Translate

Minggu, 25 Oktober 2009

** Hermeneutika

Hermeneutika Alqur’an KH. Nawawi Banten


Judul : Hermeneutika Alqur’an Ala K.H Nawawi Banten; Analisis Terhadap Tafsir Marah Labid Karya KH. Nawawi Banten
Penulis : Dr. Mamat S. Burhanuddin
Penerbit : UII Press, Yogyakarta
Terbit : Cetakan I, April 2006
Tebal: xviii + 232 Halaman



Nama KH Nawawi Banten mungkin sudah tidak asing lagi bagi sebagian umat Islam Indonesia. Bahkan keagungan namanya sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi'i Imam Nawawi seorang pen-syarah Shahih Muslim (w.676 H/l277 M).

Nama lengkapnya adalah Syeikh Muhammad Nawawi bin Umar ibnu Arabi bin Ali al-Jawi al-Bantani. Beliau adalah anak sulung seorang ulama Banten, lahir pada tahun 1230 Hijrah/1814 Masehi di Banten dan wafat di Mekah tahun 1314 Hijrah/1897 Masehi.
Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan. Di setiap majlis ta'lim, pesantren, karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim keilmuan yang dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yang berada di bawah naungan NU.
Di kalangan komunitas pesantren, Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati (the great scholar). Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila KH. Hasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya.
Karena itulah, keagungan nama besar KH. Nawawi Banten mendorong para peneliti ramai mengkajinya. Berbagai kajian dari sudut analisa yang berbeda telah dihadirkan. Misalnya;
C. Snouck Hurgronje “Mekka in The Letter Part of the Nineteenth Century”. Dalam buku ini—sebagai rujukan awal mengenal KH Nawawi Banten—, Snouck menguraikan kehidupan KH Nawawi selama di Makkah.
Chaidar, “Sejarah Pujangga Islam, Syekh Nawawi al-Bantani-Indonesia”. Dilihat dari isinya, buku ini hanya menyoroti sisi biografi dan pengenalan karya-karya dari KH. Nawawi Banten. Penelitian lainnya, Srimulyati dalam karya Tesisnya di Mc Gill University, berjudul “Sufism in Indonesia; An Analysis of Nawawi al-Bantani’s Salalim al-Fudola”. Dalam buku ini Sri Mulyati berkesimpulan bahwa KH Nawawi Banten memiliki pandangan tasawuf yang tidak terpengaruh oleh aliran heterodoks yang sebelumnya tengah mendominasi wacana tasawuf di Indonesia saat itu. Ia (Nawawi) lebih berperan sebagai “pelestari” tasawuf Syar’i yang dikembangkan oleh al-Ghazali.
Ahmad Asnawi “Pemahaman Syekh Nawawi Tentang Ayat Qadar dan Jabbar dalam Kitab Tafsirnya “Marah Labid”; Suatu Studi Teologi”. Dalam disertasi-nya, Asnawi hanya melihat dari sisi penafsiran teologisnya. Ketika menafsirkan ayat-ayat teologi, menurut Asnawi, K H Nawawi terpengaruh oleh gaya penafsiran Mu’tazilah yang rasionalis. Argumentasi yang disajikan adalah bahwa referensi yang dipakai oleh KH Nawawi Banten secara dominan memakai kitab tafsir bi al-Rayi seperti Tafsir Mafatih al-Ghayb karya al-Razi.
Kemudian Tihami “Pemikiran Fiqh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani”. Dalam disertasi-nya, Tihami mencoba mengungkap sisi pandangan fiqh dari KH Nawawi Banten. Tihami menyimpulkan bahwa sebagai mujtahid Mazhab, Nawawi konsisten dengan metodologi fiqh Imam Syafi’i.
Karya disertasi lainnya yang mengulas KH Nawawi Banten adalah Mustamin Muhammad Arsyad, berjudul “al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi wa Juhuduhu fi Tafsir al-Qur’an al-Karim fi Kitabihi “al-Tafsir al-Munir Lima’alim al-Tanzil”. Dalam disertasinya, Mustamim mengupas aspek keseriusan dari KH Nawawi Banten dalam menulis karya tafsirnya. Dia membuktikan dari berbagai aspek; baik itu metode, fiqh dan tasawufnya.
Buku terbaru yang juga mengkaji sudut pemikiran KH Nawawi Banten adalah buku berjudul “Yahudi Dan Nasrani Dalam Al-Qur’an; Hubungan Antar Agama Menurut Syaikh Nawawi Banten” karya Asep Muhammad Iqbal. Buku yang pada mulanya adalah sebuah Tesis yang ia pertahankan di Universitas Leiden mengurai seputar pemikiran KH Nawawi tentang konsep Yahudi dan Nashrani.
Kajian atas KH Nawawi Banten ternyata tidak berhenti sampai disitu, KH Nawawi Banten ibarat batu permata yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda.
Karya terbaru yang juga mengulas sisi lain pemikiran KH Nawawi Banten telah dihadirkan oleh anak negeri ini. Ia adalah Mamat S Burhanuddin—lulusan terbaik UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta tahun 2003. Buku ini—yang pada mulanya adalah disertasi—berjudul “Hermeneutika Alqur’an Ala K.H Nawawi Banten; Analisis Terhadap Tafsir Marah Labid Karya KH. Nawawi Banten”. Karya ini terbilang menarik, karena sudut analisa yang disajikan berbeda dengan buku-buku lainnya. Buku ini lebih menghususkan kajian diseputar hermeneutika dalam kitab tafsir Marah Labid.
Disamping itu, karya ini mengulas sejarah tradisi awal hermeneutika Alqur’an di Indonesia yang dimulai dari Trajuman al-Mustafid karya Abd Rauf al-Singgili seorang ulama sufi dari Aceh pada pra abad 20 sampai perkembangan hermeneutika al-Qur’an abad 20.
Dari hasil penemuan Mamat S Burhanuddin, dikatakan bahwa tafsir Marah Labid karya KH Nawawi Banten memiliki karakteristik hermeneutika tersendiri sesuai dengan ciri sosio-historis dimana ia hidup. (h. 213)
Jika mengacu pada konsep Richard E. Palmer yang membagi hermeneutika ke dalam dua katagori yakni Understanding dan Hermeneutical Problem, maka menurut Mamat, tafsir Marah Labid cenderung mengarah pada upaya pemahaman teks ayat Alqur’an yang sedikit banyak dipengaruhi unsur subjektivitasnya sebagai seorang guru yang moderat, intelektual yang tengah merespon perkembangan zaman, seorang mujaddid tanpa menafikan ulama salaf, seorang yang kecewa dengan kondisi politik ditanah airnya. Hermeneutika Nawawi telah menempatkan Alqur’an sebagai teks terbuka yang siap berdialog dengan konteks masyarakat pembaca sehingga bermakna bagi umatnya. KH. Nawawi berhasil menghadirkan Alqur’an “hidup” dalam irama problema kehidupan manusia di masanya. (h. 214).
Konsep hermeneutika dari tafsir Marah Labid yang menarik menurut Mamat adalah adanya pengakuan pluralisme pemahaman. Menurut KH Nawawi, perolehan hikmah nadzariyah dan amaliyah yang berbeda sesuai dengan usaha setiap pembaca teks Alqur’an memberi implikasi perbedaan pemahaman. Mencari makna yang benar-benar objektif menurut KH Nawawi sulit didapatkan oleh seorang penafsir, karena makna objektif hanya dapat diketahui oleh pemilik teks yakni Allah swt semata. Karena itu, yang berhak men-tafsir-kan hanya Allah. Manusia hanya dapat berspekulasi memahami Alqur’an melalui simbol teks bahasanya.
Dilihat dari objek kajiannya, buku ini sangat menarik yakni mengulas model hermeneutika tafsir Marah Labid. Akan tetapi, sangat disayangkan, buku ini tidak melakukan elaborasi secara maksimal bagaimana pengaruh hermeneutika dari tafsir Marah Labid dalam dunia pesantren. Objek kajian yang terakhir ini dirasa perlu, mengingat karya tafsir ini dijadikan rujukan penting dan utama dalam dunia pesantren.
Disamping beberapa kekurangan di atas, buku ini mempunyai beberapa kekurangan lain terutama dalam masalah editing yang kurang bagus, peletakan tanda baca yang kurang pas. Sangat disayangkan, buku yang begitu bagus ini harus cacat karena hal yang sifatnya tidak substansial akan tapi mengganggu proses pemahaman.
Akan tetapi, terlepas dari itu semua, bagaimanapun kehadiran buku ini patut disambut baik, karena dengan begitu pengenalan seputar sosok dan pemikiran KH Nawawi Banten akan semakin sempurna. Selamat membaca !

K. Muhammad Hakiki
Peneliti di Lembaga Penelitian, Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat (LP3M), Universitas Mathla’ul Anwar.

Tidak ada komentar: