Translate

Jumat, 23 Oktober 2009

** Pesantren dan Tantangan Modernitas

Pesantren dan Tantangan Modernitas

Oleh: Muhammad Hakiki
Santri S3 Program Religious Study di Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung



Masih banyak di antara kita bahkan tak jarang ahli pendidikan pun kadang-kadang menganggap bahwa lembaga pendidikan yang disebut dengan pesantren (baca: pesantren salafi) adalah sebagai lembaga pendidikan sarang kekolotan, konservatisme, terbelakang, tak modern, dan masih banyak lagi penilaian negatif lainnya. Akan tetapi, kalau kita mau jujur dan membaca sekaligus melakukan pemetaan, maka kita akan mengetahui bahwa lembaga pendidikan yang di sebut kolot ini ternyata telah melahirkan banyak ulama, pemimpin yang masyhur di negeri ini.

Pesantren (atau pondok, surau, dayah atau nama lain sesuai daerahnya) sebagaimana diungkapkan oleh Husni Rahim merupakan salah satu tipologi institusi pendidikan khas Indonesia yang telah hadir beratus-ratus tahun yang lalu. Akan tetapi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Martin Van Bruinessen, hal ini bersifat paradoks; di satu sisi meskipun pesantren merupakan tradisi pembelajaran yang berakar kuat dan bisa dikatakan khas Indonesia. Meskipun ia dianggap lembaga pendidikan Islam tradisional, namun dalam beberapa aspek, berbeda dengan sekolah tradisional yang ada di dunia Islam manapun. Di sisi lain, pada saat yang sama ia berorientasi internasional, dengan memakai Makkah sebagai pusat orientasinya, bukan bumi Indonesia sendiri. (1995:21)

Terlepas dari perbedaan pendapat itu semua, bahwa kehadiran pesantren di negeri ini mempunyai peran yang sangat penting dan menentukan. Lihat saja pada masa jauh pra-kemerdekaan, sebagai contoh pemberontakan petani Banten yang dimotori oleh para santri-santri pengikut tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah pada tahun 1888 telah mampu mengobarkan perlawanan terhadap kolonial Belanda sehingga bangsa Indonesia dapat bertahan yang pada akhirnya meraih kemerdekaannya pada 1945 M.

Berbeda dengan situasi sekarang, pesantren nampaknya tak bisa mengelak menghadapi perkembangan zaman yang semakin maju. Menarik mengutip salah satu komentarnya Ibu Gubernur Banten yakni Rt. Atut Chosiyah dalam pidatonya pada acara pembukaan Festival Pesantren dan Pameran Khazanah Islam 2007 yang diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Modern Gontor Cabang Banten. Dalam pidatonya itu ia mengatakan bahwa “kehadiran pondok pesantren di Banten agar tetap istikomah membina dan memupuk kreativitas sehingga pesantren tetap eksis di tengah perubahan zaman. Selain itu, pesantren juga agar tetap menjaga tradisinya sebagai penjaga moral dan spiritualitas”. Apa yang diungkapkan oleh Ibu Gubernur itu sungguh tepat. Akan tetapi, itu semua tak akan terlaksana jika pesantren sendiri tak mau merobahnya secara internal dan sekaligus mendapat dukungan dari pihak pemerintah. Menurut saya ada beberapa hal yang harus direkonstruksi dalam diri pesantren, jika pesantren berharap bisa menghadapi tantangan modernitas dan merealitaskan keinginan Ibu Gubernur di atas. Di antara beberapa hal yang harus mendapatkan perhatian di lingkungan pesantren tradisional (salaf) adalah sebagai berikut;

Pertama, rekonstruksi kurikulum pendidikan pesantren. Masalah ini merupakan hal yang sangat urgen bagi lingkungan pesantren. Sampai saat ini, kurikulum pesantren yang di wakili oleh tradisi pembacaan “kitab kuning” hanya lebih memfokuskan pada kajian ilmu fikih, teologi (dalam istilah pesantren dikenal dengan ilmu tauhid), tata bahasa (nahwu). Padahal sebagaimana diungkapkan oleh Jalaluddin as-Suyuthi mengatakan bahwa ” yang pantas disebut ilmu adalah ushul fikih dan bukan fikih itu sendiri”. Hal ini juga diamini oleh Ibrahim Madkur bahwa “ushul fikih lebih bisa bertahan dan sejalan dengan empirisme rasional ilmu pengetahuan modern” Akan tetapi kenyataannya kajian-kajian ilmu seperti ushul fikih, ulum al-Qur’an, ulum al-Hadits, ilmu politik, ilmu filsafat, logika (mantik), kurang mendapat respon yang maksimal, bahkan sangat ironi, di lingkungan pesantren sendiri pembalajaran ilmu filsafat adalah salah satu ilmu yang dilarang untuk di pelajari. Padahal ilmu-ilmu di atas, merupakan ilmu-ilmu dasar yang harus dikuasai minimal di ketahui oleh para santri jika santri berkeinginan merambah ilmu yang lainnya.

Dalam lingkungan pesantren, menu kitab fikih adalah menu utama yang harus di kuasai. Dan sayangnya hanya terbatas pada kajian fikih syafi’iyah dan kurang memberikan alternatif pembelajaran pada kitab-kitab mazhab lainnya. Sehingga dengan begitu, kajian fikih yang hanya menganut salah satu mazhab akan mengakibatkan “belenggu” dan “mengkerdilkan” kreativitas berfikir kritis dan membuat sempit pemahaman akan eksistensi hukum-hukum Islam. Apalagi yang dominan dikaji adalah mazhab syafi’I yang secara umum memberikan batasan dalam penggunaan rasio.

Tidak hanya itu, dalam masalah ilmu teologi pun, pesantren lebih cenderung memfokuskan pada kajian aliran teologi Asy’ariyah dan kurang bahkan dikatakan tidak sama sekali mengkaji aliran-airan teologi lainnya seperti; Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij dan lainnya. Aliran teologi Asy’ariyah kurang memberikan jatah maksimal terhadap peranan nalar kritis, sehingga secara tidak langsung dapat menyempitkan ruang kebebasan dalam berfikir. Sehingga dengan begitu dapat berimplikasi pada terwujudnya paham ekslusivisme pemikiran.

Kedua, rekonstruksi metode pembelajaran pesantren. Alternatif ke dua ini ditawarkan mengingat proses belajar-mengajar di lingkugan pesantren tradisional masih berkutat pada bahan dan materi dan bukan pada tujuan yang sebenarnya. Di lingkungan pesantren tradisional, seorang santri dikatakan berhasil jika ia mampu menguasai materi-materi yang disampaikan sang guru dan kemudian di hafalkannya dengan apik, karena menurutnya, parameter keilmuan seseorang dinilai berdasarkan kemampuannya dalam menghafal teks-teks. Anggapan ini muncul dalam pemahamannya pada salah satu kitab yakni Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum yang dijadikan referensi utama pesantren tentang etika belajar karya Burhan al-Islam al-Zarnuji sebagai berikut; “Ilmua adalah sesuatu yang diambil dari mulut guru, karena mereka menghafal apa yang terbaik dari apa yang mereka dengar dan menyampaikannya apa yang terbaik dari apa yang mereka hafal”.

Dari pernyataan di atas, sehingga kemudian berimplikasi pada hilangnya sebuah dialog interaktif antara kiyai dan para santri, atau dilingkungan santri sendiri. Hal yang tabu di atas kemudian diperparah lagi dengan sebuah doktrin yang cukup ampuh meredam ambisi “pembangkangan” pemikiran seorang santri dalam menggali nilai-nilai kebenaran yang universal terhadap kiyainya di lingkungan pesantren. Doktrin itu kira-kira seperti ini: “Jika seorang santri menanyakan sesuatu (berdebat/jadal) dalam mencari nilai-nilai yang baru dari kiyainya, maka akan timbul sebuah kekhawatiran “ilmunya tak akan bermanfaat”. Tidak hanya itu, doktrin lainnya yang juga dikenal secara umum dilingkungan pesantren juga mengkristalkan ketabuan di atas. Pernyataan itu berbunyi: “Para ulama dahulu sebenarnya sudah merespon atau menyiapkan jawabannya untuk permasalahan yang akan muncul kemudian, umat Islam saat ini tidak perlu mencari jawabannya, cukup melihat dalam kitab-kitab yang ditulis oleh ulama dulu”.

Doktrin-doktrin di atas, secara tak disadari dapat membelenggu pemikiran yang mencerahkan. Padahal sebenarnya setiap zaman dan waktu itu mempunyai permasalahan yang berbeda yang membutuhka solusi yang berbeda pula. Bukankah setiap solusi yang ditawarkan itu juga akan memunculkan permasalahan-permasalahan yang baru pula dan juga butuh solusi baru.

Ketiga, peningkatan tradisi tulis menulis. Di lingkungan pesantren sampai saat ini, tradisi tulis menulis sangatlah minim bahkan mungkin tidak ada. Padahal dunia Islam tidak akan pernah mencapai zaman keemasannya tanpa ada sebuah karya tulis orang-orang terdahulu. Begitu banyak karya-karya manumental yang telah dihasilkan yang seharusnya kita kembangkan kembali, bukan hanya di baca kemudian diceritakan.

Untuk itu, sebagai upaya pemecahan mendasar atas kondisi tersebut, maka tak ada cara lain selain usaha merekonstruksi dan mencari solusi yang mencerahkan jika pesantren yang dianggap kolot ingin bangkit, eksis dan dapat bersaing dengan tantangan dunia modern yang semakin maju. Bukankah dalam tradisi pesantren ada ungkapan yang mengatakan; al-Muhafazhah ‘ala al-Qadim ash-shahih wa al- akhdz bi al Jadid al-Ashlah (memelihara nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik).Wallahu a’lam.


Dimuat di surat kabar Fajar Banten kolom opini, Jum’at 04 September 2007.

Tidak ada komentar: