Translate

Kamis, 25 November 2010

Haji

*** Memaknai Perjalanan Spiritual Haji

Oleh: K. Muhammad Hakiki

Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Lampung, mahasiswa S-3 Religious Studies UIN Bandung

Sampai saat ini, jutaan umat Islam di seluruh dunia berharap dapat menunaikan ibadah rukun Islam ke lima itu yakni ibadah haji. Ibadah haji kerap kali dijadikan patokan kesempurnaan beragama seseorang. Seseorang yang ekonominya cukup, tidak akan dikatakan sempurna beragamanya jika belum berhaji. Karena itu, maka tak heran jika Indonesia yang umat muslimnya mayoritas di dunia selalu menjadi kontestan terbanyak mengirimkan jamaah haji.

Apa yang mengistimewakan ibadah haji dari ibdah-ibadah lainnya? Ibadah haji merupakan sebuah perjuangan mental-spiritual maha dahsyat. Ia tak hanya membutuhkan pengerahan energi fisik atau energi i-mmaterial yang tak terlihat seperti niat yang bulat, keikhlasan hati dan ketakwaan saja.

Menurut saya yang tak kalah penting adalah penghayatan. Penghayatanlah yang membuat semua ibadah menjadi bermakna. Hal ini-lah yang justru akan membuahkan perjalanan akhir yang dicita-citakan yakni haji mabrur akan tercapai.

Penghayatan akan berbagai makna filosofi ritual haji penting untuk dilakukan sebagai wujud penyadaran akan eksistensi manusia di muka bumi ini. Karena semua ritual haji yang dilakukan penuh akan makna pelajaran bagi manusia.

Berikut beberapa di antara ritualitas haji yang syarat akan makna pelajaran buat manusia;

Pertama, Ihram. Ihram ditandai dengan mengenakan pakaian dua helai berwarna putih bagi laki-laki dan bagi wanita pakaian biasa yang menutupi seluruh anggota tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan.

Kalau kita renungkan, pakaian ihram yang dikenakan ketika berhaji sangat berbeda dengan pakaian sehari-hari. Para jama’ah haji yang kebanyakan secara ekonomi cukup itu diharapkan ketika ber-ihram ia sadar bahwa semua bentuk-bentuk lahiriah dan status sosial harus dilepaskan untuk berlomba membawakan kualitas diri meraih predikat sebagai yang terbaik di sisi Allah.

Kedua, Thawaf. Setelah melaksanakan ihram, para jama’ah haji lalu menuju Makkah untuk melakukan thawaf mengelilingi ka’bah yang dalam Alqur’an disebut dengan Bait al-‘Atiq (rumah pembebasan). Karena itu, maksud dari ber-thawaf mengelilingi ka’bah dimaknai sebagai usaha pembebasan dari belenggu syirik, belenggu nafsu keduniawian, dan belenggu ego ketika kita hidup didunia.

Ketiga, Wuquf di Arafah. Pada hari tanggal 9 Dzulhijjah seluruh jama’ah haji berbondong-bondong menuju tanah Arafah begaikan kebangkitan mereka dari kematian kelak. Ketika jama’ah haji berkumpul dipadang pasir itu dimaknai bahwa manusia dihadapan Allah sangat lemah, sangat kecil bagaikan sebutir pasir ditenah bebatuan Arafah. Karena itu, makna dibalik ritual wuquf adalah penyadaran akan posisi manusia yang tak pantas untuk berprilaku sombong di hadapan Allah dan manusia.

Keempat, ritualitas ibadah haji lainnya adalah Sa’i antara bukit Shafa dan Marwa. Menurut sejarahnya pada masa pra-Islam kedua bukit ini dijadikan sebagai tempat pemujaan untuk mendapatkan keberuntungan hidup (mengadu nasib), kesembuhan penyakit.

Secara bahasa Sa’i bermakna “berusaha”. Shafa dan Marwa disimbolkan sebagai dua kutub kehidupan; kutub dunia dan kutub akhirat atau kutub lahir dan batin (eksoterik dan esoterik). Karena itu ketika jama’ah haji melakukan Sa’i, dimaknai bahwa ritual itu diharapkan manusia dapat menjangkau kedua kutub kehidupan tersebut sebagai bentuk kesempurnaan hidup. Untuk menjangkau tujuan itu ternyata tidak-lah mudah. Karena itu manusia harus melakukannya secara berulang yang disimbolkan dengan tujuh kali.

Dalam makna yang lain, Shafa dan Marwa dipahami sebagai simbol dua kutub yang saling bertentangan dan manusia diharuskan memilih salah satunya. Dua kutub itu adalah kutub kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kesalahan, kutub surga dan neraka.

Karena itu, ibadah Sa’i dipahami sebagai upaya melakukan pilihan apakah kita akan memilih yang benar yang balasannya surga, atau sebaliknya—memilih yang salah yang balasannya neraka.

Itu-lah di antara makna terdalam dari berbagai ritualitas haji yang harus kita hayati dan amalkan dalam kehidupan kita—baik oleh mereka yang belum, sedang atau sudah berhaji. Masih banyak sebenarnya ritualitas haji yang penuh dengan makna filosofis.

Menurut hemat saya menjadi haji mabrur yang balasannya adalah surga tidak hanya cukup syarat dan rukunnya saja terpenuhi. Akan tetapi lebih dari itu, segala bentuk pemaknaan hidup yang tertera dan disimbolkan dalam segenap ritualitas haji sangat penting untuk diketahui dan ditunaikan dalam kehidpuan nyata kita.

Karena ibadah haji tidak cukup hanya mementingkan kesalehan pribadi akan tetapi juga harus dilengkapi dalam wujud kesalehan sosial di masyarakat ketika mereka sudah berhaji. Itu-lah yang dimaksud dengan titel haji mabrur. Mari kita berdoa semoga para jama’ah haji kita mendapatkan titel haji mabrur. []

Diterbitkan Oleh Radar Lampung, Jum’ta 22 Oktober 2010

Tidak ada komentar: