Translate

Rabu, 11 Desember 2013

** Terorisme Bukan Ajaran Islam

Terorisme Bukan Ajaran Islam

Oleh: Kiki Muhamad Hakiki
Dosen IAIN Raden Intan Lampung

Akhir-akhir ini bumi Indonesia kembali dihebohkan dengan munculnya perdebatan seputar  wacana terorisme. Tema ini kembali menyeruak setelah pihak kepolisian Indonesia baru-baru ini kembali menangkap beberapa aktor dalang peledakan bom yang terjadi di Indonesia beberapa waktu yang lalu.
Yang menarik dari penangkapan beberapa aktor tersebut adalah upaya terus terang yang dilakukan para pelaku perihal niat dan modusnya. Salah seorang pelaku terorisme Abu Dujana mengatakan dalam wawancaranya bahwa ia dan kawan-kawannya melakukan aksi peledakan bom itu hanya semata-mata untuk jihad sebagaimana diajarkan dalam oleh ajaran Islam.
Berbagai peledakan bom yang ia lakukan hanya dengan alasan karena negara Indonesia tidak memberlakukan bentuk negara Islam (daulah islamiyah) dan menegakan syari'at Islam sebagai undang-undang tertinggi di negeri ini.
Jihad sebagai alasan terorisme
Istilah jihad memang rawan untuk disalah artikan. Istilah ini kerapkali dijadikan oleh para elit agama Islam garis keras untuk "menghipnotis" para pelaku teroris dengan di buai akan mimpi-mimpi indah bahwa siapa yang berjihad maka balasannya adalah surga. Jihad adalah perjuangan dan bukan peperangan sebagaimana kini di mengerti. Definis jihad selalu berevolusi sesuai dengan konteksnya, dan peperangan atau dalam Istilah Arab Qital adalah salah satu ragam pengertian dari jihad itu sendiri.
Definisi jihad yang kerapkali di pakai oleh para pelaku terorisme saat ini memang bukan tanpa asal. Definisi bahwa jihad adalah peperangan memang disuarakan oleh para ulama baik itu ulama tafsir, hadits maupun fikih.
Mislanya saja Seorang ulama hadis ternama, Ibnu Hajar Al-Asqalani seorang ulama komentator (al-syârih) terhadap hadis-hadis yang dikumpulkan oleh al-Bukhari, memberikan definisi jihad sebagai badzl al-juhd fi qitâl al-kuffâr (mengerahkan kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir). Demikian juga Muhammad bin Ismail al Kahlani, pengarang kitab Subul al-Salâm yang merupakan komentar atas kitab Bulugh al-Maram karya Ibnu Hajar al Asqalani (dua kitab ini sangat terkenal di dunia pesantren di Indonesia), memaknai jihad dengan badzl al-juhd fi qitâl al-kuffâr aw al-bughât (mengerahkan kemampuan untuk memerangi orang kafir dan pemberontak). Atau juga seorang ulama terkenal yakni Syaikh Taqiyudin al-Nabhani, yang mengatakan bahwa jihad adalah upaya mengerahkan segenap kekuatan dalam perang fi sabilillah (di jalan Allah) dengan perang dan pembunuhan.
Dengan definisi-definis yang diungkapkan oleh para ulama-ulama di atas, maka tak salah jika kesan yang muncul kemudian adalah bahwa benar ternyata agama Islam mengajarkan doktrin keras yang membuat subur paham-pamah terorisme.bukankah kesan ini justru memburukan citra Islam itu sendiri sebagai agama rahmatan li al-alamin.
Lantas Apa yang mesti di lakukan oleh umat Islam saat ini. Tak ada cara lain yang harus dilakukan oleh umat Islam saat ini selain merubah persepsi tentang jihad itu sendiri. Jihad dengan definisi peperangan saat ini harus jauh-jauh disingkirkan dalam benak pikiran kita. Jihad sebagaimana yang didefinisikan oleh para teroris itu tidaklah benar.
Jihad bukan Qital
Mendefinisikan jihad dengan qital (peperannga) menurut saya sangatlah keliru. Jika kita merujuk pada ayat-ayat Alqur'an, jelas bahwa ada dua istilah yang berbeda; istilah "jihad" di satu sisi dan istiah "qital" di sisi yang lain. Perbedaan dua istilah itu memang kerapkali disama artikan. Jika dilihat dari definisinya, Jihâd berarti perjuangan dalam arti yang umum, sementara qitâl berarti peperangan.
Jadi, bila Al-Quran menggunakan ayat al-jihâd (ayat-ayat jihad), artinya adalah perjuangan dalam makna yang umum; sementara bila menggunakan ayat al-qital wa al-sayf (ayat-ayat perang dan pedang), artinya sudah pasti khusus terkait dengan peperangan. Penggunaan dua istilah yang berbeda tersebut digunakan oleh Al Quran pada dua sebab.
Pertama, jika melihat dari asbab an-nuzul ayat, ayat-ayat jihad telah turun sejak periode Islam Mekkah ketika tidak pernah terjadi satu pun peperangan. Jihad dalam periode Islam Mekkah adalah jihad non-perang. Jadi sangat keliru jika kemudian jihad pada periode itu dimaknai sebagai peperangan. Seperti dalam ayat Alqur'an; " Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Qur'an dengan jihad yang besar"(QS:al-Furqan:52),"Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS:al Nahl:110), " Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan"(QS:Luqman:15), " Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik" (QS: al Ankabut: 69)
Berbeda dengan ayat jiha di atas, ayat-ayat qital dilihat dari asbab an-nuzul-nya hanya turun pada periode Madinah—yang berbeda dengan periode Makkah—yakni penuh dengan tragedi peperangan.
Kedua, pernyataan ayat-ayat Alqur'an yang berkaitan dengan perintah berperang adalah ayat-ayat yang menggunakan ayat-ayat qitâl, bukan dengan ayat jihad. Seperti dalam surat al-Hajj Ayat 39 " Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu."atau dalam surat al-Baqarah Ayat 190 yang artinya:" Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas".
Nah, dengan pembagian dua istilah dan definisi tersebut di atas maka semakin jelaslah bahwa legalisasi yang didengungkan oleh para pelaku teroris saat ini dengan doktrin jihad adalah sangat keliru. Prilaku terorisme dengan mengatasnamakan jihad yang diajarkan oleh Islam betu-betul tidak mempunyai dasar yang tepat.Islam tidak mengajarkan prilaku terorisme. Terorisme bukan ajaran Islam. Islam mengajarkan prilaku toleran, persaudaraan,peningkatan ukhuwah, bukan hanya pada sesama umat Islam saja akan tetapi juga kepada seluruh umat manusia yang hidup di kolong langit ini.
Sebagai kata akhir menarik merenungkan pernyataan yang diungkapkan oleh Karena cendikiawan Mesir Gamal al-Banna—yang merupakan adik bungsu pendiri Ikhwanul Muslimin: Hasan al-Banna—dalam bukunya "al-Jihâd", di mengatakan: "Jihad dan qital harus dibedakan secara jelas dan tegas. Jihad tidak identik dengan qital, meskipun qital pada zaman Nabi merupakan salah satu bentuk dari jihad. Baginya jihad adalah mabda’ (prinsip) yang abadi dalam arti dan bentuk yang umum dan seluas-luasnya, sedangkan perang hanyalah wasilah, yang tidak prinsipiil dan sangat situasional. Wallahu a'lam.

Terbit di Surat Kabar Lampung Post

Selasa, 10 Desember 2013

** Jaminan Al-Qur’an Terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan


Jaminan Al-Qur’an Terhadap
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Oleh:
Kiki Muhamad Hakiki[1]

Abstrak
Tulisan ini memfokuskan pada upaya penelusuran argumentasi al-Qur’an dalam menyikapi konsep kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa ternyata banyak sekali ditemukan diktrin-doktrin al-Qur’an yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Di antara teks-teks al-Qur’an yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah (QS. al Isra: 70), (QS. al-Ghasyiyah: 21-22), (QS.  al-Qashash: 56), (QS. al-Hujurat: 13), (QS. al Nisa: 1), (QS al Ahzab: 35), (QS. Al-Maidah:44). Dari ayat-ayat tersebut bisa dijadikan argumentasi bahwa ternyata Islam tidak mengajarkan umatnya untuk melakukan permusuhan, justru sebaliknya, Islam mengajarkan untuk selalu mencintai dan menebarkan kedamaian terhadap mereka yang berbeda.

Kata Kunci: Al-Qur’an, Kebebasan Beragama, HAM, Toleransi


Pendahuluan
Perbedaan agama di Indonesia bahkan di dunia acap kali masih menjadi penghalang bagi terwujudnya kehidupan yang toleran, harmoni, jauh dari prasangka dan tindakan kekerasan. Realita ini semakin menguatkan pandangan bahwa agama merupakan sumber kebencian, perpecahan dan inspirasi bagi pelaku kekerasan, yang antara lain untuk melenyapkan mereka yang berbeda atau dianggap berbeda.
Di sisi lain sejumlah agamawan berkhutbah, dan sebagian masyarakat penganut agama mempercayai bahwa agama seyogyanya membuat penganutnya terhindar dari hal-hal negatif seperti tersebut di atas. Mereka yakin bahwa setiap agama, termasuk Islam membawa misi perdamaian, toleransi dan perlindungan bagi umat agama lain yang berbeda. Lantas bagaimana sebetulnya teks agama (Islam) dalam hal ini al-Qur’an berbicara soal itu?
Makalah ini akan memfokuskan pada kajian seputar respon Islam dengan kitab suci al-Qur’an-nya terkait dengan isu kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai salah satu isu yang tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (disingkat DUHAM), ditemukan juga di dalam berbagai dokumen historis tentang HAM, seperti; dokumen Rights of Man France (1789), Bill of Rights of USA (1791) dan International Bill of Rights (1966).
Dalam DUHAM, kebebasan beragama dan berkeyakinan dikelompokkan dalam kebebasan berpendapat dan keduanya tercantum di dalam Hak Sosial dan Kebudayaan (Social and Cultural Rights). Tepatnya, kedua kebebasan tersebut terdapat di dalam Pasal 18 dan 19. Pasal 18 the Universal Declaration of Human Rights menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan fikiran, hati nurani dan agama. Dalam hak ini, termasuk berganti agama dan kepercayaan, kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengerjakannya, mempraktikannya, melaksanakan ibadah dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri”. Sementara itu, pada Pasal 19 dinyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah fikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah.”.
Tema ini dipilih mengingat akhir-akhir ini di Indonesia konflik atas nama agama kembali menyeruak dan menjadi isu sentral yang selalu mengancam keutuhan, rasa aman dan stabilitas Negara.

Apa itu HAM ?
Secara historis, Hak Asasi Manusia (HAM) muncul setelah adanya Magna Charta 1215 di Inggris yang berisi pembatasan kekuasaan raja-raja absolut yang kemudian menjadi embrio bagi monarkhi konstitusional.[2] Magna Charta ini kemudian diikuti dengan lahirnya Undang-Undang Hak Asasi Manusia (Bill of Rigths) di Inggris tahun 1689 yang berintikan bahwa manusia harus diperlakukan sama di depan hukum. Dalam perkembangan HAM selanjutnya ditandai munculnya The American Declaration of Independence tahun 1776 yang lahir dari paham Rosseau dan Montesquieu. Setelah itu lahir pula deklarasi Perancis (The French Declaration) yang memuat aturan-aturan hukum yang menjamin hak asasi manusia dalam proses hukum, diantaranya; freedom of expression, freedom of religion, the right of proprerty dan hak-hak dasar lainnya.[3]
Semua hak-hak yang ada dalam berbagai instrumen HAM tersebut kemudian dijadikan dasar pemikiran untuk memunculkan rumusan HAM yang bersifat universal. Sehingga pada lintasan sejarah selanjutnya, di bawah payung PBB, negara-negara dunia mendeklarasikan undang-undang terkait dengan HAM yang dideklarasikan pada 10 Desember 1948, sesudah melalui proses perdebatan yang sangat panjang.[4]
Sepanjang yang dapat diketahui, dalam khazanah klasik Islam (al-Turats al-Islamy), penulis tidak pernah menemukan istilah ini. Namun dewasa ini, di dunia Arab-Islam Hak Asasi Manusia Universal tersebut dikenal dengan istilah “Al-Huquq al-Insaniyah al-Asasiyyah al-Alamiyah”.
Meskipun begitu, hal paling utama bukanlah soal nama atau istilah, tetapi substansi dari nama atau istilah tersebut. Bahasa manusia berbeda-beda. Bahasa adalah symbol dari makna yang ada di dalamnya. Ulama mengatakan : “La Masyahhata fi al-Isthilah”. Secara literal ungkapan ini berarti istilah/bahasa tidak pelit. Artinya: “tidak seyogyanya seseorang melarang orang lain menggunakan suatu istilah tertentu untuk member makna sesuatu, jika dia menjelaskan maksudnya”.

Islam dan Ham
Membicarakan sekaligus mensosisalisasikan Hak Asasi Manusia (HAM) selalu penting. Ia menjadi semakin penting ketika realitas social kita tengah memperlihatkan wajah-wajah yang tidak lagi menghargai martabat manusia, seperti yang banyak terlihat pada saat ini di banyak  tempat di dunia ini, dan lebih khusus lagi di negeri kita tercinta. Indonesia.
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri setiap orang sejak ia dilahirkan. Ia berlaku universal (berlaku bagi semua orang di mana saja dan kapan saja). Hak ini merupakan anugerah Allah. Karena sifatnya yang demikian, maka tidak ada kekuatan apapun yang bisa mengurangi atau mencabut hak tersebut. Menurut Abed al-Jabiri, istilah al ‘Alamiyyyah atau universal mengandung arti bahwa hak-hak tersebut ada dan berlaku bagi semua orang di mana saja, tanpa membedakan jenis kelamin, ras, status sosial, agama, dan sebagainya. Oleh sebab itu, HAM tidak terpengaruh oleh kebudayaan dan peradaban apapun (la yuatstsir fiha ikhtilaf al-Tsaqafat wa al-Hadharat), melintasi batas ruang dan waktu (ta’lu ‘ala al-Zaman wa al-Tarikh). HAM adalah hak setiap manusia karena dia melekat pada diri manusia (‘ala al-Insan ayyan kana wa anna kana).[5]
Salah satu hak paling asasi yang dimiliki oleh manusia sebagai anugerah Allah adalah kebebasan untuk memilih agama berdasarkan keyakinannya. Beragama adalah hal yang membedakan antara manusia dengan makhluk lain. Manusia diberi keleluasaan oleh Allah, apakah akan mengikuti petunjuk jalan-Nya atau jalan yang lain. Berdasarkan pilihannya, manusia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Prinsip kebebasan ini secara tegas disebutkan dalam QS. Al- Kahfi: 29.

وَقُلِ ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَآءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَآءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّآ أَعْتَدْنَا لِلظَّٰلِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِن يَسْتَغِيثُوا۟ يُغَاثُوا۟ بِمَآءٍ كَٱلْمُهْلِ يَشْوِى ٱلْوُجُوهَ بِئْسَ ٱلشَّرَابُ وَسَآءَتْ مُرْتَفَقًا ﴿٢٩

Artinya:”Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek  (QS. Al-Kahfi: 29)

Argumentasi Tekstual Al-Qur’an terkait HAM
Inti paling utama dari Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana diketahui adalah penghormatan martabat manusia, kemerdekaan (kebebasan) dan kesetaraan manusia. Jika kita membaca sumber Islam paling otoritatif : Al-Qur’an dan sunnah Nabi (hadits), sebenarnya akan banyak kita temukan teks-teks yang menjelaskan tentang inti utama HAM tersebut. Beberapa di antaranya adalah :
Pertama, tentang kehormatan martabat manusia. Al-Qur’an menegaskan :

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلْنَٰهُمْ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ وَرَزَقْنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلْنَٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا ﴿٧٠

Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka di daratan dan lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik serta Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan ciptaan Kami”. (QS. al Isra: 70).

Kedua, tentang Kebebasan. Al-Qur'an menyebut manusia sebagai khalifah fi al Ardh. Yakni pemegang amanat Allah. (QS. al-Baqarah: 30, QS. al-Ahzab: 72). Ini karena manusialah makhluk-Nya yang paling unggul dan dimuliakan di antara makhluk-Nya yang lain. Keunggulan dan kemuliaan manusia atas yang lain itu lebih karena manusia diberikan akal-pikiran. Tidak ada ciptaan Allah yang memiliki fasilitas paling canggih ini. Dengan potensi akal pikiran inilah manusia menjadi makhluk yang bebas untuk menentukan sendiri nasibnya di dalam menjalani kehidupannya di dunia ini. Dengan akal-intelektualnya pula manusia menciptakan peradaban dan kebudayaan. Akan tetapi bersamaan dengan itu manusia juga harus menanggung risiko dan bertanggungjawab atas segala tindakannya itu di hadapan Allah, kelak. Ini menunjukkan bahwa kebebasan selalu mengandung makna tanggungjawab dan bersifat moral.
Al-Qur’an juga menyatakan :”La Ikrah fi al-Din” (tidak ada paksaan dalam agama). Ini adalah pernyataan paling eksplisit tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan, sekaligus larangan memaksakan kehendak keyakinan agama terhadap orang lain. Bahkan Nabi sekalipun tidak berhak memaksa orang lain untuk mengikuti agamanya. Kewajiban Nabi hanyalah menyampaikan peringatan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:

فَذَكِّرْ إِنَّمَآ أَنتَ مُذَكِّرٌ ﴿٢١  لَّسْتَ عَلَيْهِم بِمُصَيْطِرٍ ﴿٢٢

Artinya: "Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. (QS. al-Ghasyiyah: 21-22).

Keyakinan adalah milik Allah semata. Dalam teks Islam disebut sebagai "hidayah" (petunjuk/anugerah Allah). Hidayah menurut Al-Qur'an hanya milik Allah:

إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى مَن يَشَآءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ ﴿٥٦

Artinya: "Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk".(QS.  al-Qashash: 56).

Ketiga, tentang kesetaraan manusia. Al-Qur-an menyatakan:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ ﴿١٣

Artinya: “Wahai manusia Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa kepada-Nya”.(QS. al-Hujurat: 13).

Dalam ayat yang lain dijelskan:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا ﴿١

Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri (entitas) yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”.(QS. al Nisa: 1)

Pernyatan paling eksplisit lainnya mengenai hal ini dinyatakan dalam (QS. al Ahzab: 35) :

إِنَّ ٱلْمُسْلِمِينَ وَٱلْمُسْلِمَٰتِ وَٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَٱلْقَٰنِتِينَ وَٱلْقَٰنِتَٰتِ وَٱلصَّٰدِقِينَ وَٱلصَّٰدِقَٰتِ وَٱلصَّٰبِرِينَ وَٱلصَّٰبِرَٰتِ وَٱلْخَٰشِعِينَ وَٱلْخَٰشِعَٰتِ وَٱلْمُتَصَدِّقِينَ وَٱلْمُتَصَدِّقَٰتِ وَٱلصَّٰٓئِمِينَ وَٱلصَّٰٓئِمَٰتِ وَٱلْحَٰفِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَٱلْحَٰفِظَٰتِ وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرًا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا ﴿٣٥
Artinya: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuanyang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang  bersedekah, laki-laki dan perempuan  yang berpuasa, laki-laki dan perempuan  yang memlihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan  yang banyak  menyebut (nama) Allah, Allah telah menyedikan ampunan dan pahala yang besar”. (QS al Ahzab: 35). Demikian juga dalam QS al-Nahl, 97, QS Ali Imran, 195, QS al-Mukmin 40, dan lain-lain.

Doktrin egalitarianisme (al-musawah) Islam di atas juga dinyatakan dalam hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam salah satu sabdanya beliau mengatakan : “Manusia bagaikan gigi-gigi sisir, tidak ada keunggulan orang Arab atas non Arab, orang kulit putih atas kulit hitam, kecuali atas dasar ketakwaan kepada Tuhan”. Sabda beliau yang lain : “Sungguh, Allah tidak menilai kamu pada tubuh dan wajahmu melainkan pada tingkahlaku dan hatimu”. Dan  “Kaum perempuan adalah saudara kandung kaum laki-laki”.
Keempat, tentang pengakuan terhadap eksistensi dan kebenaran kitab-kitab sebelum Islam. Taurat dan Injil, misalnya, disebut al-Qur’an sebagai petunjuk (hudan) dan penerang (nar).

إِنَّآ أَنزَلْنَا ٱلتَّوْرَىٰةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا ٱلنَّبِيُّونَ ٱلَّذِينَ أَسْلَمُوا۟ لِلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلرَّبَّٰنِيُّونَ وَٱلْأَحْبَارُ بِمَا ٱسْتُحْفِظُوا۟ مِن كِتَٰبِ ٱللَّهِ وَكَانُوا۟ عَلَيْهِ شُهَدَآءَ فَلَا تَخْشَوُا۟ ٱلنَّاسَ وَٱخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِى ثَمَنًا قَلِيلًا وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْكَٰفِرُونَ ﴿٤٤

Artinya: “Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat; di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya. Yang dengan Kitab itu para nabi yang berserah diri kepada Allah memberi putusan atas perkara orang Yahudi, demikian juga para ulama dan pendeta-pendeta mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah. Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir”. [QS. Al-Maidah/5:44].

Melalui ayat-ayat dalam al-Qur’an ini juga ditegaskan bahwa Islam memberikan pengakuan terhadap umat Yahudi dan Nashrani; mereka cukup menjadikan kitab suci masing-masing sebagai sandaran moral mereka. Ditegaskan pula, sekiranya mereka berpaling dari kitab sucinya, mereka adalah kafir dan fasik.
Kelima, tentang pengakuan terhadap para pembawa agama sebelumnya seperti Musa dan Isa al-Masih. Sebagaimana perintah mengimani kitab-kitab wahyu, umat Islam diharuskan mengimani para nabi dan rasul, minimal 25 rasul, karena jumlah nabi dan rasul menurut hadits nabi diperkirakan mencapai 124.000 orang nabi dan 315 orang rasul.
Keenam, secara eksplisit al-Qur’an menegaskan bahwa siapa saja – Yahudi, Nashrani, Shabi’in, dll – yang menyatakan hanya beriman kepada Allah, percaya pada Hari Akhir, dan melakukan amal saleh, tak akan pernah disia-siakan oleh Allah. Mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal atas keimanan dan jerih payahnya.

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلصَّٰبِـُٔونَ وَٱلنَّصَٰرَىٰ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَعَمِلَ صَٰلِحًا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٩

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Şābi'īn dan orang-orang Nasrani, barangsiapa beriman kepada Allah, kepada hari kemudian, dan berbuat kebajikan, maka tidak ada rasa khawatir padanya dan mereka tidak bersedih hati”. (QS. Al-Maidah/5: 69)

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلنَّصَٰرَىٰ وَٱلصَّٰبِـِٔينَ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَعَمِلَ صَٰلِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Şābi'īn, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati”. (QSal-Baqarah/2: 62).

Ketujuh, al-Qur’an membolehkan umat Islam berteman dengan umat agama lain, selama umat agama lain itu tak memusuhi dan tak mengusir dari tempat tinggalnya. Sekiranya mereka melakukan permusuhan, maka wajar kalau umat islam diperintahkan melakukan pertahanan diri.
عَسَى ٱللَّهُ أَن يَجْعَلَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ ٱلَّذِينَ عَادَيْتُم مِّنْهُم مَّوَدَّةً وَٱللَّهُ قَدِيرٌ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿٧  لَّا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ ﴿٨ إِنَّمَا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ قَٰتَلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ وَظَٰهَرُوا۟ عَلَىٰٓ إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ﴿٩

Artinya: Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang di antara kamu dengan orang-orang yang pernah kamu musuhi di antara mereka. Allah Mahakuasa. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (7) Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil (8) Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim (9).” (QS. Al-Mumtahanah/60:7-9). 
Dalam hal umat Islam meminta bantuan dan perlindungan, sejarah juga mengukir tetang hal sebagai berikut.
Pertama, ketika umat Islam dikejar-kejar orang-orang kafir Quraisy Mekah, Nabi mencari petlindungan kepada Najasyi, Raja Abisinia yang Kristen. Ratusan sahabat Nabi termasuk Utsman dan istrinya Ruqayah (putrid Nabi), hijrah ke Abisinia untuk menghindari ancaman pembunuhan kafir Quraisy. Pada saat kafir Quraisy memaksa sang raja mengembalikan umat Islam ke Mekah, ia tetap pada pendiriannya: pengikut Muhammad harus dilindungi dan diberikan haknya untuk memeluk agama Islam. Menariknya, ketika Sang Raja ini meninggal dunia, Muhammad pun melaksanakan salat jenazah dan memohonkan ampun atasnya.
Kedua, Abu ‘Ubaidillah al-Mahdi, khalifah pertama dari Dinasti Fathimiyah pernah meminta nasihat kepada salah seorang Kristen tentang lokasi yang tepat bagi ibu kota Negara.[6]
Beberapa ayat al-Qur’an di atas dan masih banyak lagi ayat yang lain menjelaskan tentang kemuliaan martabat manusia, kebebasan dan kesetaraan manusia tanpa melihat latarbelakang asal usulnya, warna kulit, jenis kelamin bahasa dan agama. Ini adalah konsekuensi logis dari doktrin Kemahaesaan Allah. Semua manusia dengan berbagai latarbelakangnya itu pada ujungnya berasal dari sumber yang tunggal, ciptaan Tuhan. Keunggulan yang dimiliki manusia satu atas manusia yang lain hanyalah pada aspek kedekatannya dengan Tuhan.
Dalam fakta sejarahnya, pernyataan-pernyataan al-Qur-an dan hadits Nabi saw. di atas selanjutnya menjadi dasar Nabi saw untuk mendeklarasikan apa yang dikenal dengan “Shahifah Madinah”, “Mitsaq al Madinah”  atau Piagam Madinah, pada tahun 622 M. Isinya meliputi kesepakatan-kesepakatan tentang aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat Madinah. Para ahli sejarah menyatakan bahwa Piagam Madinah ini adalah naskah otentik yang tidak diragukan keasliannya tentang prinsip-prinsip kemanusiaan universal.[7] Sebagian menyatakannya sebagai deklarasi HAM pertama di dunia. Bahkan Nurcholish Madjid, dengan tegas menyatakan bahwa Hak-hak Asasi Manusia Universal (DUHAM) sesungguhnya mendapatkan inspirasi dan diilhami oleh ajaran-ajaran Islam. Islam adalah agama yang telah mendeklarasikan hak-hak dasar manusia jauh berabad lamanya sebelum DUHAM. Menurut Nurcholish "pandangan dasar kemanusiaan yang berasal dari Madinah tersebut diadopsi ke Eropa oleh Giovani Pico della Mirandola, filosof terkemuka zaman renaissance. Dia menyampaikan orasi tentang "Martabat Manusia" pada tahun 1486 di Roma di hadapan para sarjana Eropa. Dia dengan terang-terangan mengakui bahwa pikiran-pikirannya diperoleh dari bacaannya atas karya-karya intelektual muslim".[8]
Dengan penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Hak-Hak Asasi Manusia adalah sejalan dengan visi Islam, bahkan Islam telah memelopori prinsip-prinsip kemanusiaan ini jauh berabad sebelum dunia Barat mendeklarasikannya. Tak hanya memberikan pengakuan dan jaminan, al-Qur’an juga mewajibkan umat Islam untuk memberikan hak beragama bagi umat non-Muslim sesuai ajaran mereka.
Berangkat dari fakta-fakta normative tersebut, semakin jelaslah bahwa Islam telah menjamin dan melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tidak sekadar itu, menurut al-Qur’an, umat non-Muslim pun akan diselamatkan Allah sejauh mereka menjalankan ajaran agamanya secara sungguh-sungguh dan melakukan amal saleh, sebagaimana ditetapkan kitab suci masing-masing.
Meskipun banyak teks-teks al-Qur’an yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, akan tetapi faktanya diskriminasi dan pelanggaran atas kebebasan beragama kerap kali terjadi. Menarik apa yang diungkapkan oleh Abdullahi Ahmed an-Naim (1998) salah seorang pemikir asal Sudan yang kini menetap di Amerika. Ia menemukan setidaknya ada lima kasus dalam al-Qur‘an yang sering digunakan oleh kalangan Islam untuk membenarkan tindakan diskriminatifnya karena alasan gender dan perbedaan agama serta keyakinan. Keenam kasus yang dimaksud oleh an-Na‘im adalah sebagai berikut:[9]
1.  Laki-laki Muslim boleh mengawini perempuan Kristen atau Yahudi (Ahli Kitab), sedangkan laki-laki Kristen dan Yahudi tidak boleh mengawini perempuan Muslim. Laki-laki dan perempuan Muslim tidak boleh mengawini orang musyrik (Q.S.al-Maidah: 5 dan al-Baqarah: 221).
2.   Perbedaan agama menjadi penghalang adanya hubungan saling mewarisi. Seorang Muslim tidak dapat mewarisi atau mewariskan kepada nonmuslim, demikian sebaliknya.
3.      Laki-laki Muslim dapat mengawini hingga empat orang perempuan dalam waktu yang bersamaan, sedang perempuan hanya dapat kawin dengan seorang laki-laki (Q.S. al-Nisa: 2).
4.  Seorang laki-laki Muslim dapat menceraikan isterinya, atau seorang isteri dan isteri-isterinya dengan meninggalkan begitu saja tanpa akad, talak, tanpa berkewajiban memberikan berbagai alas an atau pembenaran atas tindakannya itu. Sebaliknya, perempuan hanya dapat bercerai dengan kerelaan suami atau surat keputusan pengadilan yang mengizinkannya dengan alas an-alasan khusus, seperti ketidakmampuan suami dan keenganannya untuk mengurus isteri (Q.S. al-Baqarah: 226-232).
5.  Dalam pewarisan, seorang perempuan Muslim menerima bagian yang lebih sedikit daripada bagian laki-laki Muslim, ketika keduanya berada dalam kedekatan hubungan kekeluargaan yang sama dengan yang meninggal (Q.S.al-Nisa: 11; 176).

Kondisi Jaminan HAM di Indonesia saat ini
Sebagai salah satu hak yang paling fundamental, pelaksanaan kebebasan beragama atau berkepercayaan didasarkan pada delapan norma sebagai berikut :[10]
a.     internal freedom (kebebasan internal). Berdasarkan pada norma ini, setiap orang dipandang memiliki hak kebebasan berpikir, berkesadaran, dan beragama. Norma ini juga mengakui kebebasan setiap individu untuk memiliki, mengadopsi, mempertahankan atau mengubah agama dan kepercayaannya.
b.  external freedom (kebebasan eksternal). Norma ini mengakui kebebasan mewujudkan kebebasan atau keyakinan dalam berbagai bentuk manifestasi seperti kebebasan dalam pengajaran, praktik, peribadatan, ketaatan. Manifestasi kebebasan beragama dan berkepercayaan dapat dilaksanakan baik diwilayah pribadi maupun publik. Kebebasan juga bisa dilakukan secara individual dan bersama-sama orang lain.
c.    noncoercion (tanpa paksaan). Norma ini menekankan adanya kemerdekaan individu dari segala bentuk paksaan dalam mengadopsi suatu agama atau berkepercayaan. Dengan kata lain, setiap individu memiliki kebebasan memiliki suatu agama atau kepercayaan tanpa perlu dipaksa oleh siapa pun.
d. nondiscrimination (tanpa diskriminasi). Berdasarkan norma ini, negara berkewajiban menghargai dan memastikan bahwa seluruh individu di dalam wilayah kekuasaanya dan yurisdiksinya memperoleh jaminan kebebasan beragama atau berkepercayaan tanpa membedakan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau kepercayaan,pandanga politik dan pandangan lainnya, asal-usul bangsa, kekayaan, status kelahiran.
e.  rights of parent and guardian (hak orang tua dan wali). Menurut norma ini, negara berkewajiban menghargai kebebasan orang tua dan para wali yang abash secara hukum untuk memastikan pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan kepercayaan mereka sendiri. Negara juga harus memberikan perlindungan atas hak-hak setiap anak untuk bebas beragama atau berkepercayaan sesuai dengan kemampuan mereka sendiri.
f.     corporate freedom and legal status (kebebasan berkumpul dan memperoleh status hukum). Aspek penting kebebasan beragama atau berkepercayaan terutama dalam kehidupan kontemporer adalah adanya hak bagi komunitas keagamaan untuk mengorganisasikan diri atau membentuk asosiasi.
g.  limits of permissible restrictions on external freedom (pembatasan yang diperkenankan terhadap kebebasan eksternal). Kebebasan untuk mewujudkan atau mengeskpresikan suatu agama atau kepercayaan dapat dikenai pembatasan oleh hukum dengan alasan ingin melindungi keselamatan umum, ketertiban, kesehatan dan moral dan hak-hak dasar lainnya.
h. nonderogability. Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama atau berkepercayaan bahkan dalam situasi darurat sekalipun.

Pada kenyataannya, kedelapan norma kebebasan beragama atau berkepercayaan tersebut tidak berjalan mulus. Di beberapa negera termasuk di Indonesia sendiri sering dijumpai pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan. Indonesia adalah salah satu negara yang sering mendapat sorotan terkait dengan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan.[11] Meskipun memiliki cukup banyak landasan normatif, ternyata Indonesia belum bebas dari pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan. Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Imparsial (2006), pelanggaran yang dilakukan negara terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan menggunakan dua modus.
Modus pertama, negara melakukan pelanggaran secara tidak langsung dengan cara melakukan pembiaran atas berbagai kasus yang terjadi sehingga menimbulkan aksi kekerasan yang dilakukan masyarakat, seperti pada kasus yang menimpa Jama’ah Ahmadiyah di Cikesik Pandeglang, Banten. Dalam beberapa kasus terlihat sikap aparat keamanan yang membiarkan dan tidak melakukan pencegahan sehingga mendorong sekelompok orang untuk tetap melanjutkan aksinya seperti menutup tempat ibadah atau melakukan penyerangan terhadap kepercayaan kelompok lain. Sebagai pihak yang punya kewenangan dalam pengendalian keamanan dan ketertiban di masyarakat, aparat keamanan seharusnya menindak pelaku kekerasan tersebut. Tetapi tidak jarang aparat keamanan melakukan pembiaran seakan tindakan pelaku kekerasan dibenarkan. Tindakan pembiaran yang dilakukan oleh aparat keamanan menurut Imparsial tidak dapat dibenarkan karena sama halnya negara tidak memberikan jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan. Sedangkan dalam modus kedua, negara melakukan pelanggaran secara langsung melalui pembuatan dan penguatan berbagai kebijakan yang membatasi dan membelenggu keberagama dan berkepercayaan.
Meskipun keran ekspresi keberagamaan sudah mulai dibuka lebar, akan tetapi perkembangan ini tentu tidak sepenuhnya memuaskan, sebab faktanya ternyata masih menyisakan ruang diskriminasi terhadap warganya dengan memilah adanya agama atau kepercayaan yang diakui dan tidak atau belum diakui menurut perundang-undangan. Bukankah pemahaman tentang keberadaan kelompok agama-agama lokal dengan berbagai hak sipil yang melekat pada mereka merupakan pemahaman yang urgen untuk disosialisasikan di masyarakat.
Semangat penerapan nilai-nilai HAM dalam bidang keagamaan sebenarnya telah tergambar setidaknya dalam beberapa produk legislasi negara kita, seperti; 1). Dalam Konstitusi negara  kita sudah mengatur pengakuan sekaligus jaminan dan perlindungan terhadap hak dan kebebasan mendasar untuk memeluk agama dan kepercayaan seperti dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD; 2). UU HAM No. 39  tahun 1999 yang menegaskan kembali kemerdekaan memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaannya; 3). UU Peradilan HAM No. 26 tahun 2000 yang memasukkan kejahatan  kemanusiaan yang dilakukan secara luas dan sistematis kepada sebuah kelompok  atau asosiasi yang salah satunya berdasarkan identitas agama tertentu bisa digolongkan sebagai pelanggaran HAM berat; 4). Amandemen kedua konstitusi (UUD 1945) pada tahun 2002 yang menegaskan kembali kebebasan untuk memeluk dan beribadah sesuai agama dan kepercayaan. Di samping itu, amandemen konstitusi juga menjamin warga untuk bebas dari dan mendapatkan perlindungan terhadap segala bentuk diskriminasi.
Usaha kearah yang lebih serius dalam penegakkan HAM dan penguatan nilai-nilai kebebasan beragama semakin terlihat ketika pada tahun 2005, Indonesia secara tegas mengambil kebijakan keagamaan dengan meratifikasi aturan PBB dalam International Covenant on Civil and Political Rights. (Rumadi: 2010). Dengan usaha kearah itu, berarti negara kita sebenarnya telah sepakat untuk menghargai, melindungi, dan memberikan kebebasan beragama kepada warganya, termasuk kepada penganut agama lokal seperti agama sunda wiwitan yang dianut oleh Orang Baduy di Banten sekali pun.
Bahkan tidak hanya itu, pada tahun 2006, usaha negara Indonesia untuk memberikan hak kebebasan secara lebih luas diwujudkan dalam penerbitan UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Pada pasal 61 ayat 2 misalnya, secara eksplisit meminta negara melayani kepentingan administrasi kependudukan warga termasuk dalam KTP di luar enam agama resmi dan secara implisit mengakui keberadaan mereka dalam sistem administrasi kependudukan Indonesia.
Meskipun sudah banyak bermunculan berbagai model legislasi terkait hak kebebasan beragama, akan tetapi fakta diskriminasi beragama kerap kali muncul terutama pada mereka yang menganut beberapa kepercayaan yang dianggap “bukan agama”. Padahal, selain agama-agama yang “diresmikan” tersebut masih banyak lagi agama dan aliran kepercayaan lainnya yang dianut oleh penduduk Indonesia. Dan anehnya lagi, agama-agama yang tidak mempunyai legalitas formal itu adalah agama-agama asli Indonesia, bukan agama impor seperti enam agama yang sudah diakui secara resmi itu.
Meskipun pintu kebebasan beragama sudah dibuka, akan tetapi faktanya, negara kita  masih memiliki beberapa Undang-undang yang terkadang dijadikan sebagai alat atau dalil untuk memberengus pihak-pihak yang dianggap melakukan penodaan agama. Kebijakan negara yang biasanya dipakai untuk mengadili kasus-kasus seperti itu adalah; 1). Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 156 dan Pasal 156a; 2).Unadang-undang No. 1/PnPs/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. 3). Surat Keputusan Jaksa Agung No. KEP-108/JA/5/1984 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat.
Padahal jika kita bandingkan kondisi negara kita dengan negara-negara lainnya, maka justru banyak negara menghapuskan kolom agama dan kepercayaan dalam kartu identitas kependudukan. Negara-negara yang tercatat sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, bahkan beberapa negara Islam sekalipun, dalam prakteknya tidak mewajibkan adanya afiliasi pada satu agama dan kepercayaan tertentu, atau malah tidak mengharuskan pencantuman keyakinan dalam kartu tanda identitas penduduknya. Di antara negara-negara tersebut adalah Aljazair, Bahrain, Iraq, Kuwait, Mauritania, Oman, Qatar, Sudan, Tunisia, Arab Emirat. Mereka tetap dapat membereskan problem administrasi kependudukan tanpa perlu mengambil resiko besar dengan mencantumkan kolom identitas agama dan kepercayaan.
Tapi, kondisi yang berbeda ditemukan di Indonesia, pihak-pihak yang bersikeras menginginkan pencantuman identitas enam agama resmi (minus kepercayaan) berargumen bahwa itu adalah cara yang paling efektif untuk menghindari kesalahan-kesalahan administratif. Ilustrasi yang biasa mereka kemukakan adalah: “seandainya terdapat mayat yang tidak dikenal, maka identitas agama di KTP dapat dipakai sebagai petunjuk sehingga ia akan dapat dimakamkan sesuai dengan agamanya”. Argumen semacam ini merupakan simplifikasi dari penyelesaian masalah, tanpa memperhitungkan potensi permasalahan lain yang akan timbul karena solusi itu. Pilihannya, menguburkan mayat secara benar berdasarkan agama dalam KTP atau membiarkan penduduk tak bersalah menjadi mayat korban konflik akibat identitas agama dalam KTP?, nampaknya perlu dipikirkan ulang.

Kesimpulan
Akhirnya, sebagai rekomendasi untuk solusi ke depan, penulis mengajak seluruh elemen bangsa, civil society, kelompok akademisi, agamawan, dan elit pemerintah agar membangun sinergi, bergandeng tangan, untuk menegakkan hak dan prinsip kebebasan beragama di negeri ini melalui upaya-upaya konkret sebagai berikut.
1.  Melakukan upaya rekonstruksi budaya melalui jalur pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya, baik pendidikan formal, non-formal maupun informal. Perlu sekali mengubah budaya masyarakat yang eksklusif, intoleran, dan senang kekerasan menuju budaya inklusif, toleran, cinta damai dan pluralis.
2.  Merevisi sejumlah undang-undang dan peraturan yang tidak kondusif bagi terwujudnya kebebasan beragama di tanah air, seperti RUU KUHP, khususnya bab tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama.
3.  Mengembangkan reinterpretasi ajaran agama yang lebih kondusif bagi pemenuhan hak kebebasan beragama agar dapat membebaskan manusia dari belenggu tirani dan kebencian.Wa Allah a'lam bi as-shawab.

Terbit di Jurnal Al-Dzikra Vol. 7   No. 1   Januari - Juni Tahun   2013

Daftar Pustaka


Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, (Jakarta: Kata Kita, 2009)
An-Na‘im, Abdullahi Ahmed. ―Shari‘a and Basic Human Rights Concerns. Dalam Liberal Islam: A Sourcebook, ed. Charles Kurzman. (Oxford, Oxford University Press, 1998).
Bassam Tibi, Islam and The Cultural accommodation Of Social Change, (San Francisco ; stview Press, 1991
Ignatius Basis Susilo, et. al., Kompilasi Instrumrn Internasional Hak Azasi Manusia (Surabaya: Pusat Studi HAM Universitas Surabaya, tt)
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011 yang diterbitkan oleh (Center For Religious and Cross-cultural Studies) Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mad, Yogyakarta.
Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia 2012 yang diterbitkan oleh Balitbang Kemenag RI.
Maslamah Reyes, Islam dan HAM, (Islamica, vol. 3 no. 2 Maret 2009)
Mohammad Abed al-Jabiri, al-Dimuqrathiyyah wa Huquq al-Insan, (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1997)
Nicola Colbran, Hak Kebebasan Beragama atau Berkepercayaan, Makalah pada workshop dengan tema, Memperkuat Justisiabilitas Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Prospek dan Tantangan, kerjasama antara Norwegian Centre for Human Rights (NCHR) , University of Oslo, dengan Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM-UII), Yogyakarta. Workshop dilaksanakan pada 13-15 November 2007.
Nurcholish, Indonesia Kita, (Jakarta: Paramadina cet. III, 2004)
Rumadi, Delik Penodaan Agama Dan Kehidupan Beragama Dalam Ruu Kuhp, Makalah di presentasikan dalam ACIS 2010.
Tim Indonesian Center for Civic Education (ICCE) UIN Syarief Hidayatullah, Pendidikan kewarganegaraan (Civic Education), (Jakarta : ICCE Syarief Hidayatullah, 2006)


[1] Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung
[2] Tim Indonesian Center for Civic Education (ICCE) UIN Syarief Hidayatullah, Pendidikan kewarganegaraan (Civic Education), (Jakarta : ICCE Syarief Hidayatullah, 2006), h. 252-253
[3] Maslamah Reyes, Islam dan HAM, Islamica, vol. 3 no. 2 Maret 2009, h. 70
[4] Ignatius Basis Susilo, et. al., Kompilasi Instrumrn Internasional Hak Azasi Manusia (Surabaya: Pusat Studi HAM Universitas Surabaya, tt), h. 1-11.
[5] Mohammad Abed al-Jabiri, al-Dimuqrathiyyah wa Huquq al-Insan, (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1997, Cet. Ke-2, h. 145-146).
[6] Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, (Jakarta: Kata Kita, 2009), h. 251.
[7] Bassam Tibi, Islam and The Cultural accommodation Of Social Change, (San Francisco ; stview Press, 1991), h. 17-18
[8] Nurcholish, Indonesia Kita, (Jakarta: Paramadina cet. III, 2004), h. 67.
[9] An-Na‘im, Abdullahi Ahmed. ―Shari‘a and Basic Human Rights Concerns. Dalam Liberal Islam: A Sourcebook, ed. Charles Kurzman. (Oxford, Oxford University Press, 1998).
[10] Menurut Nicola Colbran, Hak Kebebasan Beragama atau Berkepercayaan, Makalah pada workshop dengan tema, Memperkuat Justisiabilitas Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Prospek dan Tantangan, kerjasama antara Norwegian Centre for Human Rights (NCHR), University of Oslo, dengan Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM-UII), Yogyakarta. Workshop dilaksanakan pada 13-15 November 2007.
[11] Lihat Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia 2012 yang diterbitkan oleh Balitbang Kemenag RI; atau Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011 yang diterbitkan oleh (Center For Religious and Cross-cultural Studies) Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.