Translate

Sabtu, 15 Januari 2011

Transmisi Ilmu

Transmisi Khazanah Intelektual Asing Ke Dunia Islam[1]

Oleh: K. Muhammad Hakiki, MA[2]

Dalam tulisan yang sederhana ini akan disajikan bentuk transmisi khazanah intelektual asing ke dunia Islam. Di antara bentuk transmisi tersebut adalah melalui penerjemahan beberapa karya tulis asing (warisan Yunani, Persia, India) dengan lebih terfokus pada masa dinasti Abasiyah. Adapun beberapa analisa akan lebih tertuju pada: masa awal transmisi khazanah intelektual, faktor-faktor yang melatar belakangi, aktor-aktor (transmitter) yang melakukan transmisi melalui bentuk penerjemahan.

Masa awal transmisi khazanah intelektual

Ekspedisi penaklukan oleh bangsa Arab yang dilakukan para khalifah Abu Bakar al-Siddik dan Umar ibn al-Khatthab dan diteruskan pada masa khalifah-khalifah Dinasti Umayyah dan Badi ‘Abbasiyah telah mencapai puncak kekuasaan yang begitu luas. Di antara daerah-daerah yang jatuh dalam kekuasaan bangsa Arab: Damsyik (4 H/629 M), seluruh Syam dan Irak (17 H/637 M), Mesir sampai Maroko (20 H/645 M), Persi (21 H/646 M), Samarkand (56 H/680 M), Andalusia (96 H/719 M). Pada masa penaklukan ke daerah-daerah tersebut, nampak misalnya bangsa Mesir, Syiria telah ditumbuhi oleh kebudayaan bangsa Yunani. Akan tetapi ketika daerah tersebut dikuasai oleh bangsa Arab, maka dengan begitu daerah tersebut telah lepas dari kungkungan bangsa Persi dan Bizantium.

Ada banyak faktor yang melatar belakngi kemenangan bangsa Arab yang begitu cepat menguasasi bangsa Timur Dekat semisal Mesir dan Syiria. Diantaranya adalah:

pertama, konflik yang sangat lama antara bangsa Persia dengan Romawi menyebabkan kekuatan mereka semakin lama semakin melemah, sehingga dengan melemahnya kedua adikuasa tersebut memudahkan bangsa Arab mengalahkannya.

Kedua, kedatangan bangsa Arab ke daerah Mesir, Siria dan Irak disambut dengan baik oleh mereka. Kedatangan bangsa Arab menurut mereka adalah sebuah proses pembebasan dari bangsa Konstantinopel yang pada waktu itu melakukan berbagai macam penindasan dengan dalih menjaga menjaga ortodoksi keagamaan, terutama sejak masa pemerintahan Justinan (527-565 M).

Pada saat Iskandariah, Mesir, Siria, dan Irak di kuasa bangsa Arab, daerah tersebut merupakan pusat studi filsafat dan teologi Yunani yang sangat penting, pada masa itu banyak banyak sekali karya-karya bangsa Yunan yang dikaji dan diterjemahkan, sehingga kajian mengenai ilmu filsafat, teoligi menjadi kajian menu yang digemari masyarakat pada waktu.

Ada dua buah lembaga studi Yunani yang masyhur pada waktu itu yakni Harran dan Jundisapur. Dua kota ini kelak yang akan membawa pengaruh pada dunia Islam. Harran, sebuah kota disebelah utara Syiria telah menjadi tempat bermukim aliran para pemuja binatang, yang selama pemerintahan dinasti ‘Abbasiyah dikelirukan dengan kaum Sabaean (al-Shaba’ah) yang disebut dalam al-Qur’an. Agama yang dianut mereka mampu membuat kaum Harran berbuat istimewa sebagai mata rantai penyebaran ilmu Yunani kepada bangsa Arab. Dan pada permulaan abad ke-9 mampu melengkapi istana ‘Abbasiyah dengan sekelompok astrolog yang terpilih. Diantara sarjana Harran yang utama diantaranya adalah Tsabit bin Qurra, putranya Sinan dan dua orang cucunya Tsabit dan Ibrahim. Mereka cukup banyak mempunyai peran atas tersebarnya ilmu Yunani di dunia Islam.[3]

Perguruan yang lainnya yakni Jundisapur, yang didirikan oleh Chosrous I (Anushirwan) sekitar tahun 555 M. lembaga ini dibangun sebagai lembaga utama pengkajian Helenik di Asia Barat, yang pengaruhnya telah menyebar sampai dunia Islam pada masa pemerintahan ‘Abbasiyah. Lembaga pendidikan Jundisapur mencapai masa puncaknya ketika lembaga pesaingnya Athena ditutup atas permintaan Kaisar Justianus. Zaman keemasan Jundisapur ternyata juga sampai pada masa kota Bagdad didirikan oleh Khalifah ‘Abbasiyah yaitu masa al-Mansur[4] pada tahun 762 M. karena Jundisapur secara geografis berdekatan dengan kota Bagdad, maka hubungan politis orang-orang Pesia dengan Khalifah ‘Abbasiyah semakin erat. Akibatnya, dari sekolah inilah perkembangan ilmiah dan intelektual menyebar ke dunia Isalam.

Bukti kedekatan mereka adalah adanya beberapa dokter yang menghunui di sekitar istana daulah ‘Abbasiyah, mereka adalah keluarga Nestorian dan Bakhtishu. Kedekatan mereka ditambah dengan ikut andilnya mereka dalam pembangunan rumah-rumah sakit dan tempat observatium di Bagdad dengan mengikuti model Jundisapur selama masa khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan al-Ma’mun (813-833 M).[5]

Berkat adanya kedekatan dengan orang-orang Jundisapur maka kian lama mereka yang berada di lingkungan istana merasa tertarik dengan khazanah yang berasal dari Yunani, meskipun pada waktu itu khazanah ilmu agam Islam (ilmu tafsir al-Qur’an, hadits, ushuluddin, fikih, tarikh, dan ilmu bahasa) telah mencapai pada fase puncak. Ketertarikan ini diwujudkannya dengan adanya perintah dari penguasa ‘Abbasiyah pada waktu itu untuk melakukan transmisi dengan cara melakukan serangkaian penerjemahan karya bangsa Yunani ke dalam bahasa Arab. Wujud dari adanya ketertarikan tersebut adalah dilakukannya dengan pendirian Bait al-Hikmah oleh al-Ma’mun[6] sebagai lembaga tempat pengkajian dan penerjemahan berbagai karya warisan bangsa asing.

Faktor yang melatar belakangi transmisi ilmu asing

Proses transmisi khazanah ilmu asing kedalam dunia Islam dilatar belakangi oleh beberapa faktor: pertama, luasnya daerah kekuasaan bangsa Arab, membuat daerah kekuasaan bangsa Arab dihuni oleh berbagai macam suku, etnis agama, kebudayaan, karakter yang berbeda-beda. Keanekaragaman tersebut membuat penguasa yakni bangsa Arab merasa perlu untuk melakukan tatanan pemerintahan demi terjaganya stabilitas negara atau pemerintahan. Karena itu berbagai bahasa, sistem tata negara, kebudayaan dan sejarahnya mestilah dipelajari untuk dapat menjalankan nastiti (policy) ketatanegaraan, hukum dan penyebaran agama Islam dengan baik. Di dalam perjumpaan dengan bangsa lain dan demi menjaga keutuhan agama Islam dari serangkaian “serangan” kepercayaan bangsa lain, maka kaum muslimin yang dimotori oleh penguasa melakukan atau mempelajari filsafat Yunani, tetapi dengan membersihkan terlebih dahulu dari unsur-unsur kesesatan atau kekafirannya. Untuk dapat memudahkan di dalam proses pemahaman maka dilakukanlah serangkaian penerjemahan pengetahuan bangsa Yunani kedalam bahasa Suryani. Penggunaan bangsa Suryani sebelum bahasa Arab sebagai media penerjemahan, karena bahasa Suryani serumpun dengan bahasa Arab, disamping itu banyak dari kaum Muslimin yang pandai berbahasa Suryani.[7]

Kedua, permasalahan praktis yakni bangsa Arab tidak mempunyai pengalaman dalam membuat laporan-laporan dan dokumentasi-dokumentasi negara. Sebelumnya bangsa arab memberikan tugas tersebut pada orang-orang yang sebenarnya masih mengabdi ke pada penguasa sebelumnya yakni Bizantium. oleh adanya kekhawatiran akan terjadi manipulasi, maka penguasa bangsa Arab mengganti bahasa Persia dan Yunani dengan bahasa Arab sebagai bahasa resmi menjelang akhir abad ke-7. pertimbangan praktis tersebut menghendaki adanya penterjemahan naskah-naskah ilmiah budaya asing ke dalam bahasa arab, sekalipun baru terbatas pada ilmu pragmatis seperti; ilmu kedokteran, kimia, dan astrologi.

Aktor-aktor (transmitter)

Ada banyak aktor (transmitter) yang melakukan usaha transmisi budaya asing (khazanah ilmu yang termaktub dalam berbagai karya tulis) ke dunia Islam dalam bentuk penerjemahan ke dalam bahasa Arab diantara mereka yang sangat berjasa adalah:

  1. Hunayn bin Ishaq (194-260 H./810-873 M)
  2. Hubbaisy al-A’sam
  3. ‘Isa ibn Ibrahim
  4. ‘Isa bin Yahya
  5. Stefannus ibn Bassilus
  6. Yahya ibn Bathriq (lahir 199 H./815 M)
  7. Yahya ibn Adiya
  8. Yahya ibn Adiya
  9. Qustha ibn Luqa (205-300 H./820-913 M)
  10. Matta al-Nathuri
  11. Ibn Naimat
  12. Abu Bisyri
  13. Ibrahim ibn ‘AbdillahAbu Ruh al-Shabi
  14. Al- Hajjaj ibn Maththar
  15. Tsabit ibn Qurra
  16. Abu ‘Ustman al-Damsyiq
  17. Ibrahim ibn Shalti
  18. Jabalah ibn Salim
  19. Abdullah ibn Muqaffa
  20. Maniaka al-Hindi
  21. Ibnu Dahni

Untuk mengetahui secara lengkap berbagai karya bangsa asing (Yunani, persia, India) yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab dapat dilihat dalam kitab karya Ibnu al-Nadhim, Fihrist al-‘Ulum. Kitab ini berisi catatan lengkap tentang karya-karya asli bangsa Yunani, Persi, India, Qibti, dan Suryani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa daulah ‘Abbasiyah, terutama pada masa menjelang Khalifah al-Watsiq. Wallahu a’lam.

Tulisan ini pernah di muat di Jurnal Dialektika Fakultas Hukum Universitas Mathla’ul Anwar Banten edisi 11 September 2009.



[1] Makalah sederhana ini awalnya adalah bahan diskusi yang dipresentasikan bersama Prof. Dr. Badri Yatim, MA dan Dr. Abdul Chaer, MA di PPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta tahun 2005.

[2] Dosen Fakultas Hukum Universitas Mathla’ul Anwar Banten dan IAIN Raden Intan Lampung. Kini sedang menyelesaikan studi S3 di UIN Bandung.

[3] Majid Fakhry, A. History of Islamic Philosophy, prtj. R. Mulyadhi Kartanegara, Pustaka Jaya, Jakarta, 1986, h. 30.

[4] Pada masa khalifah al-Mansur oleh para ahli dilaporkan sebagai masa diterjemahkannya beberapa risalah Aristoteles, Almageste karya Ptolemius, Elements karya Euclid dan beberapa karya Yunani lainnya. (lihat Al-Mas’udi, Muruj al-Dzahab, Jilid VIII, h. 291-292. adapun serjana yang terkenal sebagai penterjemah pada masa al-Mansur adalah al-Bithriq (dalam bahasa Yunani: Patrikios) yang dianggap berjasa dalam menterjemahkan karya-karya dalam bidang kedokteran dan astrologi. (lihat Ibnu al-Nadim, Al-Fihris, h. 354.

[5] Majid Fakhry, A History pf Islamic……., h. 31.

[6] Khalifa al-Ma’mun adalah seorang khalifah yang memberikan penghormatan yang mendalam terhadap khazanah intelektual. Sebagai bukti kecintaannya adalah beliau memimpin majlis para cendikiawan di mana perdebatan-perdebatan teologis dan folosofis seriing diperdebatkan secara bebas, disamping itu ia juga menyusun sejumlah risalah terutama yang berkenaan dengan masalah teologis yang dijiwa aliran Mu’tazilah seperti Risalah tentang Islam dan Syahadat Kesatuan dan risalah lain tentang Bintang-bintang Ramalan, dan masih banyak karya lainnya. (lihat, Ma’udi, Muruj……jilid VII, h. 7-10, 39. Khalifah al-Ma’mun dikenal sebagai penyokong terbesar daulah ‘Abbasiyah bagi kemajuan filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya sepanjang sejarah umat Islam. akan tetapi sangat disayangkan, al-Ma’mun sebagai seorang yang sangat menghargai kebebasan dan tidak disangsikan lagi kemurahan hatinya, tapi pemerintahannya hampir bisa dikatakan tidak toleran. Perhatiannya yang begitu besar terhadap salah satu aliran teologi yakni Mu’tazilah membuatnya ia melakukan berbagai penindasan dalam bentuk penyiksaan terhadap mereka yang mempunyai dan mempertahankan keyakinan kepercayaan diluar aliran teologi Mu’tazilah. Sebutsaja korbannya misalnya Ahmad bin Hambal, an-Nasai dan masih banyak lagi yang lainnya.

[7] S.I Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, P3M Cet II, Jakarta, 1986, h. 9.

Kamis, 06 Januari 2011

** Integrasi Ilmu

Integrasi Ilmu

Oleh: K. Muhamad Hakiki

Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, Kandidat Doktor UIN Bandung

Masih teringat dalam benak saya, ketika kecil dahulu yang hidup di perkampungan, jauh dari keramaian kota dan modernisasi. Saat masa menuntut ilmu di pesantren tradisional, guru dan orang tua selalu mewanti-wanti agar mengutamakan mempelajari dan mendalami ilmu agama dibandingkan ilmu lainnya (baca: umum). Pada saat itu, saya—atau mungkin juga kita—tidak sadar kalau sebenarnya mereka telah melakukan atau “tertular” oleh namanya “dikotomi ilmu” (pengkotak-kotakan ilmu) sebuah istilah yang asing dan baru.

Pesan orang tua yang masih terngiang dalam benak saya ketika itu adalah: “Nak…ilmu agama dapat membawa keselamatan dunia dan akhirat. Tuhan tidak menanyakan apakah kita ahli dalam ilmu matematika, ekonomi atau lainnya, Tuhan hanya akan menanyakan hal yang berkaitan dengan agama”.

Fenomena di atas sangatlah wajar terjadi. Karena, ketika kita membaca karya-karya yang dihasilkan oleh kalangan ilmuwan (baca: Islam), maka permasalahan dikotomi ilmu ke dalam dua bagian—agama dan non-agama— ternyata bukanlah hal yang baru. Jauh sebelum itu, sekitar seribu tahun yang lalu misalnya Imam al-Ghozali (w. 1111) dan Ibn Khaldun (w. 1406), dalam karyanya telah melakukan hal serupa.

Tradisi dikotomi ilmu dikalangan umat Islam pada masa itu tidak banyak mengandung problem dalam pendidikan Islam. Berbeda dengan sekarang, yang dimulai ketika Barat melakukan ekspansi dan imperialisme ke dunia Islam, permasalahan dikotomi ilmu kian menemui banyak problem.

Di antara permasalahan yang muncul adalah adanya kesenjangan dalam sumber hukum. Mereka yang mendukung ilmu agama akan menganggap pesan Ilahiah dalam bentuk kitab suci-lah yang paling mempunyai otoritas menilai kebenaran. Hal tersebut berbeda bagi orang yang mendukung ilmu non-agama (baca: umum), mereka akan menganggap sebaliknya, justru penglihatan panca indra-lah yang paling benar, karena menurutnya, satu-satunya sumber ilmu adalah pengalaman empiris.

Permasalahan lainnya berkaitan dengan status hukum—sah atau tidak sah, ilmiah atau tidak ilmiah untuk dijadikan sebagai disiplin ilmu. Sains Modern telah melakukan vonis bahwa objek ilmu bisa dikatakan sah dan ilmiah “jika ia dapat diobservasi dan diamati oleh indra”. Nah, dengan demikian, segala macam objek ilmu jika keluar dari ketentuan di atas, sekalipun ia rasional, maka ia tidaklah sah untuk dikatakan ilmiah.

Pada sisi lain, kalangan ilmuan Islam-pun berbuat hal yang serupa, mereka secara fanatik pula menganggap bahwa panggalian ilmu-ilmu yang non-fisik adalah suatu keharusan karena pada sisi inilah realitas kebenaran yang sebenarnya akan didapatkan, seperti apa yang diungkapkan oleh al-Ghozali yang mengatakan bahwa “mempelajari ilmu-ilmu agama adalah fardhu ‘ain hukumnya dan mempelajari ilmu-ilmu umum fardhu kifayah”. Fatwa tersebut secara tidak disadari menyebabkan kemerosotan dikalangan dunia Islam pada penguasaan disiplin ilmu-ilmu non-agama.

Dua persepsi di atas—yang satu bangga dengan penguasaan ilmu-ilmu fisik dan di lain pihak bangga dengan ilmu-ilmu non-fisik secara tidak disadari menjadi problem dalam menentukan klasifikasi ilmu.

Dilain pihak, kalangan pembela agama juga melakukan sikap ekslusifisme terhadap metode indrawi di atas. Bahkan lebih dari itu mereka merancang seperangkat metode yang sebenarnya tidak dapat mengembangkan ilmu, justru sebaliknya akan “mengkerdilkan” ilmu tersebut.

Keran-keran berfikir kritis, inofatif dan ilmiah mereka tutup dengan segudang klaim hukum bid’ah, haram dan sebagainya. Kalangan pembela ilmu agama menganggap hanya dirinya yang mempunyai otoritas penuh dan tak dapat diganggu gugat.

Itu-lah di antara sederet permasalahan dan problem meskipun sebenarnya banyak masalah dan problem lainnya. Karena itu, upaya meng-integrasi-kan ilmu merupakan hal yang urgen saat ini, dan hal ini-lah yang sedang diupayakan oleh perguruan berbasis Islam seperti UIN, IAIN, STAIN ke depan.

Di antara pola integrasi ilmu yang perlu digalakan saat ini adalah terkait dengan metodologi ilmiah yakni metode observasi dengan alat indra, metode rasional dengan akal, dan metode intuitif dengan hati. Hal tersebut harus dilakukan, karena, masing-masing metode tersebut mempunyai kelemahan dan kelebihan.

Karena itu, kelemahan dan kelebihan itu hendaknya di jadikan sebab untuk saling melengkapi satu sama lainnya, bukan untuk saling menjatuhkan. Mari kita kembangkan integrasi ilmu, demi mewujudkan para ilmuan yang berkualitas tinggi sekaligus berbudi luhur.

Tulisan ini pernah dimuat di surat kabar Lampung Post, Jum’at 7 Januari 2011

** Nabi dan Misi Pembebasan Kaum Perempuan

Nabi Dan Misi Pembebasan Kaum Perempuan

Oleh:

K. Muhammad Hakiki

Peneliti LP3M, Universitas Mathla’ul Anwar, Banten

Artikel ini di tulis ketika saya membaca beberapa karya para orientalis kawakan diantaranya Sir William Muir dalam bukunya “Life of Mohammad”, Emile Dermenghem dalam bukunya “La Vie de Mahomet”, Washington Irving dalam bukunya “Life of Mahomed”, Hensi Lammens dalam “L'Islam” yang mencoba melakukan penelusuran sejarah Nabi (baca; Muhammad) sampai pada hal yang sangat pribadi sekali pun dalam hal ini tentang prilaku pernikahan nabi.

Bagi beberapa kaum orientalis, prilaku pernikahan nabi dalam hal ini poligaminya Nabi dianggap sebagai hal yang sangat nista dan licik. Nabi Muhammad dianggap Nabi yang haus sex, licik, karena ia telah melarang kaum-nya untuk menikah tidak lebih dari empat dalam waktu bersamaan akan tetapi ia sendiri malah sampai sembilan, bukankah hal ini adalah salah satu bentuk kecurangan dan pembohongan. Menurut mereka, Nabi Muhammad telah menjadi orang yang dibuai syahwat, air liurnya mengalir bila melihat wanita. Itulah di antara beberapa komentar para kaum orientalis terhadap Nabi Muhammad saw.

Dalam artikel kali ini, penulis akan mencoba menelusuri sejarah model pernikahan zaman pra-Islam, sekaligus penelusuran di balik pernikahan nabi dengan beberapa perempuan Arab pada waktu itu. Langkah ini untuk membuktikan apakah klaim-klaim yang "disarangkan" oleh kalangan orientalis itu benar atau sebaliknya, salah.

Jika kita membaca sejarah kehidupan masyarakat Arab pra-Islam, banyak tata cara perkawinan pada waktu itu menjadikan posisi perempuan sebagai pihak yang tertindas, makhluk pemuas nafsu kaum laki-laki. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa model perkawinan yang dipraktekkam pada masa pra-Islam, diantaranya:

Pertama, Model perkawinan Istibdha’ (jima), yakni suatu model perkawinan dimana seorang suami meminta istrinya melayani seorang laki-laki lain yang terkenal dengan kemuliaan, kecerdasan, demi untuk mengharapkan keturunan yang seperi itu. Pada saat itu, sang suami yang sah tidak boleh menggauli istrinya sampai telah jelas bahwa istrinya sedang dalam kondisi hamil. Tujuan model perkawinan ini adalah agar pasangan suami istri itu mempunyai keturunan yang sesuai dengan kualitas laki-laki yang dipilih untuk menggauli istrinya itu.

Kedua, Model perkawinan al-Maghtu (kebencian), yakni perkawinan dimana seorang anak laki-laki mengawini istri bapak kandungnya atau ibu tirinya setelah bapaknya meninggal. Jika sang anak tersebut menginginkan istri bapaknya yang sudah meninggal, maka ibu tirinya tersebut tidak boleh menolak keinginan anak tirinya. Apabila anak tirinya masih dalam usia belia, maka pihak keluarganya membolehkan untuk menawan ibu tiri tersebut sampai anak tersebut berusia dewasa.

Ketiga, Model perkawinan al-Rahthun (poliandri), yakni model perkawinan dimana beberapa orang laki-laki menggauli seorang perempuan. Seteleh perempuannya hamil dan melahirkan, maka ia mengumpulkan semua laki-laki yang pernah menggaulinya dan memilih salah satunya untuk menjadi bapak yang sah dari anaknya.

Keempat, Model perkawinan al-Syighar (tukar menukar), yakni model perkawinan dimana seorang laki-laki mengawinkan anak perempuan atau saudara perempuannya tanpa mahar. Dalam model perkawinan seperti ini telah dijelaskan oleh nabi bahwa seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain; kawinkan saya dengan anakmu dan aku akan kawinkan kamu dengan anakku. Dan nabi mengatakan bahwa perkawinan seperti ini dilarang.

Model perkawinan badal (tukar menukar istri), perkewinan seperti ini dilakukan pada zaman pra Islam dimana dua orang suami telah sepakat untuk saling menukar istri tanpa ada perceraian. Tujuan model perkawinan seperti ini bertujuan melepaskan libido atau kebosanan. Dan jenis hubungan seperti ini sampai saat ini masih marak di praktekkan, khususnya dikalangan perkotaan.

Kelima, Model perkawinan baghaya (perempuan tuna susila), dalam hal ini sekelompok laki-laki secara bergantian menggauli sorang perempuan pelacur. Jika kemudian pelacur itu melahirkan seorang anak, kelompok laki-laki itu pun mendatanginya, dan pelacur tersebut memilih laki-laki tersebut menjadi ayahnya sesuai dengan kemiripan anaknya.

Keenam, Model perkawinan khadan (berpacaran), sebuah model perkawinan dimana antara seorang laki-laki dan perempuan berkumpul layaknya seperti suami istri tanpa ada pernikahan yag sah (kumpul kebo).

Ketujuh, Model perkawinan al-Irits (warisan), model seperti ini dimuali ketika meninggalnya seorang suami yang tidak memiliki keturunan, dan sang istri diwariskan kepada kerabat terdekatnya.

Berbagai model perkawinan ini kemudian dikoreksi nabi dengan melakukan perkawinan yang dapat mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan, baik dari segi hukum, sosial dan kesopansantunan.

Akan tetapi sayangnya peraktek pernikahan yang dilakukan oleh Nabi dengan beberapa perempuan kemudian di salah pahami. Padahal praktek poligami Nabi dilakukan dengan beberapa alasasan. Ada beberapa faktor mengapa Nabi berpoligami pada sat itu;

Pertama adalah sebagai sarana pendidikan. Allah swt menurunkan Al-qur’an ke bumi masih dalam bentuk gelobal meskipun ada diantaranya yang sudah terperinci seperti dalam permasalahan warisan. Disinilah Posisi nabi sebagai penyampai risalah Tuhan sekaligus juga pentafsir awal ayat-ayat Tuhan yang masih global, penjelasan nabi tersebut kemudian disebut dengan hadits yeng terbagi ke dalam hadits qauliyah (ucapan), fi’liyah (perbuatan), dan taqririyah (ketetapan).

Penjelasan Nabi berupa hadits tersebut kemudian dijadikan sebagai ketetapan hukum kedua setelah Al-qur’an yang harus diinformasikan kepada umat. Atas dasar itu-lah kemudian Nabi melakukan poligami dalam rangka mencetak para ibu yang bisa manyampaikan penjelasan kepada kaum perempuan pada waktu itu, terutama hukum yang berkaitan dengan masalah perempuan seperti hubungan suami istri, haidh dan lain sebagainya. Keputusan untuk mempunyai banyak istri pada waktu itu disadari oleh Nabi karena karakter Nabi yang pemalu dan juga biasanya kalangan perempuan merasa malu untuk menanyakan langsung kepada Nabi. Dan disinilah posisi istri-istri Nabi menjadi peran sebagai juru dakwah.

Faktor kedua adalah sebagai usaha koreksi terhadap tradisi jahiliyah. Pada masa pra-Islam, teradisi berpoligami tidak ada batasnya dan cenderung melakukan marjinalisasi terhadap kaum perempuan. Bahkan pada masa itu, kedudukan perempuan sangat tidak manusia, kelahiran seorang perempuan dianggap sebagai aib bagi masyarakat sehingga banyak anak-anak perempuan yang harus dikubur hidu-hidup. Kaum perempuan hanya dijadikan sebagai objek nafsu belaka seperti yang terlihat dalam beberapa model perkawinan di atas.

Faktor ketiga yang menjadikan Nabi berpoligami adalah demi untuk kepentingan politik sebagai dakwah Islam dan mempererat tali persaudaraan. Langkah ini dilakukan oleh nabi dengan memperistri anak dari Abu Bakar yakni Aisyah dan Hafsah yang merupakan anak dari Umar.

Menarik untuk menyoroti pernikahan Nabi dengan Aisyah. Saat itu Aisyah masih sangat belia, dan rupanya, pernikahan itu menurut riwayat langsung atas petunjuk Tuhan sendiri. Dalam petunjuk itu, Aisyah akan menjadi seorang penceritra ucapan-ucapan Nabi setelah Nabi meninggal dan Aisyah pun mendapatkan jaminan umur panjang.

Bukti lain bagaimana poligami Nabi bernuansa politik dalam rangka mengembangkan sayap dakwah Islam adalah dengan memperistri Juwairiyah binti al-Harits yang merupakan putri dari pemimpin Bani Musthaliq, Syafiyah Binti Hayyi bin Akhtab putri dari pemimpin kabilah Bani Quraizhah, serta Ummu Habibah Ramlah binti Abi Sufyan bin Harb putrid seorang pemimpin Quraisy.

Dengan memperistri para petinggi Arab pada waktu itu diharapkan dakwah Nabi akan lebih mudah dan tidak lagi mendapat tekanan keras. Dan hal itu memang terbukti, banyak di antara para pengikut kabilah tersebut yang kemudian masuk Islam.

Tidak hanya itu, jika kita melihat dari segi usia istri-istri Nabi hanya satu orang yang berusi muda yakni Aisyah sedangkan istri-istri Nabi yang lainnya relatif sudah tak muda lagi dan sudah mempunyai anak seperti Umu Salama bt. Abi Umayya bin'l-Mughira, Sauda bint Zam'a, Hafsha, Zainab bt. Khuzaima, Zainab bt. Jahsy, Khadijah. Dan yang lebih penting, ketika Nabi melakukan poligami, saat itu ia telah berusi lebih dari lima puluh tahun. Jadi sangat tidak mungkin dan logis jika motif Nabi melakukan poligami adalah semata-mata karena faktor sexsual seperti apa yang dituduhkan kalangan orientalis di atas. Wallahu a’lam.

Artikel ini pernah di muat dalam surat kabar Fajar Banten, 14 Mei 2007

** Menguak Motif Poligami Nabi Muhammad Saw

Menguak Motif Poligami Nabi

Oleh. K. Muhammad Hakiki

Santri Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Wacana tentag poligami kembali menyeruak dan menjadi isu kontroversial terpanas akhi-akhir ini. Arena diskusi dan perdebatan di berbagai media kembali di gelar. Ada yang pro dan banyak pula yang kontera. Mereka yang pro biasanya disuarakan oleh kalangan elite agama sebagai wujud pembelaan terhadap teks-teks suci-nya, sedangkan mereka yang kontera biasanya disuarakan oleh kalangan feminis.

Memanasnya kembali wacana ini (baca: poligami) dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, semakin banyaknya aksi kekerasan di rumah tangga baik yang menimpa istri maupun anak sebagai korbannya. Alasan kedua, dan mungkin ini hanya kebetulan saja yakni berpoligaminya da’i kondang Aa Gym.

Tulisan ini pun ikut mencoba nimbrung dalam arena diskusi tentang poligami. Akan tetapi, kajian ini tidak akan menyajikan pembahasan diseputar boleh atau tidak-nya berpoligami dengan segudang argumentasi. Tulisan ini akan mencoba mengungkap sejarah awal munculnya permasalahan poligami yang dilakukan oleh “manusia suci” yakni Nabi Muhammad saw. Dengan begitu, diharapkan permasalahan poligami yang memanas ini dapat disikapi dengan bijak.

Sejarah poligami Nabi.

Poligami yang dilakukan oleh Nabi pada awalnya begitu mulia. Ada beberapa faktor mengapa Nabi harus berpoligami pada sat itu;

Pertama adalah sebagai sarana pendidikan. Allah swt menurunkan Al-qur’an ke bumi masih dalam bentuk gelobal meskipun ada diantaranya yang sudah terperinci seperti dalam permasalahan warisan. Disinilah Posisi nabi sebagai penyampai risalah Tuhan sekaligus juga pentafsir awal ayat-ayat Tuhan yang masih global, penjelasan nabi tersebut kemudian disebut dengan hadits yeng terbagi ke dalam hadits qauliyah (ucapan), fi’liyah (perbuatan), dan taqririyah (ketetapan)

Penjelasan nabi berupa hadits tersebut kemudian dijadikan sebagai ketetapan hukum kedua setelah Al-qur’an yang harus diinformasikan kepada umat. Atas dasar itu-lah kemudian nabi melakukan poligami dalam rangka mencetak para ibu yang bisa manyampaikan penjelasan kepada kaum perempuan pada waktu itu, terutama hukum yang berkaitan dengan masalah perempuan seperti hubungan suami istri, haidh dan lain sebagainya. Keputusan untuk mempunyai banyak istri pada waktu itu disadari oleh nabi karena karakter nabi yang pemalu dan juga biasanya kalangan perempuan merasa malu untuk menanyakan langsung kepada Nabi. Dan disinilah posisi istri-istri nabi menjadi peran sebagai juru dakwah.

Factor kedua adalah sebagai usaha koreksi terhadap tradisi jahiliyah. Pada masa pra-Islam teradisi berpoligami tidak ada batasnya dan cenderung melakukan marjinalisasi terhadap kaum perempuan. Bahkan pada masa itu, kedudukan perempuan sangat tidak manusia, kelahiran seorang perempuan dianggap sebagai aib bagi masyarakat sehingga banyak anak-anak perempuan yang harus dikubur hidu-hidup. Kaum perempuan hanya dijadikan sebagai objek nafsu belaka. Banyak tata cara perkawinan pada waktu itu menjadikan perempuan sebagai pihak yang diragukan. Berikut beberapa model perkawinan yang dipraktekkam pada masa pra-Islam.

Model perkawinan Istibdha’ (jima), yakni suatu perkawinan dimana seorang suami meminta istrinya melayani seorang laki-laki lain yang terkenal dengan kemuliaan, kecerdasan, demi untuk mengharapkan keturunan yang seperi itu.

Model perkawinan al-Maghtu (kebencian), yakni perkawinan dimana seorang anak laki-laki mengawini istri bapak kandungnya atau ibu tirinya setelah bapaknya meninggal.

Model perkawinan al-Rahthun (poliandri), yakni model perkawinan dimana beberapa orang laki-laki menggauli seorang perempuan. Seteleh perempuannya hamil dan melahirkan, maka ia mengumpulkan semua laki-laki yang pernah menggaulinya dan memilih salah satunya untuk menjadi bapak yag sah dari anaknya.

Model perkawinan al-Syighar (tukar menukar), dalam model ini dijelaskan oleh nabi bahwa seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain; kawinkan saya dengan anakmu dan aku akan kawinkan kamu dengan anakku. Dan nabi mengatakan bahwa perkawinan seperti ini dilarang.

Model perkawinan badal (tukar menukar istri), perkewinan seperti ini dilakukan pada zaman pra Islam dimana dua orang suami telah sepakat untuk saling menukar istri tanpa ada perceraian.

Model perkawinan baghaya (perempuan tuna susila), sekelompok laki-laki secara bergantian menggauli sorang perempuan pelacur. Jika kemudian pelacur itu melahirkan seorang anak, kelompok laki-laki itu pun mendatanginya, dan pelacur tersebut memilih laki-laki tersebut menjadi ayahnya sesuai dengan kemiripan anaknya.

Model perkawinan khadan (berpacaran), sebuah model perkawinan dimana antara seorang laki-laki dan perempuan berkumpul layaknya seperti suami istri tanpa ada pernikahan yag sah (kumpul kebo).

Model perkawinan al-Irits (warisan), model seperti ini dimuali ketika meninggalnya seorang suami yang tidak memiliki keturunan, dan sang istri diwariskan kepada kerabat terdekatnya.

Berbagai model perkawinan di atas yang kemudian ditentang oleh nabi, dan nabi pun mengoreksinya dengan melakukan perkawinan yang dapat mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan, baik dari segi hukum, social dan kesopansantunan.

Factor ketiga yang menjadikan nabi berpoligami adalah demi untuk kepentingan politik sebagai dakwah Islam dan mempererat tali persaudaraan. Faktor ini dilakukan oleh nabi dengan memperistri anak dari Abu Bakar yakni Aisyah dan Hafsah yang merupakan anak dari Umar.

Menarik untuk menyoroti pernikahan nabi dengan Aisyah. Saat itu Aisyah masih sangat belia, dan rupanya, pernikahan itu menurut riwayat langsung atas petunjuk Tuhan sendiri. Dalam petunjuk itu, Aisyah akan menjadi seorang penceritra ucapan-ucapan nabi setelah nabi meninggal dan Aisyah pun mendapatkan jaminan umur panjang.

Bukti lain bagaimana poligami nabi bernuansa politik dalam rangka mengembangkan sayap dakwah Islam adalah dengan memperistri Juwairiyah binti al-Harits yang merupakan putri dari pemimpin Bani Musthaliq, Syafiyah Binti Hayyi bin Akhtab putri dari pemimpin kabilah Bani Quraizhah, serta Ummu Habibah Ramlah binti Abi Sufyan bin Harb putrid seorang pemimpin Quraisy.

Dengan memperistri para petinggi Arab pada waktu itu diharapkan dakwah nabi akan lebih mudah dan tidak lagi mendapat tekanan keras. Dan hal itu memang terbukti, banyak diantara para pengikut kabilah tersebut yang kemudian masuk Islam.

Demikianlah beberapa motif nabi melakukan poligami. Akan tetapi, sangat disayagkan, poligami yang awalnya begitu mulia, yakni sebagai sarana dakwah Islam kemudian pada fase berikutnya (baca: saat ini) harus dibumbui dengan alasan-alasan yang sifatnya kesenangan duniawi, yakni hanya sebagai pemenuhan hasrat seksual belaka, sehingga yag terjadi adalah poligami bukannya menyelesaikan permasalahan, akan tetapi, justru sebaliknya, poligami dapat merusak keharmonisan keluarga yang sebelumnya tertata rapi. Dan, pada akhinya yang menjadi korban adalah istri dan anak-anak. Wallahu a’lam.

Artike ini pernah dimuat di surat kabar Radar Lampung 15 Januari 2007