Translate

Jumat, 23 Oktober 2009

** Waisak dan Pesan Perdamaian

Waisak dan Pesan Perdamaian

Oleh: K. Muhammad Hakiki, MA
Pegiat Kerukunan Hidup Beragama

Konflik horizontal antara manusia versus manusia nampaknya tak akan pernah usai di bumi ini. Segudang macam alasan yang kemudian dijadikan tameng pemicu konflik pun dihadirkan. Ada yang beralasan karena faktor demi kemanusiaan, ekonomi, politik, kewilayahan, bahkan yang lebih menyedihkan, agama kerap kali dijadikan sebagai kambing hitam pemicu konflik itu sendiri. Lalu pertanyaannya, benarkah agama juga kerapkali menjadi penyebabnya?, bukankah agama sebenarnya selalu mengajarkan pesan-pesan kebaikan bagi umatnya. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan diurai dalam kesempatan hari waisak sebagai hari besar keagamaan bagi umat Buddha ini. Mudah-mudahan dengan penelusuran pesan-pesan perdamaian yang terdapat dalam khazanah tradisi agama Buddha, secercah harapan akan sebuah kondisi kedamaian dengan momen hari waisak ini kembali menyelimuti negeri kita.

Mengurai akar konflik ?
Ada berbagai macam akar pemicu munculnya konflik-konflik yang terjadi di negeri ini sebagaimana yang disebutkan di atas. Baik yang sifatnya teologis maupun non-teologis. Tetapi, menurut hemat saya di samping karena faktor di atas, ada yang lebih penting dan justru hal ini menjadi pemicu awal munculnya konflik tersebut. Faktor tersebut adalah adanya rasa ketidaksiapan umat beragama untuk hidup secara berdampingan dalam masyarakat yang multicultural. Rasa ketidaksiapan ini terkadang dimanfaatkan oleh mereka yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu yang sifatnya politis dengan bentuk pembangkitan fanatisme beragama yang semu.

Ada banyak cara yang bisa ditempuh oleh mereka yang memanfaatkan kondisi di atas, misalnya;
Pertama, menghidupkan kembali sikap klaim kebenaran agama (truth claim). Dengan menyeruaknya kembali sikap ini, maka masing-masing kelompok atau penganut agama akan mengklaim bahwa agamanya-lah yang paling benar, agamanya yang membawa pesan-pesan perdamaian suci dan sederet pujian lainnya. Dan jika sikap ini masih terpatri dalam kepercayaan umat beragama, maka dengan mudah akan memunculkan sikap triumphalism yakni kecenderungan menganggap umat lain sebagai objek yang butuh diselamatkan.

Kedua, jika ada rasa ketidaksiapan untuk hidup secara berdampingan dalam masyarakat yang berbeda agama, maka biasanya akan memunculkan skap minder dalam beragama. Sikap ini biasanya menjangkiti para penganut agama minoritas.
Para penganut agama minoritas biasanya akan terjebak pada mentalitas “korban” atau yang “dikorbankan”. Dan jika pemahaman ini sudah muncul, maka si monoritas atau si korban akan membenci dan menganggap si mayoritas sebagai sumber penindasan dan pelaku ketidakadilan. Dan buah dari semu itu, maka para penganut agama akan menjadi fanatisme dan promordialisme sempit sebagaimana diungkapkan oleh Stephen Toulmin dalam “Cosmopolis: The Hidden Agenda of Modernity” berkata “ketika umat beragama tak siap hidup berdampingan di tengah masyarakat yang multicultural, mereka cenderung membangun relasi yang diwarnai konflik, kekerasan dan eksploitasi. Dalam situasi seperti ini kadang kebenaran teologis diungkapkan, dipertahankan, dan ditegakkan bukan dengan bahasa santun dan persuasive, tetapi dengan senjata. Dalam konflik dan kekerasan ini simbol-simbol agama sering digunakan dan efektif untuk membakar semangat masa”.

Terkait dengan momen memperingati hari waisak bagi agama Buddha sebagai agama monoritas di negeri ini, maka selayaknya rasa ketidaksiapan umat beragama untuk hidup secara berdampingan dalam masyarakat yang multicultural perlu dihilangkan dan yang terpenting rasa mentalitas si korban atau yang dikorbankan oleh mereka yang mayoritas haruslah di pupus agar tidak memicu sikap fanatisme buta yang redikal dan ekstrim.

Pesan Perdamaian Buddha
Sebelum mengurai pesan perdamaian yang diajarkan Guru Buddha dalam kitab sucinya, sangatlah menarik jika sedikit bercerita tentang kehidupan Raja Asoka. Raja Asoka dikenal sebagai raja yang jahat dan pembunuh berdarah dingin. Pada masa pemerintahannya, Raja Asoka dikenal sebagai raja yang suka berperang. Kehidupan Raja Asoka yang jahat kemudian berubah setelah ia berkenalan dan berguru kepada Buddha Dharma. Raja Asoka kemudian menjadi raja yang santun dan penuh cinta kasih. Bukti nyata dari keinsyafan Raja Asoka terlihat dari monument yang ia bangun dan kemudian terkenal di seantero dunia bernama Pilar Asoka. Dalam pilar tersebut terdapat tulisan yang berbunyi: “Jika orang berfikir bahwa dengan menjelek-jelekan dan mematikan ajaran orang lain mereka telah melakukan sesuatu yang lebih baik buat agamanya, tanpa disadarinya, jika hal itu ia lakukan, justru mereka tengah membuka liang kubur bagi agama sendiri.”

Dari cerita seorang raja di atas, muncul pertanyaan bagi kita, apa sebenarnya yang Guru Budha ajarkan kepada Raja Asoka sehingga ia menjadi seorang raja yang penuh kasih sayang. Hal ini-lah yang akan diuraikan selanjutnya.

Kalau kita membaca kitab-kitab suci Buddha, maka kita akan menemukan banyak sekali kata-kata hikmah kehidupan yang dapat kita ambil pelajaran—tidak hanya buat umat Buddha sendiri, tapi juga buat umat agama lainnya, karena kebenaran tetaplah kebenaran, tak akan mungkin berubah menjadi keburukan dan kejahatan.

Di antara untaian hikmah kata-kata Guru Budha dalam kitab suci Dhammapada adalah:
“Ia menghina saya, ia memukul saya, ia mengalahkan saya, ia merampas milik saya. Selama seseorang masih menyimpan pikiran-pikiran seperti itu, maka kebencian tak akan pernah berakhir”(Dhammapada, Bab I: 3)

Sabda Guru Buddha di atas sangatlah indah dan menarik untuk dicermati. Sabda Guru Budha tersebut adalah sebuah jaminan bagi manusia bahwa jika dalam sanubari kita masih tersimpan atau terselip sikap seperti di atas, maka jangat berharap kedamaian akan terwujud dalam kehidupan kita, akan tetapi jika sebaliknya “seseorang sudah tidak lagi menyimpan pikiran-pikiran seperti itu (ia menghina saya, ia memukul saya). Maka yakin-lah kebencian akan dengan mudah berakhir.”(Dhammapada, Bab I: 4).

Dalam ayat yang lain Guru Budha mengatakan:
“Meskipun seseorang telah mengalahkan jutaan orang dalam pertempuran, namun dia yang dapat menundukan dirinya sendiri sesungguhnya adalah seorang penakluk utama. Sesungguhnya seseorang yang telah menundukkan dirinya sendiri adalah lebih baik daripada yang telah menundukkan orang lain. Bagi orang yang menguasai dirinya sendiri, yang selalu hidup terkendali”(Dhammapada, Bab VIII : 103-104)

Ayat ini mempunyai asbab al-wurud (sejarah kemunculan) yang menarik. Ayat ini terkait dengan seorang kisah perempuan bernama Kundalakesi yang tersohor karena memiliki kesaktian luar biasa. Dengan kesaktiannya ia mampu mengalahkan dan memperoleh kemenangan disetiap kali pertempuran termasuk dengan suaminya. Kondisi ini ini kemudian diketahui oleg Guru Buddha, ia pun berkata sebagaimana ayat di atas.

Dari ayat dan kejadian di atas kita dapat memetik pelajaran hidup bahwa terkadang kita dengan mudah membuat orang lain hancur, akan tetapi terkadang pula kita tak bisa membuat diri kita menang melawan hawa nafsu jahat kita. Itulah terkadang yang terjadi pada manusia. Maka sesuai ayat di atas, bagi siapa yang bisa menaklukan nafsu angkara murka dirinya, dialah manusia yang paling utama. Karena barang siapa yang dapat menundukan perasaan dirinya, dia-lah manusia yang lebih baik dan akan hidup terkendali. Dan jika hal ini sudah terpatri dalam setiap pribadi manusia, maka yakinlah perdamaian akan dengan cepat terwujud di negeri kita. Hal ini sesuai dengan ungkapan Sang Guru Budha dalam kitab Dhammapada, Bab I: 5 :
“Kebencian tidak akan pernah berakhir jika dibalas dengan rasa kebencian. Kebencian hanya akan dapat diakhiri dengan tidak membenci (atau dengan cinta kasih). Inilah hukum yang berlaku sejak dahulu kala.”
Dalam kitab yang lain Sang Guru Budha menambahkan;
“Kedamaian sejati muncul di dalam diri manusia ketika pikiran terbebas dari kotoran batin; objek eksternal tidak memberikan kedamaian.” (Tathagata: 39)

Dari secuil ayat-ayat perdamaian yang terdapat dalam kitab Buddha di atas, sudah cukup-lah bagi untuk berkata bahwa “mewujudkan kehidupan yang damai baik dalam beragama atau hidup bermasyarakat adalah harga mati yang tak bisa ditawar-tawar”. Bukankah Guru Budha selalu mengatakan agar kita selalu berada pada apa yang disebut dengan “living well, dying well” (hiduplah dengan baik dan kelak kita diharapkan akan mati dengan baik pula).

Itulah secuail pembacaan hikmah dari kitab-kitab suci agama Buddha yang bisa disarikan dari seorang muslim yang awam demi pesan kerukunan hidup beragama dalam momen perayaan hari besar waisak bagi agama Buddha ini. Sebelum penulis mengakhiri renungan ini alangkah indahnya jika mengutip kata-kata indah dari Y.M. Dalai lama seorang tokoh spiritual Tibet tertinggi :
“May I become at all times, both now and forever
A Protector for those without protection
A guide for those who have lost their way
A ship for those with oceans to cross
A bridge for those with rivers to cross
A sanctuary for those in danger
A lamp for those without light
A place of refuge for those who lack shelter
And a servant to all in need.” [ ]

lupa data terkait tentang pemuatan

Tidak ada komentar: