Translate

Jumat, 23 Oktober 2009

** Di Balik Pemilihan Kota Makkah

Di Balik Pemilihan Kota Makkah

Oleh: Muhammad Hakiki, MA
Pemerhati Sejarah Islam


Hari ini tepat tanggal 12 Rabiulawal atau bertepatan dengan tanggal 31 Maret jutaan kaum muslimin diseluruh dunia melakukan perayaan maulid sebagai tanda mengenang hari kelahiran Nabi Muhammad saw yang dikenal sebagai khatamannabiyiin (pamungkas Nabi). Perayaan itu di Indonesia (baca: jawa) dikenal dengan disebut “muludan”.

Perayaan maulid di Indonesia dilakukan dengan beragam cara; ada yang merayakannya dengan bentuk pengajian dengan mengundang para da’i-da’i kondang untuk menceritakan sejarah kehidupan Nabi, ada juga yang merayakannya dengan tradisi “riungan”, yakni sebuah acara kumpul-kumpul dengan saling membawa berbagai macam bentuk makanan yang kemudian diringi dengan ritual do’a dan lainnya. terlepas dari itu semua, apa pun bentuknya semua itu bertujuan memperingati dan mengenang sejarah dan perjuangan Nabi besar Muhammad saw untuk dijadikan teladan bagi umatnya.

Sebagai wujud kecintaan penulis kepada Nabi Muhammad saw, maka dalam kesempatan ini saya menghadirkan sebuah penelusuran sejaran Nabi Muhammad dengan sudut tinjauan yang berbeda dari yang biasa di lakukan pada umumnya. Tulisan sederhana ini akan menelusuri jejak sejarah di balik pemilihan kota Makkah atau Macoraba sebagaimana disebut oleh Ptolemius sebagai tempat kelahiran Nabi Muhammad saw

Makkah

Jika kita menelusuri sejarah Nabi, baik itu yang tertera dalam Alqur’an, hadits, maupun kitab-kitab shirah (sejarah), dapat kita identifikasi kenapa Tuhan lebih memilih tanah Arab (baca: Makkah) sebagai tempat kelahiran Nabi terakhir yakni Muhammad saw putra Abdullah bukan wilayah-wilayah lainnya seperti Israel, Mesir atau yang lainnya. Tentunya pemilihan ini (baca: kota Makkah) bukanlah sesuatu kebetulan akan tetapi memiliki nilai historis yang patut kita renungkan dan telusuri. Menurut hemat penulis, sedikitnya ada beberapa hal yang bisa kita gunakan sebagai sebab kenapa Tuhan lebih memilih kota Makkah dibandingkan kota-kota lain di sekitar Arab atau negara lainnya. Di antara sebab itu adalah sebagai berikut;

Pertama, Menurut cerita, manusia yang membangun Ka’bah adalah Nabi Adam as ketika ia harus “terusir” dari surga. Pada saat itu, Nabi Adam merasa sedih karena tak bisa lagi melakukan ibadah seperti yang dilakukan para Malaikat yang beribadah mengelilingi Singgasana Allah. Kesedihan yang menimpa Nabi Adam pun kemudian mendapatkan hiburan dengan diperbolehkannya ia membangun Ka’bah sebagai bentuk tiruan dari ‘Arsy-nya Allah. Setelah bangunan itu selesai, Adam pun diperintahkan untuk mengelilinginya. Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa ritual thawaf yang dilakukan para pelaku ibadah haji sebenarnya meniru cara ibadah yang dilakukan para Malaikat mengelilingi ‘Arsy.

Bangunan Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Adam pada akhirnya harus sirna tertimbun pasir. Seiring dengan sirnanya bangunan Ka’bah, sirna pula tradisi bertawaf bagi manusia. Kemudian datanglah Nabi Ibrahim as yang berputra Nabi Ismail as membangun kembali Ka’bah yang tertimbun atas petunjuk Allah: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".( QS: al-Baqarah : 127).

Jika dibandingkan dengan the Holy of Holies yang berisi “sepuluh perintah Tuhan”, sebagai tempat paling suci agama Yahudi yang juga pernah menjadi kiblatnya Nabi Muhammad saw sebelum dipindahkan arahnya ke Ka’bah di Makkah. Ternyata jika dilihat dari segi usia ke dua tempat suci itu, maka Ka’bah jauh lebih tua usianya dari the Holy of Holies yakni sekitar 1000 tahun lebih tua. Dari data sejarah ini, masuk akal jika kemudian Makkah yang di dalamnya terdapat Ka’bah dijadikan lokasi tempat kelahiran Nabi yang ternyata dilihat dari segi nasabnya—antara nabi Muhammad dengan Ibrahim—adalah sedarah. Memperkuat data ini, Philip K. Hitti menjelaskan bahwa kota Makkah yang terambil dari bahasa Saba yakni Makuraba (tempat suci) ternyata menunjukan bahwa kota itu jauh sebelum kelahiran Nabi merupakan tempat pusat keagamaan.

Kedua, Makkah sebagai jalur perdagangan. Menurut seorang orientalis kawakan yakni Philip K. Hitti dalam bukunya “History of the Arabs” dikatakan bahwa Mekkah sebelum kota itu dilintasi “jalur rempah-rempah” dari selatan ke utara, Mekkah sejak lama telah menjadi tempat persinggahan dalam perjalanan antara Ma’rib dan Gazza. Orang-orang Makkah yang progresif dan memiliki naluri dagang berhasil mengubah kota Makkah menjadi pusat kemakmuran. Kemakmuran kota itu bisa digambarkan dari sebuah kafilah dagang Makkah yang terlibat dalam perang Badr (16 Maret 624). Saat kafilah itu kembali dari Gazza, rombongannya terdiri atas seribu ekor unta dan menurut al-Waqidi membawa barang dagang senilai 50.000 dinar.

Tidak hanya itu, tradisi perayaan haji yang khas juga menjadikan daya pikat kota Makkah untuk didatangi para saudagar negara-negara lainnya. Pada perayaan haji yang dinilai sakral oleh masyarakt Arab pada waktu itu dimanfaatkan oleh para aristokrat suku-suku yang ada diwilayah Makkah termasuk di dalamnya suku Quaisy. Para aristokrat ini dalam perayaan haji yang dikunjungi oleh masyarakat Arab dijadikannya sebagai pusat keramaian dengan mendirikan pasar-pasar untuk menjajakan hasil buminya. Dengan ramainya kota Makkah, maka kemudian dikenal sebagai pusat pertemuan para saudagar dan pusat perdagangan dunia. Tidak hanya itu, Makkah kemudian menjadi tempat tinggal bagi para teliksandi kedua negara adikuasa, Romania dan Byzantium.

Ketiga, tradisi nomaden. Dalam sejarah dijelaskan bahwa Makkah adalah kota yang gersang dan berbukit yang digambarkan dalam Alqur’an (QS: Ibrahim: 37) sebagai tanah yang “tidak bisa ditanami” dan bersuhu sangat panas. Kondisi ini dijelaskan sendiri oleh seorang pengembara Arab, Ibn Baththuthah dari Tangier, Maroko, yang mencoba melakukan thawaf di Ka’bah tanpa alas kaki, namun belum usai berthawaf ia sudah berhenti karena tidak kuat menahan “lidah api” yang dipantulkan bebatuan di sekitar Ka’bah. Kondisi ini dibenarkan jika kita mengingat bagaimana sejarah ritual sa’i dalam haji yang saat itu Siti Hajar berlari-lari antara Bukit Shafa dan Marwa hanya untuk mencari setetes air untuk diminumkan kepada buah hatinya, Ismail.

Tandusnya kota Makkah membuat masyarakat ini melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain demi mencari sumber air untuk kehidupan mereka dan ternaknya. Pencarian lokasi ke tempat subur juga kerapkali diawali dengan perebutan bahkan peperangan antara satu kabilah degan kabilah lainnya. Pola hidup seperti ini (baca: nomaden) kemudian menjadi karakter yang melekat pada masyarakt Arab. Karena alsan ini-lah sehingga wajar jika kemudian masyarakat Arab dikenal sebagai masyarakat yang ambisius, berani, mempunyai loyalitas (ashabiyah) yang tinggi.

Karakter seperti ini di satu sisi ternyata menguntungkan bagi syi’ar Islam pada fase selanjutnya. Islam yang berada di “tangan” orang Arab dengan waktu yang relatif singkat dapat menyebar ke berbagai kawasan sampai ke Eropa dan Asia. Jika kita berandai-andai Islam di turunkan di Indonesia mungkin kondisinya akan lain, penyebaran Islam mungkin tidak secepat di tangan orang-orang Arab. Dengan kondisi tanah yang subur, dan karakter masyarakat Indonesia yang apa adanya, tidak ambisius, membuat Islam mungkin juga berkembang dengan cara yang lamban.

Dari realita sejarah di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa pemilihan kota Mekkah sebagai tempat kelahiran Nabi dan awal titik bersinarnya agama Islam adalah pemilihan yang tepat, logis dan realistis, sekaligus mempunyai akar historis yang kuat dan lama. Makkah pada masa Nabi atau sebelumnya adalah sebuah kota yang ramai bahkan menjadi pusat perdagangan, mempunyai sejarah keagamaan yang sangat tua. Dengan demikian, pendapat bahwa Makkah pada masa Nabi Muhammad adalah tempat bersemayamnya prilaku musyrik, jahiliah yang bodoh, buta huruf (ummi) yang karena itu Nabi Muhammad diturunkan di Makkah adalah pendapat yang tidak realistis dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Wallahu a’lam.

Tulisan ini pernah dimuat dalam kolom Opini Surat Kabar Fajar Banten, 2007.

Tidak ada komentar: