Translate

Minggu, 25 Oktober 2009

** Pesantren dan Arus Globalisasi

Pesantren Dan Arus Globalisasi


Oleh: K. Muhammad Hakiki, MA
Pemerhati Dunia Pesantren

Tulisan ini adalah sebuah refleksi singkat dari perjalanan penulis ke berbagai pelosok desa dalam rangka mengunjungi beberapa pondok pesantren (baca: salafi) di daerah pedesaan. Pada saat kunjungan tersebut, ternyata penulis menemukan banyak sekali—saat ini—pondok pesantren yang ditinggalkan oleh penghuninya (santri). Pondok pesantren yang dahulu terkenal ramai, kini sedikit demi sedikit ditinggalkan peminatnya.

Hampir disemua pondok pesantren tradisional terkecuali pondok pesantren modern sepi dari peminat. Entah fenomena apa yang terjadi. Apakah saat ini masyarakat kita sudah enggan untuk mendalami ajaran Islam ataukah memang masyarakat kita sudah terracuni oleh anggapan bahwa pendidikan pesantren adalah pendidikan yang tidak menjanjikan masa depan yang cerah, atau apakah ini yang merupakan dampak negatif dari arus globalisasi yang lebih mementingkan pengejaran materi atau duniawi, semua itu menjadi mungkin.

Padahal pesantren (atau pondok, surau, dayah atau nama lain sesuai daerahnya) dibandingkan dengan institusi pendidikan lainnya adalah merupakan salah satu tipologi institusi pendidikan khas Indonesia yang telah hadir beratus-ratus tahun yang lalu.

Tapi siapa yang menyangka, institusi pendidikan yang dianggap kolot, tradisional, konservatif, terbelakang, tak modern, dan masih banyak lagi penilaian negatif lainnya adalah sebuah institusi pendidikan yang mempunyai jasa tinggi di dalam mempertahankan tanah air tercinta ini. Kalau saja kita mau jujur dan membaca sejarah, maka kita akan mengetahui bahwa lembaga pendidikan yang di sebut kolot ini ternyata telah melahirkan banyak pemimpin yang masyhur di negeri ini.

Lihat saja pada masa jauh pra-kemerdekaan, sebagai contoh berbegai perjuangan yang dilakukan oleh kalangan pesantren melawan para penjajah telah mampu merepotkan kolonialisme di negeri ini, seperti misalnya pemberontakan petani Banten yang dimotori oleh para santri-santri pengikut tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah pada tahun 1888 telah mampu mengobarkan perlawanan terhadap kolonial Belanda sehingga bangsa Indonesia dapat bertahan yang pada akhirnya meraih kemerdekaannya pada 1945 M.

Zaman kini telah berubah, lembaga pendidikan pesantren nampaknya tak bisa mengelak menghadapi perkembangan zaman yang semakin maju, bak banjir di musim penghujan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi saat ini tak bisa di bendung. Lembaga pendidikan pesantren kini tak bisa mempertahankan eklusivitasnya, akan tetapi sebaliknya, pesantren kini harus membuka matanya lebar-lebar dan mengalihkan orientasinya untuk lebih inklusif atas perubahan zaman agar pesantren tak kehilangan penggemarnya.

Sebagai langlah menuju perubahan itu, menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang sangat urgen untuk direkonstruksi dalam tubuh pendidikan pesantren tradisional sendiri;

Pertama, rekonstruksi kurikulum pendidikan pesantren. Kurikulum pendidikan pesantren yang lebih memprioritaskan kajian agama saat ini harus kembali dibenahi. Pesantren saat ini harus membuat kurikulum terpadu, sistematik, egaliter, dan bersifat buttom up (tidak top down). Maksudnya, penyusunan kurikulum pesantren tidak lagi didasarkan pada konsep plain for student tetapi harus plain by student.

Kedua, rekonstruksi metode pembelajaran pesantren. Alternatif ke dua ini ditawarkan mengingat proses belajar-mengajar di lingkugan pesantren tradisional masih berkutat pada bahan dan materi dan bukan pada tujuan yang sebenarnya.

Di lingkungan pesantren tradisional, seorang santri dikatakan berhasil jika ia mampu menguasai materi-materi yang disampaikan sang guru dan kemudian di hafalkannya dengan apik, karena menurutnya, parameter keilmuan seseorang dinilai berdasarkan kemampuannya dalam menghafal teks-teks. Orientasi ini kini sudah harus dibenahi. Seorang peserta didik tidak harus cakap dalam menghafal materi pelajaran, akan tetapi ia juga harus bisa beradaptasi dengan kondisi riil di masyarakat.

Jika kita memperhatikan kondisi di masyarakat, banyak sekali prilaku-prilaku yang sangat bertolak belakang dengan norma agama. Hal inilah yang harus dimengerti oleh para peserta didik pesantren untuk bisa beradaptasi dan menyikapi atas kondisi di masyarakt tersebut, agar kemudian tidak terjadi pertentangan yang bisa saja menimbulkan konflik. Untuk itu, perpaduan antara kemahiran ilmu agama dan kemahiran bersosial di masyarakat sudah seharusnya menjadi perhatian kalangan pesantren. Salah satu caranya adalah dengan menyediakan wahana aktualisasi diri di tengah-tengah masyarakat.

Ketiga, peningkatan tradisi tulis menulis. Di lingkungan pesantren bahkan di lembaga-lembaga pendidikan sekolah lainnya sampai saat ini, tradisi tulis menulis sangatlah minim bahkan mungkin tidak ada. Padahal dunia ini tidak akan berkembang seperti saat ini jika saja para ilmuan tempo dulu tak rajin mengarsipkan hasil penemuannya dalam bentuk buku. Begitu banyak karya-karya manumental yang telah dihasilkan yang seharusnya kita kembangkan kembali, bukan hanya di baca kemudian diceritakan.

Keempat, melengkapi sarana penunjang proses pembelajaran, seperti perpustakaan yang berisi tidak hanya buku-buku agama akan tetapi menyediakan buku-buku yang mengkaji ilmu pengetahuan lainnya seperti buku-buku eksakta, dan sosial.

Langkah keempat ini memang tak bisa dilakukan oleh lembaga pesantren seorang diri. Langkah ini akan berjalan dengan lancar jika saja dukungan dari kalangan pemerintah baik itu pusat maupun daerah atau para donatur memberikannya secara maksimal seperti kepada lembaga-lembaga pendidikan umum lainnya. Pihak pemerintah sudah saatnya kini menyamakan lembaga pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya dan tidak melihatnya dengan sebelah mata.

Kelima, rekonstruksi pola kepemimpinan pesantren. Rekonstruksi ini merupakan yang terpenting dalam tubuh lembaga pendidikan pesantren. Karena jika seorang pemimpin pesantren enggan untuk melakukan rekonstruksi di atas, dan masih menganggap sebagai pemegang dan penentu kebijakan dengan tidak mempertimbangkan saran-saran dari pengurus bawah pesantren untuk melakukan rekonstruksi, maka yakinlah umur pesantren tersebut—dengan tidak menunggu waktu yang lama—akan menemui ajalnya.

Kerugian lainnya yang ditimbulkan dari pola kepemimpinan semacam itu adalah munculnya ketidakpastian dalam perkembangan pesantren yang bersangkutan, karena biasanya dalam tradisi pesantren semua hal bergantung pada keputusan pribadi sang pemimpin. Seringkali proses pengembangan yang telah direncanakan secara matang harus terhenti hanya karena menunggu restu dari sang kiyai, sehingga kemudian akan menghilangkan gairah untuk melakukan perubahan-perubahan yang berarti bagi pesantren.

Lebih parah dari itu, kondisi tersebut juga bisa menimbulkan keengganan bagi generasi muda pesantren untuk melakukan inovasi-inovasi baru demi pengembangan pesantren lantaran khawatir dianggap melangkahi kebijakan tertinggi di pesantren tersebut dan bisa menumbuhkan ketakutan akan ilmu yang tidak bermanfaat.

Untuk itu, sebagai upaya pemecahan mendasar atas kondisi tersebut, maka tak ada cara lain selain usaha merekonstruksi dan mencari terobosan atau solusi yang mencerahkan seperti pembagian job penentu kebijakan dalam tubuh pesantren sudah seharusnya diterapkan jika pesantren yang dianggap kolot ingin bangkit, eksis dan dapat bersaing dengan lembaga pendidikan lainnya terutama dalam menghadapi tantangan dunia modern yang semakin maju ini.

Keenam, hilangkan persepsi adanya dikotomi (pembagian) ilmu menjadi ilmu umum (eksakta, sosial, dll) dan ilmu agama. Biasanya dalam tradisi pesantren masih melekat sekali anggapan bahwa penguasaan ilmu agama itu jauh lebih penting dari pada penguasaan ilmu umum. Hal ini dapat dilihat dari pendidikan putra-putri kiyai pemilik pesantren yang biasanya lebih mementingkan pendidikan agama dengan belajar di pesantren-pesantren dan menyampingkan pendidikan formal. Padahal kalau kita mau melihat kiprah para ulama tempo dulu banyak sekali ulama-ulama yang tidak hanya menguasai ilmu agama akan tetapi ilmu-ilmu lainnya; seperti Al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Sina, Al-Khawarizmi, Ibn Bajah, dan lain sebagainya. Untuk itu, marilah kita hilangkan anggapan dikotomi ilmu itu, dan mulai rajut kembali integrasi ilmu dengan menganggap segala macam ilmu adalah hal yang sangat penting.

Beberapa langkah di atas, mudah-mudahan bisa dijadikan sebagai obat penawar atas kondisi pesantren yang saat ini semakin lama semakin "tergilas" oleh perkembangan zaman yang semakin maju. Bukankah dalam tradisi pesantren ada ungkapan yang mengatakan; "memelihara nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik". Kenapa kita harus takut untuk merubahnya! []


Tulisan ini pernah dimuat dalam kolom Opini Fajar Banten, Agustus, 2007

Tidak ada komentar: