Translate

Jumat, 23 Oktober 2009

** Orang Indonesia Naik Haji

Orang Indonesia Naik Haji

Oleh :
K. Muhammad Hakiki, MA
Santri Pascasarjana Studi Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta


Ibadah Haji adalah Jinis ibadah yang tergolong mahal. Akan tetapi, meskipun mahal, ibadah ini nampaknya masih menjadi “magnit” jutaan kaum muslimin diseluruh dunia untuk melakukannya. Berbeda dengan ibadah-iabadah lainya, seperti sholat, puasa, yang tak perlu membutuhkan dana besar, bahkan gratis, tapi masih banyak yang enggan untuk mengerjakannya. Lain halnya dengan ibadah haji, berapa pun dana yang harus dikerjakan dan dengan resiko sebasar apapun, sekalipun nyawa taruhannya, ibadah haji tetap menjadi impian masyarakat Muslim, termasuk Indonesia.

Negara Indonesia sampai saat ini masih mengukuhkan diri sebagai juara kontestan terbanyak dibandingkan Negara-negara lainnya, meskipun dilihat dari segi wilayahnya sangat jauh dibandingkan dengan negra lain, seperti; Iran, Irak, Malaysia dan Negara-negara mayoritas muslim lainya.

Banyaknya umat Islam Indonesia yang menunaikan Ibadah haji ke Makkah pernah tercatat dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Jacob Vredenbregt, berjudul "The haddj: Some of its features and functions in Indonesia”. Dalam artikel itu dijelaskan bahwa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, jumlah jama’ah haji Indonesia berkisar antara 10 dan 20 persen dari seluruh haji asing, walaupun mereka datang dari wilayah yang lebih jauh dari pada yang lain. Malah pada dasawarsa 1920-an sekitar 40 persen dari seluruh haji berasal dari Indonesia. Kondisi dominan-nya masyarakt Indonesia ber-haji juga terus terjadi sampai saat ini.

Akibat membanjirnya umat Islam Indonesia yang berhaji, membuat Martin Van Bruinessen mengatakan bahwa sekurang-kurangnya sejak tahun 1860, bahasa Melayu merupakan bahasa kedua di Makkah, setelah bahasa Arab.

Dalam artikel singkat ini, penulis akan mencoba melakukan elaborasi seputar pertanyaan apa motivasi orang Indonesia menunaikan ibadah haji ke Makkah pada masa dulu dan sekarang.

Haji, Legitimasi, dan Ngelmu

Kalau kita melihat berbagai fakta sejarah yang terdokumentasi, bahwa ibadah haji orang Indonesia pada zaman dahulu disampaing sebagai kewajiban syari’at bagi umat Islam yang telah mampu, juga sebagai tempat mencari legitimasi kekuasaan politik dan tempat “ngelmu”, sebuah istilah yang diambil dari bahasa jawa yang artinya mencari ilmu.

Fakta ini pernah dilakukan, misalnya, pada tahun 1630-an, Raja Banten dan raja Mataram, yang saling bersaing, mengirim utusan ke Makkah untuk mencari pengakuan dari sana (Makkah) dan meminta gelar “Sultan”. Mereka beranggapan bahwa gelar yang diperoleh dari Makkah akan memberi sokongan supranatural terhadap kekuasaan mereka. Hal ini menarik, padahal pada masa itu, di Makkah tidak ada instansi yang pernah memberi gelar kepada penguasa lain. Tetapi, Para raja Jawa menganggap bahwa Syarif Besar, yang menguasai Haramain (Makkah dan Madinah) memiliki wibawa spiritual atas seluruh Dar al-Islam.

Pada masa itu rombongan utusan dari Banten pulang pada tahun 1638 dengan membawa gelar “Sultan Abu'l-Mafakhir Mahmud Abdul Qadir”, dan rombongan raja Mataram sampai pada tahun 1641 dianugrahi gelar “Sultan Abdul Muhammad Maulana Matarani.” Di samping gelar pengakuan “Sultan” yang mereka raih, mereka pun membawa berbagai hadiah dari Syarif Besar sebagai bukti untuk diserahkan pada sang raja, diantarnya potongan dari kain kiswah, sebuah kain hitam yang pernah digunakan untuk menutup Ka`bah. Kain ini bagi mereka dianggap sebagai jimat yang ampuh. Tradisi itu tetap berlanjut sampai beberapa puluh tahun kemudian, pada tahun 1674, untuk pertama kalinya seorang pangeran Jawa juga naik haji. Ia adalah putra Sultan Ageng Tirtayasa (Banten), Abdul Qahhar, yang belakangan dikenal sebagai Sultan Haji.

Disamping sebagai tempat mencari legitimasi politik, Makkah dan Madinah pun dijadikan tempat untuk mencari Ilmu atau “ngelmu” dalam berbagai disiplin ilmu seperti, fikih, tasawuf, tafsir, hadits, dan lain-lainnya.

Banyak diantara ulama Indonesia yang melakukan pencarian ilmu di kota suci itu, bahkan tak sedikit diantara para ulama Indonesia menjadi ulama besar yang cukup berpengaruh di sana. Diantara mereka adalah Syaikh Yusuf Makassar yang kemudian menjadi panglima perang Sultan Agung Tirtayasa, berangkat ke tanah suci pada tahun 1644 dan kembali ke Indonesia sekitar tahun 1670. Ia belajar kepada banyak ulama besar, terutama ulama tasawwuf, dan memperoleh ijazah untuk mengajar berbagai tarekat diantaranya tarekat Khalwatiyah.

Ulama lain yang juga lama menetap dan memperdalam ilmu-ilmu agama di Makkah dan Madinah adalah ‘Abd al-Ra'uf Singkel, yang kemudian mencapai kedudukan tinggi di Aceh. ‘Abd al-Ra'uf dikenal sebagai pembawa tarekat Syattariyah ke Indonesia dan sebagai penerjemah dan penyunting “Tafsir Jalalain” dalam bahasa Melayu berjudul “Tarjuman al-Mustafid”.

Ulama lainnya adalah Syeikh Ahmad Khathib Sambas yang merupakan pendiri dari Tariqat Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Syekh Nawawi al-Banteni penulis tafsir “Marah Labid” dan seorang ulama yang sangat berpengaruh dilingkungan pesantern yang ada di Indonesia. Bahkan menurut keterangan Snauck Hurgronje yang pernah menemuinya dan didukung keterangan beberapa muridnya seperti KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU, Syaikh Nawawi al-Bantani pernah menjadi seorang guru besar di Masjidil Haram dan mendapat gelar “Sayyid ‘Ulama al-Hijaz” (pemimpina ulama Hijaz) dari ulama-ulama Mesir.

Ulama lainnya yang pernah dan menetap lama di Makkah adalah; Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Syeikh Ahmad an-Nahrawi, Syeikh Ahmad ad-Dumyati, Syeikh Muhammad Khathib Duma al-Hanbali, Syeikh Zainuddin Aceh, Syeikh Syihabuddin, Syeikh Abdul Ghani Bima, Syeikh Yusuf Sunbulawani, Syeikhah Fatimah binti Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, Syeikh Yusuf bin Arsyad al-Banjari, Syeikh Abdus Shamad bin Abdur Rahman al-Falimbani, Syeikh Mahmud Kinan al-Falimbani, Syeikh Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani. Dan masih banyak lagi lainya.

Dari sebagian data yang telah diuraikan di atas, semakin jelaslah bahwa pada masa dahulu, ibadah haji yang dilakukan orang Indonesia bukan hanya sebagai kewajiban syari’ah saja, tetapi juga dijadikan sebagai tempat mencari legitimasi politik dan ngelmu.

Ber-haji di zaman modern

Dari uraian di atas, ibadah haji yang dilakukan oleh orang Indonesia tempo dulu ternyata beragam motivasi, dimulai dari hanya sekedar sebagai pemenuhan kewajiban syari’ah bagi yang mampu, tempat untuk menuntut ilmu, bahkan ada yang dengan sengaja untuk mencari legitimasi kekuasaan politik seperti yang dilakukan oleh kerajaan Banten dan Mataram di atas. Lantas pertanyaanya adalah bagaimana motivasi orang Indonesia naik haji disaat berbagai sarana baik itu transportasi, pelayanan, semakin canggih berkat perkembangan tekhnologi di zaman modern yang semakin hari semakin maju yang tentunya berbeda dengan saranan tempo dulu ini.

Kesan saya justru berbeda, ibadah haji pada zaman modern ini sangat jauh berbeda dengan motivasi berhaji orang Indonesia tempo dulu. Ibadaha haji yang dilakukan orang Indonesia sekarang disamping sebagai tuntutan syariah bagi yang mampu, tak jarang diantara mereka ada yang melakukannya hanya untuk wisata spiritual, peningkatan strata social dari yang buruk, mudah-mudah-an menjadi baik dengan tambahan “titel” haji, bahkan dan hal ini terasa aneh, ibadah haji kerapkali dijadikan sebagai tempat ajang bisnis menggiurkan untuk mencari ekonomi. Hal ini bisa dilihat dengan menjamurnya yayasan-yayasan yang menyediakan jasa perjalanan haji dengan berbagai paket-paket servis hemat yang memuaskan.

Munculnya fenomena di atas, semakin menambah kejelasan bahwa motivasi ber-haji-nya orang Indonesia saat ini sangat jauh berbeda dengan tempo dulu. Ibadah haji dari semata-mata hanya bertujuan sebagai ibadah murni, kini harus “dibumbui” dengan tujuan-tujuan lain yang ternyata tujuan itu jauh menyimpang dari tujuan awal, seperti untuk mencari ekonomi. Meskipun begitu tak sedikit diantara mereka masih ada yang mempunyai ketulusan niat hanya semata-mata untuk mencari keridhoan Allah yakni untuk meraih titel haji mabrur yang ganjarannya adalah surga. Wallahu a’lam.



Tulisan Pernah dimuat dalam kolom opini Radar Lampung tahun 2007

Tidak ada komentar: