Diterbitkan
di Jurnal Al-Adyan ISSN: 1907-1736
Vol.
VI No. 2 Juli-Desember 2011, hlm. 63-76
Aliran Kebatinan di Indonesia
Oleh: Kiki Muhamad Hakiki [1]
Abstrak
Eksistensi
agama lokal seperti aliran kebatinan meskipun mengalami diskriminasi tetaplah berkembang
dan banyak diminati. Claim kebenaran yang kerap kali disuarakan oleh agama
”resmi” (baca: Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu) nampaknya tak
membuat penganut agama lokal takut apalagi pindah kepercayaan. Bahkan yang
menarik kerap kali justru para penganut agama ”resmi” pun disadari atau tidak
disadarinya mencampur keyakinannya dengan kepercayaan agama lokal. Lalu jika
sudah seperti itu, masihkah kita bercita-cita mengusir dan menganggap keyakinan
mereka sebagai keyakinan yang salah?. Bukankah benar dan salah itu urusan
Tuhan?. Inilah yang menarik untuk dicermati.
Kata Kunci:
Aliran, Kebatinan, Indonesia
A. Pendahuluan
Sampai saat ini
belum pernah ada laporan hasil penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada
sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama—termasuk di
dalamnya Indonesia yang multi agama. Walaupun
peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu
tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian
tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting.
Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang
masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya.[2]
Pemeluk agama-agama di dunia
termasuk di dalamnya masyarakat pemeluk
agama lokal sekalipun—seperti aliran kebatinan—meyakini bahwa fungsi utama
agama atau kepercayaan itu adalah memandu kehidupan manusia agar memperoleh
keselamatan di dunia dan keselamatan sesudah hari kematian. Mereka menyatakan
bahwa agamanya mengajarkan kasih sayang pada sesama manusia dan sesama makhluk
Tuhan, alam tumbuh-tumbuhan, hewan, hingga benda mati.[3]
Perbincangan tentang agama atau
kepercayaan memang tidak akan pernah selesai, seiring dengan perkembangan
masyarakat itu sendiri. Baik secara teologis maupun sosiologis, agama atau
kepercayaan dapat dipandang sebagai instrument untuk memahami dunia. Dalam
konteks itu, hampir-hampir tak ada kesulitan bagi agama apapun untuk menerima
premis tersebut. Secara teologis, hal itu dikarenakan oleh watak omnipresent
agama. Yaitu, agama, baik melalui simbol-simbol atau nilai-nilai yang
dikandungnya “hadir dimana-mana”, ikut mempengaruhi, bahkan membentuk struktur
sosial, budaya, ekonomi dan politik serta kebijakan publik.
Dengan ciri ini, dipahami bahwa
dimanapun suatu agama atau kepercayaan berada, ia diharapkan dapat memberi
panduan nilai bagi seluruh diskursus kegiatan manusia, baik yang bersifat
sosial-budaya, ekonomi maupun politik. Sementara itu, secara sosiologis tak
jarang agama dan aliran kepercayaan menjadi faktor penentu dalam proses
transformasi dan modernisasi—termasuk di dalamnya para penganut agama lokal
seperti aliran kebatinan yang dianggap menyimpang.[4]
Kajian tentang agama lokal dalam hal
ini tentang aliran kebatinan memang sudah banyak dilakukan, baik itu untuk
kebutuhan karya ilmiah (seperti Sekripsi, Tesis, maupun Disertasi), atau
penelitian-penelitian, maupun yang hanya sekedar tulisan ringkas di media.
Maraknya kajian tentang agama lokal
secara khusus tentang aliran kebatinan, disebabkan oleh beberapa faktor yang
ternyata mempunyai daya tarik tersendiri; Pertama, untuk kasus-kasus
tertentu ajaran agama lokal banyak menampilkan ajaran-ajaran bahkan prilaku
penganutnya yang unik dan berbeda yang menurut para penganut agama konvensional
atau agama besar (Islam, Kristen, Hindu, Budha) justru telah mengajarkan
ajaran-ajaran yang menyimpang bahkan menodai. Kedua, identitas agama
lokal ternyata masih tetap mewarnai kepercayaan manusia Indonesia meskipun
secara formal ia sudah menganut agama-agama besar. Sebagai contoh, meskipun
seseorang sudah menyatakan dirinya sebagai penganut agama Islam, akan tetapi
terkadang dalam waktu-katu tertentu ia kerapkali mempercayai atau
memperaktekkan tradisi yang justru di anut atau diajarkan oleh agama lokal
seperti aliran kebatinan. Ketiga, meskipun eksistensi identitas agama lokal seperti aliran kebatinan
mengalami pasang surut berkat adanya hegemoni rezim mayoritas, akan tetapi,
identitas agama lokal masih tetap eksis di negeri ini. Keempat, Meskipun
keberadaan agama lokal, seperti aliran kebatinan banyak sekali di Indonesia,
akan tetapi identitas masing-masing mereka masih tetap terpelihara meskipun
harus berada dalam sebuah wadah atau oraganisasi atas bentukan rezim atau
penguasa.
Dengan alasan beberapa poin di atas,
saya kemudian tertarik mencoba melakukan tinjauan seputar eksistensi, ajaran,
dan perjuangan politik identitas dengan memfokuskan pada perjuangan aliran
kebatinan dalam rangka mencari pengakuan identitas di negeri ini.
Tujuan penulisan ini diharapkan
pandangan negatif kita tentang keberadaan agama lokal dalam hal ini aliran
kebatinan bisa dihilangkan. Karena pada dasarnya, ajaran agama lokal
mengajarkan hal-hal kebaikan, itu terbukti dengan masih banyaknya para peminat
dan penikmat agama lokal termasuk di dalamnya kepercayaan aliran kebatinan.
Tulisan ini bisa diharapkan menjadi sedikit usaha revitalisasi agama lokal dari
tuduhan miring dan kepunahan.
B. Agama Lokal; Studi Aliran
Kebatinan
a. Definisi Agama Lokal
Istilah agama lokal, dalam hal ini
bisa disamakan dengan penggunaan istilah agama asli atau agama pribumi. Yang
dimaksud dengan agama asli adalah sebuah agama yang bukan datang dari luar suku
penganutnya. Karenanya, agama asli kerap juga disebut agama suku atau kelompok
masyarakat. Agama ini lahir dan hidup bersama sukunya dan mewarnai setiap aspek
kehidupan suku penganutnya. Agama ini telah dianut oleh suku penganutnya jauh
sebelum agama dunia diperkenalkan kepada suku itu.
Menurut David Barret dan Todd
Johnson dalam statistik agama-agama yang setiap tahun diterbitkan oleh International
Bulletin of Missionary Research penganut agama lokal di dunia ini pada
laporan tahun 2003 saja adalah sebesar 237.386.000 orang.[5]
Jumlah itu pada tahun 2003 diperkirakan hanya 3,78% dari total penduduk dunia
yang kini berjumlah hampir 6,3 miliar manusia.
Bila kita bandingkan dengan kondisi
di Indonesia, maka para penganut agama lokal, hanya sekitar 1% saja dari total
penduduk Indonesia. Kebanyakan dari mereka tinggal di Papua, Sumba, Pedalaman
Sumatra, pedalaman Kalimantan dan Pedalaman Sulawesi, dan beberapa daerah pulau
Jawa.
Jika kita amati prilaku beragama
pada masyarakat Indonesia, maka sebenarnya secara kuantitas pastilah para
penganut agama lokal akan jauh lebih banyak melampaui data statistik di atas.
Faktanya, keyakinan dan praktek agama lokal ini masih dianut dan diyakini serta
dijalankan oleh mereka yang walaupun secara statistik telah tercatat sebagai
penganut agama resmi dunia. Para pelaku agama resmi terkadang juga secara
bersamaan meyakini kepercayaan lokal tanpa ia sadari atau melakukan sinkretisme
agama-agama. Dan hal ini terjadi tidak hanya bagi para penganut agama Islam
saja, akan tetapi juga para penganut agama di luar Islam yang ada di Indonesia.
Untuk menemukan prilaku umat
beragama yang melakukan singkretisme agama tidak-lah sulit. Lihat saja di
antara sekeliling kita masih banyak yang mengunjungi tempat-tempat yang
dipercaya sebagai tempat keramat yang bernilai sakral. Masng banyak juga di
antara masyarakat kita yang masih meminta pertolongan kepada para dukun-dukun. Bahkan
kalau kita tanya ternyata dukun itu pun juga penganut salah satu agama resmi
dunia. Bahkan kalau kita lihat di media-media (elektronik maupun cetak) banyak
sekali di tawar-tawarkan beraneka ragam jimat yang katanya mempunyai kesaktian.
Bahkan juga kalau kita perhatikan di masyarakat, masih banyak ritual-ritual
yang berkaitan dengan siklus hidup, ataupun ritual lainnya yang berkaitan
dengan penanggulangan kesulitan hidup. Terkadang
pengaruh atau hadirnya elemen-elemen agama asli dalam ritual-ritual tersebut
masih sangat kental. Tentu banyak di antaranya telah terbungkus sedemikian rupa
oleh lapisan luar agama dunia dan para penganutnya tidak lagi menyadari adanya
percampuran dua atau lebih agama.
b. Aliran Kebatinan
Jika dilihat dari akar katanya, maka
istilah ”kebatinan” berasal dari kata “batin” (bahasa Arab) yang
berarti “di dalam”, “yang tersembunyi”.
Karena sifatnya yang tersembunyi, maka kebatinan sangat sulit untuk dirumuskan
karena bersifat subjektif. Meskipun begitu, ada banyak definisi istilah
kebatinan yang telah dirumuskan, di antaranya; Pertama, Definisi yang
dikemukakan oleh H.M Rasyidi yang mengatakan bahwa kata ”batiny”
terambil dari kata ”batin” yang artinya bagian dalam. Kata ”batiny”
dapat diartikan sebagai orang-orang yang mencari arti yang dalam dan tersembunyi
dalam kitab suci. Mereka mengartikan kata-kata itu tidak menurut bunyi hurufnya
tetapi menurut bunyi interpretasi sendiri yang di dalam bahasa Arab disebut ta’wil
(penjelasan suatu kata dengan arti lain daripada arti bahasa yang sebenarnya
atau yang sewajarnya).[6] Kedua,
Definis yang dikemukakan oleh BKKI (Badan Kongres Kebatinan Indonesia) bahwa
kebatinan adalah sepi ing pamrih, rame ing gawe, mamayu bayuning bawono;
artinya; kebatinan adalah tidak punya maksud yang menguntungkan, giat bekerja,
dan berupaya utuk mensejahterakan dunia”[7].
Definisi tersebut kemudian pada kongres BKKI yang ke-2 dirubah menjadi
”Kebatinan adalah sumber asas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, untuk mencapai
budi luhur, guna kesempurnaan hidup”.[8]
Definisi kebatinan hasil kongres BKKI yang ke 2 tersebut mendapat kritik dari
H.M Rayidi. Ia menyatakan bahwa definisi hasil kongres BKKI tersebut adalah
terbalik. Menurutnya, bukannya kebatinan yang menjadi sumber Ketuhanan Yang
Maha Esa, tetapi Ketuhanan Yang Maha Esa-lah yang menjadi sumber Kebatinan.[9]
Pernyataan ini di bantah oleh Suwarno Imam, menurutnya definisi kebatinan
tersebut sudahlah pas dan tidak terbalik. Kerana definisi kebatinan sudah tentu
untuk orang penganut kebatinan. Ketuhanan bagi orang kebatinan atau penghayatan
kebatinan bagi orang kebatinan adalah pendalaman batin. Lebih lanjut ia
mengatakan bahwa definisi tersebut memang terbalik jika kita memahaminya dari
sudut agama dalam hal ini agama Islam.[10] Ketiga,
Definisi yang dikemukakan oleh Rahmat Subagyo. Ia menjelaskan bahwa kebatinan
adalah suatu ilmu atas dasar ketuhanan Absolut, yang mempelajari kenyataan dan
mengenal hubungan langsung dengan Allah tanpa pengantara.[11]
Keempat, Sumantri Mertodipuro mendefinisikan lebih kepada fungsi. Ia
mengatakan bahwa kebatinan adalah cara ala Indonesia mendapatkan kebahagiaan.
Di Indonesia, kebatinan apa pun namanya sperti tasawuf, ilmu kesempurnaan,
teosofi dan mistik adalah gejala umum. Kebatinan memperkembangkan inner
reality, kenyataan rohani. Karena itu-lah selama bangsa Indonesia tetap
berwujud Indonesia, beridentitas asli, maka kebatinan akan tetap di Indonesia,
baik di dalam agama atau diluarnya.[12] Kelima,
M.M Djojodigoeno mengatakan bahwa kebatinan itu mempunyai empat unsur yang
penting, yaitu; gaib, union mistik, sangkan paraning dumadi dan budi luhur.[13]
Keenam, Kamil Kartapadja mendefinisikan kebatinan sebagai gerak badan
jasmani disebut olah raga dan gerak badan rohani dinamai olah batin atau
kebatinan. Jadi kebatinan dapat disimpulkan sebagai olah batin yang macam apa
pun.[14]
c.
Sejarah Munculnya Aliran Kebatinan
Di atas telah di jelaskan bahwa
kebatinan adalah cara atau ala orang Indonesia mendapatkan kebahagiaan. Jika
memang betul demikian, maka pertanyaannya mengapa aliran kebatinan ini muncul
di Indonesia?. Ada banyak pendapat yang diutarakan oleh peneliti terkait latar
belakang kemunculan aliran kebatinan di Indonesia. Di antaranya isu modernisme
dan globalisasi.
Globalisasi dan
modernisasi sebenarnya adalah sebuah era di mana dunia ini seakan tak bersekat,
batas-batas teritorial seakan tak berarti. Dalam era globalisasi interaksi
antar budaya, peradaban dan negara semakin mudah dilakukan. Adanya proses
saling mempengaruhi satu sama lain tak bisa dinafikan—baik bersifat positif
maupun negatif. Dan, pada akhirnya globalisasi menjadi alat untuk saling
mempengaruhi antara budaya, peradaban, idiologi, bahkan masuk pada agama. Dan
ujungnya agama, budaya, idiologi, dan peradaban telah terkontaminasi dari
pengaruh unsur-unsur lain.
Di era
globalisasi ini, proses saling mempengaruhi satu sama lain tak bisa
ditawar-tawar. Peranan media sebagai alat “penular” telah menembus
sekat-sekat itu. Dan konsekuensinya sebuah idiologi atau budaya bisa memasuki
idiologi dan budaya lainnya. Dengan kondisi ini, maka kegoncangan bisa terjadi
jika penularan virus globalisasi itu tidak sesuai dengan karakteristik kultur
dan sosialnya.
Karena alasan
itu-lah maka ada sebagian kelompok (baca: aliran kebatinan) yang berusaha
”lari” atau menghindari perkembangan dunia modern dan mulai gandrung akan
romatisme masa lalu. Biasanya kelompok ini mulai menelusuri nilai-nilai asli
dahulu yang kini sudah terdesak dengan arus modernisasi dan globalisasi.
Pendapat senada
pun diungkapkan oleh Selo Sumardjan. Menurutnya bahwa apabila terjadi
kegoncangan-kegoncangan yang luas dan lama di dalam kehidupan masyarakat, ilmu
kebatinan di rasakan sekali keperluannya. Karena itu, timbulnya banyak aliran
kebatinan itu justru ketika masyarakat Indonesia mengalami kegoncangan karena
tekanan jiwa yang meluas dalam waktu yang panjang pada masa penjajahan.[15]
Dari uraian di
atas, dapat disimpulkan bahwa salah satu alasan munculnya aliran kebatinan
dipicu oleh dampak negatif dari modernisme yang menggerus nilai-nilai moral,
estetika, sehingga membawa manusia jatuh pada jurang materialisme. Karena itu,
aliran kebatinan hadir sebagai solusinya. Jika di lihat dari latar belakang
kemunculannya, kondisi ini hampir mirip dengan latar belakang kemunculan
sufisme dalam Islam.
d. Motivasi seseorang masuk aliran
kebatinan
Ada
beberapa motiv masyarakat menggemari aliran kebatinan. Menurut M.M. Djojodiguna
bahwa alasan orang Indonesia menganut aliran kebatinan karena para pemimpin
agama kurang memperhatikan soal kebatinan dan tidak cakap dalam menyimpulkan
ajaran agamanya dalam prinsip-prinsip pokok yang sederhana, yang mudah
dipergunakan sebagai pegangan bagi seorang manusia, bagaimana ia harus
menentukan sikapnya, tingkah lakunya terhadap Tuhan, dan terhadap sesama
manusia dalam menghadapi berbagai
kesulitan sehari-hari.[16]
Pendapat
yang hampir sama juga diungkapkan oleh HM. Rasyidi. Menurutnya hal ini terjadi
karena para ulama pada masa lampau banyak yang hanya mengetahui kitab-kitab
yang dipelajari di pesantren adalah produk pada dua atau tiga abad yang lalu.
Dan kitab-kitab yang dipelajarinya tersebut hanya pelajaran bahasa Arab dan
fikih yang secara metodologi dan (isinya: penulis) telah usang. Karena
itu-lah maka para ulama tersebut tidak dapat menjiwai pesan Islam, mereka hanya
merasakan formalitas semata-mata.[17]
Selain
alasan itu, kondisi Indonesia sendiri yang masih terdapat kalangan orang-orang
Jawa abangan, agama suku pedalaman yang memiliki latar belakang tradisi
kebudayaan spiritual nenek moyang yang masih kuat dipengaruhi oleh
spiritualitas Hindu-Budha atau Hindu-Jawa. Dalam kasus aliran kebatinan ini,
mereka yang Jawa abangan ini yang kemudian menganut kepercayaan kejawen atau
aliran kebatinan tertentu yang sesuai dengan pandangan hidupnya.[18]
Di
samping faktor di atas, menurut Suwarno Imam masih banyak lagi faktor lainnya
yang juga tak kalah pentingnya sebagai pemicu kenapa orang menganut aliran
kebatinan, diantaranya[19];
Pertama, Ajaran kebatinan dipandang lebih sederhana dan mudah dipahami
karena menggunakan bahasa daerah, dibandingkan dengan ajaran agama lainnya. Kedua,
Amalan kebatinan dianggap tidak terlalu berat dibandingkan dengan amalan-amalan
yang diajarkan agama lainnya. Amalan kebatinan lebih menitikberatkan
penghayatan batin.[20] Ketiga,
di kalangan kebatinan ada yang dipercayai memiliki ilmu gaib dan melayani pengobatan
penyakit secara gaib yang ternyata digemari oleh masyarakat. Keempat,
Hak hidup dan kehidupan aliran kebatinan atau kepercayaan dilindungi oleh
pemerintah semenjak ketetapan MPR RI tahun 1973 dan dikukuhkan kembali oleh
Ketetapan MPR RI tahun 1978.
C. Kebatinan dan Pencarian Identitas
Meskipun sejak
kemunculannya, aliran kebatinan dianggap sebagai aliran sempalan yang
menyimpang, akan tetapi perjuangan politik identitas yang dilakukan oleh aliran
kebatinan ini sampailah pada titik legalitasnya meskipun tak cukup memuaskan.
Secara
organisasi, perjuangan aliran kebatinan di mulai ketika BKKI melakukan kongres
pertama di Semarang pada 19-21 Agustus 1955 yang dihadiri oleh 70 anggota
aliran kebatinan. Dalam kongres ini dihasilkan kesepakatan akan definisi
kebatinan yaitu; kebatinan adalah sepi ing pamrih, rame ing gawe, mamayu
hayuning bawono. Selanjutnya pada kongres BKKI yang kedua di Solo tanggal
7-9 Agustus 1956 dilakukan perubahan definisi aliran kebatinan menjadi; ”kebatinan adalah sumber asas dan sila
ketuhanan yang maha esa, untuk mencapai budi luhur, guna kesempurnaan hidup”.
Alasan digantinya definisi kebatinan adalah karena pada definisi pertama masih
ada kemungkinan bagi suatu aliran yang mengingkari dan memungkiri adanya Tuhan
Yang Maha Esa.[21]
Perjuangan
selanjutnya adalah pada kongres BKKI yang ketiga di Jakarta 17-20 Juli 1958.
Dalam kongres ini disepakati bahwa aliran kebatinan bukanlah klenik sebagaimana
yang dituduhkan orang. Dan perjuangan aliran kebatinan untuk mendapatkan
legalitasnya mulai berbuah ketika kongres ke empat di Malang pada bulan Juli
1960. Dalam kongres ini dibahas tentang nisbah antara aliran kebatinan dan
agama pada dasarnya sama, hanya titik berat yang berbeda. Agama minitikberatkan
penyembahan kepada Tuhan, sedangkan kebatinan menekankan pengalaman batin dan
penyempurnaan manusia.[22]
Perjuangan
kelompok aliran kebatinan berbuah manis yakni ketika dikeluarkannya Ketetapan
MPR RI No. IV/MPR/1973-22 Maret 1973 yang mengakui eksistensi aliran kebatinan
di Indonesia meskipun dengan nama lain yakni ”Aliran Kepercayaan”.
Meskipun
eksistensi secara legalitas diakui keberadaannya di Indonesia, akan tetapi
dalam praktek kebijakan-kebijakannya kerapkali berprilaku tidak adil dan
diskriminatif. Lihat saja, sampai saat ini pemerintah masih sering menuding agama
atau kepercayaan masyarakat adat sebagai agama sempalan yang harus kembali ke
agama induknya. Akan tetapi sampai saat ini para penganut agama lokal, justru
agama dan kepercayaan merekalah yang seharusnya disebut sebagai agama asli atau
agama induk yang sebenarnya. Menurut mereka, agama-agama besar (Islam, Katolik,
Protestan, Hindu, Budha) yang kini diakui secara resmi oleh pemerintah adalah
justru merupakan agama impor (kiriman). Jauh sebelum kelima agama tersebut
datang ke Indonesia, agama dan kepercayaan yang mereka anut sudah hidup ribuan
tahun. Lalu mengapa mereka sampai saat ini masih mendapatkan diskriminasi
pengakuan identitas ?
Aliran-aliran
kebatinan, kepercayaan sampai saat ini masih di anggap sebagai bukan agama, ia
adalah produk manusia. Karena itu, kebatinan lebih tepat disebut dengan
“kebudayaan spiritual” atau “kebudayaan batin”. Oleh sebab itu wajar dan tepat
bila pemerintah kemudian memindahkan urusan kebatinan dari Departemen Agama ke
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Menurut PAMA PUJA
(Panguyuban Masyarakat Adat Pulau Jawa, yaitu gerakan yang mewakili masyarakat
adat di Jawa), salah satu masalah paling berat yang dihadapi masyarakat adat
Jawa adalah hak untuk menjalankan agama atau kerpercayaannya, dalam kegiatan
pengajaran, pengamalan, ibadah dan pentaatan.
Salah satu
bentuk diskriminasi lainnya adalah belum adanya pengakuan aliran-aliran
kebatinan sebagai agama. Hal ini terlihat dari rumusan definisi agama versi
pemerintah. Menurut pemerintah Indonesia,
“agama adalah sistem kepercayaan yang disusun berdasarkan kitab suci
memuat ajaran yang jelas, mempunyai nabi dan kitab suci”. Dari definisi ini,
maka aliran kebatinan tetap tidak diakui sebagai agama.
Kementerian
Agama dalam hal ini hanya mengakui dan menetapkan enam agama secara resmi,
yaitu Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu dan Konghucu.[23] Penetapan
itu antara lain menyebutkan larangan melakukan penafsiran atau kegiatan yang “menyimpang
dari pokok-pokok ajaran agama.” Ini dijelaskan lebih lanjut dalam bagian penjelasan:
“Penetapan Presiden ini pertama-tama mencegah agar tidak terjadi
penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai
ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan”.
Salah
satu korban dari kebijakan negara dalam soal ini adalah kelompok-kelompok
penganut agama adat atau aliran kepercayaan. Mereka semuanya diarahkan kembali
ke agama induk, misalnya para penganut Sunda Wiwitan (Baduy) diarahkan kembali
ke agama Hindu. Bahkan aliran kepercayaan tidak dianggap sebagai suatu entitas
yang berdiri sendiri di luar agama, melainkan dipandang sebagai budaya saja.
Diskriminasi
ini menurut hemat saya adalah hal yang aneh. Bukankah jika kita mengacu pada
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E , dijelaskan bahwa;
1.
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya...
2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Bahkan dalam Pasal
28I, juga dijelaskan pula;
1. ... hak beragama ... adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun.
2. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu.
Dalam Pasal 29
1.
Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa.
2.
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Bahkan
dalam Undang-Undang No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 22 dijelaskan;
1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dalam
Hukum Internasional ”Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik
dalam Pasal 18 dijelaskan bahwa;
1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak
ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya
sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang
lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau
kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.
2. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk
menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
Di sinilah
menurut hemat saya, nampaknya agama-agama besar telah melakukan perselingkuhan
dengan kekuasaan. Undang-undang yang dirancang nampaknya tidak hanya murni
kepentingan hukum saja, akan tetapi juga di dalamnya
kental kepentingan politik, sehingga undang-undang yang dirancang sangat bias
kepentingan mayoritas dan menganaktirikan kelompok minoritas dalam hal ini
agama atau kepercayaan lokal.
D. Kesimpulan
Banyaknya aliran-aliran kebatinan atau kepercayaan
yang ada di Indonesia, hendaknya mulai saat ini dipandang sebagai kekayaan
kultural bangsa ini, dan bukan malah dicurigai dan diperangi sebagaimana
pengalaman sejarah. Dari sana dapat terbangun suatu suasana masyarakat yang
damai dan hidup sosial yang harmonis
Karena itu, tugas kita selanjutnya yang maha penting adalah bagaimana
memelihara dan merawat kearifan lokal itu agar senantiasa hidup dan menyala di
dalam hati nurani manusia Indonesia. Kalau nilai itu terus dipupuk, dirawat dan
selalu menjadi ikhtiar dan tindakan seluruh manusia Indonesia, mungkin tak akan
ada lagi anak yang harus kehilangan bapak atau ibunya hanya karena beda agama,
pemahaman agama, aliran politik, etnisitas dan aroma rasis lainnya. Juga tak
akan ada lagi rumah dan harta beda yang dijarah dan dibakar hanya karena
perbedaan identitas. Kita percaya bahwa setiap konflik itu ada resolusinya. Dan
para leluhur kita telah memberikan peninggalan atau warisan nilai untuk itu.
Kini tinggal tekad kita, mau menggunakan atau membuangnya !.
Daftar
Pustaka
Abdul Munir Mulkan, “Dilema Manusia Dengan Diri dan
Tuhan” kata pengantar dalam Th. Sumartana (ed.), Pluralis, Konflik, dan
Pendidikan Agama Di Indonesia, (Yogjakarta, Pustaka Pelajar, 2001).
Bahtiar Efendi, Masyarakat Agama dan Pluralisme
Keagamaan: Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani dan Etos Kewirausahaan,
(Yogjakarta, Galang Press, 2001).
Betty R. Scharf, Sosiologi Agama, Penj. Machnun Husein, (Jakarta:
Kencana, 1995).
David
Barret dan Todd Johnson, Annual Statistical Table on Global Mission: 2003”
dalam International Bulletin of Missionary Research. (Vol 27 No 1. Denville,
New Jersey., 2003)
H.M.
Rasyidi, Islam dan Kebatinan, (Jakarta: Yayasan Islam Studi Club
Indonesia, 1967).
Jamhari
Ma'ruf, Pendekatan Antropologi Dalam Kajian Islam, Artikel Pilihan Dalam
Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI, www.ditpertais.net.
Niels
Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa; Kelangsungan dan
Perubahan Kulturil,(Jakarta: Gramedia, 1980).
Paul
Stange, Kejawen Modern; Hakikat dalam Penghayatan Sumaroh, (Yogyakarta:
LKiS, 2009).
Rahmat Subagyo, Kepercayaan Kebatinan Kerohanian
Kejiwaan dan Agama, (Majalaj Spektrum No. 3, Tahun 1973)
Selo Sumardjan, “Ilmu Gaib, Kebatinan dan Agama dalam
Kehidupan Masyarakat”, dalam Simposium IAIN Syarif Hidayatullah.
_______, Mengamankan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa,
(Jakarta: CV. Tanjung Pengharanan, 1970)
Sumantri Mertodipuro, Aliran Kebatinan di Indonesia,
(Mayapada v, No. 13, 1967)
Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik Dalam
Berbagai Kebatinan Jawa, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005)
UU No.1/PNPS/1965, dan UU No.5/1969 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
[1] Dosen Pemikiran Politik Islam, Fakultas
Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, Mahasiswa S3 Religious Studies UIN
Bandung.
[2] Jamhari Ma'ruf, Pendekatan
Antropologi Dalam Kajian Islam, Artikel Pilihan Dalam Direktorat Perguruan
Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI, www.ditpertais.net.
[3] Abdul Munir Mulkan, “Dilema
Manusia Dengan Diri dan Tuhan” kata pengantar dalam Th. Sumartana (ed.), Pluralis,
Konflik, dan Pendidikan Agama Di Indonesia, (Jogjakarta, Pustaka Pelajar,
2001).
[4] Bahtiar Efendi, Masyarakat Agama
dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani dan
Etos Kewirausahaan, (Jogjakarta, Galang Press, 2001).
[5] David Barret dan Todd Johnson, Annual
Statistical Table on Global Mission :
2003” dalam International Bulletin of Missionary Research. Vol 27 No
1. (Denville, New Jersey., 2003), hal. 25.
[6] H.M. Rasyidi, Islam
dan Kebatinan, (Jakarta: Yayasan Islam Studi Club Indonesia, 1967), hlm.
49.
[7]
Definisi ini adalah definisi yang dirumuskan oleh Badan Kongres Kebatinan Indonesia
(BKKI) yang ke 1, 1959), hal. 7
[8]
Definisi ini dirumuskan pada kongres ke 2 BKKI menggantikan rumusan definisi
kebatinan pada kongres ke 1 di Semarang. Alasan penggantian definisi ini
menurut hasil kongres ke 2 BKKI karena diduga masih ada kemungkinan bagi suatu
aliran yang mirip atau sepaham dengan ateisme. Di samping itu alasan lainnya
karena definisi yang pertama lemah karena tidak mempunyai landasan hukum yang
kuat.
[9] H.M.
Rasyidi, Islam dan Kebatinan....., hlm. 50.
[10]
Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan Jawa,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hal. 85-86.
[11] Rahmat
Subagyo, Kepercayaan Kebatinan Kerohanian Kejiwaan dan Agama, (Majalaj
Spektrum No. 3, Tahun 1973), hal. 189
[12]
Sumantri Mertodipuro, Aliran Kebatinan di Indonesia, (Mayapada v, No.
13, 1967), hal. 133.
[13] Di kutip oleh Kamil Kartapradja, Aliran
Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Masagung, Cet. 3,
1990), hlm. 60.
[14] Kamil Kartapradja, Aliran
Kebatinan……, hlm. 61.
[15]Selo
Sumardjan, “Ilmu Gaib, Kebatinan dan Agama dalam Kehidupan Masyarakat”,
dalam Simposium IAIN Syarif Hidayatullah. Atau lihat,
Selo Sumardjan, Mengamankan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, (Jakarta: CV.
Tanjung Pengharanan, 1970), hal. 50
[16]
Suwarno Imam, Konsep Tuhan, Manusia........, hal. 82.
[17] HM.
Rasyidi, Islam dan Kebatinan......., hal. 13.
[18]
Suwarno Imam, Konsep Tuhan, Manusia..........., hal. 83.
[19]
Suwarno Imam, Konsep Tuhan, Manusia..........., hal. 83.
[20]Untuk
lebih jelasnya tentang beberapa ajaran kebatinan terkait dengan penghayatan
batin dapat dilihat dalam bukunya Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup
Sehari-hari Orang Jawa; Kelangsungan dan Perubahan Kulturil,(Jakarta:
Gramedia, 1980). Atau lihat bukunya Paul Stange, Kejawen Modern; Hakikat
dalam Penghayatan Sumaroh, (Yogyakarta: LKiS, 2009).
[21]
Suwarno Imam, Konsep Tuhan, Manusia ………, hal. 93
[22]
Suwarno Imam, Konsep Tuhan, Manusia ………, hal. 94.
[23] UU No.1/PNPS/1965, jo. UU No.5/1969 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar