Jaminan Al-Qur’an Terhadap
Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan
Oleh:
Kiki
Muhamad Hakiki
Abstrak
Tulisan
ini memfokuskan pada upaya penelusuran argumentasi al-Qur’an dalam menyikapi
konsep kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dari hasil penelitian ditemukan
bahwa ternyata banyak sekali ditemukan diktrin-doktrin al-Qur’an yang menjamin
kebebasan beragama dan berkeyakinan. Di antara teks-teks al-Qur’an yang
menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah (QS. al Isra:
70), (QS. al-Ghasyiyah: 21-22), (QS. al-Qashash: 56), (QS. al-Hujurat:
13), (QS. al Nisa: 1), (QS al Ahzab:
35), (QS. Al-Maidah:44). Dari ayat-ayat tersebut
bisa dijadikan argumentasi bahwa ternyata Islam tidak mengajarkan umatnya untuk
melakukan permusuhan, justru sebaliknya, Islam mengajarkan untuk selalu
mencintai dan menebarkan kedamaian terhadap mereka yang berbeda.
Kata Kunci: Al-Qur’an,
Kebebasan Beragama, HAM, Toleransi
Pendahuluan
Perbedaan agama di Indonesia bahkan di dunia
acap kali masih menjadi penghalang bagi terwujudnya kehidupan yang toleran,
harmoni, jauh dari prasangka dan tindakan kekerasan. Realita ini semakin menguatkan
pandangan bahwa agama merupakan sumber kebencian, perpecahan dan inspirasi bagi
pelaku kekerasan, yang antara lain untuk melenyapkan mereka yang berbeda atau
dianggap berbeda.
Di sisi lain sejumlah agamawan berkhutbah,
dan sebagian masyarakat penganut agama mempercayai bahwa agama seyogyanya
membuat penganutnya terhindar dari hal-hal negatif seperti tersebut di atas.
Mereka yakin bahwa setiap agama, termasuk Islam membawa misi perdamaian,
toleransi dan perlindungan bagi umat agama lain yang berbeda. Lantas bagaimana
sebetulnya teks agama (Islam) dalam hal ini al-Qur’an berbicara soal itu?
Makalah ini akan memfokuskan pada kajian
seputar respon Islam dengan kitab suci al-Qur’an-nya terkait dengan isu
kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai salah satu isu yang tercantum di
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (disingkat DUHAM), ditemukan juga
di dalam berbagai dokumen historis tentang HAM, seperti; dokumen Rights of
Man France (1789), Bill of Rights of USA (1791) dan International
Bill of Rights (1966).
Dalam DUHAM, kebebasan beragama dan berkeyakinan
dikelompokkan dalam kebebasan berpendapat dan keduanya tercantum di dalam Hak
Sosial dan Kebudayaan (Social and Cultural Rights). Tepatnya,
kedua kebebasan tersebut terdapat di dalam Pasal 18 dan 19. Pasal 18 the
Universal Declaration of Human Rights menyatakan: “Setiap orang berhak
atas kebebasan fikiran, hati nurani dan agama. Dalam hak ini, termasuk berganti
agama dan kepercayaan, kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan
cara mengerjakannya, mempraktikannya, melaksanakan ibadah dan mentaatinya, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri”.
Sementara itu, pada Pasal 19 dinyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan
mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk memiliki pendapat
tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan
buah fikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas
wilayah.”.
Tema ini dipilih mengingat akhir-akhir ini di
Indonesia konflik atas nama agama kembali menyeruak dan menjadi isu sentral
yang selalu mengancam keutuhan, rasa aman dan stabilitas Negara.
Apa itu HAM ?
Secara historis, Hak
Asasi Manusia (HAM) muncul setelah adanya Magna Charta 1215 di Inggris yang
berisi pembatasan kekuasaan raja-raja absolut yang kemudian menjadi embrio bagi
monarkhi konstitusional. Magna Charta ini kemudian diikuti dengan
lahirnya Undang-Undang Hak Asasi Manusia (Bill of Rigths) di Inggris tahun 1689
yang berintikan bahwa manusia harus diperlakukan sama di depan hukum. Dalam perkembangan
HAM selanjutnya ditandai munculnya The American Declaration of Independence
tahun 1776 yang lahir dari paham Rosseau dan Montesquieu. Setelah itu lahir
pula deklarasi Perancis (The French Declaration) yang memuat aturan-aturan
hukum yang menjamin hak asasi manusia dalam proses hukum, diantaranya; freedom
of expression, freedom of religion, the right of proprerty dan hak-hak dasar
lainnya.
Semua hak-hak yang
ada dalam berbagai instrumen HAM tersebut kemudian dijadikan dasar pemikiran untuk memunculkan
rumusan HAM yang bersifat universal. Sehingga pada lintasan sejarah
selanjutnya, di bawah payung PBB, negara-negara dunia mendeklarasikan undang-undang
terkait dengan HAM yang dideklarasikan pada 10 Desember 1948, sesudah melalui
proses perdebatan yang sangat panjang.
Sepanjang yang dapat diketahui, dalam khazanah klasik Islam (al-Turats
al-Islamy), penulis tidak pernah menemukan istilah ini. Namun dewasa ini,
di dunia Arab-Islam Hak Asasi Manusia Universal tersebut dikenal dengan istilah
“Al-Huquq al-Insaniyah al-Asasiyyah al-Alamiyah”.
Meskipun begitu,
hal paling utama bukanlah soal nama atau istilah, tetapi substansi dari nama
atau istilah tersebut. Bahasa manusia berbeda-beda. Bahasa adalah symbol dari
makna yang ada di dalamnya. Ulama mengatakan : “La Masyahhata fi
al-Isthilah”. Secara literal ungkapan ini berarti istilah/bahasa tidak
pelit. Artinya: “tidak seyogyanya seseorang melarang orang lain menggunakan
suatu istilah tertentu untuk member makna sesuatu, jika dia menjelaskan
maksudnya”.
Islam dan Ham
Membicarakan
sekaligus mensosisalisasikan Hak Asasi Manusia (HAM) selalu penting. Ia menjadi
semakin penting ketika realitas social kita tengah memperlihatkan wajah-wajah
yang tidak lagi menghargai martabat manusia, seperti yang banyak terlihat pada
saat ini di banyak tempat di dunia ini,
dan lebih khusus lagi di negeri kita tercinta. Indonesia.
Hak Asasi Manusia
adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri setiap orang sejak ia dilahirkan.
Ia berlaku universal (berlaku bagi semua orang di mana saja dan kapan saja).
Hak ini merupakan anugerah Allah. Karena sifatnya yang demikian, maka tidak ada
kekuatan apapun yang bisa mengurangi atau mencabut hak tersebut. Menurut Abed al-Jabiri,
istilah al ‘Alamiyyyah atau universal mengandung
arti bahwa hak-hak tersebut ada dan berlaku bagi semua orang di mana saja,
tanpa membedakan jenis kelamin, ras, status sosial, agama, dan sebagainya. Oleh
sebab itu, HAM tidak terpengaruh oleh kebudayaan dan peradaban apapun (la yuatstsir fiha ikhtilaf al-Tsaqafat wa
al-Hadharat),
melintasi batas ruang dan waktu (ta’lu ‘ala al-Zaman wa al-Tarikh). HAM adalah hak setiap
manusia karena dia melekat pada diri manusia (‘ala al-Insan ayyan kana wa anna kana).
Salah satu hak paling asasi yang dimiliki
oleh manusia sebagai anugerah Allah adalah kebebasan untuk memilih agama
berdasarkan keyakinannya. Beragama adalah hal yang membedakan antara manusia
dengan makhluk lain. Manusia diberi keleluasaan oleh Allah, apakah akan
mengikuti petunjuk jalan-Nya atau jalan yang lain. Berdasarkan pilihannya,
manusia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Prinsip kebebasan ini
secara tegas disebutkan dalam QS. Al- Kahfi: 29.
وَقُلِ ٱلْحَقُّ
مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَآءَ
فَلْيُؤْمِن وَمَن
شَآءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّآ أَعْتَدْنَا لِلظَّٰلِمِينَ نَارًا
أَحَاطَ بِهِمْ
سُرَادِقُهَا وَإِن
يَسْتَغِيثُوا۟ يُغَاثُوا۟ بِمَآءٍ كَٱلْمُهْلِ يَشْوِى ٱلْوُجُوهَ بِئْسَ ٱلشَّرَابُ وَسَآءَتْ مُرْتَفَقًا ﴿٢٩﴾
Artinya:”Dan katakanlah:
"Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu
neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum,
niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang
paling jelek” (QS. Al-Kahfi: 29)
Argumentasi Tekstual Al-Qur’an terkait
HAM
Inti paling utama
dari Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana diketahui adalah penghormatan martabat
manusia, kemerdekaan (kebebasan) dan kesetaraan manusia. Jika kita membaca
sumber Islam paling otoritatif : Al-Qur’an dan sunnah Nabi (hadits), sebenarnya
akan banyak kita temukan teks-teks yang menjelaskan tentang inti utama HAM
tersebut. Beberapa di antaranya adalah :
Pertama, tentang
kehormatan martabat manusia. Al-Qur’an menegaskan :
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلْنَٰهُمْ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ وَرَزَقْنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلْنَٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا ﴿٧٠﴾
Artinya: “Dan
sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka di
daratan dan lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik serta Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan ciptaan Kami”. (QS. al Isra:
70).
Kedua, tentang Kebebasan. Al-Qur'an menyebut manusia sebagai khalifah fi al Ardh. Yakni pemegang amanat Allah. (QS.
al-Baqarah: 30, QS. al-Ahzab: 72). Ini
karena manusialah makhluk-Nya yang paling unggul dan dimuliakan di antara
makhluk-Nya yang lain. Keunggulan dan kemuliaan manusia atas yang lain itu lebih
karena manusia diberikan akal-pikiran. Tidak ada ciptaan
Allah yang memiliki fasilitas paling canggih ini. Dengan potensi akal pikiran
inilah manusia menjadi makhluk yang bebas untuk menentukan sendiri nasibnya di
dalam menjalani kehidupannya di dunia ini. Dengan akal-intelektualnya pula
manusia menciptakan peradaban dan kebudayaan. Akan tetapi bersamaan dengan itu
manusia juga harus menanggung risiko
dan bertanggungjawab atas segala tindakannya itu di hadapan Allah, kelak. Ini menunjukkan
bahwa kebebasan selalu mengandung makna
tanggungjawab dan bersifat moral.
Al-Qur’an juga menyatakan :”La Ikrah fi
al-Din” (tidak ada paksaan dalam agama). Ini adalah pernyataan paling
eksplisit tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan, sekaligus larangan
memaksakan kehendak keyakinan agama terhadap orang lain. Bahkan Nabi sekalipun
tidak berhak memaksa orang lain untuk mengikuti agamanya. Kewajiban Nabi
hanyalah menyampaikan peringatan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:
فَذَكِّرْ إِنَّمَآ أَنتَ مُذَكِّرٌ ﴿٢١﴾ لَّسْتَ عَلَيْهِم بِمُصَيْطِرٍ ﴿٢٢﴾
Artinya: "Maka berilah peringatan, karena
sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang
yang berkuasa atas mereka. (QS. al-Ghasyiyah: 21-22).
Keyakinan adalah milik Allah semata. Dalam
teks Islam disebut sebagai "hidayah" (petunjuk/anugerah Allah). Hidayah
menurut Al-Qur'an hanya milik Allah:
إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى مَن يَشَآءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ ﴿٥٦﴾
Artinya: "Sungguh,
engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi,
tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih
mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk".(QS.
al-Qashash: 56).
Ketiga, tentang
kesetaraan manusia. Al-Qur-an menyatakan:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ ﴿١٣﴾
Artinya: “Wahai
manusia Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu
bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa
kepada-Nya”.(QS. al-Hujurat: 13).
Dalam ayat yang lain dijelskan:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا ﴿١﴾
Artinya: “Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri (entitas) yang
satu, dan daripadanya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah
mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”.(QS. al Nisa: 1)
Pernyatan paling
eksplisit lainnya mengenai hal ini dinyatakan dalam (QS. al Ahzab: 35) :
إِنَّ ٱلْمُسْلِمِينَ وَٱلْمُسْلِمَٰتِ وَٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَٱلْقَٰنِتِينَ وَٱلْقَٰنِتَٰتِ وَٱلصَّٰدِقِينَ وَٱلصَّٰدِقَٰتِ وَٱلصَّٰبِرِينَ وَٱلصَّٰبِرَٰتِ وَٱلْخَٰشِعِينَ وَٱلْخَٰشِعَٰتِ وَٱلْمُتَصَدِّقِينَ وَٱلْمُتَصَدِّقَٰتِ وَٱلصَّٰٓئِمِينَ وَٱلصَّٰٓئِمَٰتِ وَٱلْحَٰفِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَٱلْحَٰفِظَٰتِ وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرًا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا ﴿٣٥﴾
Artinya: “Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin,
laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan
perempuanyang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan
perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memlihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah
menyedikan ampunan dan pahala yang besar”. (QS al Ahzab: 35).
Demikian juga dalam QS al-Nahl, 97, QS Ali Imran, 195, QS al-Mukmin
40, dan lain-lain.
Doktrin
egalitarianisme (al-musawah) Islam di atas juga dinyatakan dalam hadits
Nabi Muhammad SAW. Dalam salah satu sabdanya beliau mengatakan : “Manusia
bagaikan gigi-gigi sisir, tidak ada keunggulan orang Arab atas non Arab, orang
kulit putih atas kulit hitam, kecuali atas dasar ketakwaan kepada Tuhan”.
Sabda beliau yang lain : “Sungguh, Allah tidak menilai kamu pada tubuh dan
wajahmu melainkan pada tingkahlaku dan hatimu”. Dan “Kaum perempuan adalah saudara kandung kaum
laki-laki”.
Keempat, tentang pengakuan terhadap eksistensi dan kebenaran
kitab-kitab sebelum Islam. Taurat dan Injil, misalnya, disebut al-Qur’an
sebagai petunjuk (hudan) dan penerang (nar).
إِنَّآ أَنزَلْنَا ٱلتَّوْرَىٰةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا ٱلنَّبِيُّونَ ٱلَّذِينَ أَسْلَمُوا۟ لِلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلرَّبَّٰنِيُّونَ وَٱلْأَحْبَارُ بِمَا ٱسْتُحْفِظُوا۟ مِن كِتَٰبِ ٱللَّهِ وَكَانُوا۟ عَلَيْهِ شُهَدَآءَ فَلَا تَخْشَوُا۟ ٱلنَّاسَ وَٱخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِى ثَمَنًا قَلِيلًا وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْكَٰفِرُونَ ﴿٤٤﴾
Artinya: “Sungguh, Kami yang
menurunkan Kitab Taurat; di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya. Yang dengan
Kitab itu para nabi yang berserah diri kepada Allah memberi putusan atas
perkara orang Yahudi, demikian juga para ulama dan pendeta-pendeta mereka,
sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi
saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi)
takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah.
Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka
itulah orang-orang kafir”. [QS. Al-Maidah/5:44].
Melalui ayat-ayat dalam al-Qur’an ini juga
ditegaskan bahwa Islam memberikan pengakuan terhadap umat Yahudi dan Nashrani;
mereka cukup menjadikan kitab suci masing-masing sebagai sandaran moral mereka.
Ditegaskan pula, sekiranya mereka berpaling dari kitab sucinya, mereka adalah
kafir dan fasik.
Kelima, tentang pengakuan terhadap para pembawa agama
sebelumnya seperti Musa dan Isa al-Masih. Sebagaimana perintah mengimani kitab-kitab
wahyu, umat Islam diharuskan mengimani para nabi dan rasul, minimal 25 rasul,
karena jumlah nabi dan rasul menurut hadits nabi diperkirakan mencapai 124.000
orang nabi dan 315 orang rasul.
Keenam, secara eksplisit al-Qur’an menegaskan bahwa siapa saja
– Yahudi, Nashrani, Shabi’in, dll – yang menyatakan hanya beriman kepada Allah,
percaya pada Hari Akhir, dan melakukan amal saleh, tak akan pernah disia-siakan
oleh Allah. Mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal atas keimanan dan
jerih payahnya.
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلصَّٰبِـُٔونَ وَٱلنَّصَٰرَىٰ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَعَمِلَ صَٰلِحًا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٩﴾
Artinya: “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Şābi'īn dan orang-orang Nasrani,
barangsiapa beriman kepada Allah, kepada hari kemudian, dan berbuat kebajikan,
maka tidak ada rasa khawatir padanya dan mereka tidak bersedih hati”. (QS. Al-Maidah/5: 69)
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلنَّصَٰرَىٰ وَٱلصَّٰبِـِٔينَ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَعَمِلَ صَٰلِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾
Artinya: “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan
orang-orang Şābi'īn, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah
dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya,
tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati”. (QSal-Baqarah/2: 62).
Ketujuh, al-Qur’an membolehkan umat Islam berteman dengan umat
agama lain, selama umat agama lain itu tak memusuhi dan tak mengusir dari
tempat tinggalnya. Sekiranya mereka melakukan permusuhan, maka wajar kalau umat
islam diperintahkan melakukan pertahanan diri.
عَسَى ٱللَّهُ أَن يَجْعَلَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ ٱلَّذِينَ عَادَيْتُم مِّنْهُم مَّوَدَّةً وَٱللَّهُ قَدِيرٌ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿٧﴾ لَّا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾ إِنَّمَا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ قَٰتَلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ وَظَٰهَرُوا۟ عَلَىٰٓ إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ﴿٩﴾
Artinya: “Mudah-mudahan Allah
menimbulkan kasih sayang di antara kamu dengan orang-orang yang pernah kamu
musuhi di antara mereka. Allah Mahakuasa. Dan Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang (7) Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu
dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku
adil (8) Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai
kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu
dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa
menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim (9).” (QS. Al-Mumtahanah/60:7-9).
Dalam hal umat Islam meminta bantuan dan
perlindungan, sejarah juga mengukir tetang hal sebagai berikut.
Pertama, ketika umat Islam dikejar-kejar
orang-orang kafir Quraisy Mekah, Nabi mencari petlindungan kepada Najasyi, Raja
Abisinia yang Kristen. Ratusan sahabat Nabi termasuk Utsman dan istrinya
Ruqayah (putrid Nabi), hijrah ke Abisinia untuk menghindari ancaman pembunuhan
kafir Quraisy. Pada saat kafir Quraisy memaksa sang raja mengembalikan umat
Islam ke Mekah, ia tetap pada pendiriannya: pengikut Muhammad harus dilindungi
dan diberikan haknya untuk memeluk agama Islam. Menariknya, ketika Sang Raja
ini meninggal dunia, Muhammad pun melaksanakan salat jenazah dan memohonkan
ampun atasnya.
Kedua, Abu ‘Ubaidillah al-Mahdi, khalifah
pertama dari Dinasti Fathimiyah pernah meminta nasihat kepada salah seorang
Kristen tentang lokasi yang tepat bagi ibu kota Negara.
Beberapa ayat
al-Qur’an di atas dan masih banyak lagi ayat yang lain menjelaskan tentang
kemuliaan martabat manusia, kebebasan dan kesetaraan manusia tanpa melihat
latarbelakang asal usulnya, warna kulit, jenis kelamin bahasa dan agama. Ini
adalah konsekuensi logis dari doktrin Kemahaesaan Allah. Semua manusia dengan
berbagai latarbelakangnya itu pada ujungnya berasal dari sumber yang tunggal,
ciptaan Tuhan. Keunggulan yang dimiliki manusia satu atas manusia yang lain
hanyalah pada aspek kedekatannya dengan Tuhan.
Dalam fakta
sejarahnya, pernyataan-pernyataan al-Qur-an dan hadits Nabi saw. di atas
selanjutnya menjadi dasar Nabi saw untuk mendeklarasikan apa yang dikenal
dengan “Shahifah Madinah”, “Mitsaq al Madinah” atau Piagam Madinah, pada tahun 622 M. Isinya
meliputi kesepakatan-kesepakatan tentang aturan-aturan yang berlaku dalam
masyarakat Madinah. Para ahli sejarah menyatakan bahwa Piagam Madinah ini
adalah naskah otentik yang tidak diragukan keasliannya tentang prinsip-prinsip
kemanusiaan universal. Sebagian
menyatakannya sebagai deklarasi HAM pertama di dunia. Bahkan Nurcholish Madjid, dengan tegas menyatakan
bahwa Hak-hak Asasi Manusia Universal (DUHAM) sesungguhnya mendapatkan
inspirasi dan diilhami oleh ajaran-ajaran Islam. Islam adalah agama yang telah
mendeklarasikan hak-hak dasar manusia jauh berabad lamanya sebelum DUHAM.
Menurut Nurcholish "pandangan dasar kemanusiaan yang berasal dari Madinah
tersebut diadopsi ke Eropa oleh Giovani Pico della Mirandola, filosof terkemuka
zaman renaissance. Dia menyampaikan orasi tentang "Martabat Manusia"
pada tahun 1486 di Roma di hadapan para sarjana Eropa. Dia dengan
terang-terangan mengakui bahwa pikiran-pikirannya diperoleh dari bacaannya atas
karya-karya intelektual muslim".
Dengan penjelasan
di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Hak-Hak Asasi Manusia adalah sejalan dengan
visi Islam, bahkan Islam telah memelopori prinsip-prinsip kemanusiaan ini jauh
berabad sebelum dunia Barat mendeklarasikannya. Tak hanya memberikan pengakuan dan jaminan, al-Qur’an
juga mewajibkan umat Islam untuk memberikan hak beragama bagi umat non-Muslim
sesuai ajaran mereka.
Berangkat dari fakta-fakta normative
tersebut, semakin jelaslah bahwa Islam telah menjamin dan melindungi kebebasan
beragama dan berkeyakinan. Tidak sekadar itu, menurut al-Qur’an, umat
non-Muslim pun akan diselamatkan Allah sejauh mereka menjalankan ajaran
agamanya secara sungguh-sungguh dan melakukan amal saleh, sebagaimana
ditetapkan kitab suci masing-masing.
Meskipun banyak teks-teks al-Qur’an yang
menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, akan tetapi faktanya diskriminasi
dan pelanggaran atas kebebasan beragama kerap kali terjadi. Menarik apa yang
diungkapkan oleh Abdullahi Ahmed an-Naim (1998) salah seorang pemikir asal
Sudan yang kini menetap di Amerika. Ia menemukan setidaknya ada lima kasus
dalam al-Qur‘an yang sering digunakan oleh kalangan Islam untuk membenarkan
tindakan diskriminatifnya karena alasan gender dan perbedaan agama serta
keyakinan. Keenam kasus yang dimaksud oleh an-Na‘im adalah sebagai berikut:
1. Laki-laki Muslim boleh mengawini perempuan Kristen atau
Yahudi (Ahli Kitab), sedangkan laki-laki Kristen dan Yahudi tidak boleh
mengawini perempuan Muslim. Laki-laki dan perempuan Muslim tidak boleh
mengawini orang musyrik (Q.S.al-Maidah: 5 dan al-Baqarah: 221).
2. Perbedaan agama menjadi penghalang adanya hubungan saling
mewarisi. Seorang Muslim tidak dapat mewarisi atau mewariskan kepada nonmuslim,
demikian sebaliknya.
3.
Laki-laki Muslim dapat mengawini hingga empat orang
perempuan dalam waktu yang bersamaan, sedang perempuan hanya dapat kawin dengan
seorang laki-laki (Q.S. al-Nisa: 2).
4. Seorang laki-laki Muslim dapat menceraikan isterinya,
atau seorang isteri dan isteri-isterinya dengan meninggalkan begitu saja tanpa
akad, talak, tanpa berkewajiban memberikan berbagai alas an atau pembenaran
atas tindakannya itu. Sebaliknya, perempuan hanya dapat bercerai dengan kerelaan
suami atau surat keputusan pengadilan yang mengizinkannya dengan alas an-alasan
khusus, seperti ketidakmampuan suami dan keenganannya untuk mengurus isteri
(Q.S. al-Baqarah: 226-232).
5. Dalam pewarisan, seorang perempuan Muslim menerima bagian
yang lebih sedikit daripada bagian laki-laki Muslim, ketika keduanya berada
dalam kedekatan hubungan kekeluargaan yang sama dengan yang meninggal
(Q.S.al-Nisa: 11; 176).
Kondisi Jaminan HAM di Indonesia saat ini
Sebagai salah satu hak yang paling
fundamental, pelaksanaan kebebasan beragama atau berkepercayaan didasarkan pada
delapan norma sebagai berikut:
a. internal freedom (kebebasan internal). Berdasarkan pada norma ini, setiap
orang dipandang memiliki hak kebebasan berpikir, berkesadaran, dan beragama.
Norma ini juga mengakui kebebasan setiap individu untuk memiliki, mengadopsi,
mempertahankan atau mengubah agama dan kepercayaannya.
b. external freedom (kebebasan eksternal). Norma ini mengakui kebebasan
mewujudkan kebebasan atau keyakinan dalam berbagai bentuk manifestasi seperti
kebebasan dalam pengajaran, praktik, peribadatan, ketaatan. Manifestasi
kebebasan beragama dan berkepercayaan dapat dilaksanakan baik diwilayah pribadi
maupun publik. Kebebasan juga bisa dilakukan secara individual dan bersama-sama
orang lain.
c. noncoercion (tanpa
paksaan). Norma ini menekankan adanya kemerdekaan individu dari segala bentuk
paksaan dalam mengadopsi suatu agama atau berkepercayaan. Dengan kata lain,
setiap individu memiliki kebebasan memiliki suatu agama atau kepercayaan tanpa
perlu dipaksa oleh siapa pun.
d. nondiscrimination (tanpa diskriminasi). Berdasarkan norma ini, negara
berkewajiban menghargai dan memastikan bahwa seluruh individu di dalam wilayah
kekuasaanya dan yurisdiksinya memperoleh jaminan kebebasan beragama atau
berkepercayaan tanpa membedakan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau
kepercayaan,pandanga politik dan pandangan lainnya, asal-usul bangsa, kekayaan,
status kelahiran.
e. rights of parent and guardian (hak orang tua dan wali). Menurut norma ini,
negara berkewajiban menghargai kebebasan orang tua dan para wali yang abash
secara hukum untuk memastikan pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka
sesuai dengan kepercayaan mereka sendiri. Negara juga harus memberikan
perlindungan atas hak-hak setiap anak untuk bebas beragama atau berkepercayaan
sesuai dengan kemampuan mereka sendiri.
f. corporate freedom and legal status (kebebasan berkumpul dan memperoleh status
hukum). Aspek penting kebebasan beragama atau berkepercayaan terutama dalam
kehidupan kontemporer adalah adanya hak bagi komunitas keagamaan untuk
mengorganisasikan diri atau membentuk asosiasi.
g. limits of permissible restrictions on external freedom (pembatasan yang diperkenankan terhadap
kebebasan eksternal). Kebebasan untuk mewujudkan atau mengeskpresikan suatu
agama atau kepercayaan dapat dikenai pembatasan oleh hukum dengan alasan ingin
melindungi keselamatan umum, ketertiban, kesehatan dan moral dan hak-hak dasar
lainnya.
h. nonderogability. Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama
atau berkepercayaan bahkan dalam situasi darurat sekalipun.
Pada kenyataannya, kedelapan norma kebebasan
beragama atau berkepercayaan tersebut tidak berjalan mulus. Di beberapa negera
termasuk di Indonesia sendiri sering dijumpai pelanggaran terhadap kebebasan
beragama atau berkeyakinan. Indonesia adalah salah satu negara yang sering
mendapat sorotan terkait dengan pelanggaran kebebasan beragama atau
berkeyakinan.
Meskipun memiliki cukup banyak landasan normatif, ternyata Indonesia belum
bebas dari pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan.
Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Imparsial (2006), pelanggaran yang
dilakukan negara terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan menggunakan
dua modus.
Modus pertama, negara melakukan pelanggaran
secara tidak langsung dengan cara melakukan pembiaran atas berbagai kasus yang
terjadi sehingga menimbulkan aksi kekerasan yang dilakukan masyarakat, seperti
pada kasus yang menimpa Jama’ah Ahmadiyah di Cikesik Pandeglang, Banten. Dalam
beberapa kasus terlihat sikap aparat keamanan yang membiarkan dan tidak
melakukan pencegahan sehingga mendorong sekelompok orang untuk tetap
melanjutkan aksinya seperti menutup tempat ibadah atau melakukan penyerangan
terhadap kepercayaan kelompok lain. Sebagai pihak yang punya kewenangan dalam
pengendalian keamanan dan ketertiban di masyarakat, aparat keamanan seharusnya
menindak pelaku kekerasan tersebut. Tetapi tidak jarang aparat keamanan
melakukan pembiaran seakan tindakan pelaku kekerasan dibenarkan. Tindakan
pembiaran yang dilakukan oleh aparat keamanan menurut Imparsial tidak dapat
dibenarkan karena sama halnya negara tidak memberikan jaminan dan perlindungan
terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan. Sedangkan dalam modus kedua,
negara melakukan pelanggaran secara langsung melalui pembuatan dan penguatan
berbagai kebijakan yang membatasi dan membelenggu keberagama dan
berkepercayaan.
Meskipun keran
ekspresi keberagamaan sudah mulai dibuka lebar, akan tetapi perkembangan ini
tentu tidak sepenuhnya memuaskan, sebab faktanya ternyata masih menyisakan
ruang diskriminasi terhadap warganya dengan memilah adanya agama atau
kepercayaan yang diakui dan tidak atau belum diakui menurut perundang-undangan.
Bukankah pemahaman tentang keberadaan kelompok agama-agama lokal dengan
berbagai hak sipil yang melekat pada mereka merupakan pemahaman yang urgen
untuk disosialisasikan di masyarakat.
Semangat
penerapan nilai-nilai HAM dalam bidang keagamaan sebenarnya telah tergambar
setidaknya dalam beberapa produk legislasi negara kita, seperti; 1). Dalam Konstitusi negara kita sudah mengatur pengakuan sekaligus
jaminan dan perlindungan terhadap hak dan kebebasan mendasar untuk memeluk
agama dan kepercayaan seperti dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD; 2). UU HAM No.
39 tahun 1999 yang menegaskan kembali
kemerdekaan memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaannya; 3). UU Peradilan
HAM No. 26 tahun 2000 yang memasukkan kejahatan
kemanusiaan yang dilakukan secara luas dan sistematis kepada sebuah
kelompok atau asosiasi yang salah
satunya berdasarkan identitas agama tertentu bisa digolongkan sebagai
pelanggaran HAM berat; 4). Amandemen kedua konstitusi (UUD 1945) pada tahun
2002 yang menegaskan kembali kebebasan untuk memeluk dan beribadah sesuai agama
dan kepercayaan. Di samping itu, amandemen konstitusi juga menjamin warga untuk
bebas dari dan mendapatkan perlindungan terhadap segala bentuk diskriminasi.
Usaha kearah
yang lebih serius dalam penegakkan HAM dan penguatan nilai-nilai kebebasan
beragama semakin terlihat ketika pada tahun 2005, Indonesia secara tegas
mengambil kebijakan keagamaan dengan meratifikasi aturan PBB dalam International
Covenant on Civil and Political Rights. (Rumadi: 2010). Dengan usaha kearah
itu, berarti negara kita sebenarnya telah sepakat untuk menghargai, melindungi,
dan memberikan kebebasan beragama kepada warganya, termasuk kepada penganut
agama lokal seperti agama sunda wiwitan yang dianut oleh Orang Baduy di
Banten sekali pun.
Bahkan tidak
hanya itu, pada tahun 2006, usaha negara Indonesia untuk memberikan hak
kebebasan secara lebih luas diwujudkan dalam penerbitan UU No. 23 tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan. Pada pasal 61 ayat 2 misalnya, secara
eksplisit meminta negara melayani kepentingan administrasi kependudukan warga
termasuk dalam KTP di luar enam agama resmi dan secara implisit mengakui
keberadaan mereka dalam sistem administrasi kependudukan Indonesia.
Meskipun sudah banyak bermunculan berbagai
model legislasi terkait hak kebebasan beragama, akan tetapi fakta diskriminasi beragama
kerap kali muncul terutama pada mereka yang menganut beberapa kepercayaan yang
dianggap “bukan agama”. Padahal, selain agama-agama yang “diresmikan” tersebut
masih banyak lagi agama dan aliran kepercayaan lainnya yang dianut oleh
penduduk Indonesia. Dan anehnya lagi, agama-agama yang tidak mempunyai
legalitas formal itu adalah agama-agama asli Indonesia, bukan agama impor
seperti enam agama yang sudah diakui secara resmi itu.
Meskipun pintu
kebebasan beragama sudah dibuka, akan tetapi faktanya, negara kita masih memiliki beberapa Undang-undang yang
terkadang dijadikan sebagai alat atau dalil untuk memberengus pihak-pihak yang
dianggap melakukan penodaan agama. Kebijakan negara yang biasanya dipakai untuk
mengadili kasus-kasus seperti itu adalah; 1). Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) Pasal 156 dan Pasal 156a; 2).Unadang-undang No. 1/PnPs/1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. 3). Surat Keputusan Jaksa
Agung No. KEP-108/JA/5/1984 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan
Aliran Kepercayaan Masyarakat.
Padahal jika kita bandingkan kondisi negara
kita dengan negara-negara lainnya, maka justru banyak negara menghapuskan kolom agama dan
kepercayaan dalam kartu identitas kependudukan. Negara-negara yang tercatat
sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, bahkan beberapa negara Islam
sekalipun, dalam prakteknya tidak mewajibkan adanya afiliasi pada satu agama
dan kepercayaan tertentu, atau malah tidak mengharuskan pencantuman keyakinan
dalam kartu tanda identitas penduduknya. Di antara negara-negara tersebut
adalah Aljazair, Bahrain, Iraq, Kuwait, Mauritania, Oman, Qatar, Sudan,
Tunisia, Arab Emirat. Mereka tetap dapat membereskan problem administrasi
kependudukan tanpa perlu mengambil resiko besar dengan mencantumkan kolom
identitas agama dan kepercayaan.
Tapi, kondisi yang berbeda ditemukan di
Indonesia, pihak-pihak yang bersikeras menginginkan pencantuman identitas enam
agama resmi (minus kepercayaan) berargumen bahwa itu adalah cara yang paling
efektif untuk menghindari kesalahan-kesalahan administratif. Ilustrasi yang
biasa mereka kemukakan adalah: “seandainya terdapat mayat yang tidak
dikenal, maka identitas agama di KTP dapat dipakai sebagai petunjuk sehingga ia
akan dapat dimakamkan sesuai dengan agamanya”. Argumen semacam ini
merupakan simplifikasi dari penyelesaian masalah, tanpa memperhitungkan potensi
permasalahan lain yang akan timbul karena solusi itu. Pilihannya, menguburkan
mayat secara benar berdasarkan agama dalam KTP atau membiarkan penduduk tak
bersalah menjadi mayat korban konflik akibat identitas agama dalam KTP?,
nampaknya perlu dipikirkan ulang.
Kesimpulan
Akhirnya,
sebagai rekomendasi untuk solusi ke depan, penulis mengajak seluruh elemen
bangsa, civil society, kelompok akademisi, agamawan, dan elit pemerintah
agar membangun sinergi, bergandeng tangan, untuk menegakkan hak dan prinsip
kebebasan beragama di negeri ini melalui upaya-upaya konkret sebagai berikut.
1. Melakukan
upaya rekonstruksi budaya melalui jalur pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya,
baik pendidikan formal, non-formal maupun informal. Perlu sekali mengubah
budaya masyarakat yang eksklusif, intoleran, dan senang kekerasan menuju budaya
inklusif, toleran, cinta damai dan pluralis.
2. Merevisi
sejumlah undang-undang dan peraturan yang tidak kondusif bagi terwujudnya
kebebasan beragama di tanah air, seperti RUU KUHP, khususnya bab tentang Tindak
Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama.
3. Mengembangkan
reinterpretasi ajaran agama yang lebih kondusif bagi pemenuhan hak kebebasan
beragama agar dapat membebaskan manusia dari belenggu tirani dan kebencian.Wa
Allah a'lam bi as-shawab.
Terbit di Jurnal Al-Dzikra Vol. 7 No. 1 Januari - Juni Tahun 2013
Daftar Pustaka
Bassam Tibi, Islam and The
Cultural accommodation Of Social Change, (San Francisco ; stview Press,
1991
Ignatius Basis Susilo, et. al.,
Kompilasi Instrumrn Internasional Hak Azasi Manusia (Surabaya: Pusat Studi HAM
Universitas Surabaya, tt)
Laporan Tahunan
Kehidupan Beragama di Indonesia 2011 yang diterbitkan oleh (Center For Religious and Cross-cultural
Studies) Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mad, Yogyakarta.
Laporan Tahunan
Kehidupan Keagamaan di Indonesia 2012 yang diterbitkan oleh Balitbang Kemenag
RI.
Nurcholish, Indonesia Kita, (Jakarta: Paramadina
cet. III, 2004)
Rumadi, Delik Penodaan Agama Dan Kehidupan
Beragama Dalam Ruu Kuhp, Makalah di presentasikan dalam ACIS 2010.
Tim Indonesian Center for Civic
Education (ICCE) UIN Syarief Hidayatullah, Pendidikan kewarganegaraan (Civic
Education), (Jakarta : ICCE Syarief Hidayatullah, 2006)
Tim Indonesian Center for Civic Education
(ICCE) UIN Syarief Hidayatullah, Pendidikan kewarganegaraan (Civic
Education), (Jakarta : ICCE Syarief Hidayatullah, 2006), h. 252-253
Ignatius Basis Susilo, et. al., Kompilasi
Instrumrn Internasional Hak Azasi Manusia (Surabaya: Pusat Studi HAM
Universitas Surabaya, tt), h. 1-11.
Bassam Tibi, Islam and The Cultural
accommodation Of Social Change, (San Francisco ; stview Press, 1991), h.
17-18
Nurcholish, Indonesia Kita, (Jakarta:
Paramadina cet. III, 2004), h. 67.
Lihat
Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia 2012 yang diterbitkan oleh
Balitbang Kemenag RI; atau Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
yang diterbitkan oleh (Center For
Religious and Cross-cultural Studies) Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta.