Translate

Sabtu, 26 Februari 2011

** Nabi dan Kota Makkah

Nabi Dan Kota Makkah

Oleh: K. Muhamad Hakiki

Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, Santri S-3 UIN Bandung

Jutaan kaum muslimin diseluruh dunia melakukan perayaan maulid sebagai tanda mengenang hari kelahiran Nabi Muhammad saw yang dikenal sebagai khatamannabiyiin (pamungkas Nabi). Perayaan itu di Indonesia dikenal dengan disebut “muludan”.

Perayaan maulid di Indonesia dilakukan dengan beragam cara; ada yang merayakannya dengan bentuk pengajian dengan mengundang para da’i-da’i kondang untuk menceritakan sejarah kehidupan Nabi, ada juga yang merayakannya dengan tradisi “riungan”, yakni sebuah acara kumpul-kumpul dengan saling membawa berbagai macam bentuk makanan yang kemudian diringi dengan ritual do’a dan lainnya.

Terlepas dari itu semua, apa pun bentuknya, semua itu bertujuan memperingati dan mengenang sejarah dan perjuangan Nabi besar Muhammad saw untuk dijadikan teladan bagi umatnya.

Sebagai wujud kecintaan kepada Nabi Muhammad saw, dalam kesempatan ini saya menghadirkan sebuah penelusuran sejaran Nabi Muhammad dengan sudut tinjauan yang berbeda dari yang biasa di lakukan pada umumnya.

Menelusuri jejak sejarah di balik pemilihan kota Makkah atau Macoraba sebagaimana disebut oleh Ptolemius sebagai tempat kelahiran Nabi Muhammad saw sangat menarik.

Jika menelusuri sejarah Nabi, baik yang tertera dalam Alqur’an, hadits, maupun kitab-kitab shirah (sejarah), dapat kita identifikasi kenapa Allah lebih memilih tanah Arab (baca: Makkah) sebagai tempat kelahiran Nabi terakhir yakni Muhammad saw , bukan wilayah-wilayah lainnya seperti Israel, Mesir atau yang lainnya.

Tentunya pemilihan ini bukanlah sesuatu kebetulan akan tetapi memiliki nilai historis yang patut kita renungkan dan telusuri. Menurut hemat saya, sedikitnya ada beberapa hal yang bisa kita gunakan sebagai sebab kenapa Allah memilih Makkah dibandingkan kota lain di sekitar Arab atau negara lainnya. Di antara sebab itu adalah sebagai berikut;

Pertama, Menurut cerita, manusia yang membangun Ka’bah adalah Nabi Adam ketika ia harus “terusir” dari surga. Pada saat itu, Adam merasa sedih karena tak bisa lagi melakukan ibadah seperti yang dilakukan para Malaikat yang beribadah mengelilingi Singgasana Allah.

Kesedihan yang menimpanya kemudian mendapatkan hiburan dengan diperbolehkannya ia membangun Ka’bah sebagai bentuk tiruan dari ‘Arsy-nya Allah. Setelah bangunan itu selesai, Adam pun diperintahkan untuk mengelilinginya.

Bangunan Ka’bah yang dibangun Adam pada akhirnya harus sirna tertimbun pasir. Kemudian datanglah Nabi Ibrahim yang berputra Nabi Ismail membangun kembali Ka’bah yang tertimbun atas petunjuk Allah ( QS: al-Baqarah : 127).

Jika dibandingkan dengan the Holy of Holies yang berisi “sepuluh perintah Tuhan”, sebagai tempat paling suci agama Yahudi yang juga pernah menjadi kiblatnya umat Islam sebelum dipindahkan arahnya ke Ka’bah. Ternyata jika dilihat dari segi usia ke dua tempat suci itu, maka Ka’bah jauh lebih tua usianya dari the Holy of Holies yakni sekitar 1000 tahun lebih tua.

Dari data sejarah ini, masuk akal jika kemudian Makkah yang di dalamnya terdapat Ka’bah dijadikan lokasi tempat kelahiran Nabi yang ternyata dilihat dari segi nasabnya—antara nabi Muhammad dengan Ibrahim—adalah sedarah.

Memperkuat data ini, Philip K. Hitti menjelaskan bahwa kota Makkah yang terambil dari bahasa Saba yakni Makuraba (tempat suci) ternyata menunjukan bahwa kota itu jauh sebelum kelahiran Nabi merupakan tempat pusat keagamaan.

Kedua, Makkah sebagai jalur perdagangan. Menurut seorang orientalis kawakan yakni Philip K. Hitti dalam bukunya “History of the Arabs” dikatakan bahwa Mekkah sebelum kota itu dilintasi “jalur rempah-rempah” dari selatan ke utara, Mekkah sejak lama telah menjadi tempat persinggahan dalam perjalanan antara Ma’rib dan Gazza.

Orang-orang Makkah yang progresif dan memiliki naluri dagang berhasil mengubah kota Makkah menjadi pusat kemakmuran. Kemakmuran kota itu bisa digambarkan dari sebuah kafilah dagang Makkah yang terlibat dalam perang Badr (16 Maret 624).

Ketiga, tradisi nomaden. Dalam sejarah dijelaskan bahwa Makkah adalah kota yang gersang dan berbukit (QS: Ibrahim: 37) sebagai tanah yang “tidak bisa ditanami” dan bersuhu sangat panas.

Tandusnya kota Makkah membuat masyarakat ini melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain demi mencari sumber air untuk kehidupan mereka dan ternaknya.

Pencarian lokasi ke tempat subur juga kerapkali diawali dengan perebutan bahkan peperangan antara satu kabilah degan kabilah lainnya. Pola hidup seperti ini (baca: nomaden) kemudian menjadi karakter yang melekat pada masyarakt Arab.

Karena alsan ini-lah , wajar jika kemudian masyarakat Arab dikenal sebagai masyarakat yang ambisius, berani, mempunyai loyalitas (ashabiyah) yang tinggi.

Karakter seperti ini di satu sisi ternyata menguntungkan bagi syi’ar Islam pada fase selanjutnya. Islam yang berada di “tangan” orang Arab dengan waktu yang relatif singkat dapat menyebar ke berbagai kawasan sampai ke Eropa dan Asia.

Jika kita berandai-andai Islam di turunkan di Indonesia mungkin kondisinya akan lain, penyebaran Islam mungkin tidak secepat di tangan orang-orang Arab.

Dengan kondisi tanah yang subur, dan karakter masyarakat Indonesia yang apa adanya, tidak ambisius, membuat Islam mungkin juga berkembang dengan cara yang lamban.

Dari realita sejarah di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa pemilihan Mekkah sebagai tempat kelahiran Nabi dan awal titik bersinarnya agama Islam adalah pemilihan yang tepat, logis dan realistis, sekaligus mempunyai akar historis yang kuat dan lama. Wallahu a’lam.

Artikel ini dimuat di surat kabar Radar Lampung edisi Selasa 15 Februari 2011

Tidak ada komentar: