Translate

Sabtu, 26 Februari 2011

** Pudarnya Identitas Budaya

Pudarnya Identitas Budaya

Oleh: K. Muhamad Hakiki

Direktur Pusat Studi Agama dan Budaya (PSAB) Raden Intan Lampung, Santri S-3 UIN Bandung

Dulu mungkin kita sering mengatakan dengan bangga bahwa saya orang sumatera, saya orang Jawa, saya orang Sunda, saya orang Indonesia atau yang lainnya.Tapi, kini kita tidak lagi bisa mengatakan seperti itu. Yah, karena dalam diri kita sebenarnya memiliki identitas-identitas ganda.

Di antara menyusutnya identitas budaya itu karena kita tanpa disadari telah berhubungan dengan manusia yang secara identitas mereka berbeda. Belum lagi, berbagai kebudayaan yang kita bawa berbaur dengan kebudayaan lainnya. Sehingga dengan begitu kita pun terkadang mempunyai identitas yang baru.

Di antara penyebab perubahan identitas budaya adalah;

pertama, mencairnya batas-batas kebudayaan. Dulu kebudayaan selalu diikat oleh batas-batas fisik yang jelas. Sebagai contoh pakaian kebaya, sungkeman, batik, selalu identik dengan pakaian atau adat buadaya jawa. Identitas budaya seperti itu selalu dijadikan sebagai batas-batas atau simbol-simbol fisik yang menjadi dasar dalam pendefinisian keberadaan suatu kebudayaan, khsusnya pada saat sesuatu yang bersifat fisik itu masih dianggap paling penting dan menentukan.

Namun, ketika kesadaran atau pola pikir manusia mengalami perubahan, mencairnya batas-batas teritorial identitas, mobilisasi manusia, kecanggihan intelektual yang dimiliki, media komunikasi yang semakin modern, masyarakat menjadi terintegrasi bukan hanya pada level lokal akan tetapi dunia,

Karena itu, maka batas-batas identitas suatu kebudayaan itu pun mau tidak mau harus mencair atau memudar. Tradisi sungkeman, bercium tangan sebagai simbol kepatuhan dan ketundukan seorang anak kepada orang tua pun menjadi tergantikan hanya lewat telepon atau alat canggih lainnya.

Bahkan tidak hanya itu, dengan kecanggihan tekhnologi, batas-batas teritorial sebuah komunitas, kelompok, terasa tak berarti. Orang Indonesia dalam waktu yang sama dapat berkomunikasi, berinteraksi dengan manusia luar yang tanpa di sadarinya transfer budaya pun saling berpindah. Manusia pun dalam waktu singkat dapat berganti-ganti karakter atau pola pikir layaknya seperti manusia “mutan”.

Irwan Abdullah mencontohkan bahwa dengan semakin canggihnya arus komunikasi dunia modern, unsur-unsur kebudayaan kerap kali mengalami penyusutan atau penyesuaian. Sebagai contoh, arsitektur Bali tidak hanya ditemukan di Bali, akan tetapi juga dapat ditemukan di Jakarta.

Karena itu, kerajinan khas Bali pun dengan mudah dapat kita temukan tidak hanya di Bali, akan tetapi diluar bahkan sampai dunia Eropa. Kesimpulannya menurut Irwan Abdullah, apa yang ada atau khas di Bali tidak hanya harus menjadi monopoli Bali, karena unsur-unsur kebudayaan Indonesia yang lain atau unsur kebudayaan dunia dapat dengan mudah ditemukan dalam bentuk-bentuk ekspresi simbolik di mana pun.

Karena itu, dengan adanya integrasi tatanan global, kebudayaan kemudian tidak lagi terikat pada batas-batas fisik yang kaku yang disebabkan oleh ikatan ruang yang bersifat deterministic.

Kedua, sebab adanya perubahan budaya juga karena adanya politik ruang dan makna budaya. Makna suatu simbol juga disebabkan oleh struktur kekuasaan yang berubah. Hal senada pun diungkapkan oleh Irwan Abdullah. Ia mengatakan suatu kebudayaan bagaimanapun tidak dapat dilepaskan begitu saja dari ruang di mana kebudayaan itu dibangun, dipelihara, dan dilestarikan, atau bahkan diubah.

Dengan adanya kepetingan kekuasaan yang berbeda, maka ruang yang menjadi wadah tempat kebudayaan telah mengalami re-definisi baru sejalan dengan tumbuhnya gaya hidup modern yang secara langsung diawali dengan perubahan rancangan ruang.

Ketika kondisi ini terjadi, maka ruang pun menjadi arena yang diperebutkan, demi melanggengkan sebuah kepentingan kekuasaan atau politik tertentu. Karena itu, makna kebudayaan pun harus tunduk terhadap siapa yang mendefinisikan ulang.

Buah dari semua ini, maka sebuah simbol dan makna kebudayaan pun menjadi suatu objek yang kehadirannya dihasilkan oleh suatu proses negosiasi yang melibatkan sejumlah kontestan yang terlibat dengan kepentingan yang berbeda.

Ketiga, ketika hegemoni kepentingan politik kekuasaan terjadi, maka secara bersamaan, pemaksaan akan makna ruang dan makna sebuah identitas budaya pun terjadi. Posisi publik yang enggan mengikuti keinginan penguasa pun tercerai berai menjadi kelompok-kelompok kecil yang juga beragam di dalam memaknai ruang dan makna identitas budaya.

Kontestasi berbagai institusi terjadi secara intensif yang menyebabkan individu menjadi objek dan komoditi dari kepentingan-kepentingan yang berbeda. Mereka yang tersubordinasi pun ikut melakukan kontestasi dalam bentuk pemaknaan dekonstruktif atau pembangkangan terhadap pendefinisian ruang dan makna identitas badaya yang dilakukan oleh hegemoni pemegang kendali kuasa.

Tarik menariknya antara pemegang kendali kuasa dengan mereka yang tersubordinasi pun menjadikan identitas kebudayaan pun mengalami konstruksi dan reproduksi yang berebda yang tentunya syarat akan kepentingan yang berbeda.

Simbol-simbol budaya pun pada akhirnya dijadikan sebagai alasan penegasan autentisitas kelompok yang keberadaannya menjadi bagian dari sistem sosial global dengan pertentangan nilai yang juga tajam.

Kondisi inilah yang menurut saya terjadi saat ini, terlebih ketika beberapa bulan yang lalu saat kita dikisruhkan tentang perebutan identitas dengan Malysia misalnya. Buah dari kondisi ini semua, kita rindu akan masa lalu atau dalam bahasa Irwan Abdullah mereka tertarik melakukan replikasi dari kesukubangsaan dengan parameter yang berbeda yang didasarkan bukan pada nilai lokal yang sama, tetapi pada minat dan kepentingan yang sama dari mereka yang secara asal usul berbeda. Dan kita baru sadar bahwa semua itu telah “hilang”.[]

Artikel ini dimuat di kolom opini Radar Lampung, edisi Rabu 23 Februari 2011

Tidak ada komentar: