Translate

Kamis, 25 November 2010

Budaya Lokal

*** Melestarikan Kearifan Lokal Sunda

Oleh.

K. Muhammad Hakiki

Mahasiswa S3 Program Religious Studies UIN Bandung

Jika kita mendengar istilah sunda, maka biasanya yang cepat terlintas dalam ingatan kebanyakan orang adalah lagenda (folklore) atau kisah (story) masyarakat sunda seperti; si Kabayan, Sangkuriang, Prabu Siliwangi, dan tokoh-tokoh lagendaris lainnya.

Bahkan tak hanya itu, karakter masyarakat sunda, seperti; ramah, suka mengalah, sopan santun, religius adalah nilai lebih dari orang sunda yang membekas dalam ingatan etnis-etnis non sunda.

Kondisi itu wajar karena memang tataran sunda adalah salah satu wilayah yang memiliki kekayaan aneka budaya peninggalan para luluhur yang syarat akan pesan moral yang seharusnya dijaga sampai kapanpun. Akan tetapi, sangat disayangkan, kekayaan itu kini sedikit demi sedikit memudar dan tergerus di antaranya oleh arus modernisasi dan globalisasi yang tak kenal kompromi ini. Padahal pertumbuhan dan perkembangan kesenian budaya dan cerita rakyat tidak dapat dipisahkan dari warna dan ciri kehidupan masyarakat itu sendiri sebagaimana dikatakan oleh Sidi Gazalba (1977: 85).

Tapi pertanyaannya sekarang apakah pesan-pesan moral tradisi budaya leluhur itu atau petatah petitih dalam istilah sunda masih kuat digugu oleh masyarakat sunda saat ini. Disinilah perenungan dan pembacaan itu mesti dimulai.

Menurut hemat saya pesan-pesan moral yang terkandung dalam kearifan lokal (tradisi budaya) peninggalan zaman dulu nampaknya kini mulai terreduksi dan kerap kali menjadi simbol atau menjadi seremonial saja di masyarakat sunda.

Terlebih disaat zaman globalisasi yang semakin modern ini mulai kuat mencengkram negeri kita yang tak bisa kita elakkan karena memang era zaman ini adalah sebuah era di mana dunia seakan tak bersekat, batas-batas territorial seakan tak berarti. Di era ini interaksi antar budaya, peradaban semakin mudah dilakukan.

Karena itu, proses saling mempengaruhi satu sama lain tak bisa dinafikan—baik bersifat positif maupun negatif. Tak hanya itu, di era ini proses saling mempengaruhi antar budaya, peradaban, idiologi, bahkan agama terjadi tanpa disadari. Dan ujungnya kontaminasi pun adalah sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar termasuk di dalamnya oleh masyarakat tatar sunda.

Lalu pertanyaannya, apa yang harus kita lakukan, apakah kita harus lari menjauhi dunia modern ini? Ataukah harus mengikuti arus, biar terkesan modern atau sok modern dan tidak dikatakn katro meminjam istilak Tukul?.

Di sinilah nampaknya kita harus arif dan cermat menghadapi itu. Hidup modern tidak mesti melacurkan diri dengan menjual, menggadaikan apalagi mengorbankan, atau membuang tradisi-tradisi mulia yang sudah lama kita gugu dan amalkan. Bukankah ada pepetah mengatakan bahwa “Bangsa yang besar adalah bangsa yang sanggup menghargai dan mencintai tradisi leluhurnya

Menurut hemat saya masih banyak tradisi kita yang ternyata bernilai arif dan tak usang. Wejangan-wejangan leluhur tersebut ternyata bernilai positif yang harus dikembangkan, misalnya babasan, bodo alewoh dan bodo katoloyoh. Bodo alewoh bermakna menyadari bahwa dirinya bodoh, akan tetapi berkeinginan keras untuk menjadi orang pintar. Sementara bodo katoloyoh diartikan sebagai orang yang bodoh yang tidak mau merubah hidupnya menjadi orang pintar. Bukankah pepatah ini begitu mulia sebagai motivasi hidup untuk lebih maju.

Atau istilah ”dulang Tinande” yang berasal dari dua kata “dulang” yang berarti sebuah tempat yang terbuat dari kayu yang digunakan untuk menanak nasi. Sedangkan “tinande” adalah suatu aktivitas menampung sesuatu dengan menggunakan sebuah tempat. Jadi “dulang tinande” adalah sebuah sebuah ajaran untuk menumbuhkan sikap religiousitas masyarakat sunda atau nasihat bagi orang sunda untuk selalu patuh serta kepasrahan manusia pada Tuhan sebagai yang Maha Pencipta tanpa harus melupakan proses usaha atau ikhtiar.

Wejangan lainnya seperti wejangan manusia saleh dalam hal ini Sunan Gunung Djati dari Cirebon yang mengajarkan pentingnya kedisiplinan dan tatakrama; aja nyindra janji mubarang (jangan banyak mengingkari janji); pemboroban kang ora patut anulungi (perbuatan salah jangan di bantu); aja ngaji kejayaan kang ale rutah (jangan mempelajari sesuatu untuk disalah gunakan); den hormat ing wong tuwe karo (hormat kepada kedua orang tua).

Peninggalan leluhur lainnya seperti Seren Tahun bagi kaum petani yang biasa dilakukan pasca panen. Tradisi ini bermakna ritual persembahan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas anugrah keberhasilan panen sehingga dapat mempertahankan hidup dan meningkatkan kesejahteraan.

Di antara sedikit contoh peninggalan leluhur orang sunda di atas ternyata kini sudah mulai dilupakan. Padahal menurut saya, warisan di atas begitu indah yang sepatutnya harus dipribumikan dan dikenalkan dalam prilaku orang sunda jika saja kita masih berkeingian menjadi penghuni tatar sunda ini. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ajip Rosidi (budayawan sunda) ketika mendefinisikan istilah sunda sebagai sebuah etnis yang menempati wilayah geografis Jawa Barat (termasuk sebagian wilayah Banten) yang menghayati dan mempergunakan norma-norma dan nilai-nilai sosial budaya sunda dalam hidupnya, sekalipun leluhurnya bukanlah orang sunda, tetapi ia mengalami sebuah proses penyundaan karena telah dilahirkan, dibesarkan, dan hidup dalam lingkungan sosial budaya sunda.[ ]

Tidak ada komentar: