Translate

Jumat, 23 Oktober 2009

** Liberalisasi Pemikiran Anak Muda NU

Liberalisasi Pemikiran Anak Muda NU

Oleh:
K. Muhammad Hakiki, MA
Pemerhati Kajian Islam Liberal di Indonesia

Tanggal 31 Januari 2007 lalu, Nahdhatul Ulama (NU) sebagai organisasi keagamaan terbesar yang dimiliki bangsa ini telah berulang tahun untuk yang ke 81. Semenjak berdirinya tahun 1926 lalu, organisasi ini telah ikut serta mengembangkan ranah pemikiran Islam. Organisasi yang dahulu dianggap kolot, kaum sarungan, tradisionalis nampaknya kini sedang gencar meruntuhkan klaim itu. Di antara kalangan yang sedang giat meruntuhkan klaim “negatif “ itu mereka adalah generasi anak muda NU. Sebut saja satu di antara mereka yang kini sedang naik daun adalah Ulil Abshar-Abdalla, Nurkhalik Ridwan, Rumadi, Zuhairi Misrawi, dan sederet nama lainya. Kehadiran anak muda NU ini dalam ranah perkembangan pemikiran Islam di Indonesia nampaknya tidak dapat dilihat dengan “sebelah mata.” Ulil misalnya yang pernah menggemparkan ranah pemikiran Islam Indonesia tepatnya pada 18 November 2002 lewat artikel pendeknya di Harian Nasional Kompas bertema “Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam” dan Nur Klalik Ridwan lewat beberapa bukunya; Islma berjuis, Detik-detik Pembongkaran Agama.

Kehadiran tulisan pendek Ulil itu menuai banyak perdebatan, Ulil dianggap telah “melecehkan” Islam dan sebagai hukumannya ia di-murtad-kan bahkan di-kafir-kan seperti yang dialami oleh pemikir liberal kaliber papan atas seumpama Ibn Rusyd, Nasr Hamid Abu Zaid, Muhammad Syahrur, Toha Husain dan sederet pemikir liberal lainnya. Yang lebih teragis lagi adalah munculnya fatwa dari sebagian ulama (baca: ulama Bandung) yang menghalalkan darahnya untuk ditumpahkan.

Sosok intelektual muda ini terbilang cukup produktif. Dua buku dan puluhan artikel telah dihasilkannya. Kedua buku tersebut berjudul “Membakar Rumah Tuhan: Pergulatan Agama Privat dan Publik” dan Menjadi Muslim Liberal”. Keduanya merupakam kumpulan tulisan diberbagai media seperti Kompas, Republika, Duta masyarakat, Media Indonesia dan mailing list Islam Liberal http://www.islamlib.com/.

“Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam” sebuah kritik

Artikel “Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam” ini telah mengkatrol dan memposisikan nama Ulil menjadi selebritis intelektual papan atas yang dimiliki bangsa ini.

Ketika saya membaca dan memahami tema dan isi artikel ini, saya menganggap hal yang biasa-biasa saja dan tak aneh dengan gagasannya bahkan dengan sedikit tersenyum dan menanyakan, kenapa artikel ini di perdebatkan?. Saya pun teringat pada sebuah artikel yang pernah ditulis oleh Nurchalish Madjid (Cak Nur) yang ia presentasikan di Taman Ismail Marjuki. Ketika saya membandingkan antara tulisan Cak Nur dengan Ulil, maka saya berkesimpulan bahwa tulisan Ulil tentang “Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam”adalah tulisan biasa yang tidak selayaknya mendapatkan respon yang heboh seperti apa yang terjadi, bahkan tulisan tersebut merupakan artikel “terburuk” yang pernah ia hasilkan, mengapa? Karena tulisan tersebut adalah sebuah daur ulang dari gagasan yang pernah dilontarkan oleh Cak Nur pada tanggal 3 Januari 1970, di TIM (Taman Ismail Marzuki) dengan tema “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”.

Yang menarik dan bagus bagi saya—di antara sekian banyak tulisan-tulisan Ulil yang pernah dihasilkan—adalah artikelnya yang panjang dengan tema “Menghindari Bibliolatri: Tentang Pentingnya Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”. Artikel yang pernah dipresentasikan pada seminar di Yayasan Wakaf Paramadina ini menyoroti tentang perlunya pembacaan pada Alqur’an dengan menghindari sikap “bibliolatri” atau pembacaan yang hanya berhenti pada teksnya saja (tekstual).

Kalau kita bandingkan dengan intelektual muda yang dimiliki NU lainnya, sebagai pembanding saya ambil Nur Khalik Ridwan, Justru yang menurut saya layak untuk menuai kontroversi bahkan mungkin lebih pantas menyandang klaim murtad, kafir, dan serupa lainnya adalah Nur Khalik Ridwan. Dalam sebuah buku yang ditulis olehnya “Detik-detik Pembongkaran Agama: Mempopulerkan Agama Kebajikan, Menggagas Pluralisme Pembebasan” yang diterbitkan oleh Ar-Ruzz, Yogyakarta ia menuangkan gagasan yang sangat berani. Di dalam buku ini Kang Kelik—itu sapaan akrab beliau—melakukan “revolusi” atas “kemapanan tafsir” teks agama yang dicurigainya tidak berpihak pada wong cilik, bahkan tidak sensitif pluralisme, dan cenderung melindungi para pengibar kaum Islam borjuis dalam versinya, atau Islam Modern dalam versinya Daliar Noer. Setidaknya ada dua buah pemikiran yang cukup nyeleneh dalam buku ini. Pertama, ia memaknai kuffar dengan mengatakan bukannya orang-orang yang di luar agama Islam saja, melainkan, “bisa jadi orang yang tidak membagikan nikmat yang diberikan Tuhan kepada yang berhak, bisa juga orang-orang yang sombong dan superioritas dengan darah birunya, bisa juga mereka yang membunuh para pejuang pembebasan, yang sepadan dibandingkan dengan para pembunuh nabi di masa lalu. Kedua, ia mengatakan bahwa yang tergolong para kufr bukan mereka yang keluar dari agama Islam lantas kemudian masuk ke agama lain, melainkan yang disebut kufr atau murtad adalah mereka yang melakukan penindasan kepada orang lain. Ia menegaskan murtad adalah bukan soal pindah agama dari Islam ke agama lain akan tetapi orang-orang Islam yang kemudian beralih dalam kehidupannya membela kelompok-kelompok penindas yang mengeksploitasi orang-orang miskin.

Selain dari dua gagasan tersebut, ia juga melakukan kritikan terhadap pihak penguasa di dalam pengakuan beberapa agama resmi. Menurutnya berbagai kepercayaan agama atau paham agama baik itu di luar agama yang diresmikan atau aliran-aliran yang ada dalam agama resmi yang dimiliki bangsa ini juga layak mendapat pengakuan resmi dari pemerintah bukan harus di diskriminasi atau dianggap sesat. Tapi, mengapa respon kalangan elite agama dan masyarakat berbeda atas dua gagasan Intelektual Muda tersebut ?. Mungkin salah satu di antara sebabnya adalah karena faktor populeritas, yang tentunya Ulil lebih popular dan dekat dengan penguasa pusat dibandingkan dengan Kang Kelik yang berada di daerah.

Posisi Ulil Abshar Andalla

Pemikir muda yang berasal dari kaum “sarungan”—dan sekaligus menantu dari seorang ulama (baca: Kiai) dan budayawan: Mustafa Bisri—ini yang dijuluki oleh Gus Dur sebagai tokoh yang bertindak seperti Ibn Rusyd atau menurut Gunawan Muhammad sebagai Syaikh Siti Jenar, kini sedang berguru di Boston, Amerika Serikat.

Kehadiran Ulil di jagad ranah pemikiran Islam memang cukup mengagetkan beberapa kalangan. Mengapa? Karena Ulil hadir bukan sebagai Intelektual yang sudah mendapatkan sederet gelar baik dalam atau luar negeri. Akan tetapi, ia hadir dari kalangan yang pernah dicemooh sebagai kalangan yang kolot, kampungan, tradisional dan sederet sebutan lainnya, yakni mereka yang hidup dilingkungan pesantren salaf yang ada di kampung.

Asal muasal Ulil dari kalangan pesantren kampung dengan tradisi pembacaan “kitab kuning” yang kuat justru merupakan nilai lebih dari seorang Ulil. Gagasan-gagasan Liberal yang dilontarkannya justru kerapkali dibumbui dus mendapatkan justifikasi yang kuat dalam tradisi klasik. Lihat saja dalam sebuah tema tulisannya “On Being Muslim”. Ulil mengadopsi kaidah-kaidah ushul fikih, qawaid fiqhiyah, balaghah, mantiq (logika) yang pernah ia pelajarinya di pesantren dalam rangka mendukung gagasan-gasan yang ditebarnya.

Artikel lainnya yang juga tak kalah menariknya adalah berjudul “Mengapa Kita Perlu Meniru Barat”. Tema ini memang sangat aneh terdengar, mengapa? Karena, disaat kaum muslimin melakukan kampanye anti Barat—dalam hal ini bisa disebut sebagai anti Amerika dan sekutunya—justru Ulil menawarkan dan berpendapat lain dengan mengatakan bahwa umat Islam sekarang ini haruslah meniru Barat dalam hal kemajuannya. Argumen yang disajikan oleh Ulil adalah belajar dari pengalaman bangsa Jepang. Jepang pada abad ke-18 telah dihadapkan pada situsi yang sangat sulit: apakah harus menerima dan meniru Barat atau tetap berpegang pada warisan Tokugawe yang menutup diri (ekslusif) secara total dari pengaruh asing. Ulil—dengan mengutip ungkapan Hashim Saleh dalam artikelnya yang dimuat di harian Al-Hayat—mengatakan bahwa Jepang menempuh jalur “nekad” yang ternyata benar; “tirulah Barat”, karena di sana terdapat hal-hal yang menjadi rahasia kemajuan umat manusia.

Lebih lanjut, Ulil mengatakan hendaknya umat Islam sekarang ini meniru apa yang pernah di alamai oleh bangsa Jepang yang meniru Barat. Akan tetapi, peniruan terhadap Barat menurutnya harus disertai dengan kritis tidak melakukan westernisasi.

Dia menambahkan, umat Islam sekarang ini haruslah melakukan rasionalisasi atas dua bidang; pertama, rasionalisasi atas pengelolaan kehidupan sosial-politik. Wujudnya adalah sistem demokrasi dengan seluruh kerangka kelembagaan dan kebudayaan yang ada di dalamnya; partai yang kuat, parlemen yang berwibawa, lembaga peradilan yang independen, pers bebas, masyarakat sipil yang “vibrant”, serta kultur sipil yang mapan. Kedua, rasionalisasi atas pengelolaan alam. Wujudnya adalah tekhnologi. Dua wujud ini menurutnya adalah sebuah kebutuhan mendesak yang harus diimplementasikan jika bangsa Islam ingin meraih kemajuan seperti Barat.

Akan tetapi, sangat disayangkan gagasan yang disuarakan oleh Ulil tidak ditulisnya dalam bentuk buku yang utuh melainkah hanya asrtikel-artikel singkat dan mungkin hal ini yang harus dilakukan oleh Ulil berikutnya adalah menuangkan gagasan ke dalam sebuah buku yang utuh sebagaimana yang dilakukan oleh para pemikir besar seperti Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Muhammad Abid al-Jabiri dan lainnya. Sehingga dengan karya yang utuh maka kita akan bisa melihat kerangka bangunan alur pemikiran berfikir dari Ulil, dan dengan begitu kesalahpahaman dalam memhami pemikiran Ulil minimal akan terhindari. Semoga Mas Ulil mau mewujudkannya. [ ]

Tulisan ini pernah dimuat di Surat Kabar Radar Lampung pada kolom opini, Jum’at 09 Desember 2009-10-24

Tidak ada komentar: