Lampung Post, Jum'at 12 Oktober 2012
Ka’bah
Sebagai Pusat Spiritual
Oleh : K.
Muhammad Hakiki
Dosen
Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung
“Labbaik, Allahumma labbaik”.
Itulah
sepenggal kalimat yang sering dibaca saat
menjalankan ibadah haji. Sebuah kalimat yang diucapkan sebagai tanda rasa
syukur karena dirinya telah menjadi kontestan pilihan Allah dalam rangka
memperoleh “titel” mabrur yang balasannya surga, “…tidak ada balasan bagi
haji mabrur, kecuali surga.” (HR: Bukhari).
Haji
yang secara harfiah berarti ber-ziarah. Yaitu menziarahi tempat-tempat suci
yang tidak terbatas hanya pada kota Makkah dan Madinah melainkan juga meliputi
‘Arafah, Mina, Muzdalifah, dan tempat-tempas suci lainnya.
Lantas apa yang menarik dari tempat
suci-suci itu? Di sini-lah menariknya mengulas historisitas tempat-tempat suci
itu. Al-Qur’an dalam hal ini menjelaskan bahwa tempat-tempat suci itu adalah
monument-monument Allah, sebagai cerminan dari ketaqwaan hati. Adanya monument
itu karena adanya peristiwa yang menyangkut ketaqwaan manusia.
Ketika kita berhaji, maka akan banyak
kita temui tempat bersejarah yang sakral. Di antara tempat suci itu adalah
sebuah bangunan suci yang ada di kota Madinah, masjid Qiblatain
(masjid dengan dua kiblat) namanya.
Menurut sejarahnya, masjid ini
pada awalnya adalah sebuah rumah. Di rumah inilah Nabi Muhammad saw pernah
melakukan shalat zhuhur. Ketika Nabi shalat zhuhur, ia menghadap ke dua arah;
dua raka’at pertama ia menghadap ke Yerusalem dan pada dua raka’at ke dua ia
menghadap ke Ka’bah di Makkah.
Merasa
tekhnik shalat
yang dilakukan oleh Nabi terasa merepotkan, Nabi pun melakukan “protes”. Ia pun
berdo’a agar arah kiblat
diagantinya hanya menghadap ke Ka’bah. Allah pun mengabulkannya.
Kondisi yang unik itu berubah
ketika Nabi ber-hijrah ke Madinah, pasalnya letak kota Makkah berada di sebelah
selatan, sedangkan Yerusalem berada di utara. Dengan kondisi wilayah yang
berlawanan arah tersebut, maka Nabi pun harus membelakangi Ka’bah ketika shalat menghadap
ke Yerusalem.
Yang
menarik dari fenomena tersebut, dan
hal ini yang akan dilacak akar sejarahnya adalah, mengapa Allah mengabulkan
pinta Nabi untuk menghadap Ka’bah saja? Dan menghapus arah ke Yerusalem?.
Ka’bah Sebagai Pilihan
Jika melihat
dari sejarah kedua tempat suci itu, pada masa Nabi keduanya
bukanlah tempat yang suci; Ka’bah pada waktu itu dipenuhi
patug-patung sebagai alat sesembahan, Yurusalem adalah tempat pembuangan
sampah.
Menurut
Cak Nur, dijadikannya Yerusalem sebagai tempat pembuangan sampah atau pelbak
adalah bentuk penghinaan orang-orang Kristen terhadap bangsa Yahudi atas
perintah dari Helena, ibunda dari Konstantian yang baru memeluk agama Kristen.
Dua tempat itu kemudian kini
menjadi tempat yang disucikan. Lantas pertanyaannya mengapa Nabi atas perintah
Allah harus melakukan shalat
dengan dua arah?, dan mengapa pada masa kemudian Nabi lebih memilih arah Ka’bah
sebagai pusat bersujud hamba Allah? Disinilah menariknya menelusuri jejak
historis kedua tempat suci itu.
Jika mengacu pada
pernyataan al-Qur’an : “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk
(tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang
diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.”
(QS: Ali-Imran: 69). Ayat ini bisa dijadikan bukti
teologis bahwa Ka’bah-lah sebagai tempat suci Allah yang pertama.
Menurut
lagenda, manusia yang membangun Ka’bah adalah Adam as ketika ia harus “terusir”
dari surga. Pada saat itu, Adam merasa sedih karena tak bisa lagi melakukan
ibadah seperti yang dilakukan para Malaikat yang beribadah mengelilingi
Singgasana Allah.
Kesedihan
yang menimpa Nabi Adam pun kemudian mendapatkan hiburan dengan diperbolehkannya
ia membangun Ka’bah sebagai bentuk tiruan dari ‘Arsy-nya Allah. Setelah
bangunan itu selesai, Adam pun diperintahkan untuk mengelilinginya. Dari sini
disimpulkan bahwa ritual thawaf yang dilakukan para pelaku ibadah haji
sebenarnya meniru cara ibadah yang dilakukan para Malaikat mengelilingi ‘Arsy.
Berbeda
dengan sejarah Ka’bah di atas, sejarah tempat suci Yerusalem lebih rumit. Hal
itu bermula dari Nabi Ishaq yang merupakan anak dari istri pertama Nabi Ibrahim
yakni Sarah. Sedangkan Nabi Ismail adalah anak dari istri kedua Nabi Ibrahim
yakni Hajar. Melalaui keturunan Nabi Ishaq banyak sekali diturunkan Nabi-Nabi
dan melalui jalur Ismail hanya ada satu Nabi yakni Nabi Muhammad saw.
Dalam al-Qur’an terdapat istilah al-Asbath
yang artinya suku-suku Isra’il melalui jalur Nabi Ishaq. Di antara Nabi
keturunan Nabi Ishaq adala Nabi Musa. Nabi Musa-lah yang kemudian menerima
wahyu dari Allah yang dikenal dengan “Sepuluh Perintah Tuhan”. Menurut
sejarah, Nabi Musa-lah yang kemudian diberikan tugas oleh Allah untuk
membebaskan bani Israil dari perbudakan Raja Fir’aun di Mesir yakni Ramses III.
Karakter bani Israil yang keras membuat Allah harus mentrainingnya di bukit
Sinai selama 40 hari.
Karakter keras Bani Israil membuat
Musa harus menuliskan naskah perintah yang sepuluh itu di atas batu dan
dimasukan ke dalam kotak. Kotak yang berisi sepuluh perintah itu kemudian
dinamai Tabut al-‘Ahd (kotak perjanjian) yang dalam al-Qur’an disebut
dengan mitsaq (QS: al-Maidah : 12).
Kotak tersebut yang kemudian
dijadikan sebagai kiblat oleh bani Israi’l (orang-orang Yahudi) yang diletakkan
di tengah Khaymat al-Ijtima’ (Tabernakel). Orang-orang Yahudi sampai
saat ini melakukan sembahyang kearah Tabernakel itu.
“Sepuluh Perintah Tuhan” itu
pun dipindahkan oleh Nabi Daud ke bukit Moria yang kemudian dikenal
dengan the Holy of Holies sebuah tempat paling suci agama Yahudi yang
juga pernah menjadi kiblatnya Nabi Muhammad sebelum dipindahkan arahnya ke
Ka’bah di Makkah.
Setelah Daud wafat, kemudian
diteruskan oleh Nabi Sulayman as. Nabi Sulayman dalam sejarah dikenal sebagai
raja yang agung dan kaya. Untuk mengenang kemashurannya, ia pun mendirikan
bangunan megah yang diberinama Masjid Aqsha yang dibangun 900 tahun SM. Di
Masjid itulah the Holy of Holies diletakkan.
Jika di
hitung dari sejak dibangunnya kembali Ka’bah oleh Nabi Ibrahim as, 4000 tahun
yang lalu, berarti umur Ka’bah 1000 tahun lebih tua dari the Holy of Holies.
Hal ini logis jika Allah mengabulkan permintaan Nabi Muhammad untuk memindahkan
arah kiblatnya ke Ka’bah karena memang umur Ka’bah jauh lebih tua dari the
Holy of Holies sendiri. Meskiun begitu, sesuai data histories di atas,
antara Islam dan Yahudi adalah satu bapak lain ibu. Karena itu, marilah
kita saling mengasihi. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar