Translate

Minggu, 08 November 2009

** Respon Islam Terhadap Globalisasi

Respon Islam Terhadap Globalisasi

Oleh: K. Muhammad Hakiki
Santri S3 Program Religious Study Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung.

Tulisan sederhana ini berawal dari sebuah renungan ketika saya mengikuti seminar Internasional terbatas yang diadakan oleh Yayasan YADMI (Yayasan Dakwah Malaysia Indonesia) di Institut Tekhnologi Bandung (ITB) bertema “Kontekstualisasi Sains dan Pendidikan Islam Integratif di Alam Melayu” pada 22 Oktober 2009 lalu. Dari hasil seminar itu di sepakati bahwa Islam dengan khazanah pemikirannya yang kaya saat ini harus terus digali dan tentunya dikontekstualisasikan agar lebih tepat guna dalam rangka menghadapi tantangan dunia modern (globalisasi dan Liberalisasi). Lalu pertanyaannya, mungkinkah hal itu bisa dengan mudah diterapkan saat ini khususnya di Indonesia yang pola pikir masyarakatnya heterogen, atau meminjam istilah Ulil Abshar Abdallah “warna-warni”.? Hal ini menurut saya penting untuk “dipecahkan”.

Kalau saja saya boleh jujur, sebenarnya kita sedang dirundung kerugian yang besar—dan sangat besar. Islam dengan kitab suci al-qur’an-nya dan khazanah pengetahuan Islam-nya yang begitu tinggi dan kaya, seakan-akan tak berkutik dalam menghadapi dunia modern ini. Islam saat ini jujur saja sedang kalah dan terpuruk dibandingkan dengan dunia Barat yang terus menancapkan dominasi dan pengaruhnya. Bukankah Islam dahulu ketika zaman Dinasti Abasiyah dengan khalifahnya Harun al-Rasyid pernah menjadi penguasa bumi ini. Lalu kenapa sekarang justru sebaliknya.

Globalisasi sebenarnya adalah sebuah era di mana dunia ini seakan tak bersekat, batas-batas territorial seakan tak berarti. Dalam era globalisasi interaksi antar budaya, peradaban dan negara semakin mudah dilakukan. Adanya proses saling mempengaruhi satu sama lain tak bisa dinafikan—baik bersifat positif maupun negatif. Dan, pada akhirnya globalisasi menjadi alat untuk saling mempengaruhi antara budaya, peradaban, idiologi, bahkan masuk pada agama. Dan ujungnya agama, budaya, idiologi, dan peradaban telah terkontaminasi dari pengaruh unsur-unsur lain.

Di era globalisasi ini, proses saling mempengaruhi satu sama lain tak bisa ditawar-tawar. Peranan media sebagai alat “penular” telah menembus sekat-sekat itu. Dan konsekuensinya sebuah idiologi atau budaya bisa memasuki idiologi dan budaya lainnya. Dengan kondisi ini, maka kegoncangan bisa terjadi jika penularan virus globalisasi itu tidak sesuai dengan karakteristik kultur dan sosialnya.

Dari realita di atas-lah maka Islam sebagai agama tanpa bisa menolaknya harus terlibat sebagai perwujudan agama yang membawa pesan rahmatan lil aalamin atau shalihun li kulli zaman wa al-makan (sesuai dengan kondisi zaman dan tempat). Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, maka, mau tak mau umat dan para pemikir Islam negeri ini harus “menyingsingkan lengan bajunya” untuk mencoba merformulasikan respon Islam yang terbaik dalam menghadapi arus globalisasi. Di sinilah menurut Syaikh al-Akbar Yusuf Qardawi (Intelektual muslim dari Mesir) sikap manusia (baca: umat Islam) terbagi tiga kelompok dalam merespon arus globalisasi;

Pertama; mereka yang secara bergairah dan bersemangat menyambut datangnya globalisasi. Mereka ini adalah orang-orang yang berenang di atas gelombangnya dan berinteraksi dengannya tanpa ada batas dan tanpa reserve.

Kedua; adalah mereka yang melarikan diri dari medan pertempuran globalisasi. Dan mereka ini adalah orang-orang yang tidak tahu pola pemikiran apa yang sedang berkembang. Dan sikap ini kini banyak diambil oleh orang-orang yang merasa takut untuk berhadapan dan berinteraksi dengan orang lain. Dan salah satu reson yang dilakukan oleh kelompok ini adalah selalu berkaca pada masa lalu atau klasik dan sangat anti terhadap hal-hal yang baru—apalagi jika hal yang baru itu datangnya dari Barat.

Ketiga; adalah mereka yang berfikir moderat. Mereka ini mewakili orang-orang yang bersikap terbuka terhadap globalisasi, namun dibarengi dengan pendekatan yang jeli dan kritis; pemilihan adalah salah satu syarat yang mutlak harus dilakukan terhadap prodak-prodak globalisasi.

Dari ketiga kelompok di atas, dimanakah atau akan berada dikelompok manakah kita bersikap?. Di sinilah pentingnya kita untuk memilih dan berpihak, jika kita yakin bahwa agama Islam dengan doktrinnya menghendaki agar pemeluknya dapat hidup bertahan, lebih baik dan tentunya lebih maju.

Disinilah nampaknya dua pola pikir kita dipertaruhkan; apakah Islam sebagai sebuah agama harus mengikuti atau menyesuaikan dengan perkembangan zaman, atau sebaliknya; zaman yang harus disesuaikan dengan agama kita.

Jika kita berada pada posisi kedua (zaman yang harus sesuai atau dipaksakan sesuai dengan Islam) maka kita akan berfikir ekslusif dan tentunya hal ini akan mempersulit umat Islam dalam berkembang menjadi maju. Tetapi sebaliknya, jika kita berada pada posisi yang pertama (Islam harus sesuai dengan zaman) maka konsekuensilogisnya kita akan berfikir inklusif atau terbuka dalam menyesuaikan dengan perkembangan zaman ini, dan cara ini menurut saya yang harus diambil oleh umat Islam sekarang dengan alasan bahwa arus perkembangan zaman dengan usaha apa pun tak dapat bisa dibendung oleh kita—apalagi harus lari.

Berfikir Inklusif dan moderat

Jika kita mengacu pada pola klasifikasi yang diutarakan oleh Yusuf Qardawi di atas, maka menurut hemat saya langkah yang tepat untuk dilakukan oleh umat Islam saat ini di dalam merespon perkembangan globalisasi yang tak dapat dibendung ini adalah langkah yang dilakukan oleh kelompok ketiga yakni mereka yang berfikir moderat dan kritis. Kelompok ini-lah menurut saya yang paling bisa membawa Islam dan umatnya ikut bersaing dan tentunya menjadikan Islam semakin maju. Dan akhirnya Islam sebagai agama rahmat bagi semua umat manusia bisa terwujud dan terbukti.

Di sini-lah pentingnya kita berfikir kritis, berjiwa inklusif, toleran, dan tetunya menjauhkan sikap anti apalagi redikal dalam beragama seperti banyak yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia. Dengan sikap ini, maka saya yakin Islam tidak akan ditinggalkan oleh pemeluknya, dan Islam bisa kembali bangkit seperti masa kejayaannya yang pernah diraih pada masa lalu, baik dalam pemikiran atau ilmu pengetahuan maupun peradaban. Ini-lah menurut saya cara jihad yang paling tepat untuk saat ini, bukan dengan teror, apalagi dengan aksi-aksi bom yang kurang bahkan tidak beradab itu, yang kemudian menjadikan Islam sebagai agama redikal dan menuai klaim-klaim agama teroris. Mudah-mudahan kita mau merenungkannya. Wallahu a’lam.

Tulisan ini pernag di muat kolom opini di harian Fajar Banten, edisi 30 Oktober 2009

Tidak ada komentar: