Translate

Kamis, 25 November 2010

Haji

Makna Universal Haji

Oleh: K. Muhammad Hakiki

Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Lampung, mahasiswa S-3 Religious Studies UIN Bandung

Makkah al-Mukarramah nampaknya sampai saat ini masih menjadi tempat yang paling banyak dikunjungi para pelancong dari berbagai negara di bandingkan daerah lainnya di dunia seperti Bali, Calcuta, Las Vegas atau daerah lainnya.

Motivasi wisatawan yang datang ke Makkah pun berbeda dengan para pelancong yang biasanya berkunjung ke daerah-daerah tertentu yang kebanyakan hanya ingin menikmati panorama alam atau keindahan dunia modern. Para pelancong yang datang ke Makkah semata-mata dalam rangka memenuhi panggilan Tuhan atau bisa dikatakan wisata spiritual.

Uniknya lagi para wisatawan yang berkunjung ke Makkah tidak hanya milik mereka yang secara ekonomi berada pada kalangan menengah ke atas, bahkan yang ekonominya pas-pasan pun terkadang termotivasi bahkan terkesan “memaksakan diri” demi untuk memenuhi dan menunaikan rukun Islam yang kelima yakni ibadah Haji yang balasannya adalah surga.

Para wisatawan muslim dengan rela menabung, menggadaikan, bahkan menjual apa pun yang dimilikinya demi untuk menemui dan berkunjung ketempat suci yang di dalamnya terdapat kiblatnya umat Islam yakni Ka’bah.

Lalu pertanyaannya apa yang sebenarnya mereka cari ?. Yang mereka cari hanya satu yakni menjadi haji mabrur sebagai impian seluruh umat Islam—termasuk di Indonesia yang selalu menjadi juara kontestan terbanyak mengirimkan jamaah haji.

Lalu apa yang dimaksud dengan haji mabrur itu? inilah yang penting untuk direnungkan jika kita bermimpi mendapat “titel” haji mabrur. Haji mabrur tidak hanya syarat dan rukunnya saja yang terpenuhi atau berkali-kali berhaji, melainkan lebih dari itu.

Haji mabrur yang secara definisi “menjadi lebih baik itu” dimaknai tidak hanya ketika beribadah di tanah suci saja, akan tetapi ketika ia pulang ke tanah air-nya pun harus mencitrakan dirinya menjadi lebih baik dari sebelumnya—baik dalam segi ritualitas maupun ibadah sosial.

Karena jika kita memahami segala bentuk upacara atau ritualitas yang diperaktekkan dalam berhaji seluruhnya bermakna penyadaran diri kita sebagai makhluk beragama yang tak berdaya di hadapan Tuhan.

Ibadah haji yang kita lakukan itu sedikitnya bermakna; pertama, peningkatan nilai tauhid. Kedua, peningkatan nilai ibadah ritual, ketiga, peningkatan nilai kehidupan sosial dimasyarakat.

Peningkatan nilai tauhid dimaknai sebagai keteguhan hati bahwa hanya Tuhan-lah (Allah) yang patut disembah bukan yang lain. Karena itu selama menjalankan ibadah haji, hilangkan prilaku syirik (menyekutukan Tuhan) dalam bentuk apa pun sebelum dan setelah berhaji. Keyakinan kita kepada Tuhan haruslah senantiasa melahirkan kesadaran bahwasanya Tuhan selalu hadir di tengah-tengah kita dengan segala kasih dan saying-Nya

Kesadaran bahwa Tuhan menciptakan kita tidak lain hanyalah untuk beribadah kepada-Nya, tidak untuk mengabdi pada nafsu kita. Dengan seluruh kesadaran tersebut, kita akan menjadi hati-hati dalam memilih segala sesuatu yang positif dan menjauhi segala yang negatif. Kesadaran tauhid yang melahirkan sikap waspada haruslah menjadi gambaran seseorang yang sudah berhaji.

Setelah kita menyadari posisi kita, maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah peningkatan nilai ibadah ritual terutama pasca-berhaji, baik dalam ibadah shalat, puasa, zakat, dan jenis ibadah lainnya yang dibenarkan dalam agama.

Segala jenis Ibadah ritual yang kita lakukan adalah upaya untuk mensucikan diri dari belenggu kotoran tanah, dunia, dan materi yang melekat pada diri kita. Namun haruslah juga diingat bahwa untuk mencapai tujuan itu, tidak cukup hanya dengan melakukannya secara lahiriah melainkan harus disempurnakan dengan menghayati atau “menghidupkan” pesan-pesan ibadah ritual itu dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk sikap.

Setelah berhaji hendaknya kita mempertahankan dan menjaga kesucian diri dengan memperbanyak amalan ibadah ritual tidak hanya yang wajib saja melainkan juga yang sifatnya anjuran (sunnat).

Setelah kita sadar akan posisi kita di mata Tuhan, dan juga meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah ritual, maka yang terakhir adalah peningkatan prilaku sosial kita menjadi lebih baik karena kita sebagai makhluk sosial.

Harta, jabatan, usia, ilmu, yang dianugrahkan kepada kita hendaknya menjadi media bagi kita untuk mengabdikan diri dalam dinamika kehidupan masyarakat untuk menciptakan kehidupan sosial yang lebih baik. Khususnya bagi mereka yang hendak atau sudah berhaii kesadaran mengabdikan diri untuk kepentingan orang lain, merupakan salah satu tanda bahwa haji kita mendapat predikat haji mabrur.[]

Diterbitkan oleh Lampung Post. Sabtu 23 Oktober 2010

Tidak ada komentar: