Translate

Rabu, 03 Agustus 2011

** Urgensi Pendidikan Multikultural di Sekolah

Urgensi Pendidikan Multikultural di Sekolah

Oleh: K. Muhamad Hakiki[1]

Bumi Indonesia sampai saat ini masih dikukuhkan sebagai salah satu negara yang multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi geografis alam dan demografis yang begitu beragam dan luas.

Keragaman yang dimiliki Indonesia, di satu sisi adalah merupakan anugrah yang sangat berharga dan harus dilestarikan, akan tetapi keragaman ini di sisi lain—diakui atau tidak—adalah sebuah tantangan karena di dalamnya akan dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti kolusi sesama etnis, nepotisme, kemiskinan, perusakan lingkungan, separatisme, dan dan yang lebih menghawatirkan adalah akan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, yang merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme tersebut.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka sebagai salah satu upaya antisipasinya adalah diperlukan strategi khusus untuk memecahkan persoalan tersebut melalui berbagai bidang; sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menurut saya bisa menawarkan satu solusi alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat.

Upaya untuk mewujudkan pendidikan multikultural ini akan lebih efektif jika dimulai dari tingkat sekolah. Dengan rancangan kurikulum dan materi belajar berbasis pendidikan multikultural ini diharapkan para siswa dapat mengenal dan memahami akan keragaman yang ada dinegerinya. Dengan cara seperti ini, maka kelak sikap saling menghargai—baik antar etnis, bahasa, budaya, karakter, status sosial, gender, bahkan agama sekalipun— akan terbiasa tumbuh dalam benak dan sikap mereka.

Karena itulah demi untuk memenuhi kebutuhan itu, di samping bahan ajar yang harus mencerminkan pola pendidikan multikultural, yang terpenting lagi dan hal ini juga perlu mendapat apresiasi serius adalah sikap yang harus diambil oleh para pendidik itu sendiri dalam hal ini adalah para guru.

Dalam pendidikan multikultural, seorang guru tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran yang diajarkan. Lebih jauh dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa—baik dalam sikap atau ucapan.

Dengan cara seperti itu, pada gilirannya, diharapkan out-put yang dihasilkan dari lembaga pendidikan sekolah tidak hanya cakap dalam penguasaan materi sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya, akan tetapi juga cakap dan mampu memahami dan menerapkan nilai-nilai keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan etnis, bahasa, budaya, karakter, status sosial, gender, bahkan agama yang berbeda sekalipun.

Konflik yang terjadi di Indonesia memang dilatarbelakangi oleh beberapa motif; ekonomi, politik, keragaman etnis, dan ditengarai dipicu juga oleh salah satu faktor lainnya yakni adanya paradigma keberagamaan masyarakat yang bersifat eksklusif.

Karena itu, sebagai solusi dini untuk meminimalisir konflik-konflik yang terus menjalar di Indonesia, diperlukan langkah-langkah preventif untuk mencegah berkembangnya paradigma tersebut, yaitu dengan membangun pemahaman keberagamaan yang lebih inklusif-pluralis, multikultural, humanis, dialogis-persuasif, kontekstual melalui pendidikan, media massa, dan interaksi sosial.

Lalu bagaimana membangun pemahaman keberagamaan inklusif dilingkungan sekolah?

Ada banyak langkah yang bisa dilakukan; dalam hal ini, guru mempunyai posisi penting dalam mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan inklusif di sekolah, tidak hanya dalam bentuk teori akan tetapi juga dalam bentuk praktek. Peran guru dalam hal ini meliputi;

Pertama, seorang guru harus mampu bersikap demokratis, baik dalam sikap maupun perkataannya dan tidak berprilaku diskriminatif kepada siswa.

Kedua, guru seharusnya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-kejadian tertentu yang ada hubungannya dengan agama. Misalnya, ketika terjadi kerusuhan di negeri ini—baik kerusuhan yang berifat SARA atau adanya peledakan bom, maka tugas seorang guru yang berwawasan multikultural selayaknya harus dapat mampu mengurai dan menjelaskan keprihatinannya terhadap peristiwa tersebut dan tentunya di sini seorang guru harus objektif dalam menilai da tidak melakukan pemihakan yang dapat membawa dan menumbuhkan sikap saling permusuhan.

Ketiga, guru seharusnya menjelaskan bahwa inti dari ajaran agama adalah menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh ummat manusia, maka dengan demikian prilaku yang berdampak merugikan—baik itu kerusuhan, kejahatan, bahkan pemboman, dan segala bentuk kekerasan adalah sesuatu yang dilarang oleh agama.

Keempat, guru juga harus mampu memberikan pemahaman tentang pentingnya menumbuhkan sikap dialog dan musyawarah dalam rangka menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan keragaman budaya, etnis, dan agama.

Kelima, seorang guru ketika dikelas tidak hanya bertugas sebagai pendidik dan memberikan ilmu saja, akan tetapi juga harus bisa berprilaku seperti Ayah atau Ibu yang mau mendengarkan keluh kesah dan berkomunikasi kepada siswa itu sendiri.

Dengan cara ini diharapkan sikap saling terbuka, kedekatan, antara siswa dan guru dapat terbentuk. Dan jika hal ini sudah terjadi, maka harmonisasi dalam dunia pendidikan akan tercapai dan tentunya hal ini sedikit banyak akan berpengaruh ketika siswa itu sendiri berinteraksi diluar sekolah.[]

Dipublikasikan di Lampung Post edisi Juli 2011



[1] Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung

Tidak ada komentar: