Translate

Selasa, 20 Desember 2011

** Merubah Orientasi Pendidikan Agama

Oleh: K. Muhamad Hakiki

Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung

Dalam sebuah seminar internasional di Jerman yang diselenggarakan oleh Friedrich Naumann Foundation (FNF) tentang agama dan pendidikan, pertengahan Maret 2010 lalu, beberapa utusan dari negara-negara bekas Uni Soviet mengusulkan sebaiknya agama masuk ke dalam kurikulum pendidikan. Di antara Negara-negara yang berpartisipasi dalam kegiatan tersebut adalah Rusia, Belarusia, Slovenia, Kyrgistan dan Ukraina.

Alasan mereka mengusulkan masuknya agama dalam kurikulum pendidikan adalah karena mereka menganggap bahwa agama adalah bagian penting dalam sejarah kehidupan manusia. Menurut mereka kita tidak mungkin membicarakan manusia tanpa mengaitkan dengan agama.

Bagi saya, yang menarik dan aneh dari usulan yang dikemukakan oleh para aktivis dan pemikir tersebut adalah ternyata disuarakan oleh mereka yang berasal dari negara-negara yang memiliki latar belakang ateistik.

Dari kejadian tersebut, ternyata bagi kalangan yang ateistik, atau bagi negara-negara yang sekular pun peran agama masih dipertimbangkan masuk ke dalam kurikulum pendidikan.

Bagi negara Indonesia hal ini bukan ide baru, memasukan unsur agama ke dalam kurikulum sudah diaplikasikan sejak dahulu dengan porsi yang cukup banyak.

Lalu yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana peran agama begitu penting dan berpengaruh buat peserta didik?. Pendidikan yang seperti apa yang harus diajarkan di sekolah-sekolah?

Pertanyaan ini hemat saya penting karena sejatinya lembaga pendidikan tidak hanya melahirkan mereka yang hanya sekedar tau dan hafal ajaran agama, akan tetapi lupa menjadikan peran agama sebagai rahmat dalam kehidupan nyata.

Pendidikan agama yang diajarkan disekolah kerapkali hanya dijadikan sebagai alat dakwah atau misionari saja dengan mengajarkan berbagai doktrin agama, dan kurang atau mungkin tidak fokus pada orientasi mencetak sumber daya manusia yang betul-betul mengerti dan faham akan peran agama itu sendiri.

Salah satu bukti nyata bagaimana pendidikan agama belum aplikatif dalam kehidupan nyata adalah masih banyaknya kenakalan remaja usia sekolah, misalnya; tawuran antar pelajar, narkoba, sex bebas, bahkan yang baru-baru ini terjadi munculnya redikalisme dikalangan pelajar dan mahasiswa.

Lalu apa solusianya? Tidak lain adalah dengan merubah orientasi pendidikan agama disekolah yang harus memenuhi standar-standar ilmiah. Dengan begitu, para siswa akan memiliki pengetahuan agama secara objektif dan tidak berdasar kepada pengetahuan dan iman subjektif belaka.

Konsekuensi dari perubahan orientasi pendidikan agama di sekolah adalah bahwa tenaga pengajar agama bukanlah dominasi kalangan agamawan yang selalu mematrikan doktrin-doktrin “buta” tanpa kajian ilmiah, melainkan mereka yang masuk katagori ilmuan agama-lah yang layak untuk mengajarkan pendidikan agama tersebut.

Hal ini memang sulit dilakukan, mengingat sejauh ini, lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia masih mengandaikan pengajaran agama adalah bagian dari penyebaran agama. Sehingga guru-guru agama mestilah datang dari para da’i, pastur, pendeta, dan semodelnya.

Adanya pola kebijakan seperti itu disebabkan karena mereka masih menganggap bahwa materi pendidikan agama di sekolah masih diandaikan hanya sebatas teologi dan doktrin agama. Padahal tanpa kita sadari, kajian ilmu-ilmu agama dengan berbagai pendekatan telah berkembang luas hingga melampaui batas-batas teologi dan doktrin itu sendiri.

Kajian teks agama dengan cara menghapal selalu saja menjadi cara dominan di dalam mengajarkan pendidikan agama. Bahkan, tingkatan hapalan selalu dijadikan sebagai penilaian akan penguasaan agama.

Mereka lupa bahwa Kajian sosial atau fenomena beragama terkait perilaku yang dilakukan oleh umat beragama dianggap kurang penting. Bukankah agama harus terejawantahkan dalam prilaku itu sendiri.

Sebagai contoh, jika kita melihat kajian agama di Barat sangat-lah berkembang pesat. Beberapa tahun terakhir ini muncul minat yang luar biasa besar terhadap kajian agama (baca: Islam, Kristen, Budha, Hindu, bahkan agama lokal atau Indigenous religion) di dunia Internasional.

Kajian utama yang paling banyak menarik perhatian bukanlah mengenai doktrin agama itu sendiri, melainkan mengenai kajian perilaku umat beragama dan pandangan mereka terhadap agama yang dianutnya.

Akan tetapi, tantangan terbesar dalam pendekatan kajian agama semacam ini justru datang dari kaum agamawan itu sendiri. Mereka akan bersikukuh bahwa pendidikan agama adalah sarana menjaga dan menyebarkan iman. Itulah sebabnya, sejak dini anak-anak diberitahu mengenai doktrin-doktrin agama. Hal itu dilakukan agar sang anak kelak mengikuti keyakinan orang tuanya.

Sekali lagi, menurut hemat saya, cara agar peran agama begitu nyata dan aplikatif dalam kehidupan manusia adalah dengan merubah paradigma berfikir pentingnya studi agama di lembaga pendidikan menjadi lebih fakus pada kajian-kajian ilmiah dengan peningkatan nalar berfikir beragama bukan pada pendoktrinan yang membutakan dan membelenggu kreatifitas berfikir.[]

Dipublikasikan di Lampung Post, Jum’at 23 September 2011