Translate

Minggu, 25 Oktober 2009

** Pluralisme

Me-realitas-kan Pluralisme; Belajar Dari Mohamed Fathi Osman




Judul : Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan; Pandangan Alqur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban
Judul Asli : The Childern of Adam; An Islamic Perspective on Pluralism
Penulis : Mohamed Fathi Osman
Penerbit Paramadina, Jakarta
Terbit : Cetakan I, November 2006
Tebal: ivix + 134 Halaman


“Aku lebih berhak atas Isa putra Maryam di dunia dan akhirat.
Para Nabi adalah satu ayah dari ibu yang berbeda-beda ”
(HR: Bukhari)

Pernyataan Nabi di atas jika di renungkan nampaknya cukup bagi kita—meskipun tanpa melongok teks-teks lain—untuk menyadarkan rasa keangkuhan yang selalu menyelimuti benak dan alam pikiran yang selama ini menganggap yang beda—baik itu dalam masalah keyakinan, pendapat atau hal lainnya –sebagai yang salah, sesat. Tapi kenapa, seakan-akan kita tak percaya terhadap ucapan suci Tuhan sendiri atau Nabi-Nya yang selalu mengajarkan akan pentingnya hidup rukun, damai tanpa ada permusuhan. Mungkinkah kita termasuk dalam katagori orang munafik, me-wirid-kan sabda tuhan, akan tetapi mengabaikan pesannya?.

Konflik-konflik yang muncul dtengarai penyebabnya adalah faktor agama, agama dijadikan sebagai “kambing hitam” yang memunculkan berbagai macam konflik, sehingga tidak salah jika seorang tokoh beraliran sosialis yakni Karl Mark mengatakan bahwa “religion is the opium of the people” (agama adalah candu masyarakat) artinya bahwa agamalah yang selalu membuat terlena dan memunculkan permasalahan di masyarakat. Dari klaim di atas muncul pertanyaan: betulkah semua itu (konflik) terjadi disebabkan oleh agama? Kalau memang betul setiap agama membawa pesan-pesan perdamaian lalu siapa yang salah, agama atau penganut agama sendiri?

Kalau agama yang dijadikan sebagai penyebab munculnya konflik—rasanya tak mungkin—masa Tuhan sebagai sosok yang kita sembah dan dimintai petunjuknya mencintai kerusakan. Lantas, kalau begitu mungkin penganutnya, yang sok tau, sok benar, sok merasa penyambung “lidah” Tuhan sehingga dengan seenaknya mengumbar kata-kata tanpa pertanggung jawaban. Perang suci-lah, jihad-lah, dan tetek bengek lainnya.

Menarik merenungkan ungkapan Charles Kimball, dalam bukunya “Kala Agama Jadi Bencana”. Ia menyebutkan setidaknya ada lima hal atau tanda yang bisa membuat agama menjadi busuk dan korup (rusak) ditangan penganutnya.

Pertama, bila suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya. Bila hal ini terjadi, agama tersebut akan membuat apa saja untuk membenarkan dan mendukung klaim kebenarannya.

Kedua, ketaatan buta kepada pemimpin dan keagamaan mereka. Ketiga, adalah bahwa agama mulai gandrung merindukan zaman ideal, lalu bertekad merealisasikan zaman tersebut ke dalam zaman sekarang. Memang agama pada hakikatnya juga merupakan semacam harapan bahwa di masa depan para pemeluknya akan memperoleh dan mengalami sesuatu yang ideal. Zaman ideal itu menurut Kimball adalah berlawanan dengan zaman sekarang, karena pemeluk agama sekarang hidup penuh dosa-dosa, kesombongan, khayalan, kelalaian dan kesia-siaan.

Keempat, apabila agama di tangan penganutnya membenarkan dan membiarkan terjadinya "tujuan yang membenarkan berbagai cara". Kelima, agama dengan mudah menjadi korup karena menjadikan komponen religius--sebenarnya hanyalah sarana--menjadi tujuan. Penemuan Kimball bisa dibenarkan karena itulah yang terjadi akhir-akhir ini terutama dinegara kita—Indonesia.

Diakui atau tidak, fenomena yang terjadi akhir-akhir ini adalah banyak muncul pertikaian baik itu dilingkungan intern atau ekstern agama. Hal tersebut bisa dilihat dengan berbagai lahirnya aliran-aliran, faham-faham yang terkadang memunculkan konflik yang berkepanjangan, seperti misalnya perpecahan yang berkaitan tentang theologi ditubuh agama Islam, misalnya; antara Syi’ah dan Sunni, penyesatan Ahmadiyah, atau berbagai konflik lainnya seperti isu SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) yang akhir-akhir ini terjadi ditanah air kita.

Berbagai cara dan solusi telah ditawarkan untuk meredam konflik itu; ada yang melalui tulisan—baik buku atau tuisan ringkas dimedia—, dialog agama, seminar, dan cara lainnya.

Cak Nur dan Fathi Osman berbicara pluralisme
Diantara solusi yang ditawarkan adalah pentingnya paham pluralisme. Wacana tentang pluralisme kian terus bergulir di Indonesia, dan wacana ini kerapkali dikaitkan dengan kerukunan antar-umat beragama. Berbagai macam tulisan telah hadir baik itu yang menerima maupun yang menolaknya. Diantara mereka yang menerima dan ikut serta mengkampanyekan paham ini adalah Cak Nur, dan Mohamed Fathi Osman (Guru Besar pada Center for Muslim-Christian Understanding, Georgetown University, Washington DC) dalam bukunya “The Childern of Adam; An Islamic Perspective on Pluralism” yang hadir dihadapan kita ini.

Menarik untuk membincangkan gagasan pluralisme kedua tokoh ini, mengingat, kedua tokoh ini sangat intens mengkampanyekan pentingnya pluralisme sebagai langkah solusi atas berbagai konflik yang muncul.

Gagasan pluralisme Cak Nur yang dikenal sebagai “Bapak Bangsa” sering disebut oleh kalangan penganut filsafat parenial sebagai “Kesatuan transenden Agama-agama”. Semenjak kehadirannya, gagasan Cak Nur ini telah menjadi isu nasional dan telah memicu fatwa MUI untuk “mengharamkan” pemikiran pluralisme. Fatwa itu memang mengherankan, padahal—yang dimaksud Cak Nur— sebenarnya dasar teologis pandangan kesatuan dan kesamaan agama-agama itu ada pada tingkat transenden (esoteric atau hakikat), bukan pada tingkat imanen (syari’at).

Akan tetapi “nasi sudah menjadi bubur” paham pluralisme sudah kadung diharamkan, sehingga kesan yang muncul di masyarakat, pluralisme dianggap sebagai paham yang mencampuradukan agama-agama. Dan hal ini, bagi sebagian orang dapar merusak kemurnian agama tersebut.

Kondisi ini bagi Cak Nur sangat disayangkan, karena menurutnya, jika saja bangsa Indonesia mau memahami pluralisme dengan baik, dan menanamkan dalam kesadaran kaum Muslimin yang merupakan mayoritas penghuni bangsa ini, maka akan banyak segi manfaatnya yang dapat diambil dalam uasaha transformasi sosialnya dalam mewujudkan demokrasi, keadilan. Cak Nur mengatakan;

“Pluralisme tidak dapat hanya dipahami dengan mengatakan bahwa masyarakat kita adalah majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (the keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam kitab suci bahkan disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia” sebagaimana sabda Allah dalam (QS: 2: 251)”.
Hal senada pun diungkapkan Fathi Osman dalam buku ini, ia mengatakan tentang pluralisme “sebagai bentuk kelembagaan dimana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan, maknanya lebih dari sekedar toleransi moral atau koeksistensi pasif. Toleransi adalah persoalan kebiasaan dan perasaan pribadi, sementara koeksistensi adalah semata-mata penerimaan terhadap pihak lain, yang tidak melampau ketiadaan konflik. Pluralisme, di satu sisi, mensyaratkan ukuran-ukuran kelembagaan dengan legal yang melindungi dan mensyahkan kesetaraan dan mngembangkan rasa persaudaraan di antara manusia sebagai pribadi atau kelompok, baik ukuran-ukuran itu bersifat bawaan ataupun perolehan. Begitu pula, pluralisme menuntut suatu pendekatan yang serius terhadap memahami pihak lain dan kerjasama yang membangun untuk kebaikan semua. Semua manusia seharusnya menikmati hak-hak dan kesempatan-kesempatan yang sama, dan seharusnya memenuhi kewajiban-kewajiban yang sama sebagai warga negara dan warga dunia. Setiap kelompok seharusnya memiliki hak untuk berhimpun dan berkembang, memelihara identitas dan kepentingannya, dan menikmati kesetaraan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam negara dan dunia Internasional. (h. 2-3).
Dari ungkapan di atas, jelas sekali antara Cak Nur dan Fathi Osman sama-sama menegaskan bahwa pluralisme adalah bagian penting dari peradaban yang secara teologi didasarkan pada konsep kesamaan (common platform atau kalimatun sawa’) agama-agama.
Hal menarik—yang dapat dibaca—dari buku ini adalah sajian Fathi Osman tentang masyarakat Islam tempo dulu yang justru menerima dan mempraktekan prilaku pluralis bukan saja terhadap mereka yang berpaham beda, akan tetapi, kepada mereka yang berkeyakinan tak sama seperti kepada masyarakat Yahudi, Nashrani, dan kepercayaan-kepercayaan lainnya. Ia menyebutkan;
“Non-muslim di wilayah muslim menjalankan profesinya dalam kegiatan ekonomi mereka dengan bebas. Mereka ada yang menjadi penukar uang, pengusaha, tuan tanah dan tabib. Sebagian penukar uang dan para penghubung di Syiria adalah orang Yahudi, sementara kebanyakan tabib dan juru tulis adalah orang-orang Yahudi. Yahudi-yahudi lain mencari nafkah hidup sebagai tukang jahit, tukang celup, dan perajin lainnya. Pemimpin Nashrani di Bagdad adalah tabib Khalifah, dan masih banyak Yahudi yang mendapatkan posisi di istana Khalifah. Bahkan Khalifah Fatimiah al-Aziz mempunyai seorang menteri Nashrani dan menunjuk seorang Yahudi sebagai Gubernur di Siria”. (h. 63-64).
Dalam lapangan dunia pengetahuan dan peradaban pun dapat kita contoh bagaimana umat Islam, Yahudi, Nashrani saling hidup damai. Fathi Osman menceritakan;
“Para Khalifah mengirimkan utusan khusus ke Konstansinopel untuk mengkopi manuskrip-manuskrip Yunani yang penting untuk tujuan penerjemahan mereka ke dalam bahasa Arab. Berbagai kasus tercatat di mana para duta besar Khalifah membuat ketentuan-ketentuan dalam risalah-risalah damai dengan Byzantium untuk menyerahkan manuskrip-manuskrip Yunani tertentu kepada bangsa Arab. Dapat ditegaskan bahwa akademi al-Makmun di Baghdad adalah kebangkitan kembali yang nyata yang pertama dari atmosfer yang dipelajari di museum Alexandria yang telah lama hancur. Selama kira-kira lima abad, pemikiran bangsa Arab mencapai ketinggian yang di luar dugaan dan kita dapat melihat dua puncak budaya Islam, di wilayah Timur di Baghdad dan wilayah Barat di Andalusia memiliki pengaruh pada kemajuan dunia di berbagai departemen studi-studi seperti ilmu-ilmu pasti, astronomi, kedokteran, seni, dan lain sebagainya”. (h. 69-70)
Penemuan Fathi Osman tersebut diamini oleh Bernard Lewis yang pernah menulis bagaimana sejarah kerjasama yang sangat beradab yang dilakukan antara kaum muslimin dan orang-orang Yahudi dan Nashrani di Andalusia (Spayol). Ia menambahkan bahwa tidak ada kerjasama yang harmonis, di dunia Barat pada waktu itu, juga di dunia Islam pada masa kemudian—ketika nilai-nilai pluralisme mulai memudar dalam pandangan muslim paska peradaban klasik. (h. xv).
Pluralisme sebagai agama baru ?
Akan tetapi, sangat disayangkan, gagasan yang begitu mulya dan mendapat justifikasi teologis agama-agama harus terabaikan, bahkan yang lebih ironis lagi, gagasan tersebut harus mendapatkan kritikan dan perlawanan. Mereka menganggap pluralisme adalah “racun” agama kalau tidak dikatakan penyakit bagi agama karena akan merusak sendi-sendi fundamental dari agama.
Diantara mereka yang melakukan kritik-an terhadap gagasan pluralisme adalah Anis Malik Taha, yang menulis Disertasi “Ittijaahat al-Ta'addudiyyah al-Diniyyah wa al-Mauqif al-Islamiy minha”. Dalam bukunya tersebut, Ia mengkritik kaum pluralis yang katanya menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tapi justru mereka sendiri tidak toleran karena menafikan kebenaran ekslusif sebuah agama. Mereka menafikan klaim "paling benar sendiri" dalam suatu agama tertentu, tapi justru pada kenyataannya kelompok pluralis-lah yang mengklaim dirinya paling benar sendiri dalam membuat dan memahami statement keagamaan (religious statement). Ia mengibaratkan kaum pluralis layaknya seperti wasit dalam pertandingan sepak bola, tapi dalam waktu yang sama wasit yang seharusnya memimpin pertandingan malah ikut main. Dan ini kan repot jadinya. Mereka mestinya tahu aturan dan batasan-batasan main yang benar, kalau memilih jadi wasit, jadilah wasit yang adil, dan kalau memilih jadi pemain, ya jadilah pemain yang benar.
Atas dasar itu, maka Anis menyimpulkan bahwa Pluralisme agama adalah agama baru, dimana sebagai agama dia punya tuhan sendiri, nabi, kitab suci dan ritual keagamaan sendiri. Sebagaimana humanisme juga merupakan agama, dan tuhannya adalah nilai-nilai kemanusiaan, seperti yang dikatakan August Comte. Dan dalam hal ini John Dewey (seorang filosof Amerika) mengatakan demokrasi adalah agama dan tuhannya adalah nilai-nilai demokrasi.
Terlepas dari kritikan, fatwa haram MUI dan bantahan di atas, bagaimanapun, gagasan pluralisme harus tetap disuarakan, mengingat gagasan ini tidak berangkat dari ruang hampa atau kosong. Gagasan ini tidak hanya realistis atas kondisi kemajemukan di dunia ini, akan tetapi juga, gagasan pluralisme mempunyai nilai-nilai justifikasi dari kitab suci. Tidak ada solusi yang dicapai dengan kekerasan.
Sebagai kata akhir, dengan hadirnya buku ini sebagai cenderamata dari Milad ke-20 Paramadina menarik untuk di baca. Disamping itu, di usianya yang ke 20 tahun, diharapkan Paramdina sebagai “motor” penggerak, penyuara gagasan-gagasan yang humanis, inklusif, pluralis, dan pencerdas generasi bangsa tak bosan-bosannya untuk terus menyuarakan gagasan yang begitu mulya itu. Dengan begitu, dihrapkan Islam yang kini sedang terpuruk dengan berbagai kecaman negatif seperti; redikal, ekslusif, garis keras, teroris, akan terobati. Semoga !,. Wallahu a’lam.




K. Muhammad Hakiki
Santri Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta







Tidak ada komentar: