Translate

Sabtu, 24 Oktober 2009

** Memilih PTS Berkualitas

Memilih PTS Berkualitas

Oleh:
Muhammad Hakiki, MA
Akademisi dan Peneliti

Jika kita melihat media baik itu elektronik maupun cetak kini sudah “dibanjiri” dengan berbagai promosi iklan berbagai lembaga pendidikan Perguruan Tinggi (PT)—baik negeri maupun swasta. Bahkan tak jarang, untuk menambah daya tarik, berbagai tawaran pun di janjikan, seperti dijamin 100 persen kerja, bahkan yang “lucu” ada sebuah PT yang menawarkan uang akan kembali jika setelah lulus dari PT tersebut tidak dapat bekerja, dan masih banyak lagi tawaran-tawaran lainnya.
Fenomena tersebut wajar karena memang ajaran baru pendidikan sebentar lagi tiba. Karena itu promosi pun dilakukan jauh-jauh hari demi untuk menjaring calon mahasiswa sebanyak-banyaknya.
Maraknya promosi PT tersebut ternyata bagi para siswa yang hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi justru mulai terjangkiti yang namanya virus kebingungan untuk memilih dimana tempat ia akan melanjutkan studinya. Kebingungan itu semakin menjadi-jadi ketika ia tak bisa masuk perguruan tinggi negeri (PTN) yang di idam-idamkan. Maka, sebagai penggantinya, ia pun mau-tak mau harus memilih perguruan tinggi swasta (PTS) sebagai alternativnya.
Kebingungan itu semakin kuat ketika banyaknya pilihan PTS yang tersedia. Jika kita memperhatikan laju pertumbuhan perguruan tinggi di Indonesia, maka dewasa ini jumlah PTS dari hari ke hari secara kuantitas mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia—termasuk juga di dalamnya Banten—baik dalam bentuk Sekolah Tinggi, Universitas dan lain sebagainya.
Dengan maraknya PTS tersebut, patutlah untuk disyukuri. Namun demikian, perlu dipertanyakan sejauhmanakah kondisi dari sebagian PTS tersebut. Artinya sejauhmanakah kualitasnya?. Apakah mereka sudah benar-benar menjadi PT, atau hanya sekedar menjadi lembaga "penjual" ijazah, yang tidak pernah mengetahui bagaimanakah kompetensi dan daya serap (akseptabilitas) lulusannya di masyarakat. Oleh karena itu, melihat keadaan sekarang ini, pengembangan PT menjadi kebutuhan yang amat mendesak, apalagi jika dikaitkan dengan tugas pemerintah untuk mengembangkannya dan menjadikan PT bermutu.
Dalam tulisan sederhana ini, saya akan mencoba mengelaborasi untuk melihat apakah suatu PTS bermutu atau tidak. Hal ini dirasa perlu agar para calon mahasiswa yang akan melanjutkan pendidikan ke PT tidak kecewa dikemudian hari.
Menurut saya, setidaknya penilaian apakan sebuah PT itu bermutu atau tidak secara sederhana bisa dilihat dari adanya pengakuan. atau judgement dari pemerintah dan masyarakat. Pengakuan ini menjadi salah satu tolak ukurnya, apakah PT tersebut bisa masuk dalam kriteria kualitas atau tidak.
Adanya pengakuan dari pemerintah dan masyarakat tentang profile sebuah PT dikatakan bermutu atau tidak tersebut tentu disebabkan oleh kriteria lainnya. Sedikitnya ada dua kriteria sebagai berikut;
Pertama, suatu lembaga pendidikan dapat dikatakan bermutu apabila dapat menghasilkan lulusan yang bermanfaat bagi masyarakat sesuai dengan ilmu yang dipelajarinya. Dosen dan gedung yang bagus tidaklah harus menjadi syarat utama melainkan hanyalah merupakan sarana. Itu artinya, dosen yang bagus dan gedung yang megah, tidak dapat dijadikan sebagai ukuran atau indikator yang dapat menggambarkan mutu lulusan. Karena dosen atau gedung yang bagus tidak secara langsung merefleksikan kualitas lulusan. Dosen dan gedung yang bagus hanyalah merupakan sarana saja. Jadi kita akan salah tangkap, misleading, kalau melihat gedung yang bagus, lalu ditarik kesimpulan bahwa lulusan atau mutu perguruan tersebut berarti bagus.
Kedua, hasil lulusan PT tersebut dapat mengamalkan ilmu dan mempunyai sikap, keterampilan yang berguna demi kemaslahatan masyarakat. Ukuranya adalah setelah lulus mereka dapat atau tidak mengamalkan keterampilan ilmunya untuk masyarakat luas. Itu-lah di antara sedikit indicator yang bisa kita jadikan pegangan untuk memilih dan menilai sebuah PT berkualitas atau tidak.
Kelemahan PTS
Di atas telah dijelaskan bahwa sampai saat ini masyarakat masih menganggap bahwa PTS masih diragukan kualitasnya dibandingkan dengan PTN. Hal ini bisa dilihat dari minat para peserta didik setiap tahunnya yang menempatkan PTS sebagai pilihan terakhir. Karena alasan itulah, maka sudah sepatutnya para pengelola lembaga PTS kini sudah mulai berbenah diri agar nasib PTS menjadi PT yang bisa diandalkan karena mutu lulusannya dapat diterima oleh masyarakat luas.
Menurut hemat penulis bisa diklasifikasi mengapa PTS sampai saat ini masih dilirik sebelah mata. Hal ini karena PTS mempunyai kelemahan-kelemahan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kelemahan-kelemahan tersebut muncul;
Pertama, hal ini sangat menentukan adalah faktor kepemimpinan, leadership dan menejemen di PTS. Menejemen di PTS sebagian besar masih mengadopsi model menejemen ormas (organisasi masyarakat) yang dikelola dengan banyak orang. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip usaha swasta yang ramping dan memilih orang yang benar-benar mampu. Sementara di PTS orang yang dipilih adalah mereka yang mau, bukan mampu. Bahkan seringkali masih tergantung oleh figur atau tokoh sebagai the solidarity maker.
Kedua, kurikulum yang tidak menarik dan tidak jelas arahnya. Hal ini bisa terjadi karena kurikulum yang ada hanya diambil secara “mentah-mentah” dari PTN atau PTS lainya tanpa diketahui apa dan mengapa kurikulum tersebut disusun sedemikian rupa.
Ketiga, proses belajar mengajar (PBM) yang tidak mendukung tercapainya tujuan. Karena proses belajar mengajar pada dasarnya merupakan pelaksanaan rencana pendidikan yang telah dibuat matang dengan wujud kurikulum, maka kurikulum yang sekedar jiplakan akan mempengaruhi proses belajar mengajar.
Keempat, kompetensi dosen yang masih rendah. Harus diakui bahwa dosen yang ada di beberapa PTS sebagian besar masih dibawah standar. Rendahnya kualitas dosen ini sebagai akibat lanjutan dari dana yang kurang, sehingga tidak mampu merekrut dosen yang berkualitas. Kalaupun ada, seperti Doktor atau Profesor seringkali dipakai sebagai pajangan untuk meningkatkan citra PTS yang bersangkutan.
Kelima, lingkungan belajar yang kurang kondusif yang ditandai dengan tidak tumbuhnya “suasana akademis” atau keilmuan yang bagus, yakni rendahnya keinginan untuk meneliti, mengkaji atau belajar bagi komunitasnya. Sehingga kondisi PTS tidak ubahnya sebagaimana tempat kursus.
Keenam, fasilitas belajar yang kurang memadai, yakni tidak adanya laboratorium bahasa, buku, perpustakaan ataupun ruang komputer dan internet. Padahal semua itu adalah sangat penting demi terwujudnya sebuah lembaga pendidikan berkualitas.
Ketujuh, penerimaan input mahasiswa yang kurang bahkan tidak selektif. Karena yang ada hanya itu, maka akhirnya seadanya saja. Sebagai dampaknya adalah banyak para lulusan yang dilepas (diwisuda) yang sebetulnya belum siap terjun ke masyarakat. Keadaan ini sebenarnya bisa dijembatani dengan melakukan program remidial untuk menyiapkan mahasiswa yang akan masuk.
Dan yang terakhir sebagai penyebab adanya kelamahan PTS adalah dana yang tidak mandiri, yakni dipersiapkan sambil berjalan dan akhirnya PTS kurang dapat menarik dukungan dan minat masyarakat.
Untuk itulah peningkatan mutu PTS dengan berbagai langkah terobosan yang tepat adalah suatu hal yang mendesak untuk dilakukan yang tentunya dengan memperhatikan beberapa titik kelemahan di atas. Langkah ini harus dilakukan jika saja PTS ingin menjadi pilihan utama dan untuk periode selanjutnya tidak mau ditinggalkan oleh peminatnya. Wallahu a'lam.

Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam kolom Opini Surat Kabar Fajar Banten, 17 Juli, 2009




Tidak ada komentar: