Translate

Jumat, 23 Oktober 2009

** Pemikiran Liberal Ulil Abshar-Abdallah

Memahami Sisi Liberal Pemikiran Ulil Abshar-Abdalla

Judul Buku: Menjadi Muslim Liberal
Penulis: Ulil Abshar-Abdalla
Editor: Abd Moqsith Ghazali
Penerbit : JIL bekerja sama dengan Freedom Institute
dan Nalar, Jakarta, 2006
Tebal : xvi + 201 halaman

Nama Ulil—lengkapnya Ulil Abshar-Abdalla—adalah nama seorang pemikir muda yang lahir dari tubuh organisasi NU. Kehadirannya di ranah pemikiran Islam pernah menggemparkan bumi Indonesia. Tepatnya tanggal 18 November 2002 ia menghadirkan sebuah tulisan di Harian Kompas dengan tema “Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam”. Kehadiran tulisan pendek itu menuai banyak perdebatan, bukan hanya di media Harian Kompas, akan tetapi dimedia-media cetak dan elektronik lainnya, Ulil dianggap telah melecehkan Islam dan sebagai hukumannya ia di-murtad-kan bahkan di-kafir-kan seperti yang dialami oleh pemikir liberal kaliber papan atas seumpama Ibn Rusyd (Averros), Nasr Hamid Abu Zaid, Muhammad Syahrur, Toha Husain dan sederet pemikir liberal lainnya. Yang lebih teragis lagi adalah munculnya fatwa dari sebagian ulama (baca: ulama Bandung) yang menghalalkan darahnya untuk ditumpahkan.
Kehadiran buku “Menjadi Muslim Liberal” ini adalah buah tangan ke dua setelah sebelumnya ia meluncurkan buku “Membakar Rumah Tuhan: Pergulatan Agama Privat dan Publik” yang kurang mendapat sambutan hangat dari kalangan masyarakat luas. Buku kedua ini sama dengan buku pertamanya adalah sebuah kumpulan tulisan yang pernah dipublikasikannya di berbagai media cetak seperti Kompas, Republika, Duta masyarakat, dan mailing list Islam Liberal http://www.islamlib.com/.

“Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam” sebuah tanggapan
Ketika saya membaca dan memahami tema dan isi artikel ini, saya teringat pada sebuah artikel yang pernah ditulis oleh Nurchalish Madjid (Cak Nur) yang ia presentasikan di Taman Ismail Marjuki. Ketika saya membandingkan antara tulisan Cak Nur dengan Ulil, maka saya berkesimpulan bahwa tulisan Ulil tentang “Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam”—juga dimuat dalam buku ini—adalah tulisan biasa yang tidak selayaknya mendapatkan respon yang heboh seperti apa yang terjadi, bahkan tulisan tersebut merupakan artikel “terburuk” yang pernah ia hasilkan, mengapa? Karena tulisan tersebut adalah sebuah daur ulang dari gagasan yang pernah dilontarkan oleh Cak Nur pada tanggal 3 Januari 1970, di TIM (Taman Ismail Marzuki) dengan tema “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Yang menarik dan bagus bagi saya diantara sekian banyak tulisan-tulisan Ulil yang pernah dihasilkan adalah artikelnya yang panjang dengan tema “Menghindari Bibliolatri: Tentang Pentingnya Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”. Artikel yang pernah dipresentasikan pada seminar di Yayasan Wakaf Paramadina ini menyoroti tentang perlunya pembacaan pada al-Qur’an dengan menghindari sikap “bibliolatri” atau pembacaan yang hanya berhenti pada teksnya saja (tekstual).
Justru yang menurut saya layak untuk menuai kontroversi bahkan penyandangan klaim murtad, kafir, penyesat dan serupa lainnya, adalah bukunya Intelektual muda, juga berasal dari NU yang cukup produktif ini yakni Nur Khalik Ridwan yang menulis sebuah buku “Detik-detik Pembongkaran Agama: Mempopulerkan Agama Kebajikan, Menggagas Pluralisme Pembebasan” yang diterbitkan oleh Ar-Ruzz, Yogyakarta. Di dalam buku ini kita akan menemukan bagaimana keberanian Kang Kelik—itu sapaan akrab beliau—dalam melakukan “revolusi” atas “kemapanan tafsir” teks agama yang dicurigainya tidak berpihak pada wong cilik, bahkan tidak sensitif pluralisme, dan cenderung melindungi para pengibar kaum Islam borjuis dalam versinya, atau Islam Modern dalam versinya Daliar Noer. Tapi, mengapa respon kalangan elite agama berbeda atas dua tulisan Intelektual Muda tersebut ?. Mungkin salah satu diantaranya adalah karena faktor populeritas, yang tentunya Ulil lebih populer dari Kang Kelik.
Posisi Ulil Abshar Abdalla
Pemikir muda yang berasal dari kaum “sarungan”—dan sekaligus menantu dari seorang ulama (baca: Kiai) sekaligus budayawan: Mustafa Bisri—ini yang dijuluki oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai tokoh yang bertindak seperti Ibn Rusyd atau menurut Gunawan Muhammad sebagai Syaikh Siti Jenar, kini sedang berguru di Boston, Amerika Serikat.
Kehadiran Ulil di jagad ranah pemikiran Islam memang cukup mengagetkan beberapa kalangan. Mengapa? Karena Ulil hadir bukan sebagai Intelektual yang sudah mendapatkan sederet gelar baik dalam atau luatr negeri. Akan tetapi, ia hadir dari kalangan yang pernah dicemooh sebagai kalangan yang kolot, kampungan, tradisional dan sederet sebutan lainnya, yakni mereka yang hidup dilingkungan pesantren salaf yang ada di kampung.
Asal muasal Ulil dari kalangan pesantren kampung dengan tradisi pembacaan “kitab kuning” yang kuat justru merupakan nilai lebih dari seorang Ulil. Gagasan-gagasan Liberal yang dilontarkannya justru kerapkali dibumbui dus mendapatkan justifikasi yang kuat dalam tradisi klasik. Lihat saja dalam sebua tema tulisan dalam buku ini “On Being Muslim”. Ulil mengadopsi kaidah-kaidah ushul fikih, qawaid fiqhiyah, balaghah, mantiq (logika) yang pernah ia pelajarinya di pesantren dalam tangka mendukung gagasan-gasan yang ditebarnya. (hlm. 43).
Meskipun tema yang ditampilkan dalam buku ini terkesan “gado-gado”, akan tetapi, jika kita lihat lebih jauh, maka akan tampak benang merah yang bisa di petik yakni konsistensi pemikirannya untuk menepik jenis-jenis pemikiran atau tafsir keagamaan yang hegemonik, tidak pluralis, anti demokrasi, ketidakadilan, bahkan diskriminatif. Lihat saja dalam salah satu tema yang ada dalam buku ini “Fatwa MUI dan Konservatisme Agama”. Dalam artikel yang pernah diterbitkan di Media Indonesia ini, ia melancarkan kritikannya pada MUI yang menurutnya lembaga keagamaan ini telah memonopoli dan menghegemonik penafsiran atas Islam. Menurutnya Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI yang menyatakan bahwa pluralisme, liberalisme, sekulerisme, mengucapkan selamat natal, bunga bank adalah terlarang telah ditentang oleh Ulil yang menurutnya MUI telah memonumenkan Islam dan memfinalkan penafsiran. (hlm: 159-162).
Yang menarik dari artikel yang ia tawarkan dalam buku ini adalah dengan tema “Mengapa Kita Perlu Meniru Barat”. Tema ini memang sangat aneh terdengar, mengapa? Karena, disaat kaum muslimin melakukan kampanye anti Barat—dalam hal ini bisa disebut sebagai anti Amerika dan sekutunya—justru Ulil menawarkan dan berpendapat lain dengan mengatakan bahwa umat Islam sekarang ini haruslah meniru Barat dalam hal kemajuannya. Argumen yang disajikan oleh Ulil adalah belajar dari pengalaman bangsa Jepang. Bangsa Jepang pada abad ke-18 dulu telah dihadapkan pada situsi yang sangat sulit: apakah harus menerima dan meniru Barat atau tetap berpegang pada warisan Tokugawe yang menutup diri (ekslusif) secara total dari pengaruh asing. Ulil—dengan mengutip ungkapan Hashim Saleh dalam artikelnya yang dimuat di harian Al-Hayat—mengatakan bahwa Jepang menempuh jalur “nekad” yang ternyata benar; “tirulah Barat”, karena di sana terdapat hal-hal yang menjadi rahasia kemajuan umat manusia.
Menurut Ulil hendaknya umat Islam sekarang ini meniru apa yang pernah di alamai oleh bangsa Jepang yang meniru Barat. Akan tetapi, peniruan terhadap Barat menurutnya harus disertai dengan kritis tidak melakukan westernisasi. Dia menambahkan, menurutnya umat Islam sekarang ini haruslah melakukan rasionalisasi atas dua bidang; pertama, rasionalisasi atas pengelolaan kehidupan sosial-politik. Wujudnya adalah sistem demokrasi dengan seluruh kerangka kelembagaan dan kebudayaan yang ada di dalamnya; partai yang kuat, parlemen yang berwibawa, lembaga peradilan yang independen, pers bebas, masyarakat sipil yang “vibrant”, serta kultur sipil yang mapan. Kedua, rasionalisasi atas pengelolaan alam. Wujudnya adalah tekhnologi. Dua wujud ini menurutnya adalah sebuah kebutuhan mendesak yang harus diimplementasikan jika bangsa Islam ingin meraih kemajuan seperti Barat. (hlm. 177-180).
Kehadiran buku ini di ruang publik meminjam ungkapan Abd Moqsith Ghazali bisa dianggap sebagai penjelasan sementara Ulil atas kesalahpahaman berbagai pihak menyangkut pemikiran-pemikiran sang pemikir muda yang liberal ini. Memang sebaiknya Ulil membuat sebuah buku yang utuh bukan berbentuk bunga rampai, sehingga dengan demikian akan lebih memudahkan para “pemirsa” ilmu dalam membaca alur pemikiran Ulil yang liberal itu terutama dari segi metodologi yang ia gunakan.
Sekali lagi—dengan sederet kekurangan—diharapkan buku ini dapat mewakili “pecikan-percikap” pemikiran Ulil Abshar-Abdala yang menjunjung tinggi kemerdekaan berfikir, karena menurutnya kemerdekaan berfikir adalah sebuah keniscayaan dalam Islam. Akan tetapi meskipun demikian, ia masih percaya akan adanya batas-batas kemerdekaan itu, karena bagaimanapun tidak ada yang sempurna kecuali yang Maha Agung yakni Tuhan.
Sebagai kata akhir, sajian letupan pemikiran Ulil yang disuguhkan dalam buku ini diuraikan dengan bahasa yang mudah di pahami, menarik untuk di baca dan tentunya menghentakan pikiran kita. Hal tersebut memang salah satu kepiawaian Ulil di dalam menentukan diksi kalimat. Selamat menikmati!.

Peresensi : Muhammad Hakiki.

Alumni Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan, Mahasiswa Pascasarjana Studi Filsafat Islam, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta


Tulisan ini pernah di muat dalam kolom resensi surat kabar Radar Lampung, Juli, 2006

Tidak ada komentar: