Translate

Kamis, 04 Agustus 2011

** Di Balik Krisis Politik Timur Tengah

Dibalik Krisis Politik Timur Tengah

Oleh: K. Muhamad Hakiki[1]

Jika kita menyaksikan tayangan di media—cetak maupun elektronik, maka belahan dunia Timur Tengah saat ini menjadi belahan yang selalu kian memanas. Berbagai rezim yang selama ini berkuasa, satu demi satu tumbang, seperti; Tunisia, Mesir, bahkan mungkin sebentar lagi Libia.

Fenomena apa sebenarnya yang terjadi, jawabannya adalah fenomena demokrasi yang selama ini selangkah demi selangkah menggurita di Timur Tengah. Lalu siapa dalang semua itu, berbagai spekulasi analis politik bermunculan. Ada yang mengatakan bahwa di balik semua kejadian yang terjadi di Timur Tengah itu Amerika Serikat-lah yang memainkan perannya. Ada juga yang berpendapat bahwa krisis Timur Tengah dimulai dari faktor krisis ekonomi yang berdampak pada kemiskinan-lah menjadi pemicunya.

Dua pendapat di atas menurut saya ada benarnya bahkan saling terkait. Dengan memanfaatkan isu kemiskinan, pengungkungan kebebasan, nampaknya Amerika Serikat (AS) dan sekutunya memanfaat kondisi itu demi untuk mendapatkan kekuasaan penuh di daerah yang kaya akan sumber daya alam itu.

Atas nama demokrasi, AS memainkan perannya sebagai pejuang hak-hak kemanusiaan. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya, AS tidak menjadikan isu demokrasi sebagai program prioritas atau unggulan di dunia Islam, khususnya dunia Arab, hal ini sebagaimana dikatakan oleh Direktur Perencanaan Politik Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Richard Hass.


Sebelumnya AS lebih memilih diam dan menghindari ikut campur urusan domestik suatu negara Arab atau Islam. Hal itu dilakukan dengan beberapa alasan; pertama, demi lestarinya suplai minyak dengan harga murah; kedua, mencegah pengaruh bekas sekutu Uni Soviet; Ketiga, khawatir bangkitnya gerakan Islam politik yang selama ini menjadi benteng di Timur Tengah; Keempat, mendapatkan fasilitas pangkalan militer dari negara-negara Arab.


Untuk melanggengkan kondisi itu semua, kerap kali AS melakukan kebijakan-kebijakan luar negerinya yang sering kontradiktif bahkan terkesan berstandar ganda dengan nilai-nilai demokrasi itu sendiri, yaitu;


Pertama, mendukung dan membantu pemerintahan diktator yang serta-merta mencampakkan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia, asalkan menuruti kepentingan AS, seperti apa yang dilakukan oleh Mesir dan Tunisia.


Kedua, meskipun mengabaikan isu demokrasi pada negara-negara Arab yang bersekutu, akan tetapi AS selalu menggunakan isu itu sebagai alat penekan terhadap negara yang menjadi musuh AS, seperti; Libya, Sudan, Iran, dan Irak pada era Saddam Husain.


Dari dua kebijakan luar negeri itu, AS menjalankan kebijakan standar ganda, yakni membisu terhadap praktik pelanggaran demokrasi di negara-negara Arab yang menjadi sekutunya, di sisi lain selalu mempermasalahkan isu demokrasi di negara-negara Arab yang berada di luar siklus politik AS.


Akan tetapi kini peta politik itu berubah. Rezim-rezim diktator yang sebelumnya mempunyai hubungan baik dengan AS—apalagi yang memusuhinya, satu persatu harus terpaksi di tumbangkan, seperti; Tunisia, Mesir dan beberapa negara Arab lainnya yang kini sedang bergejolak di hampir semua Negara Timur Tengah.


Negara-negara tersebut kini tumbang berkat keserakahan AS, seakan-akan mereka menjadi korban gurita demokrasi sebagai gagasan kampanye utama AS.


Amerika Serikat selalu mengagungkan ujaran “Demokrasi”. Demokrasi adalah harga mati bahkan sakral. Apapun yang tergambar sebagai demokrasi selalu dianggap baik dan patut didukung. Demikian juga sebaliknya, apapun yang membahayakan demokrasi patut dicurigai dan bila perlu diberangus sampai musnah.


Karena itu-lah, maka tak salah jika Francis Fukuyama mengatakan bahwa “Gagasan tentang demokrasi sangat terkait erat dengan identitas Nasional Amerika. AS dengan penuh semangat terlibat di seluruh penjuru dunia tanpa terkecuali, bertindak sebagai kekuatan perdamaian dan kemakmuran dunia. Memperluas masyarakat demokrasi global adalah tujuan utama dari kebijakan luar negeri AS.”


Lalu pertanyaannya, fenomena apa dibalik kebijakan luar negeri AS tersebut?.


Menurut Prof. James Petras, seorang Profesor Emeritus di Brighamton University USA dalam bukunya “The Power of Israel in USA” menjelaskan dengan gamblang semua alasan invansi negara super power tersebut ke Timur tengah.


Ia juga menjelaskan bahwa ternyata ada sekenario besar antara Israel-Yahudi-Amerika dalam rangka memberangus Negara-negara Timur Tengah yang dari kaca mata kepentingan Israel mempunyai potensi penghalang bagi ketentraman eksistensi Negara Israel.


Proyek penghancuran itu berkisar pada Irak, Iran, Syiria, Mesir, Libia dan Negara-negara kuat lainnya di Timur Tengah. Ia menyatakan bahwa ada kepentingan yang menunggangi kebijakan luar negeri Amerika terhadap dunia Arab dan Timur Tengah. Ia menyebutnya sebagai kepentingan ideologis zionis.


Ternyata tidak hanya kepentingan di atas, mengguritanya pengaruh AS di Timur Tengah juga dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi jangka panjang. Itulah yang menyebabkan mengapa AS bernafsu menghegemoni Timur Tengah. Kepentingan itu terkait dengan sumber daya alam (baca: minyak) yang berlimpah di Tanah Arab.


Minyak sampai saat ini masih menjadi sumber energi yang paling strategis. Minyak menurut para pakar ekonomi masih berada di jantung ekonomi modern. Hampir seluruh infrastruktur ekonomi industri bergantung pada minyak. Karena memang minyak merupakan komoditas strategis. Minyak dari dulu memang selalu menjadi bahan sengketa yang sarat intrik politik dan konspirasi.

Dengan alasan-alasan di atas, maka sangat wajar jika sampai saat ini, dan mungkin sampai kapan pun, AS masih akan tetap bercokol menanamkan pengaruhnya di dunia Timur Tengah dengan dalih atas nama nilai demokrasi, HAM, dan pembebasan rakyat sipil.[]


Radar Lampung, edisi Rabu 03 Agustus 2011



[1] Pengajar Ilmu Politik Fakultas Ushuluddin IAIN Lampung

Tidak ada komentar: