Translate

Sabtu, 26 Februari 2011

** Pudarnya Identitas Budaya

Pudarnya Identitas Budaya

Oleh: K. Muhamad Hakiki

Direktur Pusat Studi Agama dan Budaya (PSAB) Raden Intan Lampung, Santri S-3 UIN Bandung

Dulu mungkin kita sering mengatakan dengan bangga bahwa saya orang sumatera, saya orang Jawa, saya orang Sunda, saya orang Indonesia atau yang lainnya.Tapi, kini kita tidak lagi bisa mengatakan seperti itu. Yah, karena dalam diri kita sebenarnya memiliki identitas-identitas ganda.

Di antara menyusutnya identitas budaya itu karena kita tanpa disadari telah berhubungan dengan manusia yang secara identitas mereka berbeda. Belum lagi, berbagai kebudayaan yang kita bawa berbaur dengan kebudayaan lainnya. Sehingga dengan begitu kita pun terkadang mempunyai identitas yang baru.

Di antara penyebab perubahan identitas budaya adalah;

pertama, mencairnya batas-batas kebudayaan. Dulu kebudayaan selalu diikat oleh batas-batas fisik yang jelas. Sebagai contoh pakaian kebaya, sungkeman, batik, selalu identik dengan pakaian atau adat buadaya jawa. Identitas budaya seperti itu selalu dijadikan sebagai batas-batas atau simbol-simbol fisik yang menjadi dasar dalam pendefinisian keberadaan suatu kebudayaan, khsusnya pada saat sesuatu yang bersifat fisik itu masih dianggap paling penting dan menentukan.

Namun, ketika kesadaran atau pola pikir manusia mengalami perubahan, mencairnya batas-batas teritorial identitas, mobilisasi manusia, kecanggihan intelektual yang dimiliki, media komunikasi yang semakin modern, masyarakat menjadi terintegrasi bukan hanya pada level lokal akan tetapi dunia,

Karena itu, maka batas-batas identitas suatu kebudayaan itu pun mau tidak mau harus mencair atau memudar. Tradisi sungkeman, bercium tangan sebagai simbol kepatuhan dan ketundukan seorang anak kepada orang tua pun menjadi tergantikan hanya lewat telepon atau alat canggih lainnya.

Bahkan tidak hanya itu, dengan kecanggihan tekhnologi, batas-batas teritorial sebuah komunitas, kelompok, terasa tak berarti. Orang Indonesia dalam waktu yang sama dapat berkomunikasi, berinteraksi dengan manusia luar yang tanpa di sadarinya transfer budaya pun saling berpindah. Manusia pun dalam waktu singkat dapat berganti-ganti karakter atau pola pikir layaknya seperti manusia “mutan”.

Irwan Abdullah mencontohkan bahwa dengan semakin canggihnya arus komunikasi dunia modern, unsur-unsur kebudayaan kerap kali mengalami penyusutan atau penyesuaian. Sebagai contoh, arsitektur Bali tidak hanya ditemukan di Bali, akan tetapi juga dapat ditemukan di Jakarta.

Karena itu, kerajinan khas Bali pun dengan mudah dapat kita temukan tidak hanya di Bali, akan tetapi diluar bahkan sampai dunia Eropa. Kesimpulannya menurut Irwan Abdullah, apa yang ada atau khas di Bali tidak hanya harus menjadi monopoli Bali, karena unsur-unsur kebudayaan Indonesia yang lain atau unsur kebudayaan dunia dapat dengan mudah ditemukan dalam bentuk-bentuk ekspresi simbolik di mana pun.

Karena itu, dengan adanya integrasi tatanan global, kebudayaan kemudian tidak lagi terikat pada batas-batas fisik yang kaku yang disebabkan oleh ikatan ruang yang bersifat deterministic.

Kedua, sebab adanya perubahan budaya juga karena adanya politik ruang dan makna budaya. Makna suatu simbol juga disebabkan oleh struktur kekuasaan yang berubah. Hal senada pun diungkapkan oleh Irwan Abdullah. Ia mengatakan suatu kebudayaan bagaimanapun tidak dapat dilepaskan begitu saja dari ruang di mana kebudayaan itu dibangun, dipelihara, dan dilestarikan, atau bahkan diubah.

Dengan adanya kepetingan kekuasaan yang berbeda, maka ruang yang menjadi wadah tempat kebudayaan telah mengalami re-definisi baru sejalan dengan tumbuhnya gaya hidup modern yang secara langsung diawali dengan perubahan rancangan ruang.

Ketika kondisi ini terjadi, maka ruang pun menjadi arena yang diperebutkan, demi melanggengkan sebuah kepentingan kekuasaan atau politik tertentu. Karena itu, makna kebudayaan pun harus tunduk terhadap siapa yang mendefinisikan ulang.

Buah dari semua ini, maka sebuah simbol dan makna kebudayaan pun menjadi suatu objek yang kehadirannya dihasilkan oleh suatu proses negosiasi yang melibatkan sejumlah kontestan yang terlibat dengan kepentingan yang berbeda.

Ketiga, ketika hegemoni kepentingan politik kekuasaan terjadi, maka secara bersamaan, pemaksaan akan makna ruang dan makna sebuah identitas budaya pun terjadi. Posisi publik yang enggan mengikuti keinginan penguasa pun tercerai berai menjadi kelompok-kelompok kecil yang juga beragam di dalam memaknai ruang dan makna identitas budaya.

Kontestasi berbagai institusi terjadi secara intensif yang menyebabkan individu menjadi objek dan komoditi dari kepentingan-kepentingan yang berbeda. Mereka yang tersubordinasi pun ikut melakukan kontestasi dalam bentuk pemaknaan dekonstruktif atau pembangkangan terhadap pendefinisian ruang dan makna identitas badaya yang dilakukan oleh hegemoni pemegang kendali kuasa.

Tarik menariknya antara pemegang kendali kuasa dengan mereka yang tersubordinasi pun menjadikan identitas kebudayaan pun mengalami konstruksi dan reproduksi yang berebda yang tentunya syarat akan kepentingan yang berbeda.

Simbol-simbol budaya pun pada akhirnya dijadikan sebagai alasan penegasan autentisitas kelompok yang keberadaannya menjadi bagian dari sistem sosial global dengan pertentangan nilai yang juga tajam.

Kondisi inilah yang menurut saya terjadi saat ini, terlebih ketika beberapa bulan yang lalu saat kita dikisruhkan tentang perebutan identitas dengan Malysia misalnya. Buah dari kondisi ini semua, kita rindu akan masa lalu atau dalam bahasa Irwan Abdullah mereka tertarik melakukan replikasi dari kesukubangsaan dengan parameter yang berbeda yang didasarkan bukan pada nilai lokal yang sama, tetapi pada minat dan kepentingan yang sama dari mereka yang secara asal usul berbeda. Dan kita baru sadar bahwa semua itu telah “hilang”.[]

Artikel ini dimuat di kolom opini Radar Lampung, edisi Rabu 23 Februari 2011

** Nabi dan Kota Makkah

Nabi Dan Kota Makkah

Oleh: K. Muhamad Hakiki

Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, Santri S-3 UIN Bandung

Jutaan kaum muslimin diseluruh dunia melakukan perayaan maulid sebagai tanda mengenang hari kelahiran Nabi Muhammad saw yang dikenal sebagai khatamannabiyiin (pamungkas Nabi). Perayaan itu di Indonesia dikenal dengan disebut “muludan”.

Perayaan maulid di Indonesia dilakukan dengan beragam cara; ada yang merayakannya dengan bentuk pengajian dengan mengundang para da’i-da’i kondang untuk menceritakan sejarah kehidupan Nabi, ada juga yang merayakannya dengan tradisi “riungan”, yakni sebuah acara kumpul-kumpul dengan saling membawa berbagai macam bentuk makanan yang kemudian diringi dengan ritual do’a dan lainnya.

Terlepas dari itu semua, apa pun bentuknya, semua itu bertujuan memperingati dan mengenang sejarah dan perjuangan Nabi besar Muhammad saw untuk dijadikan teladan bagi umatnya.

Sebagai wujud kecintaan kepada Nabi Muhammad saw, dalam kesempatan ini saya menghadirkan sebuah penelusuran sejaran Nabi Muhammad dengan sudut tinjauan yang berbeda dari yang biasa di lakukan pada umumnya.

Menelusuri jejak sejarah di balik pemilihan kota Makkah atau Macoraba sebagaimana disebut oleh Ptolemius sebagai tempat kelahiran Nabi Muhammad saw sangat menarik.

Jika menelusuri sejarah Nabi, baik yang tertera dalam Alqur’an, hadits, maupun kitab-kitab shirah (sejarah), dapat kita identifikasi kenapa Allah lebih memilih tanah Arab (baca: Makkah) sebagai tempat kelahiran Nabi terakhir yakni Muhammad saw , bukan wilayah-wilayah lainnya seperti Israel, Mesir atau yang lainnya.

Tentunya pemilihan ini bukanlah sesuatu kebetulan akan tetapi memiliki nilai historis yang patut kita renungkan dan telusuri. Menurut hemat saya, sedikitnya ada beberapa hal yang bisa kita gunakan sebagai sebab kenapa Allah memilih Makkah dibandingkan kota lain di sekitar Arab atau negara lainnya. Di antara sebab itu adalah sebagai berikut;

Pertama, Menurut cerita, manusia yang membangun Ka’bah adalah Nabi Adam ketika ia harus “terusir” dari surga. Pada saat itu, Adam merasa sedih karena tak bisa lagi melakukan ibadah seperti yang dilakukan para Malaikat yang beribadah mengelilingi Singgasana Allah.

Kesedihan yang menimpanya kemudian mendapatkan hiburan dengan diperbolehkannya ia membangun Ka’bah sebagai bentuk tiruan dari ‘Arsy-nya Allah. Setelah bangunan itu selesai, Adam pun diperintahkan untuk mengelilinginya.

Bangunan Ka’bah yang dibangun Adam pada akhirnya harus sirna tertimbun pasir. Kemudian datanglah Nabi Ibrahim yang berputra Nabi Ismail membangun kembali Ka’bah yang tertimbun atas petunjuk Allah ( QS: al-Baqarah : 127).

Jika dibandingkan dengan the Holy of Holies yang berisi “sepuluh perintah Tuhan”, sebagai tempat paling suci agama Yahudi yang juga pernah menjadi kiblatnya umat Islam sebelum dipindahkan arahnya ke Ka’bah. Ternyata jika dilihat dari segi usia ke dua tempat suci itu, maka Ka’bah jauh lebih tua usianya dari the Holy of Holies yakni sekitar 1000 tahun lebih tua.

Dari data sejarah ini, masuk akal jika kemudian Makkah yang di dalamnya terdapat Ka’bah dijadikan lokasi tempat kelahiran Nabi yang ternyata dilihat dari segi nasabnya—antara nabi Muhammad dengan Ibrahim—adalah sedarah.

Memperkuat data ini, Philip K. Hitti menjelaskan bahwa kota Makkah yang terambil dari bahasa Saba yakni Makuraba (tempat suci) ternyata menunjukan bahwa kota itu jauh sebelum kelahiran Nabi merupakan tempat pusat keagamaan.

Kedua, Makkah sebagai jalur perdagangan. Menurut seorang orientalis kawakan yakni Philip K. Hitti dalam bukunya “History of the Arabs” dikatakan bahwa Mekkah sebelum kota itu dilintasi “jalur rempah-rempah” dari selatan ke utara, Mekkah sejak lama telah menjadi tempat persinggahan dalam perjalanan antara Ma’rib dan Gazza.

Orang-orang Makkah yang progresif dan memiliki naluri dagang berhasil mengubah kota Makkah menjadi pusat kemakmuran. Kemakmuran kota itu bisa digambarkan dari sebuah kafilah dagang Makkah yang terlibat dalam perang Badr (16 Maret 624).

Ketiga, tradisi nomaden. Dalam sejarah dijelaskan bahwa Makkah adalah kota yang gersang dan berbukit (QS: Ibrahim: 37) sebagai tanah yang “tidak bisa ditanami” dan bersuhu sangat panas.

Tandusnya kota Makkah membuat masyarakat ini melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain demi mencari sumber air untuk kehidupan mereka dan ternaknya.

Pencarian lokasi ke tempat subur juga kerapkali diawali dengan perebutan bahkan peperangan antara satu kabilah degan kabilah lainnya. Pola hidup seperti ini (baca: nomaden) kemudian menjadi karakter yang melekat pada masyarakt Arab.

Karena alsan ini-lah , wajar jika kemudian masyarakat Arab dikenal sebagai masyarakat yang ambisius, berani, mempunyai loyalitas (ashabiyah) yang tinggi.

Karakter seperti ini di satu sisi ternyata menguntungkan bagi syi’ar Islam pada fase selanjutnya. Islam yang berada di “tangan” orang Arab dengan waktu yang relatif singkat dapat menyebar ke berbagai kawasan sampai ke Eropa dan Asia.

Jika kita berandai-andai Islam di turunkan di Indonesia mungkin kondisinya akan lain, penyebaran Islam mungkin tidak secepat di tangan orang-orang Arab.

Dengan kondisi tanah yang subur, dan karakter masyarakat Indonesia yang apa adanya, tidak ambisius, membuat Islam mungkin juga berkembang dengan cara yang lamban.

Dari realita sejarah di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa pemilihan Mekkah sebagai tempat kelahiran Nabi dan awal titik bersinarnya agama Islam adalah pemilihan yang tepat, logis dan realistis, sekaligus mempunyai akar historis yang kuat dan lama. Wallahu a’lam.

Artikel ini dimuat di surat kabar Radar Lampung edisi Selasa 15 Februari 2011

** Sejarah Tradisi Maulid

Sejarah Tradisi Maulid

Oleh: K. Muhamad Hakiki
Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung,
Santri Religious Studies UIN BAndung

Istilah “maulid” bagi kalangan Muslim Indonesia tidaklah asing. Istilah yang kemudian menjadi tradisi ini selalu diperingati dengan meriah.

Secara etimologi, istilah “maulid” berasal dari bahasa Arab w-l-d yang berarti “kelahiran”. Kata ini biasanya disandingkan atau dikaitkan dengan Nabi Muhammad saw.

Karena itu “Maulid Nabi Muhammad” berarti usaha memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad yang dilakukan oleh seluruh umat Islam di seluruh dunia kecuali di Arab Saudi.

Semenjak kapan tradisi maulid ini dikenal di dunia Islam?. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Berdasarkan data yang ditemukan bahwa asal mula perayaan maulid dilakukan oleh penganut mazhab Syi’ah pada masa dinasti Fatimi di Mesir ketika dipimpin oleh Khalifah al-Mu’izz li al-Din Allah (341 H).

Menurut al-Sundubi sebagaimana yang dikutip Nico Kaptein bahwa perayaan maulid yang dilakukan oleh Khalifah Fatimi saat itu bertujuan ingin membuat dirinya lebih populer di kalangan rakyat.

Berbeda bagi kalangan Sunni seperti yang diungkapkan oleh Jalal al-Din al-Suyuthi dalam kitabnya “Husn al-Maqsid fi ‘Amal al-maulid” dijelaskan bahwa awal mula perayaan maulid dilakukan oleh seorang bernama Muzaffar al-Din Kokburi di kota Irbil.

Pernyataan al-Suyuthi ini nampaknya diambil dari ungkapan Ibn Katsir dalam kitabnya “Al-Bidayah wa al-Nihayah fi Tarikh” yang mengatakan bahwa al-Malik al-Muzaffar Abu Sa’id Kokburi adalah penguasa mulia yang selalu menjalankan ibadah maulid pada bulan Rabiulawal dan merayakannya secara meriah. (1932: 136).

Pernyataan ini menarik jika dibandingkan dengan pendapat kalangan Syi’ah di atas. Apa yang membedakan dua kutub itu berbeda pendapat ?. lagi-lagi pertentangan keyakinan pemikiran dua kutub itu menjadikan pendapat mereka sengaja atau tidak sengaja berbeda setu dengan lainnya.

Jika ditelusuri kenapa al-Suyuhti seolah-olah menutup mata akan realita sejarah perayaan maulid Nabi pada masa dinasti Fatimi yang bermazhab Syi’ah. Perlu mendapat analisa lebih jauh.

Jika alasan bahwa al-Suyuthi tidak mengetahui bahwa pada masa dinasti Fatimi pernah terjadi perayaan maulid sangatlah tidak logis, mengingat ia seorang ulama masyhur pada zamannya.

Di samping itu, ia pernah menulis kitab “Husn al-Muhadharah fi tarikh Misr wa al-Qahirah” yakni kitab yang berisi uraian tentang sejarah Mesir. Sehingga dengan begitu tidak mungkin jika ia tidak mengetahui bagaimana perkembangan yang terjadi pada dinasti Fatimi di Mesir.

Salah satu rujukan yang dipakai ketika ia menulis kitabnya adalah kitab “Khitat” karya al-Maqrizi, dan kitab “Mir’at al-Zamaan” karya Sibt Ibn al-Jauzi yang menguraikan uraian seputar perayaan maulid.

Lantas mengapa al-Suyuhti yang ber-mazhab Sunni berbeda pendapat? Menurut hemat saya sebenarnya al-Suyuthi mengetahui akan perayaan maulid pada masa dinasti Fatimi. Akan tetapi, ia menutupi realita sejarah itu.

Jika dipahami pilihan yang dipakai oleh al-Suyuthi sangatlah wajar, mengingat permasalahan tentang maulid adalah sebuah tema yang kontroversial antara dibolehkan atau dilarang.

Al-Suyuthi sebagai ulama yang mendapatkan mandat saat itu untuk memberikan fatwa prihal maulid adalah sebuah posisi yang penuh resiko. Karena konsekwensinya adalah akan adanya orang-orang yang akan mendukung atau menolaknya.

Bagi kalangan yang menolak perayaan maulid, mereka mengatakan bahwa maulid Nabi Muhammad adalah sebuah perbuatan yang bid’ah karena perayaan ini tidak pernah dijelaskan dalam Al-qur’an dan tidak pernah dilakukan oleh sahabat-sahabat nabi.

Alasan pendapat kelompok yang menolak di atas di benarkan oleh al-Suyuthi. Akan tetapi nampaknya ia mencoba mengantisipasi argumentasi ini dengan mengatakan bahwa perayaan maulid bagaimanapun pernah dilakukan oleh Muzaffar al-Din Kokburi seorang pemimpin yang sangat adil dan terpelajar dan salah satu tujuannya adalah tak lain yakni berusaha mendekatkan diri pada Allah.

Pemilihan al-Suyuthi terhadap Muzaffar al-Din Kokburi dengan menutupi data sejarah sebenarnya juga karena faktor ketidakcocokan al-Suyuthi terhadap keyakinan akidah yang dianut oleh Syi’ah sebagaimana tertuang dalam karyanya yang lain “Tarikh al-Khulafa”.

Dalam kitab ini ia mengatakan bahwa ia tidak akan membahas dinasti Fatimi karena imamat mereka tidaklah sah dengan alasan;

Pertama, garis keturunan mereka diragukan. Bahkan nama dinasti Fatimi juga tidak dibenarkan dan lebih baik jika memakai nama Banu Ubaid.

Kedua, kebanyakan Banu Ubaid termasuk orang-orang ateis yang membelot dari Islam.

Ketiga, mereka menuntut menjadi Khalifah ketika sudah ada seorang imam.

Dari sini bisa disimpulkan bahwa perayaan maulid yang kita peringati dengan meriah ini adalah sebuah tradisi yang mempunyai sejarah cukup lama. Meskipun begitu, perayaan yang tidak pernah dijelaskan dalam kitab suci ini, adalah warisan tradisi yang patut kita jaga dan lestarikan karena dengan perayaan maulid ini kita bisa ambil hikmahnya sebagai media mencintai Nabi terakhir yang saat ini mendapatkan gugatan dari sebagian umat Islam yang berfaham beda. Wallahu a’lam.


Artikel ini dimuat di surat kabar Lampung Post, edisi Jum’at 18 Februari 2011

Sabtu, 05 Februari 2011

** Etnis Tionghoa di Indonesia

Etnis Tionghoa di Indonesia

Oleh: K. Muhammad Hakiki[1]

Secara kuantitatif, etnis Cina masih merupakan golongan keturunan asing terbesar dibandingkan etnis asing lainnya di Indonesia. Bahkan golongan yang kemudian dikenal sebagai “Overseas Chinese” ini kini telah tersebar diseluruh penjuru Nusantara ini.

Eksistensi etnis Cina di Indonesia memang cukup lama. Menurut data sejarah, bangsa Cina pertamakali datang ke Indonesia diperkirakan sejak abad ke-5, tepatnya 411 M.

Dalam catatan sejarah, orang Cina yang pertamakali datang ke Nusantara adalah Fa Hian. Kedatangannya dalam rangka melaksanakan tugas untuk mengumpulkan kitab suci agama Budha.

Semenjak kemunculannya, perjuangan eksistensi etnis Cina di Indonesia tidak-lah indah. Ribuan nyawa dan kekayaan telah dikorbankan atau menjadi korban sebagai wujud perjuangan etnis Cina untuk bertahan eksis dinegeri ini.

Sajian sejarah pilu perjuangan etnis Cina dalam tulisan ini tidak bermaksud membuka kembali luka lama, akan tetapi, sajian sejarah ini bisa menjadi titik tolak bagaimana pentingnya menumbuhkan sikap saling menghargai terhadap etnis yang berbeda, atau agama yang berbeda.

Konflik pribumi dengan etnis Cina sebenarnya sudah terjadi ketika pertama kali etnis Cina datang ke Nusantara. Sikap anti Cina semakin kuat pada zaman Orde Lama (ORLA) tahun 1959 dengan munculnya keputusan larangan dagang bagi orang asing termasuk Cina. Kondisi ini membuat para pedagang Cina mendapat kesulitan. Buah dari kondisi ini, ada sekitar 100 ribu etnis Cina mencoba lari dari Indonesia menuju negeri asalnya.

Hubungan disharmonis semakin mengkristal terlebih setelah adanya kebijakan pemerintah ORBA terkait dengan etnis Cina di Indonesia; Keputusan Presidium Kabinet No.127/U/Kep/12/1966 menganai ganti nama bagi warga negara Indonesia yang memakai nama Cina. Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Instruksi Mendagri No. X/01 tahun 1977 tentang petunjuk pelaksanaan pendaftaran penduduk yang membuat warga keturunan dibedakan dengan warga pribumi.

Sikap anti Cina berujung di bulan Mei 1998 di Jakarta yang kemudian dikenal sebagai “Tragedi Mei”. Kerusuhan ini merupakan yang terparah dibandingkan dinegara lainnya, sehingga tak berlebihan jika Wang Guwu mengatakan bahwa;

tidak ada suatu golongan Cina perantauan di dunia yang mengalami demikian banyak keguncangan seperti yang dialami oleh minoritas Cina di Indonesia.”

Serangkaian sikap anti Cina di atas menurut hemat saya dipicu oleh beberapa faktor; diantaranya persaingan ekonomi, politik dan agama. Lebih dari itu, faktor yang sifatnya psikologis juga ikut memperkeruh, diantaranya adalah adanya ketidaksiapan masyarakat Cina dan Pribumi untuk hidup dalam masyarakat yang majemuk ini.

Adanya ketidaksiapan ini dipicu sikap “chauvinisme budaya”. Dalam hal ini orang Cina kerapkali menampilkan egoisme etnis dan menganggap bahwa mereka lebih hebat dan memiliki kebudayaan yang tinggi di bandingkan dengan masyarakat pribumi. Jika perasaan ini masih tetap tumbuh dikalangan etnis Cina, maka prasangkan dan kebencian terhadap etnis Cina akan sulit untuk dihilangkan.

Sikap anti Cina mulai meredup pada masa Reformasi. Hal tersebut terlihat dari ungkapan Presiden RI saat itu yakni B.J Habibie yang mengatakan;

bangsa Indonesia tidak mengenal perbedaan berdasarkan SARA. Menurutnya seluruh warga negara Indonesia adalah pribumi selama mereka masih memiliki komitmen terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Walaupun lahir dari keturunan pribumi, tetapi tidak memiliki komitmen terhadap persoalan kebangsaan, maka kualitas kebangsaannya perlu dipertanyakan.”

Dengan statemen ini, nasib etnis Cina mulai tercerahkan. ”Udara segar” semakin leluasa dihirup oleh mereka tepatnya pada masa pemerintahan Gusdur (Alm).

Ia menggagas ide pembauran sejati antara pribumi dan etnis Cina. Pada masa ini, mulai dipahami sebagai bagian dari kemajemukan budaya, dan mulai dihapuskannya beberapa peraturan negara yang cenderung merugikan etnis Cina. Salah satunya adalah perayaan Imlek dan upacara adat Cina lainnya yang sebelumnya dilarang kini sudah mulai diperbolehkan. Bahkan untuk kasus hari raya Imlek telah dijadikan sebagai hari libur nasional yang harus dihormati oleh seluruh warga Indonesia..

Dengan momen Imlek ini, sejatinya kita sebagai warga Indonesia yang dikenal akan keramahan dan kesantunannya dan etnis Cina, untuk selalu mengedepankan dan memupuk kembali "pohon" perdamaian dan menjalin harmoni. Dan kepada etnis Cina, saya mengucapkan selamat memperingati hari Imlek, marilah kita jalin kembali tali persaudaraan yang sempat pupus. []

Artikel ini pernah dimuat dalam kolom opini Surat Kabar Radar Lampung, edisi Rabu 02, Februari 2011.



[1] Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung

** Makna Simbolik Imlek

Makna Simbolik Imlek

Oleh: K Muhamad Hakiki[1]

Perayaan hari raya tahun baru imlek bagi etnis Cina bukan hanya sekedar ritual rutinitas tahunan biasa dan budaya saja, akan tetapi juga imlek merupakan warisan budaya yang sekaligus menyatu dengan kepercayaan agama. Karena itu, imlek bagi etnis Cina sangat bernilai sacral.

Jika ditelusuri akar sejarahnya, maka perayaan imlek atau dalam bahasa cina disebut dengan Sin Tjia, sebenarnya bermula dari sejenis perayaan yang kerapkali dilakukan oleh para petani di Cina pada setiap tanggal satu di bulan pertama di awal tahun baru. Tradisi ini juga berkaitan dengan pesta para petani untuk menyambut musim semi, dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama.

Nilai kesakralan dari perayaan imlek ini biasanya di isi dengan beberapa ritual keagamaan, di antaranya sembahyang kepada Sang Pencipta Alam, sembahyang leluhur, perayaan Cap Go Meh, dan banyak lagi ritual-ritual lainnya.

Ritual sembahyang leluhur dalam imlek misalnya, memiliki makna luas, tidak hanya sekadar memberi makan arwah leluhur. Dalam persepsi orang Cina, sembahyang leluhur adalah wujud bakti seorang anak kepada orangtuanya. Bakti kepada orang tua tidak hanya merawat dan menjaga hingga meninggal, tetapi juga setelah meninggal. Ini mengingatkan kita bahwa kita berada di dunia ini tidak semata-mata karena Tuhan, tetapi juga orangtua,

Ritual lainnya seperti menyalakan lilin atau lampion menurut Yu Ie, seseorang yang banyak mempelajari sejarah Tionghoa mengatakan bahwa ketika menyalakan lilin atau lampion, warga Tionghoa berharap agar dalam satu tahun ke depan hidup mereka menjadi terang seperti lilin.

Sedangkan pembuatan kue lapis dalam imlek juga merupakan simbol keinginan agar di tahun mendatang rezeki melimpah dan berlapis-lapis. Bunga sedap malam dihadirkan sebagai tekad untuk terus berlaku baik dan harum, seharum bunga sedap malam.

Tradisi simbolik lainnya yang selalu ditunggu-tunggu adalah pemberian ang pau. Makna ang pau menurut Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia, Budi Santosa Tanuwibawa, mengatakan bahwa ang pau yang diberikan pada saat imlek memiliki makna filosofi sebagai transfer kesejahteraan atau energi. "Transfer kesejahteraan dari orang mampu ke tidak mampu, dari orang tua ke anak-anak, dari anak-anak yang sudah menikah ke orang tua,"

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa tradisi pemberian ang pau, dalam kepercayaan Tionghoa sudah berlangsung sejak lama. Dalam tradisi Konghucu, pemberian angpau dilakukan tujuh hari menjelang Tahun Baru Imlek. "Harinya disebut Hari Persaudaraan. Ini merupakan bentuk kewajiban orang yang merayakan Tahun Baru Imlek membantu sesama yang tak mampu merayakannya."

Semua tradisi simbolik dalam perayaan imlek tersebut adalah sebagai bentuk perwujudan rasa syukur atas segala kenikmatan yang diberikan Tuhan kepada Manusia, dan juga doa harapan agar di tahun depan, mendapat rezeki yang jauh lebih banyak.

Karena itu, berbagai ritual simbolik keagamaan dalam perayaan imlek dapat dijadikan sebagai jalan keluar terhadap masalah-masalah yang dihadapi manusia, karena manusia itu sendiri mengalami situasi tekanan emosi dan jalan buntu, sebagaimana peran agama yang dijelaskan oleh Cliford Geertz.

Makna substansial lainnya dari imlek menurut hemat saya tidak hanya itu, imlek sebagaimana hari raya idul fitri dalam Islam, juga dimaknai sebagai hari raya yang memberikan pesan untuk saling bersilaturahmi dengan para kerabat dan juga dengan tetangga yang berbeda identitas—baik suku, ras, etnis, bahkan kepercayaan agama.

Simbol dari pesan silaturrahmi itu terlihat dari banyaknya menu makanan yang dibuat pada perayaan imlek. Ada sekitar dua belas menu makanan wajib yang harus dibuat. Berbagai menu makanan tersebut dijadikan sebagai jamuan, bahkan sebagian diberikan kepada para kerabat dan tetangga yang membutuhkan.

Dengan momen imlek yang ke-2562 kali ini, diharapkan pesan moral yang termaktub dalam imlek tersebut betul-betul bisa diaplikasikan tidak hanya dalam makna simbolik ritualitas dan rutinitas saja, akan tetapi juga dalam prilaku nyata manusia sehari-hari.

Pesan moral imlek yang tersimbolkan dalam ritualitas tersebut sejatinya bisa dijadikan sebagai media memupuk persaudaraan, toleransi, dan humanisme beragama di antara kita yang pernah terkoyak hanya demi kepentingan semu dan egosentrisme etnis dan agama. Kepada kalangan etnis Cina yang sedang merayakan imlek, saya mengucapkan selamat merayakannya.[]

.

Artikel ini pernah dimuat pada kolom opini surat kabar Lampung Post, edisi Jum'at, 4 Februari 2011 Description: D:\Opini\IMLEK LAMPOST_files\bening.gif



[1] Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung