Translate

Jumat, 23 Oktober 2009

** Filosofi di Balik Ritus Haji

Filosofi di Balik Ritus-ritus Haji


Judul : Menjadi Manusia Haji; Pedoman Memahami Makna Sosial dan Filsafat Aksi di Balik Ritus-ritus Haji
Judul Asli : Hajj; Reflections on its Rituals
Penulis : Ali Syari’ati
Penyadur : Muhidin M Dahlan
Penerbit : Mujadalah, Yogyakarta
Terbit : Cetakan III, September 2006
Tebal: 290 halaman


“…tidak ada balasan bagi haji mabrur, kecuali surga.” (HR: Bukhari).

Penggalan hadits di atas nampaknya selalu menjadi magnit jutaan kaum muslimin diseluruh penjuru dunia untuk berebut menjadi kontestan dan ambil bagian dalam drama kolosal besar tahunan. Yang menarik dari drama kolosal ini adalah tidak adanya hierarki peran (pemeran utama atau pemeran pembantu), semua kontestan berkedudukan sama, tidak ada diskriminasi rasial, genderitas, atau pun hierarki social. Semua adalah satu dan satu adalah semua. Mereka semua yang hadir itu hanya mempunyai satu mimpi abadi yakni meraih “title” haji mabrur yang balasannya adalah surga.

Lantas pertanyaannya adalah apa yang dimaksud dengan haji mabrur? Apakah ketika syarat dan rukunya terpenuhi maka ia bisa dikatagorikan telah memperoleh haji mabrur? Ataukah mereka yang telah berulang-ulang kali mengunjungi Makkah dengan segenap fasilitas yang lux lantas mengklaim diri selalu terpilih menjadi tamu Allah dan itu sebagai ciri haji mabrur? Tentu semua itu jawabannya, tidak. Kriteria haji mabrur bukan ditentukan oleh karena ia telah memenuhi syarat dan rukunnya atau setiap tahun ber-haji.

Jika dilihat dari definisinya, kata “mabrur” berasal dari kata “barra” yang berarti baik dan patuh. Kata ini dilihat dari segi semantisnya mempunyai arti “menjadi baik” atau “mendapatkan kebaikan.” Jadi istilah “haji mabrur” adalah pelaku ibadah haji yang kemudian menjadi baik atau mendapatkan kebaikan setelah ia ber-haji.

Lantas pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana ia akan menjadi lebih baik (mabrur)—pasca ber-haji—jika ia tidak mengetahui makna-makna dibalik ritus-ritus ibadah haji yang ia jalankan sebagai cermin ketakwaan hamba Allah. Bagaimana ia akan menyadari bahwa ritus-ritus yang ia jalani selama ber-haji mempunyai sejarah yang begitu panjang dan mengharukan?. Secara mayoritas umat Islam dalam menjalankan ibadah haji hanya sebagai pemenuhan kewajiban syari’at bagi yang mampu saja dan kurang—atau bisa dikatakan tidak—memahami makna filosofis dibalik ritus-ritus ibadah haji.

Karena alasan itulah maka kemudian Ali Syari’ati yang disebut oleh John Button sebagai “The Redical Handbook”, terdorong untuk menulis risalah filosofi dibalik ritus-ritus haji sebagai buku panduan memahami makna terdalam ibadah haji.

Buku “Menjadi Manusia Haji” yang merupakan saduran dari bukunya berjudul “Hajj; Reflections on its Rituals”. Dibandingkan dengan buku-buku Ali Syari’ati lainnya—yang kebanyakan berupa kumpulan ceramah-ceramahnya, buku ini secara khusus ditulis utuh untuk dijadikan sebagai buku panduan.

Buku ini secara tuntas mengkaji filsafat haji dari awal (niat), miqat, tawaf, sa’i, hingga wuquf di padang Arafah. Tidak hanya itu, buku ini juga mengungkat filosofi di balik monument-menument Tuhan seperti Ka’bah, Hajar Aswad, Maqam Ibrahim, Hijir Ismail. Bahkan dalam buku ini disajikan pula cerita mengharukan dibalik ketokohan wanita berkulit hitam bernama hajar, Ismail, dan tokoh lainnya. Sebagai penghias keindahan buku ini, Syari’ati dalam bagian akhir buku ini, menyajikan bait-bait puisi haji karya Neseer Khosrawi seorang penyair kelahiran Persia.

Jika kita melongok sepintas isi buku ini, terkesan Ali Syari’ati mengungkap kisi-kisi sosiologis atas ritual-ritual ibadah haji saja. Akan tetapi, jika kita singkap secara mendalam, nampaknya Ali Syari’ati jauh melampau penilaian tersebut. Ia tak hanya mengulas makna esoteric rukun demi rukun haji, tetapi, ia juga secara luas berbicara tentang penderitaan, penindasan, dan kesyahidan. Bahkan tak ketinggalan, ia juga menguak gagasan perihal pembebasan, kemerdekaan, dan perjuangan.

Cerminan di atas misalnya bisa dilihat ketika ia menyingkap makna Kurban yang diungkapkan sebagai penyembelihan hewan, diuraikan oleh Ali Syari’ati sebagai perumpamaan untuk kemusnahan dan kematian ego. Hal ini berarti menahan diri dari, dan berjuang melawan, godaan ego. Lebih lanjut, Ali Syari’ati berandai-andai jika ego dapat dibebaskan dari penghambaan terhadap materialisme menuju kesadaran yang lebih tinggi, ia berargumen, kemungkinan terjadinya keteraturan politik yang damai akan menjadi nyata. (hal. 160)

Elaborasi Ali Syari’ati tentang kurban di atas, seolah-olah ia berkeinginan untuk mendekonstruksi dan memunculkan makna kurban dari yang sebelumnya sekedar ritual haji menjadi medium pemembebasan masyarakat Iran dari penindasan rezim yang berkuasa yakni Syah Pahlevi dan ia berusaha ingin mendamaikan kondisi politik yang terus memanas akibat rezim yang otoriter.

Pengungkapan makna ritus ibadah haji secara redikal tersebut, membuatnya mampu keluar dari kepompong jebakan tradisi diskursif ulama dan filosuf Muslim yang terkesan kering, tidak “hidup” dan bahkan sekolastik. Ia menawarkan bahasa dan metodologi baru dalam melihat apa yang secara apologetis diklaim banyak orang sebagai ritual-ritual haji. Biasanya selama ini elaborasi tentang ritual-ritual haji yang dilakukan oleh ulama dulu dan sekarang terpaku bahkan terpasung pada romantisme dan ketaatan keagamaan; yang ditandai dengan puncak emosional jama’ah haji ketika mereka datang, melakukan tawaf, berlari-lari kecil (sa’i), melempar jumrah dan seterusnya, hingga kembali ketanah kelahirannya dengan predikat “haji”. Apa yang dilakukan oleh Ali Syari’ati dalam buku ini adalah menerobos tradisi itu dengan mendemonstrasikan ibadah haji sebagai perayaan pandangan dunia monoteistik (the celebration of the monotheistic world-view).

Sajian elaborasi yang begitu revolusioner ditambah dengan kemasan bahasa sastra sebagai efek dari keganrungannya dalam syair-syair sufi terutama Jalaluddin Rumi dalam karyanya berjudul “Masnawi”, membuat tambahan nilai lebih dari buku ini. Kesejukan bahasan dan tampilan elaborasi makna yang menggugah sehingga membuat Amin Rasi dan Mas Dawam Rahardjo dalam ceramahnya meneteskan air mata sekalgus berucap “setelah saya membaca buku ini, saya seperti belum berhaji”. Mungkinkah kesan yang didapatkan di atas oleh para intelektual negeri ini dapat terjadi pada diri kita, silahkan membaca buku ini.

Sebagai kata akhir, penulis mengutip ungkapan Ali Syari’at dalam buku ini, ia mengatakan “Jika anda ingin tahu bagaimana cara berhaji, bacalah kitab-kitab fikih. Jika anda ingin memahami makna haji, bacalah buku ini. Barangkali membaca buku ini akan mendorong anda memahami haji, atau setidaknya merenungkan barang sedikit tentang haji”. Wallahu a’lam.


Muhammad Hakiki
Mahasiswa Pascasarjana Studi Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta


Tulisan ini pernah dimuat dalam kolom resensi Surat Kabar Lampung Pos, 18 Desember 2006

Tidak ada komentar: