Translate

Senin, 12 November 2012

** Buku: Peta Gerakan Inteligensia Muslim Indoniesia



Kolom Resensi Surat Kabar Lampung Pos, 2006

Peta Gerakan Inteligensia Muslim Indoniesia


Judul Buku: Inteligensia Muslim dan Kuasa; Genealogi Inteligensia Muslim   Indonesia Abad Ke-20
Penulis: Dr. Yudi Latif
Penerbit: Mizan, Bandung
Tahun Cetak: Cetakan I, Oktober 2005
Tebal: xx + 740Halaman
Langit dan Bumi: Sebuah Pilihan



Oleh: K. Muhammad Hakiki

“Para intelektual haruslah mereka yang pada dasarnya aktivitaasnya tidak untuk mencapai tujuan-tujuan praktis” (Julian Benda, “La Trahison des Clercs”: 1959:30). Ungkapan Julian Benda di atas sangatlah relevan untuk mengomentari kehadiran buku ini,  betulkah para intelektual atau istilah Inteligensia sebagaimana yang digunakan dalam buku ini melakukan aktivitasnya dengan cara “berselingkuh” dengan elite penguasa demi untuk mencapai tujuan-tujuan praktis semata? Ataukah ada tujuan lain ? sejauhmana “perselingkuhan” itu terjadi? Sederet pertanyaan ini yang menjadi kegelisahan penulis buku ini untuk mencoba memetakan apa dan bagaimana sebenarnya hal itu terjadi.
Nama Yudi Latif adalah sebuah nama yang sempat tenar sebagai aktivis muda jalanan di era 80-an akhir, saat ia masih duduk di bangku kulih  Universitas Pajajaran, Bandung. Nama Yudi Latif pun semakin bersinar dengan meluncurnya buku “Masa Lalu Yang Membunuh Masa Depan” yang merupakan buah tangan pertama yang ia telurkan pada waktu itu. Buku tersebut berisi kumpulan tulisan “bunga rampai” yang ia terbitkan di berbagai media masa yang berisi kajian seputar isu-isu demokrasi, agama dan lainnya,  dan kemudian di terbitkan oleh Mizan.
Nama Yudi Latif kemudian sempat menghilang selama beberapa tahun, rupaya ia berhijrah untuk Studi ke negeri Kanguru (Australia) dan singga di sebuah Universitas ternama di negara itu, Australian National University namanya.
Kini, setelah kembali, nama Yudi Latif dengan dibumbui gelar “Dr” kembali membetot dunia keilmuan bumi Nusantara dengan oleh-oleh terbitnya sebuah buku tebal yang berjudul "Inteligensia Muslim dan Kuasa; Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20”. Buah tangan kreatif  Yudi Latif ini mencoba memotret genealogi pemikiran intelegensia  muslim Indonesia sepanjang abad 20. Mulai dari generasi intelektual  awal seperti Agus Salim yang mengusung ideologi  sosialisme Islam, kemudian diteruskan oleh generasi berikutnya yakni generasi Natsir yang menyuarakan nasionalisme Islam, dan disambung kemudian oleh generasi Nurcholish Madjid (Cak-Nur) dan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang dengan gigih  mengkampanyekan sekularisasi  dan pribumisasi Islam, hingga generasi terakhir yang lantang  menyuarakan gagasan Islam yang liberal. Konteks sosial-politik dan karakter  intelektual masing-masing yang lekat pada setiap generasi dideskripsikan dengan  apik oleh Yudi. Buku yang awalnya merupakan sebuah disertasi di Australian National University (ANU) ini mengungkap data kesejarahan perihal hubungan atau relasi-relasi kuasa dan praktek-praktek diskursif intelektual muslim  Indonesia
Peran kaum inteligensia muslim Indonesia dalam percaturan politik dan sosial seringkali mengalami masa-masa pasang surut dan selalu menuai perbedaan pendapat. Tiap kali ada usaha untuk menyamakan persepsi, selalu saja hadir daya yang mendorong ke arah perpecahan. Hal ini terjadi sejak masa kolonial Belanda hingga sampai saat  ini. Relasi inteligensia muslim dan kuasa di Indonesia sering direspons berbeda oleh tokoh-tokoh Islam yang dipunyai bangsa ini.
Lihat saja, misalnya di zaman kolonial sekitar tahun 1920-an, adanya  seruan pemimpin Muslim untuk bersatu menghadapi penjajah justru dibarengi dengan adanya perpecahan antara ulama tradisionalis dan kaum reformis-modernis. Begitupun juga dalam usaha untuk menghadapi marginalisasi Islam oleh rezim orde baru (Orba), berdirilah Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang lalu dikritik tokoh Islam  lainnya dengan mendirikan lawan tanding Forum Demokrasi yang dimotori oleh Gus dur.
Adanya tarik menarik tersebut, salah satu penyebabnya menurut Yudi Latif  adalah adanya perbedaan latar belakang pendidikan. kalangan Inteligensia yang terdidik di belahan bumi timur (Timur Tengah), akan mempunyai perbedaan orientasi dengan mereka yang terdidik didunia barat yang relatif sekuler dan masih banyak lagi faktor-faktor lainnya.
Dalam menyoroti relasi antara Inteligensia muslim dan kuasa, Yudi Latif menyimpulkan ada enam fase yang masing-masing berbeda dalam menyuarakan  pandangannya. Pertama, fase antara tahun 1900-an sampai 1910-an. Pada fase ini, isu-isu yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial sebagai hasil dari politik etis menjadi menu utama, sehingga tak salah jika formalisme idiologi Islam dari generasi pertama ini adalah “sosialisme Islam”. Fase kedua, antara tahun 1920-1930-an. Pada fese ini  Inteligensia Indonesia mulai mengalami perpecahan ideo-politik, nasionalisme Indonesia mulai muncul dan tuntutan kemerdekaan juga menjadi wacana kaum Intelektual. Buah dari respon Inteligensia Muslim pada fase ini adalah merumuskan “nasionalisme Islam dan negara Islam”. Fase ketiga, antara 1940-an dan awal 1950-an. Pada fese ini “revolusi intelektual” dan “demokrasi konstitusional” menjadi tema utama perbincangan. Agenda kaum Inteligensia pada fase ini adalah bagimana mempertahankan keseimbangan antara keislaman dan keindonesiaan. Fase keempat, antara 1950-an sampai  1960-an. Pada fase ini terjadi konflik-konflik yang paling parah selama era demokrasi terpimpin, serta kebutuhan untuk menjalin aliansi politik di sepanjang poros yang pro-dan anti-rezim Orde Lama. Sebagai akibatnya muncul dua corak ideologi yang pertama melahirkan ideologi pembaharuan dan kedia ideologi “Islamis” (dakwah). Fase kelima, antara tahun 1970-an sampai awal tahun 1980-an. Pada fase ini merupakan masa ketika rezim represif-developmentalisme Orde Baru menjadi begitu hegemonik di ruang publik. Pada fase ini kalangan Inteligensia mulai dibatasi  di dalam melakukan manuver-manuver intelektual-politik. Kondisi ini mengakibatkan munculnya dua formulasi ideologi Islam yang bersifat antitesis: yaitu paham “akomodasionisme” (mengapropriasi ortodoksi negara-sekuler) versus paham “rejeksionisme” (menolak ortodoksi negara-sekuler). Fase keenam, antara akhir 1980-an dan 1990-an. Fase ini merupakan periode modernisasi akhir daro Orde Baru dan juga periode globalisasi kondisi-kondisi post-modern. Fase ini ditandai dengan ruang publik yang mulai menunjukan tingkat keterbukaan, fenomena ini menurut Yudi Latif menjadi katalis bagi pendalaman penetrasi fundamentalisme Islam yang bersifat global, bersejalan dengan pendalaman penetrasi budaya-massa global dan nilai-nilai Liberal Barat. Kedua arus ini menjadi kontribusi pada menguatnya derajat Islamic mindedness dan Liberal mindedness dari segmen-segmen yang berbeda jika dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Akibat dari fenomena ini maka muncullah dua formulasi ideologis utama yang saling bertentangan; yaitu “revivalisme Islam” versus “Liberalisme Islam”. Akan tetapi meskipun kondisi tersebut terjadi, menurut penulis buku ini bahwa sebagian besar Inteligensia dari generasi keenam tetap saja merayakan hibriditas antar beragam tradisi kultural. (hlm. 668-670).
Dalam buku ini, Yudi Latif  menguraikan secara menarik bagaimana relasi antara kaum Inteligensia dengan penguasa. Akan tetapi, sangat disayangkan Yudi Latif tidak mencoba melakukan analisa secara tajam apa sebenarnya motivasi para kaum Inteligensia generasi  abad 20 awal sampai akhir abad 20 terjun dan “berselingkuh” dengan para penguasa negeri ini untuk mendirikan kuasa. Kalau kita mengutip ungkapan dan kritikan Julian Benda, dalam bukunya “La Trahison des Clercs” (Penghianatan Kamu Intelektual)  pada halaman 30 yang mengatakan bahwa “para intelektual haruslah mereka yang pada dasarnya—aktivitaasnya--  tidak untuk mencapai tujuan-tujuan praktis” dan dia mengkritik kaum intelektual yang lebih mengutamakan nafsu-nafsu politiknya dengan mengorbankan nilai-nilai universal dan moral serta menghianatai tanggung jawabnya dan bangsanya, maka, para kaum Inteligensia atau intelektual negeri ini tidak sesuai dan mengingkari ungkapan Benda tersebut.
Menurut saya ada beberapa motivasi yang sifatnya internal dan  eksternal mengenai perselingkuhan kaum  Inteligensia negeri ini yang perlu mendapatkan perhatian, dan hal ini sangat disayangkan kurang dilakukan oleh Yudi Latif dalam bukunya. Kenapa menurut saya hal itu dirasa perlu, karena dengan tidak melakukan analisa kearah hal tersebut, maka kita akan terjebak oleh anggapan bahwa para intelektual “suci” yang berfikir demi kebaikan bangsa ini adalah sesuatu yang mustahil ada, dan yang lebih mengkhawatirkan adalah kita akan terjebak oleh anggapan bahwa para intelektual “suci” yang dimiliki oleh bangsa ini adalah sama saja dengan politikus-politikus licik yang dimiliki negeri ini.
Ada dua macam motivasi kenapa para Inteligensia negeri ini melakukan relasi dengan penguasa. Pertama faktor internal, motivasi ini timbul dari rasa tanggung jawab para kaum Inteligensia sebagai agen perubah dan pemikir masa depan negeri ini yang merasa prihatin oleh keadaan bangsa  yang semakin kacau, yang penuh dengan perpecahan dan krisis. Kehadiran kaum Inteligensia dengan terjun langsung dalam ranah politik praktis mungkin menurutnya akan dapat memberikan pencerahan positif bagi negeri ini ini. Seperti apa yang dilakukan oleh Cak Nur pada masa akhir hidupnya dengan mencalonkan diri sebagai kandidat presiden meskipun pada akhirnya mengundurkan diri dengan berbagai alasan.
Faktor kedua adalah faktor eksternal. Banyak diantara para Inteligensia yang dimiliki negeri ini tergiur oleh kenikmatan duniawi. Hal tersebut wajar menurut saya dan tidak bisa disalahkan. Karena  kalau kita melihat nasib para kaum Inteligensia negeri ini kurang mendapat perhatian maksimal dari pemerintah terutama dari sudut ekonomi. Kondisi tersebut membuat para kaum Inteligensia tergoda dan berkeinginan mencicipi dunia aktivitas politik yang mendatangkan kenikmatan duniawi secara melimpah.
Dengan membaca buku ini kita akan disuguhi dengan penjelasan yang begitu panjang,  mengenai keterlibatan berbagai macam lembaga seperti ICMI, organisasi-organisasi seperti organisasi kemahasiswaan; HMI, PII, IPNU, PMII, IMM, Persama, akan tetapi sangat disayangkan, penulis buku ini juga tidak menyajikan sajian  keterlibatan dua organisasi keagamaan yang besar dan berpengaruh di negeri ini yakni antara Muhamadiyyah dan NU (Nahdhatul ‘ulama) secara kelembagaan, meskipun penulis sempat mengungkapkan keterlibatan tokoh-tokohnya secara individual. Padahal kalau kita melihat dalam realitas sejarah, keterlibatan kedua organisasi keagmaan tersebut sangat mempengaruhi corak negera apakah menjadi negara liberal atau Islami. Lihat saja bagaimana NU yang mendirikan sebuah partai pada tahun 50-an dengan meraih suara cukup banyak, meskipun pada akhirnya harus dibubarkan dan kembali pada khithah dengan berbagai alasan politik. Atau pada era pasca-runtuhnya rezim orde baru dan era reformasi dengan mendirikan partai PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) sebagai kendaraan politik NU yang pada akhirnya menghantarkan Gus Dur duduk di singgasana kekuasaan negeri ini. Kondisi serupa-pun juga dilakukan oleh Organisasi Muhamadiyyah dengan mendirikan partai PAN (Partai Amanat Nasional) yang dikomandoi oleh Amin Rais sebagai kendaraan politiknya. Akan tetapi, sangat disayangkan, penulis buku ini (Yudi Latif) tidak mengkafer secara maksimal fenomena sejarah tersebut. Dan hal ini, menurut saya adalah sebuah kesalahan besar di dalam menyajikan realitas sejarah per-politik-kan bangsa ini.
Akan tetapi terlepas dari itu semua, bagaimanapun kehadiran buku ini patut disambut baik dan menjadi kunci penting sebagai tonggak bagi kajian mutakhir tentang peran Islam di masa berikutnya.  
Dan yang lebih menarik lagi adalah secara  keseluruhan, pendekatan waktu sejarah yang digunakan Yudi Latif dalam buku ini merupakan  terobosan akan metodologi baru, yakni pendekatan interdisipliner atau lebih dikenal sebagai total history. Pendekatan ini bisa di gunakan oleh Anthony Reid dan juga Dennis Lombard dalam beberapa karyanya. Pengungkapan data yang akurat, serta ditaburi analisis yang memikat adalah nilai lebih lainnya dari buku ini. Dengan begitu, hadirnya buku ini merupakan titik tolak untuk memikirkan masa depan Indonesia yang lebih baik.[ ]

(Muhammad Hakiki Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Pemikiran Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)

Minggu, 11 November 2012

** Aliran Kebatinan di Indonesia


Diterbitkan di Jurnal Al-Adyan  ISSN: 1907-1736
Vol. VI No. 2 Juli-Desember 2011, hlm. 63-76

Aliran Kebatinan di Indonesia


Oleh: Kiki Muhamad Hakiki [1]

Abstrak
Eksistensi agama lokal seperti aliran kebatinan meskipun mengalami diskriminasi tetaplah berkembang dan banyak diminati. Claim kebenaran yang kerap kali disuarakan oleh agama ”resmi” (baca: Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu) nampaknya tak membuat penganut agama lokal takut apalagi pindah kepercayaan. Bahkan yang menarik kerap kali justru para penganut agama ”resmi” pun disadari atau tidak disadarinya mencampur keyakinannya dengan kepercayaan agama lokal. Lalu jika sudah seperti itu, masihkah kita bercita-cita mengusir dan menganggap keyakinan mereka sebagai keyakinan yang salah?. Bukankah benar dan salah itu urusan Tuhan?. Inilah yang menarik untuk dicermati.

Kata Kunci: Aliran, Kebatinan, Indonesia

A. Pendahuluan
Sampai saat ini belum pernah ada laporan hasil penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama—termasuk di dalamnya Indonesia yang multi agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya.[2]
Pemeluk agama-agama di dunia termasuk di dalamnya masyarakat  pemeluk agama lokal sekalipun—seperti aliran kebatinan—meyakini bahwa fungsi utama agama atau kepercayaan itu adalah memandu kehidupan manusia agar memperoleh keselamatan di dunia dan keselamatan sesudah hari kematian. Mereka menyatakan bahwa agamanya mengajarkan kasih sayang pada sesama manusia dan sesama makhluk Tuhan, alam tumbuh-tumbuhan, hewan, hingga benda mati.[3]
Perbincangan tentang agama atau kepercayaan memang tidak akan pernah selesai, seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Baik secara teologis maupun sosiologis, agama atau kepercayaan dapat dipandang sebagai instrument untuk memahami dunia. Dalam konteks itu, hampir-hampir tak ada kesulitan bagi agama apapun untuk menerima premis tersebut. Secara teologis, hal itu dikarenakan oleh watak omnipresent agama. Yaitu, agama, baik melalui simbol-simbol atau nilai-nilai yang dikandungnya “hadir dimana-mana”, ikut mempengaruhi, bahkan membentuk struktur sosial, budaya, ekonomi dan politik serta kebijakan publik.
Dengan ciri ini, dipahami bahwa dimanapun suatu agama atau kepercayaan berada, ia diharapkan dapat memberi panduan nilai bagi seluruh diskursus kegiatan manusia, baik yang bersifat sosial-budaya, ekonomi maupun politik. Sementara itu, secara sosiologis tak jarang agama dan aliran kepercayaan menjadi faktor penentu dalam proses transformasi dan modernisasi—termasuk di dalamnya para penganut agama lokal seperti aliran kebatinan yang dianggap menyimpang.[4]
Kajian tentang agama lokal dalam hal ini tentang aliran kebatinan memang sudah banyak dilakukan, baik itu untuk kebutuhan karya ilmiah (seperti Sekripsi, Tesis, maupun Disertasi), atau penelitian-penelitian, maupun yang hanya sekedar tulisan ringkas di media.
Maraknya kajian tentang agama lokal secara khusus tentang aliran kebatinan, disebabkan oleh beberapa faktor yang ternyata mempunyai daya tarik tersendiri; Pertama, untuk kasus-kasus tertentu ajaran agama lokal banyak menampilkan ajaran-ajaran bahkan prilaku penganutnya yang unik dan berbeda yang menurut para penganut agama konvensional atau agama besar (Islam, Kristen, Hindu, Budha) justru telah mengajarkan ajaran-ajaran yang menyimpang bahkan menodai. Kedua, identitas agama lokal ternyata masih tetap mewarnai kepercayaan manusia Indonesia meskipun secara formal ia sudah menganut agama-agama besar. Sebagai contoh, meskipun seseorang sudah menyatakan dirinya sebagai penganut agama Islam, akan tetapi terkadang dalam waktu-katu tertentu ia kerapkali mempercayai atau memperaktekkan tradisi yang justru di anut atau diajarkan oleh agama lokal seperti aliran kebatinan. Ketiga, meskipun eksistensi identitas  agama lokal seperti aliran kebatinan mengalami pasang surut berkat adanya hegemoni rezim mayoritas, akan tetapi, identitas agama lokal masih tetap eksis di negeri ini. Keempat, Meskipun keberadaan agama lokal, seperti aliran kebatinan banyak sekali di Indonesia, akan tetapi identitas masing-masing mereka masih tetap terpelihara meskipun harus berada dalam sebuah wadah atau oraganisasi atas bentukan rezim atau penguasa.
Dengan alasan beberapa poin di atas, saya kemudian tertarik mencoba melakukan tinjauan seputar eksistensi, ajaran, dan perjuangan politik identitas dengan memfokuskan pada perjuangan aliran kebatinan dalam rangka mencari pengakuan identitas di negeri ini.
Tujuan penulisan ini diharapkan pandangan negatif kita tentang keberadaan agama lokal dalam hal ini aliran kebatinan bisa dihilangkan. Karena pada dasarnya, ajaran agama lokal mengajarkan hal-hal kebaikan, itu terbukti dengan masih banyaknya para peminat dan penikmat agama lokal termasuk di dalamnya kepercayaan aliran kebatinan. Tulisan ini bisa diharapkan menjadi sedikit usaha revitalisasi agama lokal dari tuduhan miring dan kepunahan.

B. Agama Lokal; Studi Aliran Kebatinan
a. Definisi Agama Lokal
Istilah agama lokal, dalam hal ini bisa disamakan dengan penggunaan istilah agama asli atau agama pribumi. Yang dimaksud dengan agama asli adalah sebuah agama yang bukan datang dari luar suku penganutnya. Karenanya, agama asli kerap juga disebut agama suku atau kelompok masyarakat. Agama ini lahir dan hidup bersama sukunya dan mewarnai setiap aspek kehidupan suku penganutnya. Agama ini telah dianut oleh suku penganutnya jauh sebelum agama dunia diperkenalkan kepada suku itu.
Menurut David Barret dan Todd Johnson dalam statistik agama-agama yang setiap tahun diterbitkan oleh International Bulletin of Missionary Research penganut agama lokal di dunia ini pada laporan tahun 2003 saja adalah sebesar 237.386.000 orang.[5] Jumlah itu pada tahun 2003 diperkirakan hanya 3,78% dari total penduduk dunia yang kini berjumlah hampir 6,3 miliar manusia.
Bila kita bandingkan dengan kondisi di Indonesia, maka para penganut agama lokal, hanya sekitar 1% saja dari total penduduk Indonesia. Kebanyakan dari mereka tinggal di Papua, Sumba, Pedalaman Sumatra, pedalaman Kalimantan dan Pedalaman Sulawesi, dan beberapa daerah pulau Jawa.
Jika kita amati prilaku beragama pada masyarakat Indonesia, maka sebenarnya secara kuantitas pastilah para penganut agama lokal akan jauh lebih banyak melampaui data statistik di atas. Faktanya, keyakinan dan praktek agama lokal ini masih dianut dan diyakini serta dijalankan oleh mereka yang walaupun secara statistik telah tercatat sebagai penganut agama resmi dunia. Para pelaku agama resmi terkadang juga secara bersamaan meyakini kepercayaan lokal tanpa ia sadari atau melakukan sinkretisme agama-agama. Dan hal ini terjadi tidak hanya bagi para penganut agama Islam saja, akan tetapi juga para penganut agama di luar Islam yang ada di Indonesia.
Untuk menemukan prilaku umat beragama yang melakukan singkretisme agama tidak-lah sulit. Lihat saja di antara sekeliling kita masih banyak yang mengunjungi tempat-tempat yang dipercaya sebagai tempat keramat yang bernilai sakral. Masng banyak juga di antara masyarakat kita yang masih meminta pertolongan kepada para dukun-dukun. Bahkan kalau kita tanya ternyata dukun itu pun juga penganut salah satu agama resmi dunia. Bahkan kalau kita lihat di media-media (elektronik maupun cetak) banyak sekali di tawar-tawarkan beraneka ragam jimat yang katanya mempunyai kesaktian. Bahkan juga kalau kita perhatikan di masyarakat, masih banyak ritual-ritual yang berkaitan dengan siklus hidup, ataupun ritual lainnya yang berkaitan dengan penanggulangan kesulitan hidup. Terkadang pengaruh atau hadirnya elemen-elemen agama asli dalam ritual-ritual tersebut masih sangat kental. Tentu banyak di antaranya telah terbungkus sedemikian rupa oleh lapisan luar agama dunia dan para penganutnya tidak lagi menyadari adanya percampuran dua atau lebih agama.
b. Aliran Kebatinan
Jika dilihat dari akar katanya, maka istilah ”kebatinan” berasal dari kata “batin” (bahasa Arab) yang berarti “di dalam”, “yang tersembunyi”. Karena sifatnya yang tersembunyi, maka kebatinan sangat sulit untuk dirumuskan karena bersifat subjektif. Meskipun begitu, ada banyak definisi istilah kebatinan yang telah dirumuskan, di antaranya; Pertama, Definisi yang dikemukakan oleh H.M Rasyidi yang mengatakan bahwa kata ”batiny” terambil dari kata ”batin” yang artinya bagian dalam. Kata ”batiny” dapat diartikan sebagai orang-orang yang mencari arti yang dalam dan tersembunyi dalam kitab suci. Mereka mengartikan kata-kata itu tidak menurut bunyi hurufnya tetapi menurut bunyi interpretasi sendiri yang di dalam bahasa Arab disebut ta’wil (penjelasan suatu kata dengan arti lain daripada arti bahasa yang sebenarnya atau yang sewajarnya).[6] Kedua, Definis yang dikemukakan oleh BKKI (Badan Kongres Kebatinan Indonesia) bahwa kebatinan adalah sepi ing pamrih, rame ing gawe, mamayu bayuning bawono; artinya; kebatinan adalah tidak punya maksud yang menguntungkan, giat bekerja, dan berupaya utuk mensejahterakan dunia”[7]. Definisi tersebut kemudian pada kongres BKKI yang ke-2 dirubah menjadi ”Kebatinan adalah sumber asas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, untuk mencapai budi luhur, guna kesempurnaan hidup”.[8] Definisi kebatinan hasil kongres BKKI yang ke 2 tersebut mendapat kritik dari H.M Rayidi. Ia menyatakan bahwa definisi hasil kongres BKKI tersebut adalah terbalik. Menurutnya, bukannya kebatinan yang menjadi sumber Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi Ketuhanan Yang Maha Esa-lah yang menjadi sumber Kebatinan.[9] Pernyataan ini di bantah oleh Suwarno Imam, menurutnya definisi kebatinan tersebut sudahlah pas dan tidak terbalik. Kerana definisi kebatinan sudah tentu untuk orang penganut kebatinan. Ketuhanan bagi orang kebatinan atau penghayatan kebatinan bagi orang kebatinan adalah pendalaman batin. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa definisi tersebut memang terbalik jika kita memahaminya dari sudut agama dalam hal ini agama Islam.[10] Ketiga, Definisi yang dikemukakan oleh Rahmat Subagyo. Ia menjelaskan bahwa kebatinan adalah suatu ilmu atas dasar ketuhanan Absolut, yang mempelajari kenyataan dan mengenal hubungan langsung dengan Allah tanpa pengantara.[11] Keempat, Sumantri Mertodipuro mendefinisikan lebih kepada fungsi. Ia mengatakan bahwa kebatinan adalah cara ala Indonesia mendapatkan kebahagiaan. Di Indonesia, kebatinan apa pun namanya sperti tasawuf, ilmu kesempurnaan, teosofi dan mistik adalah gejala umum. Kebatinan memperkembangkan inner reality, kenyataan rohani. Karena itu-lah selama bangsa Indonesia tetap berwujud Indonesia, beridentitas asli, maka kebatinan akan tetap di Indonesia, baik di dalam agama atau diluarnya.[12] Kelima, M.M Djojodigoeno mengatakan bahwa kebatinan itu mempunyai empat unsur yang penting, yaitu; gaib, union mistik, sangkan paraning dumadi dan budi luhur.[13] Keenam, Kamil Kartapadja mendefinisikan kebatinan sebagai gerak badan jasmani disebut olah raga dan gerak badan rohani dinamai olah batin atau kebatinan. Jadi kebatinan dapat disimpulkan sebagai olah batin yang macam apa pun.[14]
c.  Sejarah Munculnya Aliran Kebatinan
            Di atas telah di jelaskan bahwa kebatinan adalah cara atau ala orang Indonesia mendapatkan kebahagiaan. Jika memang betul demikian, maka pertanyaannya mengapa aliran kebatinan ini muncul di Indonesia?. Ada banyak pendapat yang diutarakan oleh peneliti terkait latar belakang kemunculan aliran kebatinan di Indonesia. Di antaranya isu modernisme dan globalisasi.
Globalisasi dan modernisasi sebenarnya adalah sebuah era di mana dunia ini seakan tak bersekat, batas-batas teritorial seakan tak berarti. Dalam era globalisasi interaksi antar budaya, peradaban dan negara semakin mudah dilakukan. Adanya proses saling mempengaruhi satu sama lain tak bisa dinafikan—baik bersifat positif maupun negatif. Dan, pada akhirnya globalisasi menjadi alat untuk saling mempengaruhi antara budaya, peradaban, idiologi, bahkan masuk pada agama. Dan ujungnya agama, budaya, idiologi, dan peradaban telah terkontaminasi dari pengaruh unsur-unsur lain.
Di era globalisasi ini, proses saling mempengaruhi satu sama lain tak bisa ditawar-tawar. Peranan media sebagai alat “penular” telah menembus sekat-sekat itu. Dan konsekuensinya sebuah idiologi atau budaya bisa memasuki idiologi dan budaya lainnya. Dengan kondisi ini, maka kegoncangan bisa terjadi jika penularan virus globalisasi itu tidak sesuai dengan karakteristik kultur dan sosialnya.
Karena alasan itu-lah maka ada sebagian kelompok (baca: aliran kebatinan) yang berusaha ”lari” atau menghindari perkembangan dunia modern dan mulai gandrung akan romatisme masa lalu. Biasanya kelompok ini mulai menelusuri nilai-nilai asli dahulu yang kini sudah terdesak dengan arus modernisasi dan globalisasi.
Pendapat senada pun diungkapkan oleh Selo Sumardjan. Menurutnya bahwa apabila terjadi kegoncangan-kegoncangan yang luas dan lama di dalam kehidupan masyarakat, ilmu kebatinan di rasakan sekali keperluannya. Karena itu, timbulnya banyak aliran kebatinan itu justru ketika masyarakat Indonesia mengalami kegoncangan karena tekanan jiwa yang meluas dalam waktu yang panjang pada masa penjajahan.[15]
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa salah satu alasan munculnya aliran kebatinan dipicu oleh dampak negatif dari modernisme yang menggerus nilai-nilai moral, estetika, sehingga membawa manusia jatuh pada jurang materialisme. Karena itu, aliran kebatinan hadir sebagai solusinya. Jika di lihat dari latar belakang kemunculannya, kondisi ini hampir mirip dengan latar belakang kemunculan sufisme dalam Islam.  
d. Motivasi seseorang masuk aliran kebatinan
Ada beberapa motiv masyarakat menggemari aliran kebatinan. Menurut M.M. Djojodiguna bahwa alasan orang Indonesia menganut aliran kebatinan karena para pemimpin agama kurang memperhatikan soal kebatinan dan tidak cakap dalam menyimpulkan ajaran agamanya dalam prinsip-prinsip pokok yang sederhana, yang mudah dipergunakan sebagai pegangan bagi seorang manusia, bagaimana ia harus menentukan sikapnya, tingkah lakunya terhadap Tuhan, dan terhadap sesama manusia dalam menghadapi berbagai  kesulitan sehari-hari.[16]
Pendapat yang hampir sama juga diungkapkan oleh HM. Rasyidi. Menurutnya hal ini terjadi karena para ulama pada masa lampau banyak yang hanya mengetahui kitab-kitab yang dipelajari di pesantren adalah produk pada dua atau tiga abad yang lalu. Dan kitab-kitab yang dipelajarinya tersebut hanya pelajaran bahasa Arab dan fikih yang secara metodologi dan (isinya: penulis) telah usang. Karena itu-lah maka para ulama tersebut tidak dapat menjiwai pesan Islam, mereka hanya merasakan formalitas semata-mata.[17]
Selain alasan itu, kondisi Indonesia sendiri yang masih terdapat kalangan orang-orang Jawa abangan, agama suku pedalaman yang memiliki latar belakang tradisi kebudayaan spiritual nenek moyang yang masih kuat dipengaruhi oleh spiritualitas Hindu-Budha atau Hindu-Jawa. Dalam kasus aliran kebatinan ini, mereka yang Jawa abangan ini yang kemudian menganut kepercayaan kejawen atau aliran kebatinan tertentu yang sesuai dengan pandangan hidupnya.[18]
Di samping faktor di atas, menurut Suwarno Imam masih banyak lagi faktor lainnya yang juga tak kalah pentingnya sebagai pemicu kenapa orang menganut aliran kebatinan, diantaranya[19]; Pertama, Ajaran kebatinan dipandang lebih sederhana dan mudah dipahami karena menggunakan bahasa daerah, dibandingkan dengan ajaran agama lainnya. Kedua, Amalan kebatinan dianggap tidak terlalu berat dibandingkan dengan amalan-amalan yang diajarkan agama lainnya. Amalan kebatinan lebih menitikberatkan penghayatan batin.[20] Ketiga, di kalangan kebatinan ada yang dipercayai memiliki ilmu gaib dan melayani pengobatan penyakit secara gaib yang ternyata digemari oleh masyarakat. Keempat, Hak hidup dan kehidupan aliran kebatinan atau kepercayaan dilindungi oleh pemerintah semenjak ketetapan MPR RI tahun 1973 dan dikukuhkan kembali oleh Ketetapan MPR RI tahun 1978.

C. Kebatinan  dan Pencarian Identitas
Meskipun sejak kemunculannya, aliran kebatinan dianggap sebagai aliran sempalan yang menyimpang, akan tetapi perjuangan politik identitas yang dilakukan oleh aliran kebatinan ini sampailah pada titik legalitasnya meskipun tak cukup memuaskan.
Secara organisasi, perjuangan aliran kebatinan di mulai ketika BKKI melakukan kongres pertama di Semarang pada 19-21 Agustus 1955 yang dihadiri oleh 70 anggota aliran kebatinan. Dalam kongres ini dihasilkan kesepakatan akan definisi kebatinan yaitu; kebatinan adalah sepi ing pamrih, rame ing gawe, mamayu hayuning bawono. Selanjutnya pada kongres BKKI yang kedua di Solo tanggal 7-9 Agustus 1956 dilakukan perubahan definisi aliran kebatinan menjadi;  ”kebatinan adalah sumber asas dan sila ketuhanan yang maha esa, untuk mencapai budi luhur, guna kesempurnaan hidup”. Alasan digantinya definisi kebatinan adalah karena pada definisi pertama masih ada kemungkinan bagi suatu aliran yang mengingkari dan memungkiri adanya Tuhan Yang Maha Esa.[21]
Perjuangan selanjutnya adalah pada kongres BKKI yang ketiga di Jakarta 17-20 Juli 1958. Dalam kongres ini disepakati bahwa aliran kebatinan bukanlah klenik sebagaimana yang dituduhkan orang. Dan perjuangan aliran kebatinan untuk mendapatkan legalitasnya mulai berbuah ketika kongres ke empat di Malang pada bulan Juli 1960. Dalam kongres ini dibahas tentang nisbah antara aliran kebatinan dan agama pada dasarnya sama, hanya titik berat yang berbeda. Agama minitikberatkan penyembahan kepada Tuhan, sedangkan kebatinan menekankan pengalaman batin dan penyempurnaan manusia.[22]
Perjuangan kelompok aliran kebatinan berbuah manis yakni ketika dikeluarkannya Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1973-22 Maret 1973 yang mengakui eksistensi aliran kebatinan di Indonesia meskipun dengan nama lain yakni ”Aliran Kepercayaan”. 
Meskipun eksistensi secara legalitas diakui keberadaannya di Indonesia, akan tetapi dalam praktek kebijakan-kebijakannya kerapkali berprilaku tidak adil dan diskriminatif. Lihat saja, sampai saat ini pemerintah masih sering menuding agama atau kepercayaan masyarakat adat sebagai agama sempalan yang harus kembali ke agama induknya. Akan tetapi sampai saat ini para penganut agama lokal, justru agama dan kepercayaan merekalah yang seharusnya disebut sebagai agama asli atau agama induk yang sebenarnya. Menurut mereka, agama-agama besar (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha) yang kini diakui secara resmi oleh pemerintah adalah justru merupakan agama impor (kiriman). Jauh sebelum kelima agama tersebut datang ke Indonesia, agama dan kepercayaan yang mereka anut sudah hidup ribuan tahun. Lalu mengapa mereka sampai saat ini masih mendapatkan diskriminasi pengakuan identitas ?
Aliran-aliran kebatinan, kepercayaan sampai saat ini masih di anggap sebagai bukan agama, ia adalah produk manusia. Karena itu, kebatinan lebih tepat disebut dengan “kebudayaan spiritual” atau “kebudayaan batin”. Oleh sebab itu wajar dan tepat bila pemerintah kemudian memindahkan urusan kebatinan dari Departemen Agama ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Menurut PAMA PUJA (Panguyuban Masyarakat Adat Pulau Jawa, yaitu gerakan yang mewakili masyarakat adat di Jawa), salah satu masalah paling berat yang dihadapi masyarakat adat Jawa adalah hak untuk menjalankan agama atau kerpercayaannya, dalam kegiatan pengajaran, pengamalan, ibadah dan pentaatan.
Salah satu bentuk diskriminasi lainnya adalah belum adanya pengakuan aliran-aliran kebatinan sebagai agama. Hal ini terlihat dari rumusan definisi agama versi pemerintah. Menurut pemerintah Indonesia,  “agama adalah sistem kepercayaan yang disusun berdasarkan kitab suci memuat ajaran yang jelas, mempunyai nabi dan kitab suci”. Dari definisi ini, maka aliran kebatinan tetap tidak diakui sebagai agama.
Kementerian Agama dalam hal ini hanya mengakui dan menetapkan enam agama secara resmi, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu dan Konghucu.[23] Penetapan itu antara lain menyebutkan larangan melakukan penafsiran atau kegiatan yang “menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama.” Ini dijelaskan lebih lanjut dalam bagian penjelasan: “Penetapan Presiden ini pertama-tama mencegah agar tidak terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan”.
Salah satu korban dari kebijakan negara dalam soal ini adalah kelompok-kelompok penganut agama adat atau aliran kepercayaan. Mereka semuanya diarahkan kembali ke agama induk, misalnya para penganut Sunda Wiwitan (Baduy) diarahkan kembali ke agama Hindu. Bahkan aliran kepercayaan tidak dianggap sebagai suatu entitas yang berdiri sendiri di luar agama, melainkan dipandang sebagai budaya saja.
Diskriminasi ini menurut hemat saya adalah hal yang aneh. Bukankah jika kita mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E , dijelaskan bahwa;
1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya...
2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Bahkan dalam Pasal 28I, juga dijelaskan pula;
1. ... hak beragama ... adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
2. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Dalam Pasal 29
1. Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa.
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk  agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Bahkan dalam Undang-Undang No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 22 dijelaskan;
1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dalam Hukum Internasional Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dalam Pasal 18 dijelaskan bahwa;
1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.
2. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
Di sinilah menurut hemat saya, nampaknya agama-agama besar telah melakukan perselingkuhan dengan kekuasaan. Undang-undang yang dirancang nampaknya tidak hanya murni kepentingan hukum saja, akan tetapi juga di dalamnya kental kepentingan politik, sehingga undang-undang yang dirancang sangat bias kepentingan mayoritas dan menganaktirikan kelompok minoritas dalam hal ini agama atau kepercayaan lokal.

D. Kesimpulan
Banyaknya aliran-aliran kebatinan atau kepercayaan yang ada di Indonesia, hendaknya mulai saat ini dipandang sebagai kekayaan kultural bangsa ini, dan bukan malah dicurigai dan diperangi sebagaimana pengalaman sejarah. Dari sana dapat terbangun suatu suasana masyarakat yang damai dan hidup sosial yang harmonis
              Karena itu, tugas kita selanjutnya yang maha penting adalah bagaimana memelihara dan merawat kearifan lokal itu agar senantiasa hidup dan menyala di dalam hati nurani manusia Indonesia. Kalau nilai itu terus dipupuk, dirawat dan selalu menjadi ikhtiar dan tindakan seluruh manusia Indonesia, mungkin tak akan ada lagi anak yang harus kehilangan bapak atau ibunya hanya karena beda agama, pemahaman agama, aliran politik, etnisitas dan aroma rasis lainnya. Juga tak akan ada lagi rumah dan harta beda yang dijarah dan dibakar hanya karena perbedaan identitas. Kita percaya bahwa setiap konflik itu ada resolusinya. Dan para leluhur kita telah memberikan peninggalan atau warisan nilai untuk itu. Kini tinggal tekad kita, mau menggunakan atau membuangnya !.

Daftar Pustaka
Abdul Munir Mulkan, “Dilema Manusia Dengan Diri dan Tuhan” kata pengantar dalam Th. Sumartana (ed.), Pluralis, Konflik, dan Pendidikan Agama Di Indonesia, (Yogjakarta, Pustaka Pelajar, 2001).
Bahtiar Efendi, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani dan Etos Kewirausahaan, (Yogjakarta, Galang Press, 2001).
Betty R. Scharf, Sosiologi Agama, Penj. Machnun Husein, (Jakarta: Kencana, 1995).
David Barret dan Todd Johnson, Annual Statistical Table on Global Mission: 2003” dalam International Bulletin of Missionary Research. (Vol 27 No 1. Denville, New Jersey., 2003)
H.M. Rasyidi, Islam dan Kebatinan, (Jakarta: Yayasan Islam Studi Club Indonesia, 1967).
Jamhari Ma'ruf, Pendekatan Antropologi Dalam Kajian Islam, Artikel Pilihan Dalam Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI, www.ditpertais.net.
Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa; Kelangsungan dan Perubahan Kulturil,(Jakarta: Gramedia, 1980).
Paul Stange, Kejawen Modern; Hakikat dalam Penghayatan Sumaroh, (Yogyakarta: LKiS, 2009).
Rahmat Subagyo, Kepercayaan Kebatinan Kerohanian Kejiwaan dan Agama, (Majalaj Spektrum No. 3, Tahun 1973)
Selo Sumardjan, “Ilmu Gaib, Kebatinan dan Agama dalam Kehidupan Masyarakat”, dalam Simposium IAIN Syarif Hidayatullah.
_______, Mengamankan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, (Jakarta: CV. Tanjung Pengharanan,  1970)
Sumantri Mertodipuro, Aliran Kebatinan di Indonesia, (Mayapada v, No. 13, 1967)
Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan Jawa, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005)
UU No.1/PNPS/1965, dan UU No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.  



[1] Dosen Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, Mahasiswa S3 Religious Studies UIN Bandung.
[2] Jamhari Ma'ruf, Pendekatan Antropologi Dalam Kajian Islam, Artikel Pilihan Dalam Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI, www.ditpertais.net.
[3] Abdul Munir Mulkan, “Dilema Manusia Dengan Diri dan Tuhan” kata pengantar dalam Th. Sumartana (ed.), Pluralis, Konflik, dan Pendidikan Agama Di Indonesia, (Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2001).
[4] Bahtiar Efendi, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani dan Etos Kewirausahaan, (Jogjakarta, Galang Press, 2001).
[5] David Barret dan Todd Johnson, Annual Statistical Table on Global Mission: 2003” dalam International Bulletin of Missionary Research. Vol 27 No 1. (Denville, New Jersey., 2003), hal. 25.
[6] H.M. Rasyidi, Islam dan Kebatinan, (Jakarta: Yayasan Islam Studi Club Indonesia, 1967), hlm. 49.
[7] Definisi ini adalah definisi yang dirumuskan oleh Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) yang  ke 1, 1959), hal. 7
[8] Definisi ini dirumuskan pada kongres ke 2 BKKI menggantikan rumusan definisi kebatinan pada kongres ke 1 di Semarang. Alasan penggantian definisi ini menurut hasil kongres ke 2 BKKI karena diduga masih ada kemungkinan bagi suatu aliran yang mirip atau sepaham dengan ateisme. Di samping itu alasan lainnya karena definisi yang pertama lemah karena tidak mempunyai landasan hukum yang kuat.
[9] H.M. Rasyidi, Islam dan Kebatinan....., hlm. 50.
[10] Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan Jawa, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hal. 85-86.
[11] Rahmat Subagyo, Kepercayaan Kebatinan Kerohanian Kejiwaan dan Agama, (Majalaj Spektrum No. 3, Tahun 1973), hal. 189
[12] Sumantri Mertodipuro, Aliran Kebatinan di Indonesia, (Mayapada v, No. 13, 1967), hal. 133.
[13] Di kutip oleh Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Masagung, Cet. 3, 1990), hlm. 60.
[14] Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan……, hlm. 61.
[15]Selo Sumardjan, “Ilmu Gaib, Kebatinan dan Agama dalam Kehidupan Masyarakat”, dalam Simposium IAIN Syarif Hidayatullah. Atau lihat, Selo Sumardjan, Mengamankan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, (Jakarta: CV. Tanjung Pengharanan,  1970), hal. 50
[16] Suwarno Imam, Konsep Tuhan, Manusia........, hal. 82.
[17] HM. Rasyidi, Islam dan Kebatinan......., hal. 13.
[18] Suwarno Imam, Konsep Tuhan, Manusia..........., hal. 83.
[19] Suwarno Imam, Konsep Tuhan, Manusia..........., hal. 83.
[20]Untuk lebih jelasnya tentang beberapa ajaran kebatinan terkait dengan penghayatan batin dapat dilihat dalam bukunya Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa; Kelangsungan dan Perubahan Kulturil,(Jakarta: Gramedia, 1980). Atau lihat bukunya Paul Stange, Kejawen Modern; Hakikat dalam Penghayatan Sumaroh, (Yogyakarta: LKiS, 2009).
[21] Suwarno Imam, Konsep Tuhan, Manusia ………, hal. 93
[22] Suwarno Imam, Konsep Tuhan, Manusia ………, hal. 94.
[23] UU No.1/PNPS/1965, jo. UU No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.  

Sabtu, 10 November 2012

Filantropi Islam


Lampung Post, Jum'at, 25 Maret 2011

Optimalisasi Filantropi Islam

Oleh: K. Muhamad Hakiki
Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, Mahasiswa S-3 UIN Bandung

Tulisan ini merupakan refleksi ketika saya mengikuti seminar Internasional di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, bertema “Filantropi Islam; Media Membangun Peradaban Islam di Indonesia”.
Secara definisi, istilah filantropi (philanthropy) berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua kata yaitu Philos (cinta) dan Anthropos (manusia). Jika diterjemahkan secara harfiah, filantropi adalah konseptualisasi dari praktek memberi (giving), pelayanan (services) dan asosiasi (association) secara sukarela untuk membantu pihak lain yang membutuhkan sebagai ekspresi rasa cinta.
Melihat dari definisi di atas, maka jika ada suatu lembaga yang memiliki tiga unsur di atas (memberi, melayani, bersifat asosiasi) yang secara sukarela memberikan kepada mereka yang membutuhkan dan dibumbui rasa cinta, maka lembaga tersebut bisa dikatagorikan sebagai lembaga yang mengelola dana filantropi.
Praktik filantropi Islam di Indonesia ternyata dimulai sejak kehadiran agama Islam itu sendiri di Nusantara. Sejak itu, dua institusi yang menyemai tindakan filantropi bagi masyarakat Muslim adalah masjid dan pesantren.
Kedua lembaga ini telah mulai dibangun sejak abad ke-15 M, ketika komunitas Muslim khususnya di Jawa mulai menjadikan kedua tempat tersebut sebagai pusat gerakan pendidikan dan dakwah.
Lantas pertanyaannya, sudah berapa jauh perkembangan yang dicapai oleh lembaga-lembaga yang mengelola dana filantropi?. Apakah lembaga-lembaga filantropi di Indonesia mempunyai tanggapan positif di mata publik? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang menarik untuk diamati.
Menilik sejarahnya, kegiatan filantropi pada masa dahulu (baca: di Indonesia)  masih sangat tradisional, sehingga kegiatan-kegiatan filantropi kurang berkembang.  Penyebab kondisi tersebut  karena beberapa faktor, salah satu diantaranya adalah manajemen penggalangan dan penyaluran dana yang kurang tepat sehingga kepercayaan publik lambat laun menjadi hilang.
 Untuk itu, belajar dari pengalaman tersebut, maka kini banyak bermunculan beberapa lembaga atau yayasan yang  mengelola dana filantropi dengan menggunakan manajeman modern yang lebih baik.
 Gagasan dan Praktek filantropi sendiri di luar negeri khususnya di Amerika mulai menguat sekitar pada tahun 1950-an. Ketika itu publik Amerika mulai tertarik dengan ide untuk penguatan civil rights dan demokrasi yang mulai menggejala di sana yang salah satu tujuannya adalah pengentasan  kemiskinan.
Melihat dari fenomena perkembangan lembaga filantropi di Indonesia, maka, berdasarkan sifatnya dikenal dua bentuk filantropi. Pertama, filantropi tradisional dan filantropi untuk keadilan sosial. Filantropi tradisional menururt Andi Agung Prihatna adalah filantropi yang berbasis karitas.
Praktek filantropi tradisional berbentuk pemberian untuk kepentingan pelayanan sosial, misalkan pemberian langsung para dermawan untuk kalangan miskin dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Melihat dari bentuk penyaluran dana tersebut, bentuk filantropi seperti ini rawan adanya manipulasi dana berbentuk pengayaan individual, egosentrisme di mata publik . di samping kelemahan-kelemahan lainnya yakni tidak bisa mengembangkan taraf kehidupan masyarakat miskin atau dalam istilah sehari-hari hanya memberi ikan tapi tidak memberi pancing (kail).
Berbeda dengan bentuk filantropi untuk keadilan sosial (social justice philanthropy), bentuk filantropi seperti ini dapat menjembatani jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Jembatan tersebut diwujudkan dengan upaya memobilisasi sumberdaya untuk mendukung kegiatan yang menggugat ketidakadilan struktur yang menjadi penyebab langgengnya kemiskinan.
Dengan kata lain, filantropi jenis ini adalah mencari akar permasalahan dari kemiskinan tersebut yakni adanya faktor ketidakadilan dalam alokasi sumberdaya dan akses kekuasaan dalam masyarakat. Diantara lembaga filantropi yang menarapkan metode tersebut dan sukses saat ini adalah Yayasan Dompet Dhu’afa dan Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU).
Kehadiran  Yayasan Dompet Dhu’afa sejak 2 Juli 1993 dari “rahim” komunitas pers lambat laun semakin mununjukan perkembangannya. Bukti perkembangannya secara sederhana dapat dilihat dari hasil pengumpulan dana yang diperoleh.
Lihat saja, pada penerimaan dana dari tiga program strategi pengumpulan dana yakni zakat, infak atau sedekah, dan wakaf pada tahun 1993-2009 mencapai jumlah yang mencengangkan. Untuk zakat mereka memperoleh dana Rp. 71, 794,590,481.13, untuk infak dan sedekah Rp. 12,739,142,858.38, untuk wakaf Rp. 12,626,309,728.20 (Karlina Helmanita: 2005: 103). Kesuksesan tersebut bisa disebabkan oleh beberapa faktor.
Di antara faktor kesuksesan yayasan ini adalah pada kemampuannya melaksanakan secara sungguh-sungguh pola manajemen modern dari mulai pola strategi penghimpunan dana, pendistribusian dana dan target sasaran penerima dana, akuntabilitas dan yang labih penting adanya transparansi pengelolaan dana yang kemudian melahirkan kepercayaan public (trust public).
Besarnya dana yang dapat dikumpulkan oleh lembaga filantropi tersebut tentulah disebabkan oleh pola strategi yang apik—baik itu dari sisi manajemen, marketing, kerjasama dengan media dan sebagainya.
Karena itu, belajar dari pola pengelolaan lembaga filantropi yang sudah sukses tersebut, marilah kita bangun lembaga-lembaga filantropi lainnya sebagai media membangun bangsa ini lebih baik.[ ]


Sumber: Lampung Post, Jum'at, 25 Maret 2011


Menusantarakan Islam


Lampung Post, Jumat, 06 January 2012

Menusantarakan Islam

Oleh: K. Muhamad Hakiki
Direktur Pusat Studi Agama dan Budaya
Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung

Jika menilik sejarah Islam di bumi Nusantara ini semenjak sebelum era kolonial, maka sebenarnya cikal bakal Islam yang berkarakter negeri ini memang sudah mulai terbentuk, antara lain ditunjukan oleh upaya-upaya untuk mendamaikan antara hukum adat dan hukum Islam.
Perjalanan Islam ke Nusantara tidaklah linier. Ia mengalami pergumulan yang luar biasa dengan realitas budaya setempat, agama lokal, dan agama impor, bahkan dengan politik.
Pergumulan Islam dan budaya lokal itu misalnya terlihat dalam berbagai hikayat para wali. Dalam hikayat itu seringkali diceritakan bagaimana sikap akomodatif yang dilakukan oleh penyiar Islam tersebut dalam rangka mendamaikan antara Islam dengan berbagai budaya pra-Islam.
Berkat apiknya para penyiar Islam dalam usaha mendamaikan Islam dengan budaya lokal Nusantara, membuat  kuatnya Islam melekat dalam keberagamaan orang Indonesia.
Upaya-upaya mendamaikan Islam dengan budaya lokal ternyata tetap berlangsung hingga hari ini. Dalam kacamata beberapa intelektual muslim, menggagas Islam khas Indonesia masih saja menjadi daya tarik tersendiri. Di antara buku terbaru yang mencoba menggagas kembali Islam khas Indonesia adalah berjudul “Mengindonesiakan Islam; Representasi dan Ideologi karya Dr. Mujiburrahman dan “Menusantarakan Islam” karya Dr. Aksin Wijaya.
Gagasan mendamaikan Islam dengan budaya lokal memang sudah lama terjadi, akan tetapi menurut saya, gagasan tersebut baru mendapatkan respon luar biasa ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada era 1980-an menggulirkan ide “pribumisasi Islam” yang ia tulis dengan judul “Salahkah Jika Dipribumikan” di sebuah kolom Tempo tahun 1983.
Dalam kolom tersebut, Gus Dur berkata bahwa Islam jangan sampai tercerabut dari akar-akar budaya lokal. Lebih lanjut Gus Dur mengkritik dengan sebuah pertanyaan, mengapa kita harus mengganti kata “sembahyang” dengan “shalat”, kata “langgar” dan “surau” dengan “mushalla”, “kiai” atau “tuan guru” dengan “ustadz”?. Bukankah hal tersebut menurutnya akan menjadikan formalisme yang berujung pada arabisme total. Di sini Gus Dur sadar bahwa Islam itu muncul bukan pada ruang kosong yang hampa pesan sejarah. Karena itu, menurutnya proses mempribumikan Islam menjadi penting.
Gus Dur memang tangguh, setelah artikelnya tersebut mendapat kecaman dari berbagai pihak, karena dianggap akan merusak Islam itu sendiri dari dalam, justru ia tetap istiqomah dengan pendiriannya sampai akhir hayatnya.
 Kemajemukan Indonesia
Siapapun orangnya yang ingin mencoba mengenali Indonesia, tanpa perlu banyak berfikir, ia akan segera sadar betapa beragam dan majemuknya masyarakat negeri ini. Di Indonesia, ada begitu banyak suku dan sub-suku dengan bahasa-bahasa dan dialek yang juga khas. Ada belasan ribu pulau-pulau yang terpisah-pisah. Ada banyak agama dan kepercayaan. Ada aneka warna adat istiadat. Bahkan ada puluhan partai politik yang berbeda-beda. Ada organisasi sosial keagamaan, baik dalam Islam sendiri maupun agama lainnya.
Jika kita menyadari akan kondisi bangsa Indonesia yang heterogen itu, maka sangat utopis jika kita berani mengatakan dan menginginkan Islam menjadi satu warna saja, seperti apa yang disuarakan oleh beberapa kelompok keagamaan yang mengatasnaman gerakan pemurnian Islam, dengan dalih penghapusan Islam dari unsur-unsur bid’ah.
Gagasan menusantarakan Islam—dengan cara mendialogkan Islam dengan budaya lokal—sangatlah penting karena memberikan perhatian yang serius kepada masalah kemajemukan sebagai sebuah fakta yang tak bisa ditolak, apalagi sengaja dibuang.
Saat ini tak ada cara lain selain harus bersikap positif terhadap kemajemukan yang dimiliki oleh Indonesia, bukan sebaliknya. Dengkan kata lain, sikap yang harus dikembangkan adalah upaya untuk menghormati berbagai perbedaan yang ada sambil mencoba mengelolanya secara damai dan berkeadilan.
Sikap negatif yang mencoba menaklukkan kemajemukan menjadi keseragaman, atau berusaha mengasingkan diri dari berinteraksi dengan kemajemukan adalah sikap yang tidak realistis.
Di sinilah nampaknya kita harus arif dan cermat menghadapi itu. Ternyata hidup modern tidak mesti melacurkan diri dengan menjual, menggadaikan apalagi mengorbankan, atau membuang  tradisi-tradisi mulia yang sudah lama kita gugu dan amalkan sejak dulu kala. Bukankah ada pepetah mengatakan bahwa “Bangsa yang besar adalah bangsa yang sanggup menghargai dan mencintai tradisi leluhurnya”.[ ]