Kolom Resensi Surat
Kabar Lampung Pos, 2006
Peta Gerakan Inteligensia Muslim Indoniesia
Judul Buku: Inteligensia Muslim dan Kuasa; Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20
Penulis: Dr. Yudi Latif
Penerbit: Mizan, Bandung
Tahun Cetak: Cetakan I, Oktober 2005
Tebal: xx + 740Halaman
Langit dan Bumi: Sebuah Pilihan
Oleh: K. Muhammad
Hakiki
“Para
intelektual haruslah mereka yang pada dasarnya aktivitaasnya tidak untuk
mencapai tujuan-tujuan praktis” (Julian Benda, “La Trahison des Clercs”:
1959:30). Ungkapan Julian Benda di atas sangatlah relevan untuk mengomentari
kehadiran buku ini, betulkah para
intelektual atau istilah Inteligensia sebagaimana yang digunakan dalam buku ini
melakukan aktivitasnya dengan cara “berselingkuh” dengan elite penguasa demi
untuk mencapai tujuan-tujuan praktis semata? Ataukah ada tujuan lain ?
sejauhmana “perselingkuhan” itu terjadi? Sederet pertanyaan ini yang menjadi
kegelisahan penulis buku ini untuk mencoba memetakan apa dan bagaimana
sebenarnya hal itu terjadi.
Nama
Yudi Latif adalah sebuah nama yang sempat tenar sebagai aktivis muda jalanan di
era 80-an akhir, saat ia masih duduk di bangku kulih Universitas Pajajaran, Bandung. Nama Yudi
Latif pun semakin bersinar dengan meluncurnya buku “Masa Lalu Yang Membunuh
Masa Depan” yang merupakan buah tangan pertama yang ia telurkan pada waktu
itu. Buku tersebut berisi kumpulan tulisan “bunga rampai” yang ia terbitkan di
berbagai media masa yang berisi kajian seputar isu-isu demokrasi, agama dan
lainnya, dan kemudian di terbitkan oleh
Mizan.
Nama
Yudi Latif kemudian sempat menghilang selama beberapa tahun, rupaya ia
berhijrah untuk Studi ke negeri Kanguru (Australia) dan singga di sebuah
Universitas ternama di negara itu, Australian National University namanya.
Kini, setelah kembali, nama Yudi Latif dengan dibumbui gelar
“Dr” kembali membetot dunia keilmuan bumi Nusantara dengan oleh-oleh terbitnya
sebuah buku tebal yang berjudul "Inteligensia Muslim dan Kuasa; Genealogi
Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20”. Buah tangan kreatif Yudi Latif ini mencoba memotret genealogi
pemikiran intelegensia muslim Indonesia
sepanjang abad 20. Mulai dari generasi intelektual awal seperti Agus Salim yang mengusung
ideologi sosialisme Islam, kemudian
diteruskan oleh generasi berikutnya yakni generasi Natsir yang menyuarakan
nasionalisme Islam, dan disambung kemudian oleh generasi Nurcholish Madjid
(Cak-Nur) dan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang dengan gigih mengkampanyekan sekularisasi dan pribumisasi Islam, hingga generasi
terakhir yang lantang menyuarakan
gagasan Islam yang liberal. Konteks sosial-politik dan karakter intelektual masing-masing yang lekat pada
setiap generasi dideskripsikan dengan
apik oleh Yudi. Buku yang awalnya merupakan sebuah disertasi di
Australian National University (ANU) ini mengungkap data kesejarahan perihal
hubungan atau relasi-relasi kuasa dan praktek-praktek diskursif intelektual
muslim Indonesia
Peran
kaum inteligensia muslim Indonesia dalam percaturan politik dan sosial
seringkali mengalami masa-masa pasang surut dan selalu menuai perbedaan
pendapat. Tiap kali ada usaha untuk menyamakan persepsi, selalu saja hadir daya
yang mendorong ke arah perpecahan. Hal ini terjadi sejak masa kolonial Belanda
hingga sampai saat ini. Relasi
inteligensia muslim dan kuasa di Indonesia sering direspons berbeda oleh
tokoh-tokoh Islam yang dipunyai bangsa ini.
Lihat saja, misalnya di zaman kolonial sekitar tahun 1920-an,
adanya seruan pemimpin Muslim untuk
bersatu menghadapi penjajah justru dibarengi dengan adanya perpecahan antara ulama
tradisionalis dan kaum reformis-modernis. Begitupun juga dalam usaha untuk
menghadapi marginalisasi Islam oleh rezim orde baru (Orba), berdirilah Ikatan
Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang lalu dikritik tokoh Islam lainnya dengan mendirikan lawan tanding Forum
Demokrasi yang dimotori oleh Gus dur.
Adanya
tarik menarik tersebut, salah satu penyebabnya menurut Yudi Latif adalah adanya perbedaan latar belakang
pendidikan. kalangan Inteligensia yang terdidik di belahan bumi timur (Timur
Tengah), akan mempunyai perbedaan orientasi dengan mereka yang terdidik didunia
barat yang relatif sekuler dan masih banyak lagi faktor-faktor lainnya.
Dalam
menyoroti relasi antara Inteligensia muslim dan kuasa, Yudi Latif menyimpulkan
ada enam fase yang masing-masing berbeda dalam menyuarakan pandangannya. Pertama, fase antara
tahun 1900-an sampai 1910-an. Pada fase ini, isu-isu yang berkaitan dengan
kesejahteraan sosial sebagai hasil dari politik etis menjadi menu utama,
sehingga tak salah jika formalisme idiologi Islam dari generasi pertama ini
adalah “sosialisme Islam”. Fase kedua, antara tahun 1920-1930-an. Pada
fese ini Inteligensia Indonesia mulai
mengalami perpecahan ideo-politik, nasionalisme Indonesia mulai muncul dan
tuntutan kemerdekaan juga menjadi wacana kaum Intelektual. Buah dari respon
Inteligensia Muslim pada fase ini adalah merumuskan “nasionalisme Islam dan
negara Islam”. Fase ketiga, antara 1940-an dan awal 1950-an. Pada fese
ini “revolusi intelektual” dan “demokrasi konstitusional” menjadi tema utama
perbincangan. Agenda kaum Inteligensia pada fase ini adalah bagimana
mempertahankan keseimbangan antara keislaman dan keindonesiaan. Fase keempat,
antara 1950-an sampai 1960-an. Pada fase
ini terjadi konflik-konflik yang paling parah selama era demokrasi terpimpin,
serta kebutuhan untuk menjalin aliansi politik di sepanjang poros yang pro-dan
anti-rezim Orde Lama. Sebagai akibatnya muncul dua corak ideologi yang pertama
melahirkan ideologi pembaharuan dan kedia ideologi “Islamis” (dakwah). Fase kelima,
antara tahun 1970-an sampai awal tahun 1980-an. Pada fase ini merupakan masa
ketika rezim represif-developmentalisme Orde Baru menjadi begitu hegemonik di
ruang publik. Pada fase ini kalangan Inteligensia mulai dibatasi di dalam melakukan manuver-manuver
intelektual-politik. Kondisi ini mengakibatkan munculnya dua formulasi ideologi
Islam yang bersifat antitesis: yaitu paham “akomodasionisme” (mengapropriasi
ortodoksi negara-sekuler) versus paham “rejeksionisme” (menolak ortodoksi
negara-sekuler). Fase keenam, antara akhir 1980-an dan 1990-an. Fase ini
merupakan periode modernisasi akhir daro Orde Baru dan juga periode globalisasi
kondisi-kondisi post-modern. Fase ini ditandai dengan ruang publik yang mulai
menunjukan tingkat keterbukaan, fenomena ini menurut Yudi Latif menjadi katalis
bagi pendalaman penetrasi fundamentalisme Islam yang bersifat global,
bersejalan dengan pendalaman penetrasi budaya-massa global dan nilai-nilai
Liberal Barat. Kedua arus ini menjadi kontribusi pada menguatnya derajat Islamic
mindedness dan Liberal mindedness dari segmen-segmen yang berbeda
jika dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Akibat dari fenomena ini
maka muncullah dua formulasi ideologis utama yang saling bertentangan; yaitu
“revivalisme Islam” versus “Liberalisme Islam”. Akan tetapi meskipun kondisi
tersebut terjadi, menurut penulis buku ini bahwa sebagian besar Inteligensia
dari generasi keenam tetap saja merayakan hibriditas antar beragam tradisi
kultural. (hlm. 668-670).
Dalam
buku ini, Yudi Latif menguraikan secara
menarik bagaimana relasi antara kaum Inteligensia dengan penguasa. Akan tetapi,
sangat disayangkan Yudi Latif tidak mencoba melakukan analisa secara tajam apa
sebenarnya motivasi para kaum Inteligensia generasi abad 20 awal sampai akhir abad 20 terjun dan
“berselingkuh” dengan para penguasa negeri ini untuk mendirikan kuasa. Kalau
kita mengutip ungkapan dan kritikan Julian Benda, dalam bukunya “La Trahison
des Clercs” (Penghianatan Kamu Intelektual)
pada halaman 30 yang mengatakan bahwa “para intelektual haruslah mereka
yang pada dasarnya—aktivitaasnya-- tidak
untuk mencapai tujuan-tujuan praktis” dan dia mengkritik kaum intelektual yang
lebih mengutamakan nafsu-nafsu politiknya dengan mengorbankan nilai-nilai
universal dan moral serta menghianatai tanggung jawabnya dan bangsanya, maka,
para kaum Inteligensia atau intelektual negeri ini tidak sesuai dan mengingkari
ungkapan Benda tersebut.
Menurut saya ada beberapa motivasi yang
sifatnya internal dan eksternal mengenai
perselingkuhan kaum Inteligensia negeri
ini yang perlu mendapatkan perhatian, dan hal ini sangat disayangkan kurang
dilakukan oleh Yudi Latif dalam bukunya. Kenapa menurut saya hal itu dirasa
perlu, karena dengan tidak melakukan analisa kearah hal tersebut, maka kita
akan terjebak oleh anggapan bahwa para intelektual “suci” yang berfikir demi
kebaikan bangsa ini adalah sesuatu yang mustahil ada, dan yang lebih
mengkhawatirkan adalah kita akan terjebak oleh anggapan bahwa para intelektual
“suci” yang dimiliki oleh bangsa ini adalah sama saja dengan
politikus-politikus licik yang dimiliki negeri ini.
Ada
dua macam motivasi kenapa para Inteligensia negeri ini melakukan relasi dengan
penguasa. Pertama faktor internal, motivasi ini timbul dari rasa tanggung jawab
para kaum Inteligensia sebagai agen perubah dan pemikir masa depan negeri ini
yang merasa prihatin oleh keadaan bangsa
yang semakin kacau, yang penuh dengan perpecahan dan krisis. Kehadiran
kaum Inteligensia dengan terjun langsung dalam ranah politik praktis mungkin
menurutnya akan dapat memberikan pencerahan positif bagi negeri ini ini.
Seperti apa yang dilakukan oleh Cak Nur pada masa akhir hidupnya dengan
mencalonkan diri sebagai kandidat presiden meskipun pada akhirnya mengundurkan
diri dengan berbagai alasan.
Faktor
kedua adalah faktor eksternal. Banyak diantara para Inteligensia yang dimiliki
negeri ini tergiur oleh kenikmatan duniawi. Hal tersebut wajar menurut saya dan
tidak bisa disalahkan. Karena kalau kita
melihat nasib para kaum Inteligensia negeri ini kurang mendapat perhatian
maksimal dari pemerintah terutama dari sudut ekonomi. Kondisi tersebut membuat
para kaum Inteligensia tergoda dan berkeinginan mencicipi dunia aktivitas
politik yang mendatangkan kenikmatan duniawi secara melimpah.
Dengan
membaca buku ini kita akan disuguhi dengan penjelasan yang begitu panjang, mengenai keterlibatan berbagai macam lembaga
seperti ICMI, organisasi-organisasi seperti organisasi kemahasiswaan; HMI, PII,
IPNU, PMII, IMM, Persama, akan tetapi sangat disayangkan, penulis buku ini juga
tidak menyajikan sajian keterlibatan dua
organisasi keagamaan yang besar dan berpengaruh di negeri ini yakni antara
Muhamadiyyah dan NU (Nahdhatul ‘ulama) secara kelembagaan, meskipun penulis
sempat mengungkapkan keterlibatan tokoh-tokohnya secara individual. Padahal
kalau kita melihat dalam realitas sejarah, keterlibatan kedua organisasi
keagmaan tersebut sangat mempengaruhi corak negera apakah menjadi negara
liberal atau Islami. Lihat saja bagaimana NU yang mendirikan sebuah partai pada
tahun 50-an dengan meraih suara cukup banyak, meskipun pada akhirnya harus
dibubarkan dan kembali pada khithah dengan berbagai alasan politik. Atau
pada era pasca-runtuhnya rezim orde baru dan era reformasi dengan mendirikan
partai PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) sebagai kendaraan politik NU yang pada
akhirnya menghantarkan Gus Dur duduk di singgasana kekuasaan negeri ini.
Kondisi serupa-pun juga dilakukan oleh Organisasi Muhamadiyyah dengan
mendirikan partai PAN (Partai Amanat Nasional) yang dikomandoi oleh Amin Rais
sebagai kendaraan politiknya. Akan tetapi, sangat disayangkan, penulis buku ini
(Yudi Latif) tidak mengkafer secara maksimal fenomena sejarah tersebut. Dan hal
ini, menurut saya adalah sebuah kesalahan besar di dalam menyajikan realitas
sejarah per-politik-kan bangsa ini.
Akan
tetapi terlepas dari itu semua, bagaimanapun kehadiran buku ini patut disambut
baik dan menjadi kunci penting sebagai tonggak bagi kajian mutakhir tentang
peran Islam di masa berikutnya.
Dan
yang lebih menarik lagi adalah secara
keseluruhan, pendekatan waktu sejarah yang digunakan Yudi Latif dalam
buku ini merupakan terobosan akan
metodologi baru, yakni pendekatan interdisipliner atau lebih dikenal sebagai total
history. Pendekatan ini bisa di gunakan oleh Anthony Reid dan juga Dennis
Lombard dalam beberapa karyanya. Pengungkapan data yang akurat, serta ditaburi
analisis yang memikat adalah nilai lebih lainnya dari buku ini. Dengan begitu,
hadirnya buku ini merupakan titik tolak untuk memikirkan masa depan Indonesia
yang lebih baik.[ ]
(Muhammad Hakiki Mahasiswa Pascasarjana Program
Studi Pemikiran Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)