Translate

Selasa, 02 Agustus 2011

** Gurita Demokrasi di Malaysia

Gurita Demokrasi di Malaysia

Oleh: K. Muhamad Hakiki

Pengajar Ilmu Politik Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung

Fenomena penembakkan gas air mata, meriam air, dan aksi pemukulan polisi dalam bentrokan dengan pengunjuk rasa mungkin hal yang terasa asing di Malaysia. Tapi itu-lah yang terjadi beberapa hari terakhir.

Suasana mencekam akibat aksi demonstran berdarah yang biasa terjadi di Indonesia, kini juga terasa di Malaysia. Sedikitnya ada 1.500-an orang ditangkap dalam aksi unjuk rasa berdarah yang menelan korban jiwa tersebut. Lalu pertanyaannya, Faktor apa yang menyebabkan gejolak itu muncul?. Ini-lah yang menarik untuk di ulas.

Kisruh politik yang melanda Malaysia menurut hemat saya disebabkan oleh kebebasan berdemokrasi yang tersendat. Hegemoni rezim yang berkuasa secara berlebihan yang saat ini dipegang oleh UMNO menjadi pemicu utama kerusuhan tersebut.

Terobosan kemajuan dalam bidang ekonomi yang dicapai rezim yang berkuasa nampaknya tak membuat negeri itu selalu damai. Berbagai fenomena intrik para elite politik kerapkali kita dengar di Malaysia. Dan faktanya, Kisruh politik yang melanda Malaysia dengan aksi ribuan demonstran turun ke jalan memuncak pada beberapa hari lalu.

Jika kita membandingkan fenomena yang terjadi di Malaysia saat ini, maka situasinya tak jauh berbeda dengan pemerintahan di Indonesia semasa rezim Orde Baru dahulu yang dimonopoli Golongan Karya (Golkar) bersama sekutunya yang mengharamkan pemberlakuan checks and balances dan memberangus siapa saja yang tidak seirama dengan penguasa Orba.

Jika merujuk ungkapan Franz Magnis-Suseno SJ dalam bukunya “Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis” yang mengatakan bahwa ciri utama sebuah Negara yang menerapkan sistem demokrasi adalah adanya pelembagaan mekanisme yang mengoptimalkan kontrol (checks and balances) masyarakat terhadap pemerintah, maka yang terjadi di Malaysia saat ini, belum tumbuh dan berkembang ciri demokrasi kearah tersebut..

Sejak kemerdekaannya pada 31 Agustus 1957, nuansa checks and balances belum berjalan sebagaimana mestinya dalam tampuk pemerintahan di negeri Malaysia. Demokrasi dalam pengertian di atas sampai saat ini masih terpasung.

Meskipun faktanya Malaysia sampai saat ini sudah menganut sistem multipartai sebagai syarat sebuah Negara yang menerapkan sistem demokrasi, pemilu sebagai salah satu unsur penting dalam mekanisme demokrasi sudah berjalan di arah yang benar, dan secara periodik dan rutin selama empat tahun sekali menggelar pemilu parlemen. Namun, faktanya pemilu yang tiap kali digelar itu selalu dimenangkan Barisan Nasional yang dikomandani UMNO.

Adanya monopoli kemenangan pemilu dan dominasi kekuasaan oleh satu partai politik, yaitu UMNO selaku kekuatan utama di Barisan Nasional membuat keran demokrasi seakan tertutup. Berbagai cara pun digunakan demi meredam aksi demonstrasi dari pihak-pihak oposisi.

Partai oposisi seperti Partai Islam se-Malaysia (PAS), Democratic Action Party (DAP) dan Partai Keadilan Rakyat (PKR), selalu tak berdaya menghadapi dominasi-monopoli kekuasaan Barisan Nasional yang dikomandoi oleh UMNO.

Bahkan yang lebih teragis, fenomena intrik politik yang terjadi di Malaysia kerapkali menggunakan cara-cara pencitraan yang kotor. Misalnya dalam pertarungan politik antara Anwar Ibrahim dengan musuh-musuh politiknya , isu seks (isu sodomi) digunakan sebagai senjata utama untuk menjatuhkan Anwar dengan cara menyiarkannya secara terbuka di televisi nasional dan koran-koran utama Malaysia.

Meskipun Malaysia dengan multipartainya selalu menyelenggarakan pemilu, akan tetapi faktanya tak ada demokrasi di negeri jiran Malaysia. Namun hal itu dibantah oleh rezim yang berkuasa yang diwakili oleh partai UMNO. Menurut Sekjen UMNO, Datuk Seri Tengku Adnan B. Tengku Mansor demokrasi tetap ada di Malaysia meskipun berbeda dengan negara-negara Barat. Hal ini karena rakyat Malaysia dianggap belum dewasa untuk berdemokrasi.

Hal senada pun diungkapkan oleh Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Najib Tun Razak yang mengatakan bahwa berdemo bukan bagian dari kultur Malaysia. Aksi demonstrasi sebagai cara terakhir yang digunakan ketika aspirasi masyarakat tidak didengar nampaknya hal yang tabu buat pemerintahan Malaysia. Karena itu, wajar jika kemudia Malaysia dianggap sebagai Negara yang menegakkan sistem demokrasi semu.

Aksi demonstrasi yang terjadi pada minggu 9 Juli 2011 itu adalah aksi protes terbesar selama empat tahun terakhir di Malaysia. Aksi ini digerakkan oleh tokoh-tokoh koalisi Bersih 2.0 Malaysia. Tuntutan mereka adalah adanya pemilu adil dan bersih.

Yang menarik dari aksi demostrasi di Malaysia tersebut adalah munculnya demonstran dari kalangan generasi muda Malaysia yang berusia sekitar 20 tahunan. Menurut Ibrahim Suffian, direktur riset independen Merdeka Centre Malaysia, mengatakan bahwa para demonstran tersebut sebagai 'generasi Facebook'. Istilah ini muncul karena gerakan Bersih 2.0 mengawali gerakannya melalui jejaring sosial, Facebook,"

Kegelisahan anak muda tersebut wajar. Karena sejak Malaysia merdeka, kekuasaan terus menerus dikuasai oleh UMNO. Pihak oposisi selalu tidak mendapatkan tempat penyeimbang bagi pemerintah.

Ada banyak bukti bagaimana rezim penguasa Malaysia begitu otoriter kepada masyarakatnya, misalnya pemerintah Malaysia bisa saja melakukan penahanan tanpa melalui proses hukum kepada siapa pun pembangkang pemerintahan yang sah. Dalam kasus media masa misalnya, pemerintah Malaysia bisa dengan suka hati mengganti pimpinan media massa tersebut, apabila dinilai membahayakan stabilitas nasional.

Meskipun begitu, pemerintah Malaysia saat ini boleh berbangga hati karena aksi demonstrasi telah mereda. Namun begitu bukan berarti ekspresi terhadap ketidakpuasan kepada pemerintah sudah berhenti. Aksi demonstrasi yang mengatasnamakan prodemokrasi setiap saat akan berulang apabila Malaysia tidak melakukan pembenahan terhadap sistem pemerintahannya.[]

Terbit di kolom opini Radar Lampung edisi kamis 21 Juli 2011

Tidak ada komentar: