Translate

Minggu, 25 Oktober 2009

** Pusat sujud ini bernama Ka'bah

Pusat Sujud Itu Bernama Ka’bah

Oleh : K. Muhammad Hakiki
Alumni Santri Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta


“Labbaik, Allahumma labbaik”.
“Inilah aku Ya Allah, datang menemui panggilan-Mu”.


Itulah sepenggal kalimat yang sering dibaca oleh mereka yang sedang menjalankan ibadah haji. Sebuah kalimat yang diucapkan sebagai tanda rasa syukur karena dirinya telah menjadi pilihan Allah dan terdaftar sebagai kontestan upacara kolosal tahunan itu dalam rangka memperoleh “titel” haji mabrur yang balasannya adalah surga sebagamana hadits Rasulullah saw “…tidak ada balasan bagi haji mabrur, kecuali surga.” (HR: Bukhari).

Haji yang secara harfiah berarti ber-ziarah. Yaitu menziarahi tempat-tempat suci yang tidak terbatas hanya pada kota Makkah dan Madinah melainkan juga meliputi ‘Arafah, Mina, Muzdalifah, dan tempat-tempas suci lainnya. Lantas apa yang menarik dari tempat suci-suci itu, al-Qur’an dalam hal ini menjelaskan bahwa tempat-tempat suci itu adalah monument-monument Allah, sebagai cerminan dari ketaqwaan hati. Adanya monument itu karena adanya peristiwa yang menyangkut ketaqwaan.

Diantara tempat suci yang biasanya dikunjungi para jama’ah haji adalah sebuah bangunan suci yang ada di kota Madinah, masjid Qiblatain (masjid dengan dua kiblat) namanya. Menurut sejarah, masjid ini pada awalnya adalah sebuah rumah. Di rumah inilah Nabi Muhammad saw pernah melakukan sholat zhuhur. Menariknya, ketika Nabi sholat zhuhur, ia menghadap ke dua arah; dua roka’at pertama ia menghadap ke Yerusalem dan pada dua raka’at ke dua ia menghadap ke Masjid Haram di Makkah. Tekhnik sholat itu ternyata atas petunjuk langsung dari Allah sendiri. Merasa tekhnik sholat yang dilakukan oleh Nabi terasa merepotkan, Nabi pun melakukan “protes”. Ia pun berdo’a agar arah iblat diagantinya hanya menghadap ke Ka’bah yang ada di Masjid Haram. Dan Allah pun mengabulkannya. Sekedar pemberitahuan bahwa ketika Nabi berada di Makkah sebelum hijrah, ibadah sholat Nabi sebenarnya menghadap ke dua arah yakni Yerusalem dan Ka’bah sendiri. Akan tetapi, karena posisi Nabi ketika sholat selalu berada di sebelah selatan Ka’bah, maka secara otomatis Nabi pun menghadap Ka’bah sekaligus juga menghadap ke Yerusalem.

Kondisi itu berubah ketika Nabi ber-hijrah ke Madinah, pasalnya letak kota Makkah berada di sebelah selatan, sedangkan Yerusalem berada di utara. Dengan kondisi wilayah yang berlawanan arah tersebut, maka Nabi pun harus membelakangi ka’bah ketika sholat menghadap ke Yerusalem.

Yang menarik dari fenomena tersebut dan hal ini yang akan dilacak akar sejarahnya adalah, mengapa Allah mengabulkan pinta Nabi untuk menghadap Ka’bah saja? Dan menghapus arah ke Yerusalem?.

Makkah versus Yerusalem

Jika melihat dari sejarah kedua tempat suci itu, pada masa Nabi keduanya bukanlah tempat yang suci; ka’bah pada waktu itu dipenuhi patug-patung sebagai alat sesembahan masyarak Makkah, sedangkan Yurusalem adalah tempat pembuangan sampah. Menurut Cak Nur, dijadikannya Yerusalem sebagai tempat pembuangan sampah atau pelbak adalah bentuk penghinaan orang-orang Kristen terhadap bangsa Yahudi atas perintah dari Helena, ibunda dari Konstantian yang baru memeluk agama Kristen.

Dua tempat—yang pada awalnya bukanlah tempat yang suci—itu kemudian kini menjadi tempat yang disucikan. Lantas pertanyaannya mengapa Nabi atas perintah Allah harus melakukan sholat dengan dua arah?, dan mengapa pada masa kemudian Nabi lebih memilih arah Ka’bah sebagai pusat bersujud hamba Allah? Disinilah menariknya menelusuri jejak historis kedua tempat suci itu.

Jika mengacu pada pernyataan al-Qur’an sendiri: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS: Ali-Imran: 69). Ayat ini bisa dijadikan bukti teologis bahwa Ka’bah-lah sebagai tempat suci Allah yang pertama sebelum adanya Yarusalem

Menurut lagenda, manusia yang membangun Ka’bah adalah Nabi Adam as ketika ia harus “terusir” dari surga. Pada saat itu, Nabi Adam merasa sedih karena tak bisa lagi melakukan ibadah seperti yang dilakukan para Malaikat yang beribadah mengelilingi Singgasana Allah. Kesedihan yang menimpa Nabi Adam pun kemudian mendapatkan hiburan dengan diperbolehkannya ia membangun Ka’bah sebagai bentuk tiruan dari ‘Arsy-nya Allah. Setelah bangunan itu selesai, Adam pun diperintahkan untuk mengelilinginya. Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa ritual thawaf yang dilakukan para pelaku ibadah haji sebenarnya meniru cara ibadah yang dilakukan para Malaikat mengelilingi ‘Arsy.

Bangunan Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Adam pada akhirnya harus sirna tertimbun pasir. Seiring dengan sirnanya bangunan Ka’bah, sirna pula tradisi bertawaf bagi manusia. Kemudian datanglah Nabi Ibrahim as yang berputra Nabi Ismail as membangun kembali Ka’bah yang tertimbun atas petunjuk Allah: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".( QS: Al-baqarah : 127).

Berbeda dengan sejarah Ka’bah di atas, sejarah tempat suci Yerusalem lebih rumit. Hal itu bermula dari Nabi Ishaq yang merupakan anak dari istri pertama Nabi Ibrahim yakni Sarah. Sedangkan Nabi Ismail adalah anak dari istri kedua Nabi Ibrahim yakni Hajar. Melalaui keturunan Nabi Ishaq banyak sekali diturunkan Nabi-Nabi dan melalui jalur Ismail hanya ada satu Nabi yakni Nabi Muhammad saw.

Dalam al-Qur’an terdapat istilah al-Asbath yang artinya suku-suku Isra’il melalui jalur Nabi Ishaq. Diantara Nabi keturunan Nabi Ishaq adala Nabi Musa. Nabi Musa-lah yang kemudian menerima wahyu dari Allah yang dikenal dengan “Sepuluh Perintah Tuhan”. Menurut sejarah, Nabi Musa-lah yang kemudian diberikan tugas oleh Allah untuk membebaskan bani Israil dari perbudakan Raja Fir’aun di Mesir yakni Ramses III. Karakter bani Israil yang keras membuat Tuhan harus mentrainingnya di bukut Sinai selama 40 hari. Watak yang keras dan sulit diatur membuat Nabi Musa harus membuat hukum-hukum yang keras pula, karenanya hukum-hukum yang tercermin dalam kitab Taurat-pun keras, seperti; mata dibalas mata, nyawa dibalas nyawa.

Karakter keras dari Bani Israil membuat Nabi Musa harus menuliskan naskah perintah yang sepuluh itu diatas batu dan dimasukan ke dalam kotak. Kotak yang berisi sepuluh perintah itu kemudian dinamai Tabut al-‘Ahd (kotak perjanjian) yang dalam al-Qur’an disebut dengan mitsaq (QS: al-Maidah : 12).

Kotak tersebut yang kemudian dijadikan sebagai kiblat oleh bani Israi’l (orang-orang Yahudi) diletakkan di tengah Khaymat al-Ijtima’ (Tabernakel) sebuah kemah untuk pertemuan. Orang-orang Yahudi sampai saat ini melakukan sembahyang kearah Tabernakel itu yang berisi “sepuluh Perintah Tuhan”.

Keberhasilan Nabi Musa memerdekakan bani Israil membuat ia bangga dan sedikit sombong. Dan kemudian Tuhan pun menegurnya dengan mengatakan bahwa ada seorang yang lebih hebat darinya, ia pun tak percaya. Maka Tuhan menyuruhnya pergi ketepi pantai untuk menemui orang yang dimaksudkan oleh Tuhan tersebut. Nabi Musa pun bertemu dengan seorang pemudia berbaju compang-camping, ia yang kemudian dikenal dengan Nabi Daud atau menurut bangsa Yahudi adalah Yusac.

Nabi Daud itulah yang kemudian meneruskan risalah Nabi Musa. Ia pun membawa bani Israil ke Kan’an. Kan’an inilah yang kemudian dikenal dengan Yarusalem atau Baytul Maqdis. “Sepuluh Perintah Tuhan” yang diletakkan Nabi Musa di Tabernakel itu pun dipindahkan oleh Nabi Daud ke bukit Moria yang kemudian dikenal dengan the Holy of Holies sebuah tempat paling suci agama Yahudi yang juga pernah menjadi kiblatnya Nabi Muhammad sebelum dipindahkan arahnya ke Ka’bah di Makkah.

Setelah Nabi Daud wafat, kemudian diteruskan oleh Nabi Sulayman as. Nabi Sulayman dalam sejarah dikenal sebagai raja yang agung dan memiliki harta yang melimpah. Untuk mengenang kemashurannya, ia pun kemudian mendirikan bangunan yang megah yang diberinama Masjid Aqsha yang dibangun 900 tahun sebeum Masehi. Di Masjid yang agung itulah the Holy of Holies diletakkan.

Sebagai kata akhir, jika kita hitung dari sejak dibangunnya kembali Ka’bah oleh Nabi Ibrahim as, yang terjadi 4000 tahun yang lalu, hal itu berarti umur Ka’bah 1000 tahun lebih tua dari the Holy of Holies sendiri yag ada di Yerusalem. Dan hal ini sangat logis jika Allah mengabulkan perintaan Nabi Muhammad untuk memindahkan arah kiblatnya ke Ka’bah karena memang umur Ka’bah jauh lebih tua dari the Holy of Holies sendiri sebagai kiblat orang-orang Yahudi. Tapi, meskiun begitu, sesuai dengan data histories di atas, antara umat Islam dan bangsa Yahudi adalah satu bapak lain ibu. Dan mengapa kita harus saling membenci. Wallahu a’lam.


Tulisan ini pernah dimuat dalam kolom opini Radar Lampung 12 Desember 2006

Tidak ada komentar: