Translate

Minggu, 08 November 2009

** Tarekat Qadiriyah dan Naqshabandiyah

Perkembangan
Tarekat Qadiriyah dan Naqshabandiyah
Di Pandeglang Banten

By. Muhammad Hakiki, MA

Tarekat Qadiriyah dan Naqshabandiyah (TQN) adalah merupakan tarekat asli racikan ulama asal Nusantara, beliau adalah Syaikh Ahmad Khatib Sambas. Sambas adalah nama sebuah kota di sebelah utara kota Pontianak, Kalimantan. Pada usia sembilan belas tahun beliau pergi ke Makkah untuk menuntut ilmu. Syaikh Ahmad Khatib Sambas menjadi ulama besar di Makkah dan mempunyai banyak murid terutama murid-murid yang berasal dari Kawasan Asia khususnya Asia Tenggara. Di antara murid kesayangan beliau yang kemudian menggantikan posisi gurunya untuk menyebarkan TQN di Nusantara adalah Syaikh ’Abd al-Karim Banten (lahir 1840). Beliau adalah ulama kelahiran Kampung Lempuyang dekat dengan Kampung Tenara tempat kelahiran ulama besar yakni Syaikh Nawawi al-Jawi.
Meskipun Syaikh ’Abd Karim ditugasi sebagai wakil oleh Syaikh Khatib Sambas di Nusantara khususnya Banten, akan tetapi ia tak cukup lama tinggal di tempat kelahirannya dan pindah kembali ke Makkah sampai beliau wafat. Kepindahan belia menurut sebagian peneliti disebabkan beliau dipanggil oleh gurunya, akan tetapi menurut hemat penulis kemungkinan dikarenakan ketatnya pengawasan Belanda atas perkembangan TQN di Banten. Karena itu ia menunjuk khalifah atau wakil beliau di wilayah Banten. Yang kemudian ditunjuk oleh beliau adalah Syaikh Asnawi Caringin. Di tangan Syiakh Asnawi Caringin-lah kemudian TQN berkembang lebih pesat. Estafet perkembangan TQN kemudian dilanjutkan oleh putranya yakni Kiyai Kazim yang kemudian mengembangkan TQN di daerah Menes. Setelah Kiyai Kazim, kemudian diteruskan oleh putranya yakni Kiyai Ahmad.
Kiyai Asnawi Caringin nampaknya tidak hanya menunjuk putranya sebagai khalifah (wakil), akan tetapi ia juga menunjuk khalifah lainnya di Cilegon yakni Kiyai ’Abd al-Latif bin ’Ali dari Pesantren Cibeber yang kemudian dilanjutkan oleh Kiyai Muhaimin. Setelah wafatnya Syaikh Asnawi Caringin, maka untuk wilayah Banten Syaikh TQN kemudian dipegang oleh Kiyai Armin dari Cibuntu, Pandeglang. Dilihat dari garis keturunannya, Kiyai Armin adalah merupakan keponakan dari Syaikh Asnawi Caringin. Pada masa hidupnya, beliau pernah mengunjungi Makkah dan Baghdad untuk menuntut ilmu. Pada masanya, beliau menjadi ulama besar di Pandeglang.
Setelah wafatnya Kiyai Armin Cibuntu, tidak diketahui secara jelas kepada Siapa beliau memberikan mandat untuk melanjutkan mata rantai TQN. Yang diketahui secara jelas mata rantai perkembangan TQN hanya melalui jalur Kiyai ’Abd al-Latif bin ’Ali dari Pesantren Cibeber yang kemudian dilanjutkan oleh Kiyai Mushlih dari Meranggen (Jawa Tengah). Dari garis Kiyai Mushlih-lah, kemudian TQN berkembang di daerah Jawa Tengah, Jombang, Jawa Timur, Cirebon.
Pada tahun 2007, penulis sempat mengunjungi komplek pesantren Kiyai Armin yang kini tinggal puing-puing bangunan. Jika dilihat dari bangunan fisiknya, penulis menduga bahwa pada masanya (masa hidup Kiyai Armin) Pesantren tersebut cukup ramai dan banyak dikunjungi oleh para pe-ziarah. Hal tersebut terlihat dari bangunan Masjid yang cukup megah. Sayang semuanya kini tinggal kenangan. []

* Penulis adalah Alumni Magister Filsafat and Mistisisme, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta

Dimuat di Buletin Vol 1 edisi Juli 2008

** Etika Politik Islam

Teks Orasi Ilmiah


Etika Politik Islam;
Sejauhmana Aplikasinya di Indonesia

Assalamu ‘alaikum Wr.Wb

Yang terhormat ………
Yang terhormat……….
Yang Terhormat……….

Muqaddimah

Memperbincangkan persoalan etika politik adalah sesuatu yang sangat penting dalam Islam, karena barbagai alasan, di antaranya; Pertama, politik itu dipandang sebagai bagian dari ibadah, karena itu harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip ibadah. Misalnya, dalam berpolitik harus diniatkan dengan lillahi taala. Dalam berpolitik, kita tidak boleh melanggar perintah-perintah dalam beribadah, karena pelanggaraan terhadap prinsip-prinsip ibadah akan dapat merusak “kesucian” politik itu sendiri. Kedua, etika politik dipandang sangat perlu dalam Islam, karena politik itu berkenaan dengan prinsip Islam dalam pengelolaan masyarakat (Irfan Idris: 2009). Dalam berpolitik sering menyangkut hubungan antar-manusia, misalnya saling menghormati, saling menghargai hak orang lain, saling menerima dan tidak memaksakan pendapat sendiri. Itulah menurut hemat saya prinsip-prinsip hubungan antar-manusia yang harus berlaku di dalam dunia politik kita saat ini.

Akan tetapi, ada sebagian pengamat politik yang justru berpendapat sebaliknya, bahkan berpandangan sinis: “mereka berkata; bahwa membahas tentang etika politik itu seperti ‘berteriak di padang pasir’ ”. lebih jauh mereka mengatakan bahwa “etika politik itu nonsense”. Menurutnya, realitas politik itu sebenarnya pertarungan kekuatan dan kepentingan dan tak ada kaitan dengan etika. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara seperti apa yang diajarkan oleh filosof Machiavelli.

Dari pandangan singkat di atas, maka wajar jika salah seorang filosof yakni Immanuel Kant pernah menyindir bahwa ada dua watak binatang terselip di setiap “insan politik”: watak merpati dan watak ular. Politisi kadang memiliki watak merpati yang lemah lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi, di sisi lain terkadang ia juga mempunyai watak ular yang licik dan jahat, serta selalu berupaya untuk memangsa merpati. Akan tetapi celakanya, yang sering menonjol dimiliki oleh insan politik adalah “watak sisi ular” ketimbang watak “ sisi merpati”-nya. Dari sikap itu sehingga memunculkan pemikiran bahwa politik itu kotor, akal-akal-an, tipu muslihat, licik, serta kejam dalam mencapai suatu tujuan, dan anggapan ini hingga kini masih dianut oleh sebagian bahkan mayoritas orang, dan tentunya hal ini mencederai pengertian politik itu sendiri yang padahal menurut filosof Aristoteles bahwa politik itu sendiri justru bertujuan mulia. Di sinilah pentingnya etika politik sebagai alternative solusi piihan untuk mewujudkan prilaku politik yang santun demi terwujudnya kondisi Negara yang tentram, aman dan maju.

Bagaimana sebenarnya etika politik dalam Islam ?

Secara literal kebahasaan, etika berarti tatasusila, pola laku, atau tatacara pergaulan. Makna dasar dari etika ialah ethos (bahasa: Yunani) yang berarti adat kebiasaan. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata “etika” biasanya diartikan sebagai “sistem perilaku atau prinsip-prinsip moral.” Sedangkan dalam The World Book Dictionary (1973: 219), “Ethics the study of standard of right and wrong; that part if philosophy dealing with moral conduct, duty, and judgement. Ethics is concerned with morality; a formal or professional rules of right and wrong; system of conduct or behaviour.” Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan “etika” adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang ukuran baik dan buruk; merupakan bagian kajian filsafat yang berkenaan dengan perilaku moral, kewajiban, dan hukuman. Etika membahas masalah moralitas, aturan-aturan formal tentang kriteria baik dan buruk; dan sistem tingkah laku manusia.

Dalam kehidupan sehari-hari, kata “etika” sering disamakan dengan “akhlak”, akan tetapi ada sebagian ahli membedakannya. Misalnya Ahmad Amin, dalam Kitab al- Akhlaq mendefinisikan akhlak sebagai “ilmu yang menyelidiki segala perbuatan manusia kemudian menetapkan hukum baik dan buruk.” Sedangkan Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din (jilid 3), mengemukakan bahwa akhlak adalah “sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang menimbulkan bermacam macam pola laku secara spontan dan mudah; tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.” Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh kedua ahli ini terdapat kesamaan antara etika dan akhlak, yaitu sama-sama membahas kriteria baik dan buruk (right and wrong).

Jika kita merujuk pada isi kandungan al-Qur’an, ternyata ada sekitar 500 ayat yang membicarakan tentang konsep atau ajaran etika. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya etika dalam sistem kehidupan manusia. Etika yang diajarkan al- Qur’an mengacu kepada standar yang ditetapkan oleh Allah sendiri. Actor yang menjadi contoh konkret dalam bidang etika ini adalah langsung Nabi Muhammad Saw sendiri (al- Ahzab/33: 21 dan al-Qalam/68: 4). Karena itu, dalam perspektif Islam etika tidak saja merupakan ajaran yang bersifat konseptual saja, tetapi juga dilengkapi dengan praktikal empiric.

Keberadaan Nabi Muhammad Saw sebagai figur keteladanan dalam bidang tingkah laku (behaviour) telah memberikan kontribusi penting dalam penerapan nilai-nilai etika yang dapat ditiru secara langsung oleh manusia. Nabi Muhammad Saw sendiri mengaku bahwa seluruh kandungan al-Qur’an adalah cerminan akhlaknya. Dari sisi ini, al-Qur’an berarti kitab yang mengajarkan etika, akhlak, atau moral bagi kehidupan manusia. Maka, tidaklah mengherankan jika kajian etika politik pun dapat dirujuk kepada al-Qur’an (Basri et.al, 2002: 189). Dalam kaitan ini, Tosiko Izutsu (Intelektual Muslim Jepang) (1993: 3), menyatakan bahwa “al-Qur’an mengandung pesan-pesan moral yang sangan sistematik; ajaran-ajaran tentang moral ini dapat dijadikan sebagai satu standar nilai yang dituangkan dalam bentuk etika Qur’ani.”

Etika Qur’ani mempunyai ciri-ciri tersendiri yang membedakannya dengan etika lain. Etika Qur’ani sekurang-kurangnya mempunyai lima ciri utama: pertama, rabbani; kedua, manusiawi; ketiga, universal; keempat, keseimbangan; dan kelima, realistik (Ilyas, 2000: 12). Ciri rabbani menegaskan bahwa etika Qur’ani adalah etika yang membimbing manusia ke arah yang benar, jalan yang lurus atau sirath al-mustaqim (al-An’am/6: 153). Ciri manusiawi berarti etika Qur’ani memperhatikan dan memenuhi fithrah manusia serta menuntunnya agar memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (al-Rum/30: 30). Ciri universal ialah etika Qur’ani membawa misi kasih sayang kepada umat manusia di seluruh dunia (rahmat li al-‘alamin), menegakkan kedamaian, menciptakan keamanan dan ketenangan baik secara individual maupun komunal (al-Anbiya’/21: 107). Ciri keseimbangan (tawazun) artinya etika Qur’ani mengajarkan bahwa manusia memprioritaskan kepentingan ukhrawi, namun tidak boleh melupakan kepentingan duniawi, dan memenuhi keperluan rohani tanpa mengabaikan keperluan jasmani (al-Baqarah/ 2: 201 dan al-Qashash/28: 77). Sedangkan ciri realistik adalah etika Qur’ani memperhatikan kenyataan hidup manusia. Al- Qur’an memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk bekerja dan berkarya, memperhatikan tingkat kemampuan manusia dalam menjalankan kewajiban dan sekaligus memberikan keringanan (rukhshah) bagi yang tidak mampu melakukannya (al-Baqarah/2: 173 dan 286).

Sedangkan definisi kata “politik” itu sendiri adalah berasal dari kata “Polis” (bahasa Yunani) yang artinya “Negara Kota”. Dari kata “polis” muncul beberapa kata di antaranya;
1. Politeia artinya segala hal ihwal mengenai Negara.
2. Polites artinya warga Negara.
3. Politikus artinya ahli Negara atau orang yang paham tentang Negara atau negarawan.4. Politicia artinya pemerintahan Negara.

Dari uraian di atas, secara umum dapat dikatakan bahwa politik adalah kegiatan dalam suatu system politik atau Negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari system tersebut dan bagaimana melaksanakan tujuannya. Dan Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Dari definisi di atas, kegiatan berpolitik terkait dengan Kekuasaan yaitu kemampuan sesorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok sesuai dengan keinginan dari pelaku. Untuk lebih jelasnya di bawah ini akan diuraikan beberapa definisi ilmu politik menurut beberapa tokoh;

Joyce Mitchel dalam bukunya Political Analysis and Public Policy: “Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk seluruh masyarakat.” (Politics is collective decision making or the making of public policies for an entire society).
Harold D. Laswell dan A. Kaplan dalam buku Power Society: “Ilmu Politik mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan”, dan dalam buku Who gets What, When and How, Laswell menegaskan bahwa “Politik adalah masalah siapa, mendapat apa, kapan dan bagaimana.”
W.A. Robson dalam buku The University Teaching of Social Sciences: “Ilmu Politik mempelajari kekuasaan dalam masyarakat, … yaitu sifat hakiki, dasar, proses-proses, ruang lingkup dan hasil-hasil. Fokus perhatian seorang sarjana ilmu politik … tertuju pada perjuangan untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas orang lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu.” (Political science is concerned with the study of power in society … its nature, basis, processes, scope and results. The focus of interest of the political scientist … centres on the struggle to gain or retain power, to exercise power of influence over other, or to resist that exercise).
Deliar Noer dalam buku Pengantar ke Pemikiran Politik: “Ilmu Politik memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pengertian etika politik mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan..., ketiga, membangun institusiinstitusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. “Hidup baik bersama dan untuk orang lain” tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warganegara atau kelompokkelompok dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan warganegara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif (etika sosial).

Sedangkan jika dikaitkan dalam konsep agama—dalam hal ini agama Islam, dapat dipahami bahwa etika politik Islam adalah seperangkat aturan atau norma dalam bernegara di mana setiap individu dituntut untuk berperilaku sesuai dengan ketentuan Allah sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an. Adapun mengenai aplikasi nilai-nilai etika tersebut merujuk kepada pola kehidupan Nabi Muhammad Saw baik dalam kehidupan secara umum maupun secara khusus, yaitu dalam tatanan politik kenegaraan.

Tidak diragukan lagi bahwa sistem kepemimpinan yang paling sempurna dan ideal adalah kepemimpinan yang dijalankan oleh Nabi Muhammad Saw. Sistem kepemimpinan yang dipraktikkan Rasulullah didasarkan atas kapasitasnya sebagai nabi dan rasul Allah yang memiliki sifat-sifat shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Keempat sifat inilah yang mewarnai pola laku dan kebijakan Rasulullah dalam memimpin umatnya. Setelah kewafatan beliau, sifat-sifat ini tidak dimiliki sepenuhnya oleh empat khalifah sesudahnya. Namun, salah satu sifat itu tetap menonjol dalam sistem kepemimpinan mereka, seperti sifat shiddiq sangat menonjol dalam kepribadian Abu Bakar. Sifat amanah menjadi ciri khas kepemimpinan Umar bin Khattab. Sifat tabligh sangat menjiwai Utsman bin ‘Affan. Dan sifat fathanah (cerdas dan berpengetahuan luas) menjadi karakteristik Ali bin Abi Thalib. Sistem kepemimpinan umat pasca kewafatan Rasulullah menjadi sebuah model untuk kepemimpinan umat masa-masa berikutnya. Memang benar bahwa Rasulullah tidak meninggalkan wasiat mengenai penggantinya untuk meneruskan kepemimpinan, tetapi para sahabat dapat menilai di antara mareka yang lebih berhak dan pantas untuk memimpin. Maka, tampillah Abu Bakar sebagai khalifah pertama yang diangkat berdasarkan musyawarah para sahabat dari golongan Muhajirin dan Anshar. Kemudian, tampil Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua berdasarkan kaderisasi yang dilakukan Abu Bakar dan dimusyawarahkan bersama sahabat-sahabat lain pada masa hidupnya. Selanjutnya, khalifah yang ketiga, Utsman bin ‘Affan dipilih berdasarkan musyawarah tim formatur yang dibentuk oleh Umar bin Khattab semasa hidupnya, yang diketuai oleh Abdurrahman bin ‘Auf. Setelah itu, kepemimpinan digantikan oleh Ali bin Abi Thalib, sebagai khalifah keempat, yang diangkat oleh mayoritas kaum muslimin. Namun, ada juga pihak yang tidak setuju karena perbedaan prinsip dan kepentingan. Sejarah mencatat bahwa sejak akhir pemerintahan Utsman bin ‘Affan sampai pemerintahan Ali bin Abi Thalib, situasi politik terus bergejolak. Kemudian, sistem kepemimpinan berganti dengan dinasti, yaitu Dinasti Bani Umayyah dan Dinasti Bani Abbasiyyah dan dinasti-dinasti lainnya.

Apa sebenarnya tujuan Etika Politik

Etika, atau filsafat moral (Telchman, 1998) mempunyai tujuan menerangkan kebaikan dan kejahatan. Etika politik dengan demikian, memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik yang baik dan sebaliknya. Apa standar baik? Apakah menurut agama tertentu? Bisa iya, bisa juga tidak! Tapi yang penting adalah standar baik dalam konteks politik adalah bagaimana politik diarahkan untuk memajukan kepentingan umum. Jadi kalau politik sudah mengarah pada kepentingan pribadi dan golongan tertentu, itu etika politik yang buruk. Sayangnya, itulah yang terjadi di negeri kita tercinta ini.

Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warga Negara karena menyangkut tindakan kolektif. Maka hubungan antara pandangan hidup seseorang dengan tindakan kolektif tidak langsung, akan tetapi membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif. Perantara itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-nilai: simbol-simbol agama, demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya. Melalui simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan sebanyak mungkin warga negara agar menerima pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Maka politik disebut seni karena membutuhkan kemampuan untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, kebohongan, pengkhianatan dan kekerasan. Etika politik akan kritis terhadap manipulasi atau penyalahgunaan nilai-nilai dan symbol-simbol itu. Ia berkaitan dengan masalah struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif. Tuntutan pertama etika politik adalah “hidup baik bersama dan untuk orang lain”. Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warganegara. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral. Dalam sejarah filsafat politik, filsuf seperti Socrates sering dipakai sebagai model yang memiliki kejujuran dan integritas. Politik dimengerti sebagai seni yang mengandung kesantunan. Kesantunan politik diukur dari keutamaan moral. Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal balik dan hubungan fair di antara para pelaku. Pemahaman etika politik semacam ini belum mencukupi karena sudah puas bila diidentikkan dengan kualitas moral politikus. Belum mencukupi karena tidak berbeda dengan pernyataan. “Bila setiap politikus jujur, maka Indonesia akan makmur”. Dari sudut koherensi, pernyataan ini sahih, tidak terbantahkan. Tetapi dari teori korespondensi, pernyataan hipotesis itu terlalu jauh dari kenyataan (hipotetis realis). Etika politik, yang hanya puas dengan koherensi norma-normanya dan tidak memperhitungkan real politik, cenderung mandul. Namun bukankah real politik, seperti dikatakan Machiavelli, adalah hubungan kekuasaan atau pertarungan kekuatan? Masyarakat bukan terdiri dari individu-individu subjek hukum, tetapi terdiri dari kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan yang saling berlawanan. Politik yang baik adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apa pun caranya. Relevansi etika politik terletak pada kemampuannya untuk menjinakkan kekuatan itu dan mengatur kepentingan-kepentingan kelompok dengan membangun institusi institusi yang lebih adil.
Beberapa prinsip ajaran Islam yang dapat dijadikan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini antara lain meliputi kekuasaan sebagai amanah, musyawarah, prinsip keadilan sosial, prinsip persamaan, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia, prinsip peradilan bebas kepentingan, prinsip perdamaian dan keselamatan, prinsip kesejahteraan, prinsip ketaatan rakyat.

Politik Islam adalah aktifitas politik yang didasari oleh nilai/prinsip Islam tersebut di atas, baik dari titik tolak (starting point), program, agenda, tujuan, sarana dan lainnya harus sesuai dengan petunjuk Islam. Oleh karenanya, di lapangan, politik Islam harus tampil beda dengan politik non-Islam. Jika politik konvensional bisa menggunakan cara apa saja untuk mencapai tujuannya, maka politik Islam tidak boleh demikian. Ada variabel lain yang harus diperhatikan, seperti etika Islam, ketentuan hukum Islam dll. Bukankah dalam kitab suci al-Qur’an sendiri, Allah mengatakan dalam Surat At-Tin dengan istilah asfalas safilin, lebih rendah ketimbang binatang. Manusia bisa terjerembab pada level itu. Karenanya, kita harus selalu wapada, berjihad melawan hawa nafsu. Jangan sampai larut dan terhanyut pada apa yang Pujangga Ranggawarsita sebut sebagai “zaman edan”.

Bagaimana kondisi penerapan etika politik di Indonesia ?

Jika kita perhatika semenjak era reformasi yang serba boleh ini, kemunduran etika politik para elite dalam setiap jejak perjalanannya membuat kita menjadi “miris”. Kemunduran etika politik para elite ini salah satunya ditandai dengan menonjolnya sikap pragmatisme dalam perilaku politik yang hanya mementingkan individualisme dan kelompoknya saja. Kepentingan bangsa, menurut mereka bisa dibangun hanya melalui kelompoknya. Dan masing-masing kelompok berpikir demikian.

Jika kondisinya seperti itu, maka akan muncul pertanyaan; Ke arah manakah etika politik akan dikembangkan oleh para politisi produk reformasi ini? Dalam praktik keseharian, politik seringkali bermakna kekuasaan yang serba elitis, dari pada kekuasaan yang berwajah populis dan untuk kesejahteraan masyarakat. Politik identik dengan cara bagaimana kekuasaan diraih, dan dengan cara apa pun, meski bertentangan dengan pandangan umum.

Tanpa kita sadari, nilai etis politik kita cenderung mengarah pada kompetisi yang mengabaikan moral. Buktinya, semua harga jabatan politik setara dengan sejumlah uang. Semua jabatan memiliki harga yang harus dibayar si pejabat. Itulah mengapa para pengkritik dan budayawan secara prihatin menyatakan arah etika dalam bidang politik (dan bidang lainnya) sedang berlarian tunggang-langgang (meminjam istilah Giddens, “run away”) menuju ke arah “jual-beli” menggunakan uang maupun sesuatu yang bisa dihargai dengan uang

Kita boleh bangga karena freedom house (2006) memasukkan negara kita sebagai negara demokrasi yang damai terbesar ketiga setelah Amerika dan India. Kita boleh bangga karena pemilu yang kita selenggarakan pasca reformasi berlangsung ramai dan damai.

Akan tetapi fenomena politik yang menyeruak belakangan ini mengarah pada arus balik yang cenderung mengotori demokrasi. Demokrasi pada titik ini tercederai oleh distingsi antara perilaku para politisi dengan nilai-nilai yang dibuatnya sebagai landasan etis bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Contoh kasus yang mencederai etika politik di Indonesia
Soal etika dan perilaku politik, para pemimpin nampaknya juga masih perlu belajar banyak bahkan perlu belajar dan memahami konsep etika politik dalam Islam.
Di negara kita tercinta ini banyak terjadi—baik ditingkat nasional maupun daerah. Misalkan dalam pemilu si A terpilih menjadi wakil rakyat, itu berarti si A harus selalu bertanggungjawab selama lima tahun kedepan kepada rakyat yang menjadi konstituennya. Namun, jika di tahun pertama atau kedua (pokoknya sebelum berakhir masa jabatannya di parlemen) si A kemudian ’loncat pagar’ ikut pilkada demi merebut jabatan kepala daerah (entah gubernur atau walikota/bupati), tidakkah ia sebenarnya telah ingkar janji kepada rakyat yang sebelumnya telah memberinya kepercayaan untuk menjadi wakil rakyat? Apalagi jika si A menang dan akhirnya melepas jabatannya di parlemen.
Itulah di antara salah satu contoh hasrat berkuasa para elit politik kita yang begitu menggebu-gebu sampai-sampai mampu mengalahkan etika politik (meskipun juga sebenarnya banyak para elit politik negeri kita yang juga birsikap amanah). Jika hasrat tersebut muncul, maka biasanya membuat si A sanggup menabrak rambu-rambu politik, baik di lingkungan internal partainya maupun eksternal (peraturan pemerintah atau negara), niscaya perilaku-perilaku politik yang menyimpang dari ketentuan atau melanggar peraturan pun sanggup dilakukannya di kemudian hari. Maka jika hal itu terjadi, Negara akan rusak dan rakyat menderita punya pemimpin seperti itu.
Fenomena hasrat berkuasa yang membara itu ternyata bisa juga berwujud sebaliknya: dari eksekutif ingin ’lompat pagar’ ke legislatif. Itulah yang diperlihatkan dalam waktu beberapa bulan kemarin yakni ada salah seorang Gubernur dan Bupati di negeri ini, yang ingin meraih kursi di DPR RI. Padahal dia seharusnya memiliki komitmen untuk menduduki jabatan itu selama lima tahun. Jangan sampai di tengah-tengah harus ganti arah. Sudah diberikan amanah dan itu harus dijalankan sesuai dengan waktunya,”
Dinegeri ini marak terjadi penyebaran “virus-virus pemikiran” yang menghalalkan segala cara untuk diperaktekkan demi mempertahankan eksistensi dirinya. Atau dalam bahasa Fukuyama agar guncangan dalam dirinya bisa ditekan sedemikian rupa dengan melemparkan beragam isu tanpa peduli validitas dan eksesnya. Maka kemudian konsekuensinya muncul korban-korban yang sejatinya tak perlu terjadi

Penguatan etika politik Islam sebagai tawaran

Francis Fukuyama (1999) menyebutkan bahwa memang setiap perubahan akan merangsang terjadinya guncangan (disruption). Guncangan karena adanya distingsi antara nilai baru dengan nilai lama dalam sebuah masyarakat. Guncangan bisa juga merupakan shock culture akibat ketidaksiapannya menjalani perubahan yang diluar kerangka nalarnya.

Tetapi satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah, bahwa nilai-nilai agama dapat digunakan untuk membuat politik lebih berarti. Nilai-nilai keagamaan juga memberikan pengaruh penting pada kultur politik dan mempengaruhi kecenderungan individu maupun masyarakat ke arah pola-pola tertentu kehidupan politik. Karena itu dalam "negara-negara baru" agama sedang mengalami proses penafsiran kembali. Penafsiran itu berkisar pada upaya perumusan sistem politik yang tetap mempunyai etika politik dan budaya politik yang kurang lebih Islami.

Dan inilah tantangan yang dihadapi demokrasi modern di tengah perubahan yang bergulir begitu cepat. Yaitu tatanan sosial yang melemah dalam kerangka kebersamaan (a weakening of social bonds and common values). Perilaku menyimpang dan pengebirian etika politik di kalangan politisi salah satunya disebabkan oleh guncangan tersebut. Mereka tidak siap untuk menjalani perubahan yang begitu luar biasa sementara secara intrinsik mereka masih terjebak dengan nilai (kesadaran) masa lalunya.

Karena itu, standar etika perlu ditegakkan melalui barometer yang dapat dipertangungjawabkan secara empiris dan praksis. Dalam konteks itu, karena itu Paul Ricoeur (1990) mengukur etika politik secara teleologis. Dan dalam hal ini konsep etika politik islam bisa menjadi tawaran solutif untuk mengobati negeri kita yang sedang dirundung sakit ini—terutama para elit politiknya.

Menurutnya Paul Ricoeur, ada tiga tujuan yang hendak dicapai dari etika politik, yaitu terciptanya kehidupan bersama dan untuk orang lain secara baik (to be a constituent in a ”‘good life’ with and for others); memperluas ruang lingkup kebebasan baik dan bertanggung jawab; dan membangun institusii-nstitusi yang adil (just institutions). Ketiga alat ukur etika politik ini dapat diimplementasikan melalui pembacaan terhadap perilaku politik seluruh warga negara, khususnya kaum elit negeri kita.

Kritik, kontrol, dan segala macam input untuk negara harus diletakkan dalam kerangka kebaikan bersama. Bukan dalam rangka mendapatkan ”durian runtuh”. Eksistensi kepemimpinan melalui konsensus lima tahunan harus didukung dan ditoleransi selama berada dalam koridor kebersamaan. Begitupun kontrol yang dilakukan oleh rakyat terhadap legislatif, yudikatif dan eksekutif atau control yang dilakukan oleh legislatif terhadap eksekutif harus mengacu pada kepentingan bersama (rakyat), bukan pada prestise lembaga apalagi vested interest. Dengan cara seperti itu, maka Negara kita akan menjadi Negara dengan meminjam istilah Munawir Syadzali “religious state” yang memperhatikan nilai-nilai agama dalam hal ini agama Islam.

Dengan cara seperti itu, maka adigium yang dikenal bahwa politik itu kotor, korup, kejam, tak manusiawi, dipenuhi dengan taktik dan intrik demi merebut dan mempertahankan kekuasaan. Saling menyikut dan saling menjegal acap terjadi, bahkan terhadap teman sekalipun, karena dalam politik tidak ada pertemanan abadi, yang abadi hanyalah kepentingan bisa dibenahi menjadi baik dan mulia.

Namun demikian, pertautan antara moral dan politik perlu medapat perhatian yang lebih, sebab, moral merupakan salah satu faktor kunci yang diharapkan mampu berperan untuk memperbaiki krisis bangsa. Moral dianggap sebagai sumber inspirasi dan kekuatan etis yang dapat memberikan wajah manusiawi terhadap proses pembangunan politik (Sayyid Husain Muhammad Jafri: Moral Politik Islam. 2003).

Di sinilah, pemikiran tentang revolusi moral politisi muncul dan merupakan kebutuhan mendesak berdasarkan kenyataan bahwa hingga kini sistem politik bangsa Indonesia belum dapat menyediakan cara-cara yang dapat membawa bangsa ini keluar dari krisis. Perubahan moral politisi menjadi hal yang penting untuk agenda perbaikan bangsa mengingat di tangan merekalah segala kebijakan yang menyangkut hajat hidup rakyat dipertaruhkan. Mereka adalah pemegang kekuasaan yang dapat menentukan hitam-putihnya bangsa ini.

Revolusi moral para politisi adalah suatu ikhtiar menuju pemerintahan yang bersih (clean government). Upaya ini bukan semata-mata bermaksud untuk melakukan perubahan sistem, namun juga perubahan signifikan pada moralitas yang dikedepankan para politisi. Asumsi ini berdasar pada argumentasi bahwa sistem tetap memiliki “ketergantungan” terhadap siapa yang mengatur atau menjadi penguasanya. Sebagaimana ungkapan “man behind the gun”, sistem sebaik apa pun, tanpa ada mekanisme kontrol yang kuat dari masyarakat, tetap bisa diselewengkan oleh penguasa. Bahkan, sistem bisa diciptakan oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.

Bukankah kita juga senang jika para pemimpin sungguh-sungguh mengedepankan etika politik dan perilaku politik yang baik dalam memimpin bangsa ini. Etika dan perilaku sama-sama berkait dengan moral, sedangkan moral diturunkan dari norma dan nilai. Jadi, jika etika dan perilaku politik para pemimpin sungguh-sungguh mengindahkan moral yang sesuai dengan norma dan nilai yang kita junjung tinggi, niscayalah persoalan dan masalah yang menimpa bangsa ini tak akan terlalu banyak.
Meskipun memang sulit memberi penilaian etis tidaknya kepada mereka yang berperilaku politik seperti itu (kotor), karena dasar hukumnya memang tidak ada. Namun, etika memang bukanlah soal hukum (peraturan tertulis), karena etika haruslah dilandasi dengan apa yang di Indonesia disebut ’kepantasan’ atau ’kepatutan’. Jadi, ia haruslah mempertimbangkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Ia juga harus memperhatikan kelaziman-kelaziman serta suasana batin masyarakat sesuai konteks waktu dan perkembangan situasi kondisi. Ada nalar, juga rasa, yang mestinya diseimbangkan. Dengan demikianlah niscaya kekuasaan betul-betul didayagunakan sebagai alat demi mewujudkan kebaikan, keadilan, dan kebenaran bagi rakyat dan negara. Dengan demikianlah kekuasaan tak semata berorientasi kepentingan praktis, melainkan alat belaka untuk melayani. Itulah yang pernah dikatakan oleh Dr Johannes Leimena, seorang deklarator Sumpah Pemuda 1928 dan negarawan besar di era pemerintahan Soekarno.
Etika terkait dengan hakikat kebaikan dan keburukan. Etika menjadi penjelas bagi kita semua bahwa ada perbuatan yan digolongkan baik dan ada yang buruk. Dengan demikian, maka etika politik juga menjelaskan tentang mana politik yang baik dan mana yang buruk. Nah kewajiban kita sebagai orang yang memiliki religiositas adalah mengikuti politik yang baik dan menjauhi politik yang buruk.
Dalam praktik kehidupan politik di negeri ini, politisi tampaknya memahami hakekat politik secara sempit dan konservatif. Politik dimengerti terbatas pada cara bagaimana seorang politikus atau parpol dapat memenangkan pemilu, meraih kursi atau posisi di legislatif dan eksekutif, kemudian melanggengkannya sehingga memperoleh posisi “terhormat” dalam masyarakat. Di samping itu, terjun ke “dunia” politik dianggap menjanjikan penghasilan besar lewat jalan pintas, tanpa syarat pendidikan tinggi. Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang memandang politik sebagai salah satu cara untuk menata kehidupan negara agar terwujud kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran rakyat.
Kebanyakan politisi masih dikuasai hasrat berkuasa ketimbang sebagai “penyambung lidah” dan penyalur aspirasi rakyat. Tanpa ada beban moral sedikit pun, mereka kerap melupakan begitu saja janji-janji kampanyenya setelah mereka berkuasa. Pada titik inilah, masyarakat dibuat kecewa, sinis dan skeptis dengan politik.
Itulah sekelumit gambaran singkat dan sederhana akan kondisi negeri kita tercinta yang carut marut ini. Akan tetapi kita harus tetap optimis demi untuk kemajuan Negara ini. Sebagai kata akhir dalam orasi ilmiah ini, mari kita berdo’a, dan berusaha memberikan arahan dan kritik yang sifatnya membangun bagi para pemangku jabatan di negeri ini agar selalu bertindak lebih baik, dan lebih baik dikemudian hari dan menerapkan etika politiknya. Sehingga dengan demikian, politisi kita diharapkan lebih berwatak hanif, cinta dan konsisten pada kebenaran, Mengutip kata- kata tokoh moral India Mahatma Gandhi yang menyatakan bahwa salah satu dosa sosial yang menjadi penyebab merosotnya kualitas kehidupan masyarakat ialah penyelenggaraan kehidupan politik tanpa dilandasi oleh prinsip dasar (politics without principles). Kehidupan politik saat ini lebih banyak berisi permainan uang, kata dan perebutan kuasa sebagai gejala infantilisme yang jauh dari dunia pikir, refleksi dan kontemplasi. Wallahu a’lam.

Rekomendasi:

Melihat perkembangan realita politik dan tingkah laku para elit politik kita yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini sudah jauh melanggar etika berpolitik yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena mereka lebih mengutamakan factor-faktor kepentingan yang sifatnya sesaat bukan yang hakiki. Kepentingan individu atau kelompok lebih ditamakan dan terkesan melupakan kepentingan seluruh masyarakat Indonesia. Karena itu, mudah-mudahan pendidikan etika politik Islam bisa menjadi obat untuk mengarahkan kepada yang lebih baik.
Kritik dan saran yang sifatnya membangun kepada para elit politik pemangku jabatan dinegeri ini tentunya harus terus di sampaikan dan diperjuangkan demi kebaikan negeri ini, saat ini, dan dimasa yang akan datang.
Dunia pendidikan sebagai salah satu lembaga pendidikan yang mencerdaskan generasi bangsa dan disitu negara Indonesia menggantungkan harapannya, mudah-mudahan selalu menjaga independensi dari kepentingan politik dan tentunya harus selalu memperjuangkan pendidikan politik yag berbudi.
Para Insan pendidik yang ada di lingkungan Lembaga pendidikan terutama yang berada di fakultas atau jurusan ilmu politik atau ilmu politik Islam sebagai salah yang bertanggungjawab di dalam “melahirkan” atau “memproduksi” para generasi penerus bangsa dalam bidang ilmu politik diharapkan selalu memberikan teladan, konsistensi dan arahan yang baik ketika menyampaikan dalam bentuk perkuliahan atau diluar perkuliahan.
Demikianlah rekomendasi ini, mudah-mudahan bermanfaat dan dapat diwujudkan dalam dunia nyata.



Daftar Bacaan

Abu Zahra, (Ed), Politik Demi Tuhan. Nasionalisme Religius di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Hidayah 1999)
Ahmad Amin, Al- Akhlak, (Kairo, Dar al- Kutub al- Mishriyah, t.t.)
Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta, Rajawali Pers, 1987)
Ati Hildebrandt Rambe, Memahami Hubungan Islam dan Politik di Indonesia, Jurnal STT Intim Makassar, Edisi No. 5 - Semester Ganjil 2003.
Azyumardi Azra, Etika Politik Dalam Islam, Republika : 12 Juli 2008
Benny Susetyo Pr. “Etika Politik & Politisi Reformasi”, Sinar Harapan, Tajuk Rencana, 23 Mei 2005.
Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, ( Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1994)
Edmund Burke and Ira M. Lapidus, (Eds.), Islam, Politics, and Social Movements (Berkeley et al: University of California Press, 1988).
Euben, L. Roxanne, Enemy in the Mirror. Islamic Fundamentalism and The Limits Of Modern Relationalism. (Princenton 1999). Diterjemahkan: Musuh Dalam Cermin. Fundamentalisme Islam dan Batas Rasionalisme Modern, (Jakarta: Serambi, 2002).
Fachry Ali, Musyawarah dan Demokrasi sebagai Dasar Etika Politik Islam, Makalah yang disampaikan dalam Annual Conference on Islamic Studies, Dirjen Pendidikan Islam, Departemen Agama, Palembang, 4 November, 2008.
Frans Von Magnis, Etika Umum, (Yogyakarta, Yayasan kanisius, 1975)
Hasan Basri al-Mardawy, Etika Politik dalam Perspektif Al-Qur’an, Madina: 30 Juni – 8 Juli 2008.
Irfan Idris, Etika Politik Dalam Islam, Fajar: 19 Juni 2009
Johannes, Richard L, Etika Komunikasi, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1992)
Kastorius Sinaga, “Tentang Etika Politik“, Kompas, 9 April 2008.
Lawrence B. Bruce, Menepis Mitos. Islam di Balik Kekerasan?, (Jakarta: Serambi 2002.
M Alfan Alfian, “Dari Perbendaharaan Etika Politik”, The Akbar Tandjung Institute, Jakarta, 8 Juli 2008.
Nurcholish Madjid, Islam Doktren dan Peradaban, (Jakarta, Paramadina, 1992)
Sayyid Husain Muhammad Jafri: Moral Politik Islam. 2003).
Sayyid Qutb, Petunjuk Jalan. Maalim Fi at-Thariiq (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)
William Frankena, Ethics, (New Jersey : Prentice Hall, 1973)
W. Poespoprodjo, Filsafat Moral, (Bandung, Remajakarja, 1986)


Terimakasih
Wasalamu ‘alaikum Wr.Wb ……


K. Muhammad Hakiki, MA

** Respon Islam Terhadap Globalisasi

Respon Islam Terhadap Globalisasi

Oleh: K. Muhammad Hakiki
Santri S3 Program Religious Study Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung.

Tulisan sederhana ini berawal dari sebuah renungan ketika saya mengikuti seminar Internasional terbatas yang diadakan oleh Yayasan YADMI (Yayasan Dakwah Malaysia Indonesia) di Institut Tekhnologi Bandung (ITB) bertema “Kontekstualisasi Sains dan Pendidikan Islam Integratif di Alam Melayu” pada 22 Oktober 2009 lalu. Dari hasil seminar itu di sepakati bahwa Islam dengan khazanah pemikirannya yang kaya saat ini harus terus digali dan tentunya dikontekstualisasikan agar lebih tepat guna dalam rangka menghadapi tantangan dunia modern (globalisasi dan Liberalisasi). Lalu pertanyaannya, mungkinkah hal itu bisa dengan mudah diterapkan saat ini khususnya di Indonesia yang pola pikir masyarakatnya heterogen, atau meminjam istilah Ulil Abshar Abdallah “warna-warni”.? Hal ini menurut saya penting untuk “dipecahkan”.

Kalau saja saya boleh jujur, sebenarnya kita sedang dirundung kerugian yang besar—dan sangat besar. Islam dengan kitab suci al-qur’an-nya dan khazanah pengetahuan Islam-nya yang begitu tinggi dan kaya, seakan-akan tak berkutik dalam menghadapi dunia modern ini. Islam saat ini jujur saja sedang kalah dan terpuruk dibandingkan dengan dunia Barat yang terus menancapkan dominasi dan pengaruhnya. Bukankah Islam dahulu ketika zaman Dinasti Abasiyah dengan khalifahnya Harun al-Rasyid pernah menjadi penguasa bumi ini. Lalu kenapa sekarang justru sebaliknya.

Globalisasi sebenarnya adalah sebuah era di mana dunia ini seakan tak bersekat, batas-batas territorial seakan tak berarti. Dalam era globalisasi interaksi antar budaya, peradaban dan negara semakin mudah dilakukan. Adanya proses saling mempengaruhi satu sama lain tak bisa dinafikan—baik bersifat positif maupun negatif. Dan, pada akhirnya globalisasi menjadi alat untuk saling mempengaruhi antara budaya, peradaban, idiologi, bahkan masuk pada agama. Dan ujungnya agama, budaya, idiologi, dan peradaban telah terkontaminasi dari pengaruh unsur-unsur lain.

Di era globalisasi ini, proses saling mempengaruhi satu sama lain tak bisa ditawar-tawar. Peranan media sebagai alat “penular” telah menembus sekat-sekat itu. Dan konsekuensinya sebuah idiologi atau budaya bisa memasuki idiologi dan budaya lainnya. Dengan kondisi ini, maka kegoncangan bisa terjadi jika penularan virus globalisasi itu tidak sesuai dengan karakteristik kultur dan sosialnya.

Dari realita di atas-lah maka Islam sebagai agama tanpa bisa menolaknya harus terlibat sebagai perwujudan agama yang membawa pesan rahmatan lil aalamin atau shalihun li kulli zaman wa al-makan (sesuai dengan kondisi zaman dan tempat). Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, maka, mau tak mau umat dan para pemikir Islam negeri ini harus “menyingsingkan lengan bajunya” untuk mencoba merformulasikan respon Islam yang terbaik dalam menghadapi arus globalisasi. Di sinilah menurut Syaikh al-Akbar Yusuf Qardawi (Intelektual muslim dari Mesir) sikap manusia (baca: umat Islam) terbagi tiga kelompok dalam merespon arus globalisasi;

Pertama; mereka yang secara bergairah dan bersemangat menyambut datangnya globalisasi. Mereka ini adalah orang-orang yang berenang di atas gelombangnya dan berinteraksi dengannya tanpa ada batas dan tanpa reserve.

Kedua; adalah mereka yang melarikan diri dari medan pertempuran globalisasi. Dan mereka ini adalah orang-orang yang tidak tahu pola pemikiran apa yang sedang berkembang. Dan sikap ini kini banyak diambil oleh orang-orang yang merasa takut untuk berhadapan dan berinteraksi dengan orang lain. Dan salah satu reson yang dilakukan oleh kelompok ini adalah selalu berkaca pada masa lalu atau klasik dan sangat anti terhadap hal-hal yang baru—apalagi jika hal yang baru itu datangnya dari Barat.

Ketiga; adalah mereka yang berfikir moderat. Mereka ini mewakili orang-orang yang bersikap terbuka terhadap globalisasi, namun dibarengi dengan pendekatan yang jeli dan kritis; pemilihan adalah salah satu syarat yang mutlak harus dilakukan terhadap prodak-prodak globalisasi.

Dari ketiga kelompok di atas, dimanakah atau akan berada dikelompok manakah kita bersikap?. Di sinilah pentingnya kita untuk memilih dan berpihak, jika kita yakin bahwa agama Islam dengan doktrinnya menghendaki agar pemeluknya dapat hidup bertahan, lebih baik dan tentunya lebih maju.

Disinilah nampaknya dua pola pikir kita dipertaruhkan; apakah Islam sebagai sebuah agama harus mengikuti atau menyesuaikan dengan perkembangan zaman, atau sebaliknya; zaman yang harus disesuaikan dengan agama kita.

Jika kita berada pada posisi kedua (zaman yang harus sesuai atau dipaksakan sesuai dengan Islam) maka kita akan berfikir ekslusif dan tentunya hal ini akan mempersulit umat Islam dalam berkembang menjadi maju. Tetapi sebaliknya, jika kita berada pada posisi yang pertama (Islam harus sesuai dengan zaman) maka konsekuensilogisnya kita akan berfikir inklusif atau terbuka dalam menyesuaikan dengan perkembangan zaman ini, dan cara ini menurut saya yang harus diambil oleh umat Islam sekarang dengan alasan bahwa arus perkembangan zaman dengan usaha apa pun tak dapat bisa dibendung oleh kita—apalagi harus lari.

Berfikir Inklusif dan moderat

Jika kita mengacu pada pola klasifikasi yang diutarakan oleh Yusuf Qardawi di atas, maka menurut hemat saya langkah yang tepat untuk dilakukan oleh umat Islam saat ini di dalam merespon perkembangan globalisasi yang tak dapat dibendung ini adalah langkah yang dilakukan oleh kelompok ketiga yakni mereka yang berfikir moderat dan kritis. Kelompok ini-lah menurut saya yang paling bisa membawa Islam dan umatnya ikut bersaing dan tentunya menjadikan Islam semakin maju. Dan akhirnya Islam sebagai agama rahmat bagi semua umat manusia bisa terwujud dan terbukti.

Di sini-lah pentingnya kita berfikir kritis, berjiwa inklusif, toleran, dan tetunya menjauhkan sikap anti apalagi redikal dalam beragama seperti banyak yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia. Dengan sikap ini, maka saya yakin Islam tidak akan ditinggalkan oleh pemeluknya, dan Islam bisa kembali bangkit seperti masa kejayaannya yang pernah diraih pada masa lalu, baik dalam pemikiran atau ilmu pengetahuan maupun peradaban. Ini-lah menurut saya cara jihad yang paling tepat untuk saat ini, bukan dengan teror, apalagi dengan aksi-aksi bom yang kurang bahkan tidak beradab itu, yang kemudian menjadikan Islam sebagai agama redikal dan menuai klaim-klaim agama teroris. Mudah-mudahan kita mau merenungkannya. Wallahu a’lam.

Tulisan ini pernag di muat kolom opini di harian Fajar Banten, edisi 30 Oktober 2009