Translate

Sabtu, 24 Oktober 2009

** Memburu Titel Haji Mabrur

Memburu “Titel” Haji Mabrur


Oleh : K. Muhammad Hakiki, MA
Mahasiswa S3 UIN Bandung

Genderang perjalanan upacara suci itu telah di buka. Jutaan kaum muslimin diseluruh pelosok bumi—termasuk Indonesia—meninggalkan tanah kelahirannya untuk hijrah ke ketempat dilahirkannya Rasululllah Muhammad Saw. Makkah al-Mukarramah, sebuah tempat yang diyakini memiliki “keramat” oleh umat Islam. Ya, keramat karena dapat menjadikan pelakunya secara singkat mengubah status sosial menjadi lebih baik dari sebelumya dengan sebutan Pak Haji atau Bu Haji.

“Kekeramatan” tempat itu (baca: Makkah) nampaknya tak pernah pudar, bahkan semakin “bersinar”. Buktinya, semakin lama bukannya menyusut tapi semakin “menyedot” kaum muslim diseluruh dunia untuk berkunjung ketempat itu. Kaum muslimin Indonesia nampaknya selalu menjadi kontestan tersubur; lebih dari duaratus ribu secara antri memenuhi panggilan sang Khaliq. Kondisi ini terkadang menjadi ladang proyek bisnis tersubur yang bisa menjamin kemapanan hidup.

Ada sebuah mitos –silahkan percaya atau tidak—yang berkembang di masyarakat dan ini terkadang dibenarkan oleh para pelaku ibadah haji. Katanya; ditempat suci itu segala tingkah laku buruk yang pernah dilakukan di tanah kelahirannya; seperti berbohong, mencuri, korupsi, atau perbuatan yang sifatnya menyakiti dan merugikan orang lain akan dibalas oleh Allah dengan balasan yang setimpal”. Tapi, kenapa ritual ibadah haji selalu membuat daya tarik mereka-mereka yang baik bahkan tak sedikit mereka yang kurang baik merasa perlu untuk berhaji. Mereka—yang tak baik—sepertinya tak takut terhadap mitos tersebut.

Lantas pertanyaannya adalah apa yang mereka cari? Bukankah ibadah haji adalah ibadah termahal dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya seperti sholat, puasa dan lainnya. Bukankah ibadah ini pun membutuhkan kesiapan kesehatan jasmani dan rohani yang begitu kuat. Tapi, kenapa masyarakat Indonesia masih berlomba dan berminat antri menunggu panggilan, meskipun dengan penentuan waktu yang tak jelas. Fenomena ini memang unik, tapi inilah mungkin nilai “kekeramatan” dari tempat suci yang bernama Makkah yang di dalamnya terdapat pusat sujudnya kaum muslimin di dunia, bernama Ka’bah.

Haji Mabrur sebagai impian

Kalau kita bertanya pada mereka yang sekarang ini sedang atau hendak berangkat ketanah suci perihal apa tujuan yang mereka cari dalam beribadah haji. Pasti semua jawabannya adalah menjadi haji mabrur bukan haji mardud, sebagaimana ucapan Rasulullah saw: “…tidak ada balasan bagi haji mabrur, kecuali surga.” Atau dengan kata lain surga-lah tempat bernaungnya orang-orang ber-“titel “haji mabrur. Lantas, bagaimana cara memperoleh titel haji mabrur tersebut yang balasannya surga? Apakah ibadah haji yang sudah kita lakukan masuk dalam katagori haji mabrur?.

Untuk mengetahui haji mabrur dan apa kriterianya. Berikut akan diuraikan tinjauan dari segi definisinya. Kata “mabrur” yang berasal dari bahasa Arab jika dilihat dari segi semantisnya mempunyai arti “menjadi baik” atau “mendapatkan kebaikan.” Dilihat dari akar katanya, “mabrur” berasal dari kata “barra” yang berarti baik dan patuh. Jadi istilah “haji mabrur” adalah pelaku ibadah haji yang menjadi baik atau mendapatkan kebaikan.
Dari definisi ini jelas bahwa haji mabrur bukanlah hanya semata-mata kehendak Tuhan, akan tetapi juga tergantung pada diri para pelaku ibadah haji itu sendiri. Apakah ia berencana mewujudkan cita-citanya bertitel haji mabrur atau sebaliknya, title haji mardud.

Nilai ke-mabrur-an ibadah haji seseorang bukanlah ditentukan oleh seberapa sering ia beribadah haji, akan tetapi, ke-mabrur-an ibadah haji ditentukan oleh seberapa besar ia menghayati dan me-ejawantah-kan dalam bentuk amaliayah makna-makna dibalik ritus ibadah haji dalam kehidupan nyata pasca ber-haji. Jika semakin baik amaliyahnya pasca berhaji maka ibadah haji-nya bisa dimasukkan ke dalam katagori haji mabrur. Begitu sebaliknya, jika bentuk amaliyahnya sebelum dan sesudah ber-haji tidak ada peningkatan atau bahkan semakin menurun kualitasnya, maka yakinlah ibadah haji yang selama ini dilakukan sesungguhya tertolak dan haji-nya bertitel haji mardud bukan haji mabrur yang secara otomatis jaminan surga pun akan gugur.

Untuk itulah ibadah haji yang dilakukan oleh kita hendaklah tidak hanya sebatas sebagai pemenuhan syari’at semata, akan tetap, selayaknya harus dijadikan sebagai sebuah kebutuhan dalam rangka mendapatkan pencerahan hati untuk meningkatkan nilai ketaqwaan kita di “mata” Allah swt. Salah satu cara agar nilai ketaqwaan kita semakin bertambah ketika kita ber-haji adalah dengan memahami secara mendalah filsafat dibalik ritus-ritus ibadah haji seperti; makna symbol pakaian ihram yang berwarna putu tanpa jahitan, thawaf, Sa’i, Wukuf, Kurban, dan ritus-ritus lainnya.

Disamping ritus-ritus ibadah haji yang harus kita cari maknanya, juga tak lupa berbagai monument-monument penting yang ada di Makkah dan Madinah seperti; sejarah Ka’bah, Hajar aswad, Gua hira, Masjid Qiblatain dan monument-monument lainnya. Karena bagaimanapun, monument tersebut sarat akan makna dan nilai sejarah yang tinggi. Dan hal ini lagi-lagi harus di pahami oleh kaum muslimin terutama bagi mereka yang sekarang sedang ber-haji.

Imam Khomeini dalam salah satu pidatonya berkata,: “Salah satu tugas penting kaum muslimin adalah memahami hakikat haji ini. Kita seharusnya bertanya-tanya, mengapa kita harus melakukan ibadah haji yang pelaksanaannya menelan biaya sangat besar ini? Secara sekilas saja, kita bisa melihat bahwa haji adalah sebuah pertunjukkan yang digelar oleh kaum muslimin dalam rangka memamerkan kekuatan spiritual dan bahkan kekuatan materi yang dimiliki oleh kaum muslimin. Akan tetapi, pemahaman sekilas ini saja jelas tidak cukup untuk menggali rahasia keagungan yang tersembunyi dalam ibadah haji ini. Para ulama dan cendekiawan muslim harus berupaya keras untuk memahami, dan memahamkannya kepada orang lain, tentang mutiara hidayah, hikmah, dan kebebasan yang terkandung dalam ibadah ini”.

Seperti makna dibalik pakaian ihram yang serba putih yang tentunya banyak sekali kandungan hikmahnya yang bisa diambil pelajaran bagi kita.

Pertama, ibadah haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram. Tak dapat disangkal bahwa pakaian menurut kenyataannya dan juga menurut al-qur'an berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau sekelompok dengan lainnya. Pembedaan tersebut dapat mengantar kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis pada pemakainya. Di Miqat Makany di tempat dimana ritual ibadah haji dimulai, perbedaan dan pembedaan tersebut harus ditanggalkan. Semua harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan, hingga semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan.

Kedua, dengan dikenakannya pakaian ihram, maka secara otomatis telah dimulainya sejumlah larangan yang harus diindahkan oleh pelaku ibadah haji. Seperti jangan menyakiti binatang, jangan membunuh, jangan menumpahkan darah, jangan mencabut pepohonan. Mengapa? Karena manusia berfungsi memelihara makhluk-makhluk Tuhan itu, dan memberinya kesempatan seluas mungkin mencapai tujuan penciptaannya. Dilarang juga menggunakan wangi-wangian, bercumbu atau kawin, dan berhias supaya setiap haji menyadari bahwa manusia bukan hanya materi semata-mata bukan pula birahi. Hiasan yang dinilai Tuhan adalah hiasan rohani. Dilarang pula menggunting rambut, kuku, supaya masing-masing menyadari jati dirinya dan menghadap pada Tuhan sebagaimana apa adanya.

Semoga dengan perenungan makna dibaling ritus-ritus haji dapat menggugah kesadaran kita dan mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata sehari-hari. Selamat berhaji, semoga mau berencana menjadi haji yang bertitel mabrur. Wallahu a’lam.



Tulisan ini pernah dimuat di kolom Opini Surat Kabar Tribun Jabar, 28 November 2009.

Tidak ada komentar: