Translate

Jumat, 23 Oktober 2009

** Al-Qur'an dan Tantangan Modernitas

Alqur’an dan Tantangan Modernitas

Oleh:
Muhammad Hakiki
Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta


Jutaan kaum muslimin diseluruh dunia meyakini bahqa Alqur’an adalah salah satu kitab suci yag diturunkan oleh Allah swt untuk dijadika sebagai hudan lin naas atau petunjuk bagi seluruh umat manusia (al-Israa’: 9) dalam menjalankan kehidupan ini. Kitab suci Allah yang diturunkan sebelumnya adalah Zabur, Taurat dan Injil. Dengan demikian, Alqur’an adalah kitab penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya.

Konsekuensi dari penyempurna kitab-kitab sebelumnya adalah Alqur’an haruslah shalih li kulli zaman wal makaan (Alqur’an itu selalu cocok untuk setiap waktu dan tempat). Lantas pertanyaannya adalah disaat Alqur’an terbatas dengan ruang dan waktu kondisi Arab pada waktu itu, atau sebagaimana ungkapan Nasr Hamid Abu Zayd “Al-qur’an adalah produk budaya Arab”, lalu bagaimana agar Alqur’an itu sesuai dengan zaman (waktu) dan tempat?.

Untuk menjawab permasalahan di atas, Muhammad Syahrur seorang pemikir asal Syiria mengatakan bahwa “Al-Qur’an harus selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan kontemporer yang dihadapi umat manuisa”.
Hal senada pun dikatakan Muhammad Arkoun seorang pemikir Aljazair kontemporer mengatakan bahwa “Al-Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas. Kesan-kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal”. Maka tidaklah berlebihan jika Al-Qur’an diibaratkan seperti lautan yang tak bertepi, karena kandungan maknanya sangat luas atau sebagaimana yang diungkapan oleh Dr. Darraz bahwa “ayat-ayat Al-Qur’an itu bagaikan batu permata yang setiap sudut-sudutnya dapat memancarkan berbagai ragam cahayanya. Cahaya-cahaya yang dipancarkannya itu tidak sama kesannya pada masing-masing sisi, tergantung pada sudut pandang orang yang melihatnya”.

Disaat zaman yang selalu berubah diiringi dengan kemajuan tekhnologi, Islam pun harus mampu menyesuaikan dengan kondisi zaman. Karena jika tidak, Islam akan ditiggalkan penganutnya. Islam dengan kitab suciya harus “mengikuti” zaman yang selalu berubah tanpa bisa dicegah, bukan sebaliknya. Untuk itu sebagai solusinya, kitab suci umat Islam pun harus selalu ditafsirkan dengan menyesuaikan diri demi untuk menyeimbangi perkembangan zaman yang semakin maju.

Banyak sekali penjelasan-penjelasan Alqur’an dan juga dalam hadits yang terkesan aneh dan bahkan tidak masuk akal. Misalkan pejelasan al-Qur’an tentang lagit:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (QS: Al-Baqarah: 164). Pertanyaan yang bisa diajukan pada ayat diatasa adalah bagaimana proses air bisa berada dilangit dan kemudian turun menjadi hujan?

Dalam ayat yang lain, Artinya: “Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui”. (QS: Fushilat: 12). Pertanyaannya adalah apakah betul tujuh lagit itu ada, dan dimana ?

Dalam hadits Nabi dijelaskan : “jika lalat tercebur ke dalam gelas yang berisi air minum, maka rendamkanlah lalat tersebut, karena dalam salah satu sayap lalat terdapat penawar obat penyakit yang di bawanya”.

Dalam hadits lain dijelaskan tentang tata cara membersihkan najis besar seperti terkena air liur anjing yang harus di basuh dengan air dan kemudian digosok dengan tanah. Pertanyaannya adalah kenapa Nabi menganjurkan harus dengan tanah? Inilah beberapa pertanyaan penting yang harus dijawab dengan ilmu pengetahuan.

Disaat kebutuhan akan penjelasan rasional dan ilmiah semakin mendesak, ada beberapa kalangan yang menganggap bahwa kehadiran tafsir saintifik menurutnya hanya dijadikan sebagai justifikasi atau legitimasi terhadap penemuan-penemuan sains baru atau kebenaran ilmuah yang sifatya relatif dengan Alqur’an yang sifatnya absolute. Upaya ini dipandang berbahaya kerena akan mereduksi kewibawaan absolutisme kebenaran Alqur’an, di samping akan menundukan Alqur’an yang suci di bawah kerangka teori-teori ilmu yang profan.

Hermeneutika Saintifik

Contoh-contoh permasalahan yang ditimbulkan oleh Alqur’an dan hadits di atas perlu dicari jawabannya demi menjaga Islam agar tidak usang dan di tinggalkan penganutnya. Disamping alasan-alasan strategis lainnya seperti menjawab kritikan yang dilancarkan para orientalis.

Untuk itulah peranan hermeneutika saintifik harus digalakan kembali dalam penafsiran Alqur’an, seperti apa yang telah di lakukan oleh Syaikh Thantawi Jawhari seorang pemikir dan cendikiawan asal Mesir. Ia telah menulis tafsir Alqur’an “Al-Jawahir fi Tafsir Alqur’an al-Karim” setebal 26 Jilid besar. Jawhari didalam menafsirkan Alqur’an menggunakan pendekatan sains disamping pendekatan ilmu-ilmu penafsiran Alqur’an lainnya.

Alasan mengapa Jawhari melakukan hal itu adalah; Pertama, karena adanya kebutuhan untuk membuktikan dan memperkuat keyakinan bahwa kitab suci Alqur’an selalu sejalan serta relevan dengan perkembangan sains, karena itu, sakralitas serta transendentalitasnya sebagai kalamullah dapat dijaga. Kedua, adanya tuntunan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada interpretasi saintifik Alqur’an, seperti dijelaskan dalam (QS: Al-Ankabut: 20). Ketiga, sebagai upaya kritik paradigmatis terhadap perkembangan sains modern yang cenderung menimbulkan desakralisasi dan demistikasi alam raya serta membebaskan pemikiran yang rasional-verifikatif dari yag transenden. Dengan tafsir saintifik ini menurut Jawhari diharapkan dapat dijadikan “etika pengawal iptek” yang dapat memberikan kerangka hermeneutis-etis dalam pengembangan sains modern di kemudian hari.

Akan tetapi, sangat disayangkan usaha yang dilakukan Jawhari mendapat kendala yang luar biasa, karyanya ini menuai banyak kontroversi antara yang menerima dan menolak. Karya Jawhari ini meskipun banyak mendapat pujian dari para intelektual Islam, ia juga mendapat kritikan pedas dari para ulama. Seperti Muhammad Husein al-Dzahabi yang mengatakan bahwa kitab tafsir al-Jawahir segalanya ada kecuali tafsir (fihi kulla syai’i illa tafsir). Bahkan yang lebih menyedihkan lagi, karya Jawhari ini pernah dilarang beredar di Saudi Arabia.

Apa yang pernah dilakukan oleh Jawhari di atas, hendaklah dijadikan contoh bagi kita yang mengaku sebagai umat Islam pencinta Alqur’an. Kajian Alqur’an dengan hermeneutika saintifik harus dijadikan sebagai kajian utama jika umat Islam mempercayai adagium bahwa Alqur’an shalih li kulli zaman wa al makaan. Dengan pendekatan saintifik, maka pesan-pesan Alqur’an atau juga hadits akan ditemukan sisi rasionalitasnya. Dengan begitu, ajaran Islam akan dapat diyakini kebenarannya sebagai ajaran yang bisa dibuktikan dengan penemuan ilmiah.

Usaha itu akan dapat diwujudkan jika umat Islam dalam hal ini para elit agama yang diwakili oleh ulama mau berkolaborasi atau bekerjasama secara tim dengan para ahli sains yang dimiliki oleh bangsa ini untuk mengkaji dan membuktikan kebenaran pesan-pesan Alqur’an. Allahu a’lam.
Tulisan ini pernah dimuat dalam kolom opini Radar Lampung 04-01-2007

Tidak ada komentar: