulisan ini akan menyoroti diseputar pemilihan Zaid sebagai ketua tim pentadwinan al-Qur’an dengan permasalahan: mengapa Zaid yang terpilih, apakah tidak ada sahabat lain yang mempunyai kemampuan lebih dari Zaid sendiri. Pertanyaan-pertanyaan itu akan menjadi fokus kajian dalam kesempatan ini.
Zaid adalah salah seorang sahabat Nabi dari kaum Anshar dan berasal dari suku Khazraj. Nama lengkapnya adalah Abu Kharijah Zaid bin tsabit bin Dahhak bin Zaid bin Laudan bin Amr bin Abd Manaf bin Ganam bin Malik bin Najjar al-Ansari al-Khazraji. Beliau ditinggalkan oleh ayahnya ketika berusia sebelas tahun. Sejak masa muda, ia diangkat menjadi sekretaris Nabi untuk menulis wahyu yang turun dan menulis surat-surat kepada orang Yahudi.
Menurut sebuah hadits yang kemudian dijadikan alasan pemilihan Zaid dikemudian hari adalah pertimbangan Abu Bakar memilih Zaid. Dalam hadits itu di jelaskan bahwa ketika Abu Bakar ditanya oleh Zaid perihal alasannya memilih Zaid adalah bahwa ia adalah termasuk orang yang cekatan, relative masih muda, pernah menjadi pencatat wahyu atau sekretaris Rasulullah. Pertimbangan-pertimbangan inilah yang kemudian Abu Bakar dan Umar memilih Zaid untuk menjadi orang yang bertugas mengumpulkan al-Qur’an.
Jika melihat pertimbangan Abu Bakar dalam memilih Zaid di atas, nampaknya faktor-faktor tersebut tidak begitu berperan penting dalam kaitan tentang tugas sebagai pengumpul al-Qur’an. Ada sebenarnya faktor yang justru berpengaruh dan urgen akan tetapi tidak dijelaskan atau mungkin tidak dijadikan alasan oleh Abu Bakar yakni prihal kemampuan Zain dalam menghafal al-Qur’an.
Menurut realita sejarah tidak ada garansi yang diberikan oleh Rasulullah perihal kemampuan Zaid. Berbeda misalnya dengan apa yang terjadi pada Abdullah bin Abbas atau Ali bin Abi Thalib sendiri yang mendapat garansi dari Rasul perihal kemampuannya. Akan tetapi kenapa justru Zaid yang mendapatkan atau dipercayai sebagai pentadwin al-Qur’an?
Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib adalah keponakan Nabi yang masuk Islam pada usia yang relative muda, ia juga termasuk di antara sahabat yang masuk Islam pertama. Menurut riwayat, ia masuk Islam setelah istri Nabi Khadijah, dalam riwayat lain ia orang kedua yang masuk Islam setelah Abu Bakar.
Diceritakan dalam sebuah riwayat bahwa Ali adalah pungumpul pertama al-Qur’an berdasar perintah Nabi sendiri. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Zanjani bahwa suatu ketika Nabi pernah berkata kepada Ali: “Hai Ali, al-Qur’an ada dibelakang tempat tidurku, (tertulis) di atas shuhuf, sutera dan kertas, ambil dan kumpulkanlah, jangan sia-siakan seperti orang Yahudi menyia-nyiakan Taurat.” Disebutkan oleh al-Zanjani bahwa pada waktu itu Ali menuju ke tempat itu dan membungkus bahan-bahan tersebut dengan kain berwarna kuning, kemudian disegel”.
Disamping kepercayaan yag diberikan Rasul di atas, Ali pernah dijuluki oleh Nabi sebagai pintunya ilmu, ia juga pernah dido’akan oleh Nabi: “Semoga Allah meneguhkan lisanmu dan memberikan petunjuk pada hatimu”. Kemudian dalam sebuah cerita yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim bahwa Ali pernah berkata: “Demi Allah, tidaklah turun suatu ayat kecuali aku benar-benar mengetahui sebab apa ia diturunkan. Sungguh, Tuhanku telah menganugrahkan kepadaku hati yang berakal dan lisan yang aktif bertanya”.
Ibn Mas’ud
Ib Mas’ud yang mempunyai nama lengkap ‘Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil bin Habib al-Hadzli ra adalah salah seorang sahabat Nabi yang mempunyai otoritas besar dalam al-Qur’an. Ia juga merupakan salah seorang dari empat besar sahabat yang direkomendasikan oleh Nabi sebagai tempat bertanya tentang al-Qur’an. Otoritas dan populeritasnya dalam kajian al-Qur’an memuncak ketika ia bertugas di Kuffah, dimana mushafnya memiliki pengaruh besar dan luas. Masyarakat Kuffah pada waktu itu memiliki dua versi mushaf al-Qur’an yang disusun oleh Ibn Mas’ud sendiri dan mushaf Utsmani. Bahkan keberadaan mushaf versi Ibn Mas’ud pada waktu itu telah diperbanyak, seperti; mushaf Alqamah ibn Qais, Mushaf al-Rabi’, mushaf Ibn Khutsaim, mushaf al-Aswad dan masih banyak lagi yang lainnya.
Bagi saya Yang menarik dan patut dipertanyakan tentang Ibn Mas’ud adalah berkaitan dengan tidak masuknya ia dalam deretan tim pengumpul al-Qur’an versi kalangan elite pemerintah Khalifah Umar dan Ustman yang diketuai oleh Zaid. Padahal seperti yang dikatakan oleh Ibn Abu Daud penulis kitab Mashahif, Ibn Mas’ud lebih dahulu masuk Islam sebelum Zaid lahir. Dan yang lebih penting adalah keberadaan mushaf Ibn Mas’ud sudah populer ketika mushaf versi Utsmani belum muncul.
Abdullah bin Abbas
Dalam peta perkembangan kajian al-Qur’an, nama Abdullah bin Abbas mempunyai peranan penting dan menduduki posisi yang sangat terkemuka. Hal tersebut terlihat dari figurasi dirinya sebagai “tarjuman al-Qur’an” (penafsir al-Qur’an terbaik), ia juga dijuluki sebagai “al-habr al-Ummah” (intelektual ummat). Yang menarik dari sosok Ibn Abbas ini adalah ia pernah di do’akan oleh Rasulullah: “Ya Allah, anugrahilah dia pemahaman dalam urusan agama dan ajarilah ia takwil).
Bahkan menurut riwayat, Ibn Abbas telah membuat satu kodifikasi atas al-Qur’an yang menurut beberapa ahli mempunyai kualitas yang sama dengan mushaf Ibn Mas’ud, akan tetapi ketenaran akan alimnya dan garansi yang diberikan oleh Rasul ternyata tidak berdampak besar terhadap periode awal pentadwinan teks al-Qur’an.
Nama-nama yang disebutkan di atas di antara sahabat-sahabat Nabi yang masyhur dan mempunyai kualitas lebih atau peling rendah sebanding dengan Zaid sendiri khususnya tentang penguasaan al-Qur’an. Meskipun sebanarnya banyak sahabat-sahabat lain yang juga terkenal bahkan mempunyai kodifikasi musfah sebelum munculnya mushaf Utsmani, diantaranya: Salim ibn Ma’qil (juga mendapatkan rekomendasi dari rasul perihal pencatatan wahyu dan pengajaran al-Qur’an kepada kaum muslimin), Ubai bin Ka’b (sekretaris Nabi ketika ia di Madinah), Abu Musa al-Asy’ari, Ummu Salamah, Ibn Zubayr, Ana ibn Malik, dan sahabt-sahabat lainya.
Alasan penunjukan Zaid kerena ia masih berusia muda, mungkin bias dipahami dari sisi politik. Abu Bakar mungkin memandang bahwa anak muda seperti Zaid bisa diharapkan ketaatan atau kepatuhan terhadap perintah Khalifah, ketimbang dari para pejabat senior yang keras kepala.
Yang lebih menarik lagi adalah bahwa Zaid yang pada masa Khalifah Utsman menduduki jabatan penting adalah pendukug setia Utsman, bahkan ketika Khalifah ketiga ini terbunuh, Zaid tetap dalam posisi pendukung Umaiyah—yang segaris keturunan dengan Utsman—dan menolak bersumpah setia kepada Ali.
Disamping itu semua anggota komisi pentadwinan al-Qur’an yang diketuai oleh Zaid juga orang-orang terdekat penguasa, seperti; Abdullah ibn Zubayr yang mrupakan anak tiri Khalifah Umar, Sa’id ibn al-‘Ash yang merupakan keturunan dari keluarga Umaiyah, ia pun menjadi gubernur Kuffah setelah pemecatan Walid bin Uqbad oleh Khalifah Utsman.
Dari data sejarah di atas, ternyata pertimbangan politik memainkan peran dalam pembentukan komisi pentadwinan al-Qur’an oleh kalangan elite penguasa pada waktu itu.
Hadirnya tulisan ini bukan berarti menggugat atau mempertanyakan kembali mengenai keotentikan al-Qur’an yang sudah lama kita pegang dan kita yakini. Tulisan ini hanya sekedar menyajikan realita sejarah yang tak mungkin kita pungkiri karena bagaimanapun sejarah diseputar kodifikasi al-Quran itu memang pelik, benar-benar terjadi dan harus kita ketahui sebagai sebuah ilmu. Wallahu’alam



Dimuat di Radar Lampung Jum’at 6 Oktober 2006

** Hermeneutika

Hermeneutika Alqur’an KH. Nawawi Banten


Judul : Hermeneutika Alqur’an Ala K.H Nawawi Banten; Analisis Terhadap Tafsir Marah Labid Karya KH. Nawawi Banten
Penulis : Dr. Mamat S. Burhanuddin
Penerbit : UII Press, Yogyakarta
Terbit : Cetakan I, April 2006
Tebal: xviii + 232 Halaman



Nama KH Nawawi Banten mungkin sudah tidak asing lagi bagi sebagian umat Islam Indonesia. Bahkan keagungan namanya sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi'i Imam Nawawi seorang pen-syarah Shahih Muslim (w.676 H/l277 M).

Nama lengkapnya adalah Syeikh Muhammad Nawawi bin Umar ibnu Arabi bin Ali al-Jawi al-Bantani. Beliau adalah anak sulung seorang ulama Banten, lahir pada tahun 1230 Hijrah/1814 Masehi di Banten dan wafat di Mekah tahun 1314 Hijrah/1897 Masehi.
Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan. Di setiap majlis ta'lim, pesantren, karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim keilmuan yang dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yang berada di bawah naungan NU.
Di kalangan komunitas pesantren, Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati (the great scholar). Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila KH. Hasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya.
Karena itulah, keagungan nama besar KH. Nawawi Banten mendorong para peneliti ramai mengkajinya. Berbagai kajian dari sudut analisa yang berbeda telah dihadirkan. Misalnya;
C. Snouck Hurgronje “Mekka in The Letter Part of the Nineteenth Century”. Dalam buku ini—sebagai rujukan awal mengenal KH Nawawi Banten—, Snouck menguraikan kehidupan KH Nawawi selama di Makkah.
Chaidar, “Sejarah Pujangga Islam, Syekh Nawawi al-Bantani-Indonesia”. Dilihat dari isinya, buku ini hanya menyoroti sisi biografi dan pengenalan karya-karya dari KH. Nawawi Banten. Penelitian lainnya, Srimulyati dalam karya Tesisnya di Mc Gill University, berjudul “Sufism in Indonesia; An Analysis of Nawawi al-Bantani’s Salalim al-Fudola”. Dalam buku ini Sri Mulyati berkesimpulan bahwa KH Nawawi Banten memiliki pandangan tasawuf yang tidak terpengaruh oleh aliran heterodoks yang sebelumnya tengah mendominasi wacana tasawuf di Indonesia saat itu. Ia (Nawawi) lebih berperan sebagai “pelestari” tasawuf Syar’i yang dikembangkan oleh al-Ghazali.
Ahmad Asnawi “Pemahaman Syekh Nawawi Tentang Ayat Qadar dan Jabbar dalam Kitab Tafsirnya “Marah Labid”; Suatu Studi Teologi”. Dalam disertasi-nya, Asnawi hanya melihat dari sisi penafsiran teologisnya. Ketika menafsirkan ayat-ayat teologi, menurut Asnawi, K H Nawawi terpengaruh oleh gaya penafsiran Mu’tazilah yang rasionalis. Argumentasi yang disajikan adalah bahwa referensi yang dipakai oleh KH Nawawi Banten secara dominan memakai kitab tafsir bi al-Rayi seperti Tafsir Mafatih al-Ghayb karya al-Razi.
Kemudian Tihami “Pemikiran Fiqh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani”. Dalam disertasi-nya, Tihami mencoba mengungkap sisi pandangan fiqh dari KH Nawawi Banten. Tihami menyimpulkan bahwa sebagai mujtahid Mazhab, Nawawi konsisten dengan metodologi fiqh Imam Syafi’i.
Karya disertasi lainnya yang mengulas KH Nawawi Banten adalah Mustamin Muhammad Arsyad, berjudul “al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi wa Juhuduhu fi Tafsir al-Qur’an al-Karim fi Kitabihi “al-Tafsir al-Munir Lima’alim al-Tanzil”. Dalam disertasinya, Mustamim mengupas aspek keseriusan dari KH Nawawi Banten dalam menulis karya tafsirnya. Dia membuktikan dari berbagai aspek; baik itu metode, fiqh dan tasawufnya.
Buku terbaru yang juga mengkaji sudut pemikiran KH Nawawi Banten adalah buku berjudul “Yahudi Dan Nasrani Dalam Al-Qur’an; Hubungan Antar Agama Menurut Syaikh Nawawi Banten” karya Asep Muhammad Iqbal. Buku yang pada mulanya adalah sebuah Tesis yang ia pertahankan di Universitas Leiden mengurai seputar pemikiran KH Nawawi tentang konsep Yahudi dan Nashrani.
Kajian atas KH Nawawi Banten ternyata tidak berhenti sampai disitu, KH Nawawi Banten ibarat batu permata yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda.
Karya terbaru yang juga mengulas sisi lain pemikiran KH Nawawi Banten telah dihadirkan oleh anak negeri ini. Ia adalah Mamat S Burhanuddin—lulusan terbaik UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta tahun 2003. Buku ini—yang pada mulanya adalah disertasi—berjudul “Hermeneutika Alqur’an Ala K.H Nawawi Banten; Analisis Terhadap Tafsir Marah Labid Karya KH. Nawawi Banten”. Karya ini terbilang menarik, karena sudut analisa yang disajikan berbeda dengan buku-buku lainnya. Buku ini lebih menghususkan kajian diseputar hermeneutika dalam kitab tafsir Marah Labid.
Disamping itu, karya ini mengulas sejarah tradisi awal hermeneutika Alqur’an di Indonesia yang dimulai dari Trajuman al-Mustafid karya Abd Rauf al-Singgili seorang ulama sufi dari Aceh pada pra abad 20 sampai perkembangan hermeneutika al-Qur’an abad 20.
Dari hasil penemuan Mamat S Burhanuddin, dikatakan bahwa tafsir Marah Labid karya KH Nawawi Banten memiliki karakteristik hermeneutika tersendiri sesuai dengan ciri sosio-historis dimana ia hidup. (h. 213)
Jika mengacu pada konsep Richard E. Palmer yang membagi hermeneutika ke dalam dua katagori yakni Understanding dan Hermeneutical Problem, maka menurut Mamat, tafsir Marah Labid cenderung mengarah pada upaya pemahaman teks ayat Alqur’an yang sedikit banyak dipengaruhi unsur subjektivitasnya sebagai seorang guru yang moderat, intelektual yang tengah merespon perkembangan zaman, seorang mujaddid tanpa menafikan ulama salaf, seorang yang kecewa dengan kondisi politik ditanah airnya. Hermeneutika Nawawi telah menempatkan Alqur’an sebagai teks terbuka yang siap berdialog dengan konteks masyarakat pembaca sehingga bermakna bagi umatnya. KH. Nawawi berhasil menghadirkan Alqur’an “hidup” dalam irama problema kehidupan manusia di masanya. (h. 214).
Konsep hermeneutika dari tafsir Marah Labid yang menarik menurut Mamat adalah adanya pengakuan pluralisme pemahaman. Menurut KH Nawawi, perolehan hikmah nadzariyah dan amaliyah yang berbeda sesuai dengan usaha setiap pembaca teks Alqur’an memberi implikasi perbedaan pemahaman. Mencari makna yang benar-benar objektif menurut KH Nawawi sulit didapatkan oleh seorang penafsir, karena makna objektif hanya dapat diketahui oleh pemilik teks yakni Allah swt semata. Karena itu, yang berhak men-tafsir-kan hanya Allah. Manusia hanya dapat berspekulasi memahami Alqur’an melalui simbol teks bahasanya.
Dilihat dari objek kajiannya, buku ini sangat menarik yakni mengulas model hermeneutika tafsir Marah Labid. Akan tetapi, sangat disayangkan, buku ini tidak melakukan elaborasi secara maksimal bagaimana pengaruh hermeneutika dari tafsir Marah Labid dalam dunia pesantren. Objek kajian yang terakhir ini dirasa perlu, mengingat karya tafsir ini dijadikan rujukan penting dan utama dalam dunia pesantren.
Disamping beberapa kekurangan di atas, buku ini mempunyai beberapa kekurangan lain terutama dalam masalah editing yang kurang bagus, peletakan tanda baca yang kurang pas. Sangat disayangkan, buku yang begitu bagus ini harus cacat karena hal yang sifatnya tidak substansial akan tapi mengganggu proses pemahaman.
Akan tetapi, terlepas dari itu semua, bagaimanapun kehadiran buku ini patut disambut baik, karena dengan begitu pengenalan seputar sosok dan pemikiran KH Nawawi Banten akan semakin sempurna. Selamat membaca !

K. Muhammad Hakiki
Peneliti di Lembaga Penelitian, Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat (LP3M), Universitas Mathla’ul Anwar.

** Pluralisme

Me-realitas-kan Pluralisme; Belajar Dari Mohamed Fathi Osman




Judul : Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan; Pandangan Alqur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban
Judul Asli : The Childern of Adam; An Islamic Perspective on Pluralism
Penulis : Mohamed Fathi Osman
Penerbit Paramadina, Jakarta
Terbit : Cetakan I, November 2006
Tebal: ivix + 134 Halaman


“Aku lebih berhak atas Isa putra Maryam di dunia dan akhirat.
Para Nabi adalah satu ayah dari ibu yang berbeda-beda ”
(HR: Bukhari)

Pernyataan Nabi di atas jika di renungkan nampaknya cukup bagi kita—meskipun tanpa melongok teks-teks lain—untuk menyadarkan rasa keangkuhan yang selalu menyelimuti benak dan alam pikiran yang selama ini menganggap yang beda—baik itu dalam masalah keyakinan, pendapat atau hal lainnya –sebagai yang salah, sesat. Tapi kenapa, seakan-akan kita tak percaya terhadap ucapan suci Tuhan sendiri atau Nabi-Nya yang selalu mengajarkan akan pentingnya hidup rukun, damai tanpa ada permusuhan. Mungkinkah kita termasuk dalam katagori orang munafik, me-wirid-kan sabda tuhan, akan tetapi mengabaikan pesannya?.

Konflik-konflik yang muncul dtengarai penyebabnya adalah faktor agama, agama dijadikan sebagai “kambing hitam” yang memunculkan berbagai macam konflik, sehingga tidak salah jika seorang tokoh beraliran sosialis yakni Karl Mark mengatakan bahwa “religion is the opium of the people” (agama adalah candu masyarakat) artinya bahwa agamalah yang selalu membuat terlena dan memunculkan permasalahan di masyarakat. Dari klaim di atas muncul pertanyaan: betulkah semua itu (konflik) terjadi disebabkan oleh agama? Kalau memang betul setiap agama membawa pesan-pesan perdamaian lalu siapa yang salah, agama atau penganut agama sendiri?

Kalau agama yang dijadikan sebagai penyebab munculnya konflik—rasanya tak mungkin—masa Tuhan sebagai sosok yang kita sembah dan dimintai petunjuknya mencintai kerusakan. Lantas, kalau begitu mungkin penganutnya, yang sok tau, sok benar, sok merasa penyambung “lidah” Tuhan sehingga dengan seenaknya mengumbar kata-kata tanpa pertanggung jawaban. Perang suci-lah, jihad-lah, dan tetek bengek lainnya.

Menarik merenungkan ungkapan Charles Kimball, dalam bukunya “Kala Agama Jadi Bencana”. Ia menyebutkan setidaknya ada lima hal atau tanda yang bisa membuat agama menjadi busuk dan korup (rusak) ditangan penganutnya.

Pertama, bila suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya. Bila hal ini terjadi, agama tersebut akan membuat apa saja untuk membenarkan dan mendukung klaim kebenarannya.

Kedua, ketaatan buta kepada pemimpin dan keagamaan mereka. Ketiga, adalah bahwa agama mulai gandrung merindukan zaman ideal, lalu bertekad merealisasikan zaman tersebut ke dalam zaman sekarang. Memang agama pada hakikatnya juga merupakan semacam harapan bahwa di masa depan para pemeluknya akan memperoleh dan mengalami sesuatu yang ideal. Zaman ideal itu menurut Kimball adalah berlawanan dengan zaman sekarang, karena pemeluk agama sekarang hidup penuh dosa-dosa, kesombongan, khayalan, kelalaian dan kesia-siaan.

Keempat, apabila agama di tangan penganutnya membenarkan dan membiarkan terjadinya "tujuan yang membenarkan berbagai cara". Kelima, agama dengan mudah menjadi korup karena menjadikan komponen religius--sebenarnya hanyalah sarana--menjadi tujuan. Penemuan Kimball bisa dibenarkan karena itulah yang terjadi akhir-akhir ini terutama dinegara kita—Indonesia.

Diakui atau tidak, fenomena yang terjadi akhir-akhir ini adalah banyak muncul pertikaian baik itu dilingkungan intern atau ekstern agama. Hal tersebut bisa dilihat dengan berbagai lahirnya aliran-aliran, faham-faham yang terkadang memunculkan konflik yang berkepanjangan, seperti misalnya perpecahan yang berkaitan tentang theologi ditubuh agama Islam, misalnya; antara Syi’ah dan Sunni, penyesatan Ahmadiyah, atau berbagai konflik lainnya seperti isu SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) yang akhir-akhir ini terjadi ditanah air kita.

Berbagai cara dan solusi telah ditawarkan untuk meredam konflik itu; ada yang melalui tulisan—baik buku atau tuisan ringkas dimedia—, dialog agama, seminar, dan cara lainnya.

Cak Nur dan Fathi Osman berbicara pluralisme
Diantara solusi yang ditawarkan adalah pentingnya paham pluralisme. Wacana tentang pluralisme kian terus bergulir di Indonesia, dan wacana ini kerapkali dikaitkan dengan kerukunan antar-umat beragama. Berbagai macam tulisan telah hadir baik itu yang menerima maupun yang menolaknya. Diantara mereka yang menerima dan ikut serta mengkampanyekan paham ini adalah Cak Nur, dan Mohamed Fathi Osman (Guru Besar pada Center for Muslim-Christian Understanding, Georgetown University, Washington DC) dalam bukunya “The Childern of Adam; An Islamic Perspective on Pluralism” yang hadir dihadapan kita ini.

Menarik untuk membincangkan gagasan pluralisme kedua tokoh ini, mengingat, kedua tokoh ini sangat intens mengkampanyekan pentingnya pluralisme sebagai langkah solusi atas berbagai konflik yang muncul.

Gagasan pluralisme Cak Nur yang dikenal sebagai “Bapak Bangsa” sering disebut oleh kalangan penganut filsafat parenial sebagai “Kesatuan transenden Agama-agama”. Semenjak kehadirannya, gagasan Cak Nur ini telah menjadi isu nasional dan telah memicu fatwa MUI untuk “mengharamkan” pemikiran pluralisme. Fatwa itu memang mengherankan, padahal—yang dimaksud Cak Nur— sebenarnya dasar teologis pandangan kesatuan dan kesamaan agama-agama itu ada pada tingkat transenden (esoteric atau hakikat), bukan pada tingkat imanen (syari’at).

Akan tetapi “nasi sudah menjadi bubur” paham pluralisme sudah kadung diharamkan, sehingga kesan yang muncul di masyarakat, pluralisme dianggap sebagai paham yang mencampuradukan agama-agama. Dan hal ini, bagi sebagian orang dapar merusak kemurnian agama tersebut.

Kondisi ini bagi Cak Nur sangat disayangkan, karena menurutnya, jika saja bangsa Indonesia mau memahami pluralisme dengan baik, dan menanamkan dalam kesadaran kaum Muslimin yang merupakan mayoritas penghuni bangsa ini, maka akan banyak segi manfaatnya yang dapat diambil dalam uasaha transformasi sosialnya dalam mewujudkan demokrasi, keadilan. Cak Nur mengatakan;

“Pluralisme tidak dapat hanya dipahami dengan mengatakan bahwa masyarakat kita adalah majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (the keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam kitab suci bahkan disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia” sebagaimana sabda Allah dalam (QS: 2: 251)”.
Hal senada pun diungkapkan Fathi Osman dalam buku ini, ia mengatakan tentang pluralisme “sebagai bentuk kelembagaan dimana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan, maknanya lebih dari sekedar toleransi moral atau koeksistensi pasif. Toleransi adalah persoalan kebiasaan dan perasaan pribadi, sementara koeksistensi adalah semata-mata penerimaan terhadap pihak lain, yang tidak melampau ketiadaan konflik. Pluralisme, di satu sisi, mensyaratkan ukuran-ukuran kelembagaan dengan legal yang melindungi dan mensyahkan kesetaraan dan mngembangkan rasa persaudaraan di antara manusia sebagai pribadi atau kelompok, baik ukuran-ukuran itu bersifat bawaan ataupun perolehan. Begitu pula, pluralisme menuntut suatu pendekatan yang serius terhadap memahami pihak lain dan kerjasama yang membangun untuk kebaikan semua. Semua manusia seharusnya menikmati hak-hak dan kesempatan-kesempatan yang sama, dan seharusnya memenuhi kewajiban-kewajiban yang sama sebagai warga negara dan warga dunia. Setiap kelompok seharusnya memiliki hak untuk berhimpun dan berkembang, memelihara identitas dan kepentingannya, dan menikmati kesetaraan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam negara dan dunia Internasional. (h. 2-3).
Dari ungkapan di atas, jelas sekali antara Cak Nur dan Fathi Osman sama-sama menegaskan bahwa pluralisme adalah bagian penting dari peradaban yang secara teologi didasarkan pada konsep kesamaan (common platform atau kalimatun sawa’) agama-agama.
Hal menarik—yang dapat dibaca—dari buku ini adalah sajian Fathi Osman tentang masyarakat Islam tempo dulu yang justru menerima dan mempraktekan prilaku pluralis bukan saja terhadap mereka yang berpaham beda, akan tetapi, kepada mereka yang berkeyakinan tak sama seperti kepada masyarakat Yahudi, Nashrani, dan kepercayaan-kepercayaan lainnya. Ia menyebutkan;
“Non-muslim di wilayah muslim menjalankan profesinya dalam kegiatan ekonomi mereka dengan bebas. Mereka ada yang menjadi penukar uang, pengusaha, tuan tanah dan tabib. Sebagian penukar uang dan para penghubung di Syiria adalah orang Yahudi, sementara kebanyakan tabib dan juru tulis adalah orang-orang Yahudi. Yahudi-yahudi lain mencari nafkah hidup sebagai tukang jahit, tukang celup, dan perajin lainnya. Pemimpin Nashrani di Bagdad adalah tabib Khalifah, dan masih banyak Yahudi yang mendapatkan posisi di istana Khalifah. Bahkan Khalifah Fatimiah al-Aziz mempunyai seorang menteri Nashrani dan menunjuk seorang Yahudi sebagai Gubernur di Siria”. (h. 63-64).
Dalam lapangan dunia pengetahuan dan peradaban pun dapat kita contoh bagaimana umat Islam, Yahudi, Nashrani saling hidup damai. Fathi Osman menceritakan;
“Para Khalifah mengirimkan utusan khusus ke Konstansinopel untuk mengkopi manuskrip-manuskrip Yunani yang penting untuk tujuan penerjemahan mereka ke dalam bahasa Arab. Berbagai kasus tercatat di mana para duta besar Khalifah membuat ketentuan-ketentuan dalam risalah-risalah damai dengan Byzantium untuk menyerahkan manuskrip-manuskrip Yunani tertentu kepada bangsa Arab. Dapat ditegaskan bahwa akademi al-Makmun di Baghdad adalah kebangkitan kembali yang nyata yang pertama dari atmosfer yang dipelajari di museum Alexandria yang telah lama hancur. Selama kira-kira lima abad, pemikiran bangsa Arab mencapai ketinggian yang di luar dugaan dan kita dapat melihat dua puncak budaya Islam, di wilayah Timur di Baghdad dan wilayah Barat di Andalusia memiliki pengaruh pada kemajuan dunia di berbagai departemen studi-studi seperti ilmu-ilmu pasti, astronomi, kedokteran, seni, dan lain sebagainya”. (h. 69-70)
Penemuan Fathi Osman tersebut diamini oleh Bernard Lewis yang pernah menulis bagaimana sejarah kerjasama yang sangat beradab yang dilakukan antara kaum muslimin dan orang-orang Yahudi dan Nashrani di Andalusia (Spayol). Ia menambahkan bahwa tidak ada kerjasama yang harmonis, di dunia Barat pada waktu itu, juga di dunia Islam pada masa kemudian—ketika nilai-nilai pluralisme mulai memudar dalam pandangan muslim paska peradaban klasik. (h. xv).
Pluralisme sebagai agama baru ?
Akan tetapi, sangat disayangkan, gagasan yang begitu mulya dan mendapat justifikasi teologis agama-agama harus terabaikan, bahkan yang lebih ironis lagi, gagasan tersebut harus mendapatkan kritikan dan perlawanan. Mereka menganggap pluralisme adalah “racun” agama kalau tidak dikatakan penyakit bagi agama karena akan merusak sendi-sendi fundamental dari agama.
Diantara mereka yang melakukan kritik-an terhadap gagasan pluralisme adalah Anis Malik Taha, yang menulis Disertasi “Ittijaahat al-Ta'addudiyyah al-Diniyyah wa al-Mauqif al-Islamiy minha”. Dalam bukunya tersebut, Ia mengkritik kaum pluralis yang katanya menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tapi justru mereka sendiri tidak toleran karena menafikan kebenaran ekslusif sebuah agama. Mereka menafikan klaim "paling benar sendiri" dalam suatu agama tertentu, tapi justru pada kenyataannya kelompok pluralis-lah yang mengklaim dirinya paling benar sendiri dalam membuat dan memahami statement keagamaan (religious statement). Ia mengibaratkan kaum pluralis layaknya seperti wasit dalam pertandingan sepak bola, tapi dalam waktu yang sama wasit yang seharusnya memimpin pertandingan malah ikut main. Dan ini kan repot jadinya. Mereka mestinya tahu aturan dan batasan-batasan main yang benar, kalau memilih jadi wasit, jadilah wasit yang adil, dan kalau memilih jadi pemain, ya jadilah pemain yang benar.
Atas dasar itu, maka Anis menyimpulkan bahwa Pluralisme agama adalah agama baru, dimana sebagai agama dia punya tuhan sendiri, nabi, kitab suci dan ritual keagamaan sendiri. Sebagaimana humanisme juga merupakan agama, dan tuhannya adalah nilai-nilai kemanusiaan, seperti yang dikatakan August Comte. Dan dalam hal ini John Dewey (seorang filosof Amerika) mengatakan demokrasi adalah agama dan tuhannya adalah nilai-nilai demokrasi.
Terlepas dari kritikan, fatwa haram MUI dan bantahan di atas, bagaimanapun, gagasan pluralisme harus tetap disuarakan, mengingat gagasan ini tidak berangkat dari ruang hampa atau kosong. Gagasan ini tidak hanya realistis atas kondisi kemajemukan di dunia ini, akan tetapi juga, gagasan pluralisme mempunyai nilai-nilai justifikasi dari kitab suci. Tidak ada solusi yang dicapai dengan kekerasan.
Sebagai kata akhir, dengan hadirnya buku ini sebagai cenderamata dari Milad ke-20 Paramadina menarik untuk di baca. Disamping itu, di usianya yang ke 20 tahun, diharapkan Paramdina sebagai “motor” penggerak, penyuara gagasan-gagasan yang humanis, inklusif, pluralis, dan pencerdas generasi bangsa tak bosan-bosannya untuk terus menyuarakan gagasan yang begitu mulya itu. Dengan begitu, dihrapkan Islam yang kini sedang terpuruk dengan berbagai kecaman negatif seperti; redikal, ekslusif, garis keras, teroris, akan terobati. Semoga !,. Wallahu a’lam.




K. Muhammad Hakiki
Santri Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta







** Perlindungan Hutan

Perlindungan Hutan; Wujud Bela Negara

Oleh:
K. Muhammad Hakiki, MA
Pemerhati Lingkungan, tinggal di Banten

Seluruh alam raya beserta isinya diciptakan oleh Tuhan hanyalah untuk manusia. Karena alam raya adalah merupakan wahyu Tuhan yang tidak tertulis di samping wahyu yang diturunkan secara tertulis yakni kitab suci. Keberadaan wahyu tuhan itu (baca: alam) hendaklah kita pelihara dari hal-hal yang menyimpang laksana kita memelihara kitab suci sebagai amanat Tuhan.

Kehidupan manusia dengan seisi alam ini tak dapat dipisahkan karena kesemuanya saling keterkaitan. Jika antara salah satu pihak mengalami gangguan, maka makhluk lainnya yang berada dalam lingkungan itu ikut merasakan gangguan tersebut. Karena Tuhan menciptakan alam ini dengan keseimbangan dan keserasian. Karena itu menjaga keseimbangan dan keserasian itu adalah wajib hukumnya agar tidak mengakibatkan kerusakan.

Salah satu keseimbangan yang harus di jaga adalah hubungan antara manusia dengan keberadaan hutan (baca: pohon). Karena Hutan adalah sekumpulan pepohonan yang mampu menghasilkan kayu, buah, untuk keberlangsungan hidup manusia. Jika manusia tak bisa menjaga hutan dengan baik, maka, ketimpangan yang akan mengakibatkan kerugian antara keduanya tinggallah menunggu waktu.

Akan tetapi nampaknya kita tidak menyadari akan ketentuan saling ketergantungan di atas. Pemenuhan kebutuhan yang sifatnya sesaat selalu menjadi pilihan utama untuk dilakukan. Kita tak pernah berfikir bahwa keberlangsungan hidup manusia di masa yang akan datang adalah tergantung dengan apa yang dilakukan oleh manusia yang hidup di masa kini. Keturunan kita yang akan lahir dan hidup di masa yang akan datang akan mengalami kesengsaraan jika saja kita yang hidup di masa kini tak bisa mempersiapkan kebutuhan hidup mereka dengan menjaga keseimbangan alam itu, begitu sebaliknya.

Tapi apa yang terjadi, nampaknya kebanyakan kita lebih memilih kenikmatan sesaat dengan melakukan perusakan tanpa memperdulikan nasib keturunan kita kelak. Hampir disetiap daerah usaha penggundulan hutan nampaknya menjadi tradisi atau bahkan "ritual" wajib untuk dilakukan dengan sejuta alasan. Konsekwensi dari itu semua jika delakukan dengan tanpa perhitungan maka dengan tidak menunggu waktu lama musibah dalam bentuk bencana alam, seperti; banjir, longsor, gempa, dan sebagainya nampaknya semakin betah menghinggapi negeri tercinta ini.

Upaya untuk menjaga kelestarian alam Indonesia dalam hal ini menjaga keutuhan hutan tidak hanya diamanatkan kepada rakyat Indonesia yang tinggal disekitar areal hutan, akan tetapi juga kepada kita semua dan pihak pemerintah dalam hal ini Departemen kehutanan juga ikut serta menjaga kelestarian hutan itu. Hutan bukan hanya milik pribadi, kelompok, suku, akan tetapi milik bangsa Indonesia dalam hal ini rakyat Indonesia.

Dalam usaha menjaga kelestaria hutan Indonesia, pihak pemerintah haruslah lebih tegas baik dalam usaha menjaga kelestarian hutan maupun bagi mereka (individu, kelompok, aparatur pemerintah) yang mencoba mengganggu dan merusak keseimbangan ekosistem alam. Usaha kearah itu nampaknya sedikut menuai harapan dengan dikeluarkannya kebijakan dari Departemen Kehutanan yang menetapkan payung hukum yang berisi lima kebijakan prioritas pembangunan kehutanan 2005-2009 sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 456/Menhut-VII/2004, yaitu; pertama, Pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu ilegal; kedua, revitalisasi sektor kehutanan khususnya idustri kehutanan; ketiga,rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan; keempat, pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan; kelima, pemantapan kawasan hutan.

Mudah-mudahan dengan adanya kebijakan tersebut pihak pemerintah betul-betul mengaplikasikannya dalam dunia nyata, tidak hanya sebatas teori atau janji belaka. Berbagai usaha yang sifatnya merugikan negara dan orang banyak; siapapun dia hendaknya betul-betul mendapatkan ketentuan hukum yang mempunyai efek jera. Karena jika tidak, aparatur penegak hukum yang menangani hal itu, laksanana seperti pencuri yang mencuri dirumahnya sendiri atau pembunuh yang membunuh anaknya sendiri.

Menjaga hutan; Wujud Bela Negara

Kewajiban untuk bela negara kerapkali selalu dikaitkan dengan militer. Mereka yang selalu siap untuk mengangkat senjata adalah orang yang paling berhak untuk selalu siap membela negara. Padahal kalau kita sadari bahwa tidak hanya itu, cinta tanah air dalam bentuk mengisi hari kemerdekaan dengan menjaga keutuhan tanah airnya seperti menjaga hutan adalah juga salah satu bentuk wujud dari bela negara. Tugas ini tidak hanya dibebankan pada mereka yang hidup berada di sekitar areal hutan, akan tetapi juga pada seluruh rakyat Indonesia. Karena seluruh isi alam ini termasuk di dalamnya adalah pepohonan merupakan sarana untuk keberlangsungan hidup manusia.

Wujud bela negara yang bisa dilakukan oleh kita tidak hanya menangkap para pelaku tindak kejahatan bidang kehutanan, seperti illegal logging atau illegal trade, akan tetapi juga menjaga isi dan keutuhan luas wilayah hutan yang berbatasan dengan wilayah tetangga adalah juga merupakan wujud bela negara lainnya sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang 1945 pada pasal 33 ayat (1) yang menyatakan bahwa "hutan adalah merupakan kekayaan alam bangsa Indonesia yang dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat".

Sesuai dengan pasal tersebut, luas wilayah hutan negara Indonesia yang harus di jaga dari kerusakan mencakup 120.35 juta Ha (62% dari daratan Indonesia) yang terdiri dari hutan lindung seluas 33,52 juta Ha, hutan produksi 66,33 juta Ha, dan hutan konservasi 20, 50 juta Ha.

Untuk mengatasi kerusakan hutan, Departemen Kehutanan telah mengambil langkah-langkah nyata yang strategis yang dituangkan dalam lima kebijakan prioritas di atas. Berbagai macam bentuk upaya rehabilitasi telah dilakukan seperti; Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), Gerakan Indonesia Menanam, Program Kecil Menanam Dewasa Memanen (KMDM) sebagai upaya untuk mempercepat gerakan Gerhan.

Dengan beberapa program di atas dan tentunya tidak sebatas itu, diharapkan usaha pelestarian di atas betul-betul terbukti. Karena bagaimanapun mengembalikan kondisi hutan seperti sediakala betul-betul membutuhkan waktu dan kesadaran yang tidak sedikit. Usaha rehabilitasi hutan adalah merupakan program yang sangat mendesak untuk di lakukan mengingat kondisi hutan yang dimiliki bangsa Indonesia saat ini dalam kondisi sangat yang memperihatinkan. Lihat saja dari data menteri kehutanan pada tahun 2000 jumlah kerusakan hutan Indonesia mencapai 59 juta Ha dengan Laju kerusakan hutan pada periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta Ha/pertahun, sedangkan pada awal era reformasi saja ( 1997-2000) kondisi itu semakin di perparah menjadi 2,8 juta Ha/pertahun.

Jika kondisi di atas terus dibiarkan, maka bangsa Indonesia yang dikenal sebagai daerah tropis, sejuk, segar, damai, terkenal karena kekayaan hayati dan nabati tinggallah menjadi kenangan. Bahkan lebih parah dari itu, mungkin saja bangsa Indonesia tinggal menjadi nama.

Karena itu tak ada cara lain yang bisa dilakukan untuk mencegahnya selain menumbuhkan sikap kesadaran bagi kita akan saling memiliki dan mencintai hak milik kita ini (baca: hutan) yang merupakan kebanggaan negeri kita.

Tidak hanya itu, usaha partisipasi aktif—dalam dunia nyata—seluruh komponen baik itu masyarakat maupun pemerintah di dalam melakukan pelestarian dan perlindungan hutan. Dengan cara itu, maka yakinlah kawasan hutan yang kita miliki ini akan tetap lestari bukan hanya sebagai bekal hidup kita di masa kini saja akan tetapi juga dapat dijadikan sebagai warisan bagi keturunan-keturunan kita di kemudian hari, mudah-mudahan.Wallahu a'lam.

Tulisan ini pernah dimuat di kolom opini surat kabar Fajar Banten dalam rangka memperingati hari Hutan 2007