Translate

Sabtu, 24 Oktober 2009

** Jejak Tradisi Maulid

Menelusuri Jejak Tradisi Perayaan Maulid

Oleh: Muhammad Hakiki, MA
Alumni Pascasarjana Studi Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta


Mendengar istilah “maulid” bagi kalangan Muslim tidaklah asing. Karena istilah ini selalu muncul tiap tahun dan selalu diperingati dengan meriah oleh umat Islam.

Jika dilihat dari sisi etimologi, Istilah “maulid” merupakan berasal dari kata bahasa Arab w-l-d yang berarti “kelahiran”. Kata ini biasanya disandingkan atau dikaitkan dengan Nabi Muhammad saw. Maulid Nabi Muhammad berarti usaha memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad yang dilakukan oleh seluruh umat Islam di seluruh dunia kecuali di Arab Saudi hingga kini.

Akan tetapi, jika kita telusuri lebih jauh, dengan memakai pengertian yang lebih populer, maka kata “maulid” biasa dikaitkan dengan peristiwa peringatan hari kelahiran seorang yang suci—baik itu laki-laki maupun perempuan, baik ia Muslim, Yahudi, atau pun Kristen, yang sudah meninggal. Misalnya perayaan maulid Syaikh Abu Hasira yang dirayakan oleh orang Yahudi yang sampai saat ini masih populer dilakukan. Bagitu juga dalam agama Kristen juga dilakukan perayaan maulid bagi kematian orang suci di kalangan mereka.

Dalam kesempatan kali ini bertepatan dengan peringatan Milad Nabi Muhammad yang jatuh pada tanggal 12 Rabiulawal—meskipun ada juga yang berpendapat pada tanggal 13 Rabiulawal--, jutaan kaum Muslim terutama di Indonesia merayakannya dengan sangat meriah, bahkan tak jarang, di antara mereka menganggap bahwa perayaan ini adalah sebuah tradisi yang bernilai sakral. Orang Indonesia biasa menyebutnya dengan tradisi muludan.

Perayaan maulid Nabi bagi orang Indonesia dilakukan dengan cara beraneka ragam, ada yang memperingatinya dengan cara mengundang seorang tokoh agama atau da’i untuk menceritakan seputar kelahiran Nabi Muhammad, ada juga masyarakat Indonesia dan biasanya hal ini dilakukan di tingkat pedesaan, merayakannya dengan membuat aneka ragam makanan yang dikumpulkan kemudian diiringi dengan pembacaan do’a-do’a, dan masih banyak lagi ragam lainnya.

Terlepas dari itu semua, yang pasti, bagi umat Islam Indonesia sendiri, perayaan maulid Nabi adalah termasuk dalam katagori hari besar Islam yang harus diperingati dan dihormati. Bagi pemerintah Indonesia, bentuk penghormatan terhadap maulid itu sendiri diberikan hari libur nasional dengan tanda merah pada setiap kalender.

Dalam kesempatan kali ini, sebagai bentuk kecintaan kepada Nabi Muhammad, saya akan mencoba menyajikan hasil penelusuran seputar sejarah asal mula perayaan maulid Nabi itu sendiri. Dengan cara seperti ini diharapkan masyarakat akan mengetahui sisi historis dari tradisi yang mereka “ritualkan” setiap tahunnya ini.

Asal Mula Perayaan Maulid
Mengenai sejak kapan perayaan maulid pertama kali dilakukan, para ilmuan Islam banyak berbeda pendapat. Akan tetapi, dari penelusuran penulis berdasarkan data yang ditemukan, bahwa asal mula perayaan maulid dilakukan oleh kalangan penganut mazhab Syi’ah yang saat itu berada pada masa dinasti Fatimi di Mesir ketika dipimpin oleh Khalifah al-Mu’izz li al-Din Allah (341 H). Menurut al-Sundubi sebagaimana yang dikutip oleh Nico Kaptein dijelaskan bahwa perayaan maulid yang dilakukan oleh Khalifah Fatimi saat itu bertujuan ingin mencoba membuat dirinya lebih populer di kalangan rakyat dengan memperkenalkan beberapa perayaan diantaranya maulid Nabi Muhammad saw (1994: 20).

Berbeda bagi kalangan Sunni seperti yang diungkapkan oleh Jalal al-Din al-Suyuthi—seorang ulama kesohor yang dilahirkan di Kairo pada tahun 1445 M.—dalam salah satu karyanyanya yakni “Husn al-Maqsid fi ‘Amal al-maulid” dijelaskan bahwa awal mula perayaan maulid dilakukan oleh seorang bernama Muzaffar al-Din Kokburi di kota Irbil. Pernyataan al-Suyuthi ini nampaknya diambil dari ungkapan Ibn Katsir dalam kitabnya “Al-Bidayah wa al-Nihayah fi Tarikh” yang mengatakan bahwa al-Malik al-Muzaffar Abu Sa’id Kokburi Ibn Zain al-Din ‘Ali Ibn Baktakin adalah seorang penguasa yang mulia yang selalu menjalankan ibadah maulid pada bulan Rabiulawal dan merayakannya secara meriah. (1932: 136).

Pernyataan ini menarik jika kita bandingkan dengan pendapat yang dianut oleh kalangan Syi’ah di atas. Apa yang membedakan dua kutub itu berbeda pendapat ?. lagi-lagi nampaknya pertentangan keyakinan pemikiran dua kutub itu menjadikan pendapat mereka –sengaja atau tidak— berbeda setu dengan lainnya.

Jika ditelusuri lebih jauh kenapa al-Suyuhti seolah-olah menutup mata akan realita sejarah perayaan maulid Nabi pada masa dinasti Fatimi yang bermazhab Syi’ah. Perlu mendapat analisa lebih jauh di sini.

Jika dengan alasan bahwa al-Suyuthi tidak mengetahui bahwa pada masa dinasti Fatimi pernah terjadi perayaan maulid sangatlah tidak masuk di akal, mengingat ia adalah seorang ulama yang masyhur pada zamannya. Di samping itu, ia pernah menulis sebuah kitab “Husn al-Muhadharah fi tarikh Misr wa al-Qahirah” yakni sebuah kitab yang berisi uraian tentang sejarah Mesir. Sehingga dengan begitu sangatlah tidak mungkin jika al-Suyuthi tidak mengetahui bagaimana perkembangan yang terjadi pada dinasti Fatimi di Mesir. Di samping itu, salah satu rujukan yang dipakai ketika ia menulis kitabnya adalah kitab “Khitat” karya al-Maqrizi, dan kitab “Mir’at al-Zamaan” karya Sibt Ibn al-Jauzi yang merupakan dua buah kitab yang mengandung uraian seputar perayaan maulid.

Lantas mengapa al-Suyuhti seorang ulama dari mazhab Sunni mempunyai pendapat yang berbeda ? di sinlah menurut hemat penulis sebenarnya al-Suyuthi mengetahui akan perayaan maulid pada masa dinasti Fatimi. Akan tetapi, ia nampaknya menutup-nutupi realita sejarah itu. Pemilihan Muzaffar al-Din Kokburi sebagai orang pertama yang melakukan perayaan maulid mempunyai alasan lain.

Jika kita pahami akan pilihan yang dipakai oleh al-Suyuthi sangatlah wajar mengingat permasalahan tentang maulid adalah sebuah tema yang kontroversial antara dibolehkan atau dilarang. Posisi al-Suyuthi sebagai seorang yang mendapatkan mandat untuk memberikan fatwa prihal maulid adalah sebuah posisi yang penuh resiko. Karena konsekwensinya adalah akan adanya orang-orang yang akan mendukung atau menolaknya.

Bagi kalangan yang menolak perayaan maulid, mereka mengatakan bahwa maulid Nabi Muhammad adalah sebuah perbuatan yang bid’ah karena perayaan ini tidak pernah dijelaskan dalam Al-qur’an dan tidak pernah dilakukan oleh sahabat-sahabat nabi dan para pengikut selanjutnya.

Alasan pendapat kelompok yang menolak di atas di benarkan oleh al-Suyuthi. Akan tetapi nampaknya ia mencoba mengantisipasi argumentasi ini dengan mengatakan bahwa perayaan maulid bagaimanapun pernah dilakukan oleh Muzaffar al-Din Kokburi seorang pemimpin yang sangat adil dan terpelajar dan salah satu tujuannya adalah tak lain yakni berusaha mendekatkan diri pada Allah.

Pemilihan al-Suyuthi terhadap Muzaffar al-Din Kokburi dengan menutupi data sejarah sebenarnya juga karena faktor ketidak cocokan atau bahkan bisa dikatakan kebencian al-Suyuthi terhadap keyakinan akidah yang dianut oleh Syi’ah sebagaimana tertuang dalam karyanya yang lain “Tarikh al-Khulafa”. Dalam kitab ini ia mengatakan bahwa ia tidak akan membahas dinasti Fatimi karena imamat (konsep kepemimpinan) mereka tidaklah sah dengan alasan; Pertama, garis keturunan mereka diragukan. Bahkan nama dinasti Fatimi juga tidak dibenarkan dan lebih baik jika memakai nama Banu Ubaid. Kedua, kebanyakan Banu Ubaid termasuk orang-orang ateis yang membelot dari Islam. Ketiga, mereka menuntut menjadi Khalifah ketika sudah ada seorang imam. Keempat, mereka melanggar tradisi yang menyatakan bahwa siapa pun yang menyebut diri sebagai Khalifah selama pemerintahan Abasiyah adalah seorang yang tak beriman dan seorang pemberontak.

Jika al-Suyuthi tidak sepakat dengan pendapat Syi’ah, lantas kenapa ia juga tidak mengakui perayaan maulid yang lebih dulu dari Muzaffar al-Din Kokburi yang dilakukan oleh kalangan Sunni sendiri seperti yang dipraktekkan oleh Nur al-Din seorang penguasa Siria yang juga sangat dihormati dan mempunyai reputasi tinggi. Di sinilah lagi-lagi al-Suyuthi betul-betul seorang ulama yang laur biasa. Ia tidak mau menyatakan pendapat yang data sejarahnya tidak komprehensif dan kurang begitu jelas dibandingkan dengan perayaan maulid yang dilakukan oleh Muzaffar al-Din Kokburi.

Sebagai kata akhir bahwa ternyata perayaan maulid yang kita peringati dengan meriah setiap tahunnya adalah sebuah tradisi yang mempunyai sejarah cukup lama dan sampai saat ini masih dalam kondisi yang dipermasalahkan antara boleh atau tidak. Meskipun begitu, perayaan yang tidak pernah dijelaskan dalam kitab suci ini dan juga tidak pernah dipraktekkan pada masa sahabat Nabi, menurut hemat penulis adalah jenis perayaan yang patut kita jaga dan lestarikan karena dengan perayaan maulid ini kita bisa ambil hikmahnya sebagai media pendekatan diri pada Tuhan Yang Maha Esa dan sekaligus memupuk rasa kecintaan atas junjungan kita sang pembawa kebenaran yakni Kanjeng Nabi Muhammad saw. Wallahu a’lam.
Tulisan ini pernah dimuat dalam surat kabar Radar Lampung, kolom opini 04 Maret 2009

Tidak ada komentar: