Translate

Minggu, 25 Oktober 2009

** Kodifikasi Alqur'an

Telaah Kritis Kodifikasi al-Qur’an

Oleh: K. Muhammad Hakiki
Alumni IAIN Raden Intan; Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Di seluruh dunia tak seorang muslim pun meragukan keaslian kitab suci al-Qur’an yang merupakan verbum dei (kalam Allah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw secara verbatim dengan perantara Malaikat Jibril selama lebih dari dua puluh tahun. Bukti keyakinan itu sampai detik ini jutaan kaum muslimin masih mentadaruskan dan mengkaji kandungan al-Qur’an terutama pada bulan suci Ramadhan ini.
Turunnya al-Qur’an yang memakan waktu cukup lama, membuat al-Qur’an terpisah-pisah. Bukti historisnya adalah dalam ilmu al-Qur’an ada yang dinamakan ayat-ayat Makiyyah (ayat yang diturun di Makkah) dan Madaniyyah (ayat yang turun di Madinah).
Lalu bagaimana proses pengumpulan dari yang terpisah dan tercecer kini menjadi satu kumpulan utuh yang dinamakan Mushaf Utsmani, siapa yang berjasa mengkodifikasikan itu?
Jika kita membaca bagaimana sejarah kodifikasi al-Qur’an, maka kita akan menemukan sahabat Nabi yang bernama Zaid bin Tsabit. Zaid adalah tokoh yang berjasa dalam mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang tercecer. Ia mendapat rekomendasi dari tiga Khalifah yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Afan untuk segera mengumpulkan al-Qur’an dengan pertimbangan banyaknya sahabat Nabi (para penghafal al-Qur’an) yang terbunuh dalam perang Yamamah.
Tulisan ini akan menyoroti diseputar pemilihan Zaid sebagai ketua tim pentadwinan al-Qur’an dengan permasalahan: mengapa Zaid yang terpilih, apakah tidak ada sahabat lain yang mempunyai kemampuan lebih dari Zaid sendiri. Pertanyaan-pertanyaan itu akan menjadi fokus kajian dalam kesempatan ini.
Zaid adalah salah seorang sahabat Nabi dari kaum Anshar dan berasal dari suku Khazraj. Nama lengkapnya adalah Abu Kharijah Zaid bin tsabit bin Dahhak bin Zaid bin Laudan bin Amr bin Abd Manaf bin Ganam bin Malik bin Najjar al-Ansari al-Khazraji. Beliau ditinggalkan oleh ayahnya ketika berusia sebelas tahun. Sejak masa muda, ia diangkat menjadi sekretaris Nabi untuk menulis wahyu yang turun dan menulis surat-surat kepada orang Yahudi.
Menurut sebuah hadits yang kemudian dijadikan alasan pemilihan Zaid dikemudian hari adalah pertimbangan Abu Bakar memilih Zaid. Dalam hadits itu di jelaskan bahwa ketika Abu Bakar ditanya oleh Zaid perihal alasannya memilih Zaid adalah bahwa ia adalah termasuk orang yang cekatan, relative masih muda, pernah menjadi pencatat wahyu atau sekretaris Rasulullah. Pertimbangan-pertimbangan inilah yang kemudian Abu Bakar dan Umar memilih Zaid untuk menjadi orang yang bertugas mengumpulkan al-Qur’an.
Jika melihat pertimbangan Abu Bakar dalam memilih Zaid di atas, nampaknya faktor-faktor tersebut tidak begitu berperan penting dalam kaitan tentang tugas sebagai pengumpul al-Qur’an. Ada sebenarnya faktor yang justru berpengaruh dan urgen akan tetapi tidak dijelaskan atau mungkin tidak dijadikan alasan oleh Abu Bakar yakni prihal kemampuan Zain dalam menghafal al-Qur’an.
Menurut realita sejarah tidak ada garansi yang diberikan oleh Rasulullah perihal kemampuan Zaid. Berbeda misalnya dengan apa yang terjadi pada Abdullah bin Abbas atau Ali bin Abi Thalib sendiri yang mendapat garansi dari Rasul perihal kemampuannya. Akan tetapi kenapa justru Zaid yang mendapatkan atau dipercayai sebagai pentadwin al-Qur’an?
Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib adalah keponakan Nabi yang masuk Islam pada usia yang relative muda, ia juga termasuk di antara sahabat yang masuk Islam pertama. Menurut riwayat, ia masuk Islam setelah istri Nabi Khadijah, dalam riwayat lain ia orang kedua yang masuk Islam setelah Abu Bakar.
Diceritakan dalam sebuah riwayat bahwa Ali adalah pungumpul pertama al-Qur’an berdasar perintah Nabi sendiri. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Zanjani bahwa suatu ketika Nabi pernah berkata kepada Ali: “Hai Ali, al-Qur’an ada dibelakang tempat tidurku, (tertulis) di atas shuhuf, sutera dan kertas, ambil dan kumpulkanlah, jangan sia-siakan seperti orang Yahudi menyia-nyiakan Taurat.” Disebutkan oleh al-Zanjani bahwa pada waktu itu Ali menuju ke tempat itu dan membungkus bahan-bahan tersebut dengan kain berwarna kuning, kemudian disegel”.
Disamping kepercayaan yag diberikan Rasul di atas, Ali pernah dijuluki oleh Nabi sebagai pintunya ilmu, ia juga pernah dido’akan oleh Nabi: “Semoga Allah meneguhkan lisanmu dan memberikan petunjuk pada hatimu”. Kemudian dalam sebuah cerita yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim bahwa Ali pernah berkata: “Demi Allah, tidaklah turun suatu ayat kecuali aku benar-benar mengetahui sebab apa ia diturunkan. Sungguh, Tuhanku telah menganugrahkan kepadaku hati yang berakal dan lisan yang aktif bertanya”.
Ibn Mas’ud
Ib Mas’ud yang mempunyai nama lengkap ‘Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil bin Habib al-Hadzli ra adalah salah seorang sahabat Nabi yang mempunyai otoritas besar dalam al-Qur’an. Ia juga merupakan salah seorang dari empat besar sahabat yang direkomendasikan oleh Nabi sebagai tempat bertanya tentang al-Qur’an. Otoritas dan populeritasnya dalam kajian al-Qur’an memuncak ketika ia bertugas di Kuffah, dimana mushafnya memiliki pengaruh besar dan luas. Masyarakat Kuffah pada waktu itu memiliki dua versi mushaf al-Qur’an yang disusun oleh Ibn Mas’ud sendiri dan mushaf Utsmani. Bahkan keberadaan mushaf versi Ibn Mas’ud pada waktu itu telah diperbanyak, seperti; mushaf Alqamah ibn Qais, Mushaf al-Rabi’, mushaf Ibn Khutsaim, mushaf al-Aswad dan masih banyak lagi yang lainnya.
Bagi saya Yang menarik dan patut dipertanyakan tentang Ibn Mas’ud adalah berkaitan dengan tidak masuknya ia dalam deretan tim pengumpul al-Qur’an versi kalangan elite pemerintah Khalifah Umar dan Ustman yang diketuai oleh Zaid. Padahal seperti yang dikatakan oleh Ibn Abu Daud penulis kitab Mashahif, Ibn Mas’ud lebih dahulu masuk Islam sebelum Zaid lahir. Dan yang lebih penting adalah keberadaan mushaf Ibn Mas’ud sudah populer ketika mushaf versi Utsmani belum muncul.
Abdullah bin Abbas
Dalam peta perkembangan kajian al-Qur’an, nama Abdullah bin Abbas mempunyai peranan penting dan menduduki posisi yang sangat terkemuka. Hal tersebut terlihat dari figurasi dirinya sebagai “tarjuman al-Qur’an” (penafsir al-Qur’an terbaik), ia juga dijuluki sebagai “al-habr al-Ummah” (intelektual ummat). Yang menarik dari sosok Ibn Abbas ini adalah ia pernah di do’akan oleh Rasulullah: “Ya Allah, anugrahilah dia pemahaman dalam urusan agama dan ajarilah ia takwil).
Bahkan menurut riwayat, Ibn Abbas telah membuat satu kodifikasi atas al-Qur’an yang menurut beberapa ahli mempunyai kualitas yang sama dengan mushaf Ibn Mas’ud, akan tetapi ketenaran akan alimnya dan garansi yang diberikan oleh Rasul ternyata tidak berdampak besar terhadap periode awal pentadwinan teks al-Qur’an.
Nama-nama yang disebutkan di atas di antara sahabat-sahabat Nabi yang masyhur dan mempunyai kualitas lebih atau peling rendah sebanding dengan Zaid sendiri khususnya tentang penguasaan al-Qur’an. Meskipun sebanarnya banyak sahabat-sahabat lain yang juga terkenal bahkan mempunyai kodifikasi musfah sebelum munculnya mushaf Utsmani, diantaranya: Salim ibn Ma’qil (juga mendapatkan rekomendasi dari rasul perihal pencatatan wahyu dan pengajaran al-Qur’an kepada kaum muslimin), Ubai bin Ka’b (sekretaris Nabi ketika ia di Madinah), Abu Musa al-Asy’ari, Ummu Salamah, Ibn Zubayr, Ana ibn Malik, dan sahabt-sahabat lainya.
Alasan penunjukan Zaid kerena ia masih berusia muda, mungkin bias dipahami dari sisi politik. Abu Bakar mungkin memandang bahwa anak muda seperti Zaid bisa diharapkan ketaatan atau kepatuhan terhadap perintah Khalifah, ketimbang dari para pejabat senior yang keras kepala.
Yang lebih menarik lagi adalah bahwa Zaid yang pada masa Khalifah Utsman menduduki jabatan penting adalah pendukug setia Utsman, bahkan ketika Khalifah ketiga ini terbunuh, Zaid tetap dalam posisi pendukung Umaiyah—yang segaris keturunan dengan Utsman—dan menolak bersumpah setia kepada Ali.
Disamping itu semua anggota komisi pentadwinan al-Qur’an yang diketuai oleh Zaid juga orang-orang terdekat penguasa, seperti; Abdullah ibn Zubayr yang mrupakan anak tiri Khalifah Umar, Sa’id ibn al-‘Ash yang merupakan keturunan dari keluarga Umaiyah, ia pun menjadi gubernur Kuffah setelah pemecatan Walid bin Uqbad oleh Khalifah Utsman.
Dari data sejarah di atas, ternyata pertimbangan politik memainkan peran dalam pembentukan komisi pentadwinan al-Qur’an oleh kalangan elite penguasa pada waktu itu.
Hadirnya tulisan ini bukan berarti menggugat atau mempertanyakan kembali mengenai keotentikan al-Qur’an yang sudah lama kita pegang dan kita yakini. Tulisan ini hanya sekedar menyajikan realita sejarah yang tak mungkin kita pungkiri karena bagaimanapun sejarah diseputar kodifikasi al-Quran itu memang pelik, benar-benar terjadi dan harus kita ketahui sebagai sebuah ilmu. Wallahu’alam



Dimuat di Radar Lampung Jum’at 6 Oktober 2006

Tidak ada komentar: