Translate

Jumat, 23 Oktober 2009

** Peta Gerakan Inteligensia Muslim Indonesia





Peta Gerakan Inteligensia Muslim Indoniesia

Judul Buku: Inteligensia Muslim dan Kuasa; Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20Penulis: Dr. Yudi LatifPenerbit: Mizan, BandungTahun Cetak: Cetakan I, Oktober 2005Tebal: xx + 740Halaman

Oleh: K. Muhammad Hakiki

“Para intelektual haruslah mereka yang pada dasarnya aktivitaasnya tidak untuk mencapai tujuan-tujuan praktis” (Julian Benda, “La Trahison des Clercs”: 1959:30). Ungkapan Julian Benda di atas sangatlah relevan untuk mengomentari kehadiran buku ini, betulkah para intelektual atau istilah Inteligensia sebagaimana yang digunakan dalam buku ini melakukan aktivitasnya dengan cara “berselingkuh” dengan elite penguasa demi untuk mencapai tujuan-tujuan praktis semata? Ataukah ada tujuan lain ? sejauhmana “perselingkuhan” itu terjadi? Sederet pertanyaan ini yang menjadi kegelisahan penulis buku ini untuk mencoba memetakan apa dan bagaimana sebenarnya hal itu terjadi.
Nama Yudi Latif adalah sebuah nama yang sempat tenar sebagai aktivis muda jalanan di era 80-an akhir, saat ia masih duduk di bangku kulih Universitas Pajajaran, Bandung. Nama Yudi Latif pun semakin bersinar dengan meluncurnya buku “Masa Lalu Yang Membunuh Masa Depan” yang merupakan buah tangan pertama yang ia telurkan pada waktu itu. Buku tersebut berisi kumpulan tulisan “bunga rampai” yang ia terbitkan di berbagai media masa yang berisi kajian seputar isu-isu demokrasi, agama dan lainnya, dan kemudian di terbitkan oleh Mizan.
Nama Yudi Latif kemudian sempat menghilang selama beberapa tahun, rupaya ia berhijrah untuk Studi ke negeri Kanguru (Australia) dan singga di sebuah Universitas ternama di negara itu, Australian National University namanya.
Kini, setelah kembali, nama Yudi Latif dengan dibumbui gelar “Dr” kembali membetot dunia keilmuan bumi Nusantara dengan oleh-oleh terbitnya sebuah buku tebal yang berjudul "Inteligensia Muslim dan Kuasa; Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20”. Buah tangan kreatif Yudi Latif ini mencoba memotret genealogi pemikiran intelegensia muslim Indonesia sepanjang abad 20. Mulai dari generasi intelektual awal seperti Agus Salim yang mengusung ideologi sosialisme Islam, kemudian diteruskan oleh generasi berikutnya yakni generasi Natsir yang menyuarakan nasionalisme Islam, dan disambung kemudian oleh generasi Nurcholish Madjid (Cak-Nur) dan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang dengan gigih mengkampanyekan sekularisasi dan pribumisasi Islam, hingga generasi terakhir yang lantang menyuarakan gagasan Islam yang liberal. Konteks sosial-politik dan karakter intelektual masing-masing yang lekat pada setiap generasi dideskripsikan dengan apik oleh Yudi. Buku yang awalnya merupakan sebuah disertasi di Australian National University (ANU) ini mengungkap data kesejarahan perihal hubungan atau relasi-relasi kuasa dan praktek-praktek diskursif intelektual muslim Indonesia
Peran kaum inteligensia muslim Indonesia dalam percaturan politik dan sosial seringkali mengalami masa-masa pasang surut dan selalu menuai perbedaan pendapat. Tiap kali ada usaha untuk menyamakan persepsi, selalu saja hadir daya yang mendorong ke arah perpecahan. Hal ini terjadi sejak masa kolonial Belanda hingga sampai saat ini. Relasi inteligensia muslim dan kuasa di Indonesia sering direspons berbeda oleh tokoh-tokoh Islam yang dipunyai bangsa ini.
Lihat saja, misalnya di zaman kolonial sekitar tahun 1920-an, adanya seruan pemimpin Muslim untuk bersatu menghadapi penjajah justru dibarengi dengan adanya perpecahan antara ulama tradisionalis dan kaum reformis-modernis. Begitupun juga dalam usaha untuk menghadapi marginalisasi Islam oleh rezim orde baru (Orba), berdirilah Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang lalu dikritik tokoh Islam lainnya dengan mendirikan lawan tanding Forum Demokrasi yang dimotori oleh Gus dur.
Adanya tarik menarik tersebut, salah satu penyebabnya menurut Yudi Latif adalah adanya perbedaan latar belakang pendidikan. kalangan Inteligensia yang terdidik di belahan bumi timur (Timur Tengah), akan mempunyai perbedaan orientasi dengan mereka yang terdidik didunia barat yang relatif sekuler dan masih banyak lagi faktor-faktor lainnya.
Dalam menyoroti relasi antara Inteligensia muslim dan kuasa, Yudi Latif menyimpulkan ada enam fase yang masing-masing berbeda dalam menyuarakan pandangannya. Pertama, fase antara tahun 1900-an sampai 1910-an. Pada fase ini, isu-isu yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial sebagai hasil dari politik etis menjadi menu utama, sehingga tak salah jika formalisme idiologi Islam dari generasi pertama ini adalah “sosialisme Islam”. Fase kedua, antara tahun 1920-1930-an. Pada fese ini Inteligensia Indonesia mulai mengalami perpecahan ideo-politik, nasionalisme Indonesia mulai muncul dan tuntutan kemerdekaan juga menjadi wacana kaum Intelektual. Buah dari respon Inteligensia Muslim pada fase ini adalah merumuskan “nasionalisme Islam dan negara Islam”. Fase ketiga, antara 1940-an dan awal 1950-an. Pada fese ini “revolusi intelektual” dan “demokrasi konstitusional” menjadi tema utama perbincangan. Agenda kaum Inteligensia pada fase ini adalah bagimana mempertahankan keseimbangan antara keislaman dan keindonesiaan. Fase keempat, antara 1950-an sampai 1960-an. Pada fase ini terjadi konflik-konflik yang paling parah selama era demokrasi terpimpin, serta kebutuhan untuk menjalin aliansi politik di sepanjang poros yang pro-dan anti-rezim Orde Lama. Sebagai akibatnya muncul dua corak ideologi yang pertama melahirkan ideologi pembaharuan dan kedia ideologi “Islamis” (dakwah). Fase kelima, antara tahun 1970-an sampai awal tahun 1980-an. Pada fase ini merupakan masa ketika rezim represif-developmentalisme Orde Baru menjadi begitu hegemonik di ruang publik. Pada fase ini kalangan Inteligensia mulai dibatasi di dalam melakukan manuver-manuver intelektual-politik. Kondisi ini mengakibatkan munculnya dua formulasi ideologi Islam yang bersifat antitesis: yaitu paham “akomodasionisme” (mengapropriasi ortodoksi negara-sekuler) versus paham “rejeksionisme” (menolak ortodoksi negara-sekuler). Fase keenam, antara akhir 1980-an dan 1990-an. Fase ini merupakan periode modernisasi akhir daro Orde Baru dan juga periode globalisasi kondisi-kondisi post-modern. Fase ini ditandai dengan ruang publik yang mulai menunjukan tingkat keterbukaan, fenomena ini menurut Yudi Latif menjadi katalis bagi pendalaman penetrasi fundamentalisme Islam yang bersifat global, bersejalan dengan pendalaman penetrasi budaya-massa global dan nilai-nilai Liberal Barat. Kedua arus ini menjadi kontribusi pada menguatnya derajat Islamic mindedness dan Liberal mindedness dari segmen-segmen yang berbeda jika dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Akibat dari fenomena ini maka muncullah dua formulasi ideologis utama yang saling bertentangan; yaitu “revivalisme Islam” versus “Liberalisme Islam”. Akan tetapi meskipun kondisi tersebut terjadi, menurut penulis buku ini bahwa sebagian besar Inteligensia dari generasi keenam tetap saja merayakan hibriditas antar beragam tradisi kultural. (hlm. 668-670).
Langit dan Bumi: Sebuah Pilihan
Dalam buku ini, Yudi Latif menguraikan secara menarik bagaimana relasi antara kaum Inteligensia dengan penguasa. Akan tetapi, sangat disayangkan Yudi Latif tidak mencoba melakukan analisa secara tajam apa sebenarnya motivasi para kaum Inteligensia generasi abad 20 awal sampai akhir abad 20 terjun dan “berselingkuh” dengan para penguasa negeri ini untuk mendirikan kuasa. Kalau kita mengutip ungkapan dan kritikan Julian Benda, dalam bukunya “La Trahison des Clercs” (Penghianatan Kamu Intelektual) pada halaman 30 yang mengatakan bahwa “para intelektual haruslah mereka yang pada dasarnya—aktivitaasnya-- tidak untuk mencapai tujuan-tujuan praktis” dan dia mengkritik kaum intelektual yang lebih mengutamakan nafsu-nafsu politiknya dengan mengorbankan nilai-nilai universal dan moral serta menghianatai tanggung jawabnya dan bangsanya, maka, para kaum Inteligensia atau intelektual negeri ini tidak sesuai dan mengingkari ungkapan Benda tersebut.
Menurut saya ada beberapa motivasi yang sifatnya internal dan eksternal mengenai perselingkuhan kaum Inteligensia negeri ini yang perlu mendapatkan perhatian, dan hal ini sangat disayangkan kurang dilakukan oleh Yudi Latif dalam bukunya. Kenapa menurut saya hal itu dirasa perlu, karena dengan tidak melakukan analisa kearah hal tersebut, maka kita akan terjebak oleh anggapan bahwa para intelektual “suci” yang berfikir demi kebaikan bangsa ini adalah sesuatu yang mustahil ada, dan yang lebih mengkhawatirkan adalah kita akan terjebak oleh anggapan bahwa para intelektual “suci” yang dimiliki oleh bangsa ini adalah sama saja dengan politikus-politikus licik yang dimiliki negeri ini.
Ada dua macam motivasi kenapa para Inteligensia negeri ini melakukan relasi dengan penguasa. Pertama faktor internal, motivasi ini timbul dari rasa tanggung jawab para kaum Inteligensia sebagai agen perubah dan pemikir masa depan negeri ini yang merasa prihatin oleh keadaan bangsa yang semakin kacau, yang penuh dengan perpecahan dan krisis. Kehadiran kaum Inteligensia dengan terjun langsung dalam ranah politik praktis mungkin menurutnya akan dapat memberikan pencerahan positif bagi negeri ini ini. Seperti apa yang dilakukan oleh Cak Nur pada masa akhir hidupnya dengan mencalonkan diri sebagai kandidat presiden meskipun pada akhirnya mengundurkan diri dengan berbagai alasan.
Faktor kedua adalah faktor eksternal. Banyak diantara para Inteligensia yang dimiliki negeri ini tergiur oleh kenikmatan duniawi. Hal tersebut wajar menurut saya dan tidak bisa disalahkan. Karena kalau kita melihat nasib para kaum Inteligensia negeri ini kurang mendapat perhatian maksimal dari pemerintah terutama dari sudut ekonomi. Kondisi tersebut membuat para kaum Inteligensia tergoda dan berkeinginan mencicipi dunia aktivitas politik yang mendatangkan kenikmatan duniawi secara melimpah.
Dengan membaca buku ini kita akan disuguhi dengan penjelasan yang begitu panjang, mengenai keterlibatan berbagai macam lembaga seperti ICMI, organisasi-organisasi seperti organisasi kemahasiswaan; HMI, PII, IPNU, PMII, IMM, Persama, akan tetapi sangat disayangkan, penulis buku ini juga tidak menyajikan sajian keterlibatan dua organisasi keagamaan yang besar dan berpengaruh di negeri ini yakni antara Muhamadiyyah dan NU (Nahdhatul ‘ulama) secara kelembagaan, meskipun penulis sempat mengungkapkan keterlibatan tokoh-tokohnya secara individual. Padahal kalau kita melihat dalam realitas sejarah, keterlibatan kedua organisasi keagmaan tersebut sangat mempengaruhi corak negera apakah menjadi negara liberal atau Islami. Lihat saja bagaimana NU yang mendirikan sebuah partai pada tahun 50-an dengan meraih suara cukup banyak, meskipun pada akhirnya harus dibubarkan dan kembali pada khithah dengan berbagai alasan politik. Atau pada era pasca-runtuhnya rezim orde baru dan era reformasi dengan mendirikan partai PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) sebagai kendaraan politik NU yang pada akhirnya menghantarkan Gus Dur duduk di singgasana kekuasaan negeri ini. Kondisi serupa-pun juga dilakukan oleh Organisasi Muhamadiyyah dengan mendirikan partai PAN (Partai Amanat Nasional) yang dikomandoi oleh Amin Rais sebagai kendaraan politiknya. Akan tetapi, sangat disayangkan, penulis buku ini (Yudi Latif) tidak mengkafer secara maksimal fenomena sejarah tersebut. Dan hal ini, menurut saya adalah sebuah kesalahan besar di dalam menyajikan realitas sejarah per-politik-kan bangsa ini.
Akan tetapi terlepas dari itu semua, bagaimanapun kehadiran buku ini patut disambut baik dan menjadi kunci penting sebagai tonggak bagi kajian mutakhir tentang peran Islam di masa berikutnya.
Dan yang lebih menarik lagi adalah secara keseluruhan, pendekatan waktu sejarah yang digunakan Yudi Latif dalam buku ini merupakan terobosan akan metodologi baru, yakni pendekatan interdisipliner atau lebih dikenal sebagai total history. Pendekatan ini bisa di gunakan oleh Anthony Reid dan juga Dennis Lombard dalam beberapa karyanya. Pengungkapan data yang akurat, serta ditaburi analisis yang memikat adalah nilai lebih lainnya dari buku ini. Dengan begitu, hadirnya buku ini merupakan titik tolak untuk memikirkan masa depan Indonesia yang lebih baik.[ ]

(Muhammad Hakiki Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Pemikiran Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)

Pernah dimuat dalam kolom resensi Surat Kabar Lampung Pos, 2006







Tidak ada komentar: