Translate

Sabtu, 05 Februari 2011

** Etnis Tionghoa di Indonesia

Etnis Tionghoa di Indonesia

Oleh: K. Muhammad Hakiki[1]

Secara kuantitatif, etnis Cina masih merupakan golongan keturunan asing terbesar dibandingkan etnis asing lainnya di Indonesia. Bahkan golongan yang kemudian dikenal sebagai “Overseas Chinese” ini kini telah tersebar diseluruh penjuru Nusantara ini.

Eksistensi etnis Cina di Indonesia memang cukup lama. Menurut data sejarah, bangsa Cina pertamakali datang ke Indonesia diperkirakan sejak abad ke-5, tepatnya 411 M.

Dalam catatan sejarah, orang Cina yang pertamakali datang ke Nusantara adalah Fa Hian. Kedatangannya dalam rangka melaksanakan tugas untuk mengumpulkan kitab suci agama Budha.

Semenjak kemunculannya, perjuangan eksistensi etnis Cina di Indonesia tidak-lah indah. Ribuan nyawa dan kekayaan telah dikorbankan atau menjadi korban sebagai wujud perjuangan etnis Cina untuk bertahan eksis dinegeri ini.

Sajian sejarah pilu perjuangan etnis Cina dalam tulisan ini tidak bermaksud membuka kembali luka lama, akan tetapi, sajian sejarah ini bisa menjadi titik tolak bagaimana pentingnya menumbuhkan sikap saling menghargai terhadap etnis yang berbeda, atau agama yang berbeda.

Konflik pribumi dengan etnis Cina sebenarnya sudah terjadi ketika pertama kali etnis Cina datang ke Nusantara. Sikap anti Cina semakin kuat pada zaman Orde Lama (ORLA) tahun 1959 dengan munculnya keputusan larangan dagang bagi orang asing termasuk Cina. Kondisi ini membuat para pedagang Cina mendapat kesulitan. Buah dari kondisi ini, ada sekitar 100 ribu etnis Cina mencoba lari dari Indonesia menuju negeri asalnya.

Hubungan disharmonis semakin mengkristal terlebih setelah adanya kebijakan pemerintah ORBA terkait dengan etnis Cina di Indonesia; Keputusan Presidium Kabinet No.127/U/Kep/12/1966 menganai ganti nama bagi warga negara Indonesia yang memakai nama Cina. Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Instruksi Mendagri No. X/01 tahun 1977 tentang petunjuk pelaksanaan pendaftaran penduduk yang membuat warga keturunan dibedakan dengan warga pribumi.

Sikap anti Cina berujung di bulan Mei 1998 di Jakarta yang kemudian dikenal sebagai “Tragedi Mei”. Kerusuhan ini merupakan yang terparah dibandingkan dinegara lainnya, sehingga tak berlebihan jika Wang Guwu mengatakan bahwa;

tidak ada suatu golongan Cina perantauan di dunia yang mengalami demikian banyak keguncangan seperti yang dialami oleh minoritas Cina di Indonesia.”

Serangkaian sikap anti Cina di atas menurut hemat saya dipicu oleh beberapa faktor; diantaranya persaingan ekonomi, politik dan agama. Lebih dari itu, faktor yang sifatnya psikologis juga ikut memperkeruh, diantaranya adalah adanya ketidaksiapan masyarakat Cina dan Pribumi untuk hidup dalam masyarakat yang majemuk ini.

Adanya ketidaksiapan ini dipicu sikap “chauvinisme budaya”. Dalam hal ini orang Cina kerapkali menampilkan egoisme etnis dan menganggap bahwa mereka lebih hebat dan memiliki kebudayaan yang tinggi di bandingkan dengan masyarakat pribumi. Jika perasaan ini masih tetap tumbuh dikalangan etnis Cina, maka prasangkan dan kebencian terhadap etnis Cina akan sulit untuk dihilangkan.

Sikap anti Cina mulai meredup pada masa Reformasi. Hal tersebut terlihat dari ungkapan Presiden RI saat itu yakni B.J Habibie yang mengatakan;

bangsa Indonesia tidak mengenal perbedaan berdasarkan SARA. Menurutnya seluruh warga negara Indonesia adalah pribumi selama mereka masih memiliki komitmen terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Walaupun lahir dari keturunan pribumi, tetapi tidak memiliki komitmen terhadap persoalan kebangsaan, maka kualitas kebangsaannya perlu dipertanyakan.”

Dengan statemen ini, nasib etnis Cina mulai tercerahkan. ”Udara segar” semakin leluasa dihirup oleh mereka tepatnya pada masa pemerintahan Gusdur (Alm).

Ia menggagas ide pembauran sejati antara pribumi dan etnis Cina. Pada masa ini, mulai dipahami sebagai bagian dari kemajemukan budaya, dan mulai dihapuskannya beberapa peraturan negara yang cenderung merugikan etnis Cina. Salah satunya adalah perayaan Imlek dan upacara adat Cina lainnya yang sebelumnya dilarang kini sudah mulai diperbolehkan. Bahkan untuk kasus hari raya Imlek telah dijadikan sebagai hari libur nasional yang harus dihormati oleh seluruh warga Indonesia..

Dengan momen Imlek ini, sejatinya kita sebagai warga Indonesia yang dikenal akan keramahan dan kesantunannya dan etnis Cina, untuk selalu mengedepankan dan memupuk kembali "pohon" perdamaian dan menjalin harmoni. Dan kepada etnis Cina, saya mengucapkan selamat memperingati hari Imlek, marilah kita jalin kembali tali persaudaraan yang sempat pupus. []

Artikel ini pernah dimuat dalam kolom opini Surat Kabar Radar Lampung, edisi Rabu 02, Februari 2011.



[1] Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung

Tidak ada komentar: