Translate

Jumat, 23 Oktober 2009

** Membincang Posisi Perempuan dalam Teks dan Konteks

Membincangkan Posisi Perempuan dalam Teks dan Konteks

By. K. Muhammad Hakiki, MA
Peneliti pada Lembaga Penelitian, Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat (LP3M), Universitas Mathla’ul Anwar, Banten

Kajian atas wacana keperempuanan masih tetap ramai di perbincangkan bahkan semakin memanas terlebih setelah munculnya wacana diseputar perdebatan tentang poligami belum lama ini—meskipun sebenarnya perdebatan ini adalah tema klasik. Akan tetapi, kondisi ini akan tetap terjadi selagi kondisi di masyarakat masih tetap menampakan ketimpangan peranan antara perempuan dan laki-laki.

Munculnya berbagai ketimpangan dan perlakukan tidak adil terhadap perempuan menurut Quraish Shihab ditengarai oleh bias penafsiran atas ajaran-ajaran agama. Para pelaku penafsir agama kerapkali melakukan pendustaan dan penyelewengan penafsiran dengan tak adil. Mereka menganggap bahwa tugas dan hasil penafsiran mereka adalah sesuatu yang sakral karena mereka merasa sebagai penyambung “lidah” Tuhan. Apabila ucapan Tuhan adalah suci, benar dan sakral maka ucapan kalangan elite agama adalah sesuatu hal yang sama pula.
Kondisi ini kian menjadi bahkan mengkristal ketika ucapan mereka “ditularkan” kepada masyarakat awam. Kalangan elite agama—dalam menularkan virus penafsiran—, kerapkali di bumbui dengan perkataan “apabila menolak ucapan kami maka anda sama dengan menolak kebenaran Tuhan, karena kamilah sesungguhnya yang paling berhak “menterjemahkan” sabda Tuhan”.

Kondisi masyarakat yang tak tahu menahu membuat mereka dengan seratus persen manut akan ucapan kalangan elite agama. Dan kondisi ini kemudian dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian lambat laun mengkristal menjadi tradisi dan budaya di masyarakat luas.

Dalam berbagai literatur Islam klasik, baik itu kitab tafsir, hadits, dan fikih, banyak sekali ditemukan ungkapan-ungkapan yang memposisikan perempuan selalu dalam kelompok termarjinal dibandingkan pihak laki-laki. Hal ini disebabkan mereka cenderung menafsirkan teks-teks Alqur’an dan hadits secara tekstual, sehingga dengan begitu, produksi hukum pun akan menghasilkan bentuk marjinalisasi terhadap perempuan. Padahal, kalau kita kaji secara mendalam, hal seperti itu tidak pernah diajarkan oleh Islam. Karena dasar ajaran Islam adalah moral, keadilan dan kemanusiaan, serta tidak pernah membedakan laki-laki dan perempuan terutama dari segi kemampuan; baik itu amaliyah maupun aqliyah.

Perempuan dalam teks

Dalam kitab tafsir, misalnya, selalu didominasi oleh pihak laki-laki. Pihak perempuan dianggap mempunyai kualifikasi setengah akal dari laki-laki, sehingga perempuan dianggap tak layak untuk menafsirkan Alqur’an. Kondisi ini kemudian menghasilkan produk penafsirannya yang selalu memenangkan pihak laki-laki dan merendahkan pihak perempuan. Dalam ayat-ayat yang berkaitan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan misalkan surat al-Nisa: 34, surat al-Baqarah: 282 tentang kesaksian, tentang pembagian harta warisan, produk penafsiran yang muncul adalah selalu pihak perempuan diperlakukan sebagai pihak kelas kedua yang berada di bawah laki-laki.

Atau misalnya tentang ayat poligami (an-Nisaa: 3)—yang akhir-akhir ini kembali diperdebatkan—yang kemudian dijadikan sebagai absahnya prilaku poligami dilakukan masyarakat tanpa syarat yang ketat. Bahkan yang lebih parah lagi prilaku poligami Nabi kemudian dibumbui oleh anggapan sebagai sunnah yang kemudian harus diikuti. Padahal sebenarnya kalau kita melihat ayat poligami tersebut mensyaratkan keadilan yang sangat sulit untuk dipraktekkan bahkan bisa dikatakan mustahil.

Prilaku poligami Nabi sebenarnya banyak disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya; pertama sebagai usaha koreksi terhadap tradisi jahiliyah. Pada masa pra-Islam teradisi berpoligami tidak ada batasnya dan cenderung melakukan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Bahkan pada masa itu, kedudukan perempuan sangat tidak manusiawi, kelahiran seorang perempuan dianggap sebagai aib bagi masyarakat sehingga banyak anak-anak perempuan yang harus dikubur hidup-hidup. Kaum perempuan hanya dijadikan sebagai objek nafsu belaka. Banyak tata cara perkawinan pada waktu itu menjadikan perempuan sebagai pihak yang diragukan. Berikut beberapa model perkawinan yang dipraktekkam pada masa pra-Islam:

Pertama, model perkawinan Istibdha’ (jima), yakni suatu perkawinan dimana seorang suami meminta istrinya melayani seorang laki-laki lain yang terkenal dengan kemuliaan, kecerdasan, demi untuk mengharapkan keturunan yang seperi itu. Kedua, model perkawinan al-Maghtu (kebencian), yakni perkawinan dimana seorang anak laki-laki mengawini istri bapak kandungnya atau ibu tirinya setelah bapaknya meninggal. Dan masih banyak lagi model perkwainan yang dilarang oleh nabi seperti al-Syighar (tukar menukar istri), al-Irits (istri menjadi warisan), al-Rahthun (poliandri).

Berbagai model perkawinan ini kemudian dikoreksi nabi dengan melakukan perkawinan yang dapat mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan, baik dari segi hukum, sosial dan kesopansantunan.

Faktor ketiga yang menjadikan nabi berpoligami adalah demi untuk kepentingan politik sebagai dakwah Islam dan mempererat tali persaudaraan. Faktor ini dilakukan oleh nabi dengan memperistri anak dari Abu Bakar yakni Aisyah dan Hafsah yang merupakan anak dari Umar.

Menarik untuk menyoroti pernikahan nabi dengan Aisyah. Saat itu Aisyah masih sangat belia, dan rupanya, pernikahan itu menurut riwayat langsung atas petunjuk Tuhan sendiri. Dalam petunjuk itu, Aisyah akan menjadi seorang penceritra ucapan-ucapan nabi setelah nabi meninggal dan Aisyah pun mendapatkan jaminan umur panjang.

Bukti lain bagaimana poligami nabi bernuansa politik dalam rangka mengembangkan sayap dakwah Islam adalah dengan memperistri Juwairiyah binti al-Harits yang merupakan putri dari pemimpin Bani Musthaliq, Syafiyah Binti Hayyi bin Akhtab putri dari pemimpin kabilah Bani Quraizhah, serta Ummu Habibah Ramlah binti Abi Sufyan bin Harb putri seorang pemimpin Quraisy.

Dengan memperistri para petinggi Arab pada waktu itu diharapkan dakwah nabi akan lebih mudah dan tidak lagi mendapat tekanan keras. Dan hal itu memang terbukti, banyak di antara para pengikut kabilah tersebut yang kemudian masuk Islam.

Demikianlah beberapa motif Nabi melakukan poligami. Akan tetapi, sangat disayangkan, poligami yang awalnya begitu mulia, yakni sebagai sarana dakwah Islam kemudian pada fase berikutnya (baca: saat ini) harus dibumbui dengan alasan-alasan yang sifatnya kesenangan duniawi, sehingga yang terjadi adalah poligami bukannya menyelesaikan permasalahan, akan tetapi, justru sebaliknya, poligami dapat merusak keharmonisan keluarga yang sebelumnya tertata rapi. Dan, pada akhinya yang menjadi korban adalah istri dan anak-anak.

Tidak hanya kitab tafsir yang uraiannya kerapkali mendiskriditkan pihak perempuan, kitab hadits pun berprilaku sama. Banyak hadits yang muncul adalah hadits-hadits misoginik yakni hadits yang “seolah-olah” membenci perempuan. Seperti hadits yang menyatakan “perempuan adalah makhluk yang lemah akalnya”, “akal wanita kurang dibandingkan dengan laki-laki, keberagamaannya pun demikian”. Atau hadits tentang politik yang berkitan dengan kepemimpinan seperti hadits: “Tidak akan berbahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”.

Perlakukan yang sama—dan ini adalah babak kelanjutan dari penafsiran terhadap ayat-ayat Al-qur’an dan Hadits—juga terjadi dalam kitab-kitab fikih. Berbagai macam mazhab fikih telah ikut terlibat bahkan “mengkristalkan” di dalam pengkerdilan dan pembodohan pihak perempuan. Doktrin-doktrin fikih baik itu dalam ibadah, muamalah selalu memperlakukan perempuan sebagai pihak yang rendah. Misalnya al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘ulum al-Din mengatakan “pernikahan merupakan sebentuk perbudakan. Kewajiban bagi istri adalah mentaati suaminya secara mutlak, bukan menggugat dan mempertanyakannya”. Bahkan Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad mengatakan bahwa perempuan tak layak menjadi pemimpin.

Yang menarik ternyata dan hal ini berbeda dengan ulama tafsir, hadits, dan ulama fikih di atas, pandangan para sufi justru lain. Mereka lebih mengangkat harkat dan martabat perempuan bahkan meletakkannya kedalam kedudukan tertinggi. Hal tersebut bisa dilihat dalam berbagai literatur kitab tasawuf. Banyak dari kitab tasawuf yang menceritakan bagaimana penghargaan kalangan sufi terhadap perempuan—meskipun tak menutup kemungkinan ada beberapa sufi yang mempunyai pandangan lain terhadap perempuan.

Dalam sejarah Islam ternyata banyak sekali perempuan memainkan peran penting. Di antaranya yang pertama dan mungkin hal ini merupakan fase pertama keterlibatan perempuan dalam perkembangan fase mistis adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Ia seorang sufi perempuan par-excellence yang masyhur, dus pecinta sejati pada abad ke-dua Hijriyah. Banyak di antara para sufi yang memujinya bahkan tak jarang para sufi dalam hal ini sufi laki-laki memuji akan keluhuran tingkat spritualnya diantaranya Fariduddin Attar yang mengenang Rabi'ah sebagai sosok yang mulia.

Banyaknya para ahli sufi yang memuji keluhuran derajatnya dan tak jarang di antara mereka belajar, meskipun secara tak langsung dari Rabi’ah melalui bait-bait syairnya. Sehingga dengan demikian, wajar jika Rabi’ah dijuluki sebagai ibunda para sufi, seperti; Hasan Bashri, Malik bin Dinar, Sufyan ats-Tsauri, Syaqiq Balkhi.

Syaikh Akbar sufi Ibn ‘Arabi (w. 1240) dalam salah satu kitab yang di terjemahan dalam bahasa Inggris “Sufis of Andalusia” menulis dan menceritakan para ahli sufi dari kalangan perempuan yang pernah ia jumpai. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa ia menghabiskan waktunya dengan dua orang perempuan sufi yang lebih tua dan berpengaruh mendalam pada dirinya; yakni Syams dari Marchena, salah seorang yang senantiasa mengeluh, dan Fatimah dari Kordoba.

Sufi lainnya yakni Bayazid al-Busthami (w. 874) pernah di tanya mengenai siapa gurunya, ia menjawab bahwa gurunya adalah seorang perempuan tua yang dijumpainya di padang pasir. Perempuan itu menyebut dirinya (Bayazid) sebagai penindas yang tidak berguna. Dalam pertemuan itu Bayazid bertanya kepada perempuan itu prihal penyebutan namanya. Perempuan itu menjawab bahwa ketika Bayazid memerlukan seekor singa untuk membawa sekarung tepung, maka ia sedang menindas makhluk Allah itu sendiri yang telah dibiarkan bebas berkeliaran, dan dengan menginginkan pengakuan atas karamah tersebut, ia tengah memperlihatkan kebanggaannya. Dengan ucapan tersebut nampaknya Bayazid tersentuh hatinya dan ia memikirkan ucapan sang perempuan tersebut berhari-hari.

Dari sekelumit cerita ini membuktika bahwa perbedaan dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam dunia tasawuf tidaklah penting. Bagi mereka tingkatan spiritual jauh lebih penting dan bisa dicapai oleh siapapun, laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, ternyata para sufi lebih memberikan penghargaan dan kedamaian terhadap perempuan dibandingkan para ahli tafsir, ahli hadits dan lebih-lebih ahli fikih. Untuk itu, hendaklah kita meniru akan keramahan yang dicontohkan oleh para sufi, bagaimana ia mencintai perempuan dan “menyamakannya” dengan laki-laki, yang terpenting adalah kondisi spiritual bagi mereka.

Perempuan dalam konteks

Kalau kita lihat salah satu sisi sejarah kenapa agama ini (baca: Islam) diturunkan dengan kitab panduan yakni Al-qur’an ke bumi adalah yakni berkaitan dengan pengangkatan harkat dan martabat posisi perempuan yang pada waktu itu mengalami penistaan. Tapi apa yang terjadi kini. Sungguh ironis memang, disaat Islam sudah mulai menyebar keseluruh dunia dengan mempunyai penganut yang sangat banyak, akan tetapi mengapa masih saja bersikap seperti pada zaman pra-Islam atau Jahiliah. Posisi perempuan saat ini masih tetap tidak dihargai, disepelekan, bahkan di diskriditkan baik itu dalam berprilaku, berfikir, seolah-olah pihak laki-laki enggan setara atau dipimpin dan diungguli oleh perempuan.

Lihat saja dalam kasus pendidikan dikeluarga. Antara anak laki-laki dan perempuan kerapkali dibeda-bedakan. Pendidikan perempuan biasanya dibatasi hanya tingkat SD atau mungkin SMP dengan alasan perempuan tak perlu sekolah, ia hanyalah bertugas mengurusi anak, dapur dan kasur, dan semua itu tak butuh pendidikan tinggi. Lain halnya dengan anak laki-laki pendidikan adalah faktor penunjang di dalam mengurusi keluarga dan ekonomi.

Padahal kalau kita sadari dan realistis sebagai contoh dalam sekup kecil saja, saat ini banyak keluarga justru yang menjadi kepala keluarga atau yang menafkahi kebutuhan keluarga adalah perempuan (Istri), dan pihak laki-laki (Bapak) tak bisa berbuat apa-apa, tapi kenapa hal yang realistis ini kerapkali kaum laki-laki menutup mata dan masih saja menganggap “lemah” kaum perempuan.

Karena itu saat ini pemahaman yang selalu menganggap perempuan sebagai kelas nomor dua baik itu yang tertuang dalam teks-teks seperti tafsir, hadits (syarah), fikih, haruslah dibongkar, ditinjau kembali bila perlu dilakukan penafsiran baru yang berkeadilan gender. Sehingga dengan demikian pesan Alqur’an yang mengatakan bahwa yang mulia disisi Allah (laki-laki atau perempuan) hanyalah yang bertaqwa betul-betul terbukti. Wallahu’alam.

Tulisan ini pernah disampaikan dalam seminar Internasional di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dengan tema “Perempuan Untuk Perdamaian” pada bulan September 2007.

Tidak ada komentar: