Translate

Jumat, 09 November 2012

Metodologi Tafsir Al-Qur'an

Tinjauan Kritis Metodologi Tafsir Al-Qur’an
(Studi Atas Metode Tahlili)

Oleh:
Kiki Muhamad Hakiki[1]


Abstrak
Artikel ini mencoba mengungkap sejarah, perkembangan, kelebihan dan kekurangan dari metode tahlili. Keberadaan metode tahlili dalam dunia penafsiran sangatlah penting. Penerapan metode ini paling digemari oleh para ahli tafsir. Hal itu bisa dilihat dari begitu banyaknya karya tafsir dengan penggunaan metode tahlili dalam teknik penulisannya. Meskipun begitu, nampaknya tidak ada metode yang paling sempurna dan tanpa kekurangan, termasuk metode tahlili. Metode tahlili menurut hemat saya banyak sekali kekurangannya, meskipun juga ada beberapa kelebihannya. Karena itu, untuk menutupi kekurangan itu, maka perpaduan antara metode tahlili dan maudhu’i akan lebih baik dalam rangka mencapai penafsiran yang komprehensif dan juga aktual menjawab berbagai permasalahan yang muncul..

Kata Kunci : Metodologi, Tafsir, Al-Qur’an, Tahlili


Pendahuluan
Al-Qur’an[2] adalah petunjuk dan sumber ajaran Islam yang menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat ini.[3]
Dengan kandungan yang sedemikian penting, dan isinya sangat diperlukan oleh manusia dalam melakukan aktifitas sehari-hari, tidak mengherankan bila Al-Qur’an menjadi objek kajian yang paling banyak dan tak akan habis-habisnya diperbincangkan umat yang berakal ini.
Setiap saat ada saja hasil kajian terhadap Al-Qur’an, muncul dari mereka-mereka yang terketuk hatinya untuk mendalami kandungan kitab suci. Dengan keberadaan umat islam di seluruh pelosok dunia, maka tafsir juga berkembang disemua tempat yang merupakan konsentrasi dari pemeluk agama islam. Sudah barang tentu tafsir yang muncul disuatu tempat atau kawasan akan berlainan dan memiliki kekhususan sendiri dibanding dengan yang muncul dikawasan lain. Demikian pula tafsir yang dihasilkan pada suatu masa cenderung berbeda dari sebelum atau sesudahnya.[4] Perbedaan-perbedaan tersebut dipengaruhi oleh budaya, situasi dan kondisi, perkembangan ilmu pengetahuan yang kesemuanya itu tentu akan berpengaruh terhadap kemampuan olah untuk menganalisis dan menerapkan metodologi yang digunakan untuk menafsirkan Al-Qur’an . Karena setiap mufassir mempunyai metodologi yang berbeda dalam perinciannya dengan mufassir lainnya.[5]
            Dinamika penafsiran Al-Qur’an tidak pernah mengalami stagnasi, sejak kitab suci tersebut diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Berbagai macam metodologi (ijmali, tahlili, muqarrin dan maudhu’i) dan corak penafsiran (shufi, fikih, falsafi, siyasi, adab al-ijtima’i) telah ditawarkan oleh para mufassir baik klasik maupun modern. Aktivitas eksegetik akan selalu mengalami dinamika perkembangan dan tidak akan sampai pada titik final, hal itu seiring dan senafas dengan tuntutan perkembangan zaman. Kajian kritis terhadap Al-Qur’an akan selalu memunculkan berbagai ragam penafsiran (yahtamilu wujuhal ma’na) baik itu dari segi metode dan karakteristik penafsiran. Hal tersebut merupakan konsekwensi logis dari adanya keinginan umat islam untuk selalu mendialogkan antara Al-Qur’an sebagai teks (nash) yang terbatas, dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi manuisa sebagai konteks (waqaa’i) yang tak terbatas.
Hal itu merupakan salah satu implikasi dari pandangan teologis umat islam bahwa Al-Qur’an itu shalihun li kulli zaman wal makaan (Al-Qur’an itu selalu cocok untuk setiap waktu dan tempat). Sebagaimana dikatakan Muhammad Syahrur seorang pemikir asal Syiria mengatakan bahwa Al-Qur’an harus selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan kontemporer yang dihadapi umat manuisa.[6] Hal tersebut senada dengan apa yang dikatakan Muhammad Arkoun seorang pemikir al-jazair kontemporer mengatakan bahwa “Al-Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas.
Kesan-kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal”.[7]
Maka tidaklah berlebihan jika Al-Qur’an diibaratkan seperti lautan yang tak bertepi karena kandungan maknanya sangat luas atau sebagaimana  yang  diungkapan oleh Dr.Darraz menyatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu bagaikan batu permata  yang setiap sudut-sudutnya dapat memancarkan berbagai ragam cahayanya. Cahaya-cahaya yang dipancarkannya itu tidak sama kesannya pada masing-masing sisi, tergantung pada sudut pandang orang yang melihatnya.[8]
Perbedaan sudut pandang juga berdampak terhadap perbedaan bentuk tafsir, dan perbedaan bentuk tafsir juga dipengaruhi oleh seperangkat alat kerja penafsiran yang disebut dengan metodologi penafsiran. Tafsir yang menggunakan metode tahlili misalnya akan mempunyai bentuk yang berbeda dengan tafsir-tafsir yang menggunakan metode lainnya seperti ijmali, muqarin dan maudhu’iy.
Untuk itu kajian terhadap metodologi tafsir tampaknya sangat diperlukan sekali. Mengingat metode tafsir merupakan seperangkat alat tekhnis yang harus dikuasai oleh setiap penafsir yang akan memnafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Kemudian dengan mengetahui karakteristik dari setiap metode, maka kita akan mengetahui berbagai karakteristik dan bentuk dari setiap tafsir.
Akan tetapi dalam pembahasan kali ini, penulis tidak membahas secara komprehensif dari setiap metode tafsir. Penulis hanya memfokuskan pembahasan pada kajian metode tahlili. Adapun sistematikan pembahasannya dimulai dari: pembahasan seputar definisi metodologi tafsir, perkembangan metodologi tafsir, Posisi Metodologi Tafsir Dalam Ilmu Tafsir, pembahasan metode tahlili dilengkapi dengan kritik terhadap metode tahlili.

Definisi Metodologi Tafsir
Dilihat dari akar katanya, kata metodologi berasal dari dua kata : “metodos” dan “logos”. “metode” (bahasa yunani “methodos”) yaitu cara, jalan.[9] sedangkan “logos” (bahasa Yunani) artinya ilmu .
Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method dan bangsa Arab menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj. Dalam kamus besar bahasa indonesia kata tersebut mengandung arti: “ cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya), cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan”.[10]
Jadi  metodologi adalah ilmu tentang metode, uraian tentang metode. Adapun bila dikaitkan dengan pembahasan tafsir maka metode tafsir al-Qur’an adalah seperangkat kaidah dan aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. atau cara yang teratur dan terpikirkan baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan-Nya kepada nabi Muhammad saw.[11] Sedangkan metodologi tafsir ialah pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran Al-Qur’an.

Perkembangan Metodologi Tafsir
Sejak pertama kali al-Qur’an diwahyukan ke bumi oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril kepada nabi Muhammad saw, aktivitas eksegetik yang dilakukan oleh para ahli (Muslim maupun non-Muslim) terhadap Al-Qur’an tidak mengalami pasang surut sedikitpun. Bahkan kajian terhadap al-Qur’an selalu ramai diperbincangkan, diantaranya kajian metodologi penafsiran al-Qur’an. Perkembangan metodologi tafsir ternyata membawa angin segar terhadap pemahaman baru terhadap kandungan al-Qur’an. Kajian yang dilakukan oleh para serjana terhadap al-Qur’an bukan hanya dari redaksi susunan al-Qur’an saja malainkan dari sisi cara atau jalan (metode) penafsiran al-Qur’an tetap menarik untuk dikaji, meskipun para ulama telah menetapkan bahwa ilmu-ilmu al-Qur’an itu telah final dan tuntas. Bahkan Al-Zarkasyi lebih ekstrim dari itu dengan mengatakan bahwa ilmu al-Qur’an telah matang dan gosong (Nadhaja wa ihtaraqa).[12] 
Perkembangan tafsir al-Qur’an dari zaman pertama kali turun samapai sekarang jika ditelusuri dari segi metode penyusunannya hanya di lakukan dalam empat metode yaitu: metode ijmali (global), metode tahlili (analisis), metode muqarrin (komperatif), metode maudhu’i (tematik).
Metode ijmali sebegai metode yang mula-mula muncul, metode ini pertama kali diperkenalkan pada masa Nabi dan para sahabat. Nabi dan para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an secara ijmali, tidak mencoba merincikan hasil penafsirannya, hal itu disebabkan karena pada masa zaman nabi dan sahabat, mereka adalah seorang yang ahli dalam tata bahasa, mengetahui asbab an-nuzul ayat dengan pasti, mengetahui secara jelas kondisi ketika ayat diturunkan. Sehingga dengan hal itu mereka akan dapat  mengetahui penafsiran dari setiap ayat dengan cara yang mudah dan singkat tidak membutuhkan penjelasan-penjelasan yang mendetail.[13] Di antara kitab-kitab tafsir yang menerapkan metode ijmali diantarnya adalah tafsir al-jalalain.
Perkembangan metode tafsir kemudian diikuti oleh metode tahlili atau sebagaiman Baqir al-Shadr menyebutnya metode tajzi’iy.[14] Metode ini bertujuan sebagaimana di katakan oleh malik bin Nabi adalah tidak lain kecuali dalam rangka upaya mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan al-Qur’an.[15] 
 Metode tahili dilihat dari segi bentuknya terdapat dua bentuk yakni bentuk bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yu. Adapun praktek penafsiran dari bi al-ma’tsur adalah mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an ayat dengan ayat lainnya atau dengan riwayat dari Roaulullah saw, para sahabat dan para tabiin. Kitab tafsir pertama bi al-ma’tsur adalah jami’ al-Bayan karya Ath-Thabari.
Metode tahlili bi al-ma’tsur sebagai sebuah metode penafsiran ternyata tidak lagi dapat memberikan solusi permasalahan dengan tuntas. Hal itu disebabkan oleh perbedaa tempat dan kondisi, kwalitas daya nalar mufassir, perkembangan zaman yang selalu berubah secara drastis, [16] perkembangan tekhnologi sehingga “memaksa” para ulama untuk membuat tafsiran terhadap al-Qur’an yang lebih solutif maka terlahirlah karya tafsir berbentuk bi al-ma’tsur.
Perkembangan tafsir yang terus meningkat juga berdampak tehadap kitab tafsir sehingga karya tafsir yang muncul itu akan mempunyai  karakteristik yang berbeda antara satu tafsir dengan tafsir lainnya. diantara perbedaan karakteristik adalah dilihat dari coraknya.
Corak-corak penafsiran yang dikenal dan masih berkembang sampai saat ini adalah 1) Corak sastra Budaya, corak ini muncul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga kebutuhan akan sastra sangat penting dalam rangka menjelaskan keistimewaan dan kedalaman kandungan al-Qur’an.[17] 2). Corak Filsafat, corak ini muncul akibat penerjemaham kitab filsafat yang mempengaruhi kreatifitas berfikir, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar mesih mempercayai  kepercayaan lama.[18] 3). Corak Ilmi,  corak ini timbul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsiran untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.[19] 4). Corak Fikih, corak ini muncul akibat perkembangan ilmu fikih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fikih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran  terhadap ayat-ayat hukum yang ada dalam al-Qur’an: 5)[20]  Corak tasawuf, corak ini muncul akibat timbulnua berbagai gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.[21] 6). Corak sastra, Budaya dan Kemasyrakatan (adab al-ijtima’i) corak ini bermula pada masa Saikh Muhammad Abduh (1849-1905 M), corak ini bertujuan menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta dalam rangka menanggulangi “penyakit-penyakit”  atau masalah mereka berdasarkan petunjuk al-Qur’an.[22]     
Metode selanjutnya adalah metode muqarrin, metode ini muncul  dalam rangka mempermudah dalam memahami kandungan isi al-Qur’an. banyak diantara ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai redaksi mirip tetapi sebenarnya mempunyai maksud yang berbeda, banyak diantara hadits-hadits yang secara lahiriah terlihat bertentangan baik itu dengan hadits sendiri atau dengan ayat al-Qur’an atau bahkan banyak para ulama tafsir yang mempunyai pemikiran berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an. Disinilah letak urgensi dari pada metode muqarrin sebagai salah satu metode penafsiran al-Qur’an yang mencoba mengkompromika hal-hal yang secara lahiriah berbeda sehingga akan dihasilkan suatu penafsiran yang komprehensif dan objektif. Diantara kitab tafsir yang menggunakan metode muqarrin adalah al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi.
Terakhir adalah metode maudhu’iy (tematik), konon metode ini muncul disebabkan oleh ucapan Ali ibn Abi Thalib ia berkata: “Istanthiq al-Qur’an” (“Ajaklah al-Qur’an berbicara” atau Biarkan ia menguraikan maksudnya”).[23]
Metode maudhu’iy sebagai sebuah metode yang sampai saat ini masih di gandrungi karena dianggap lebih dapat meyelesaikan permasalahan, menyuguhkan pesan dari mekasud al-Qur’an dengan tuntas. Metode jika ditelusuri sejarah munculnya berawal dari ucapan Al-Syathibi yang mengatakan bahwa setiap surat, walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda-beda, namun ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda tersebut. Dari ungkapan tersebut, sehingga pada bulan Januari 1960, Syaikh Muhammad Syaltut menyusun sebuah tafsir yang diberinama Tafsir Al-Qur’an Al-Karim. Dalam tafsir tersebut Syaltut membahas surat demi surat atau bagian tertentu dalam satu surat. Dan pada akhirnya metode ini di kenal dengan metode maudhu’iy.[24] 
Apa yang dilakukan oleh Syaltut ternyata belum mencapai maksimal, karena beliau hanya menafsirkan surat demi surat  atau satu tema dalam satu surat, padahal suatu masalah (tema) dapat ditemukan ( terkait) dalam berbagai surat. Atas dasar itu semua, muncul sebuah konsep baru yang berusaha menghimpun semua ayat-ayat  al-Qur’an  yang berbicara dalam satu tema (topik). Konsep baru ini pertama kali dikembangkan di Mesir oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kummy pada tahun 1960, Ketua Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushulluddin Universitas Al-Azhar.[25] Diantara karya tafsir yang menggunakan metode maudhu’iy adalah Al-Insan fi Al-Qur’an, Al-Mar’ah fi Al-Qur’an karya Abbas Mahmud Al-Aqqad.
Posisi Metodologi Tafsir Dalam Ilmu Tafsir
Diatas telah dijelaskan tentang perkembangan metodologi tafsir, munculnya metodologi tafsir berbarengan dengan penafsiran itu sendiri. Sehingga dengan demikian metodologi tafsir merupakan “kembaran”, bagian yang tidak dapat dipisahkan atau bisa disebut substansi dari ilmu tafsir (Ulum al-Tafsir).
Metodologi tafsir sebagai cara atau jalan dalam menafsirkan al-Qur’an, ternyata sangat berpengaruh terhadap hasil atau tujuan akhir dari suatau penafsiran. Dalam bentuk bagaimanapun  suatu penafsiran, bi al-ma’tsur atau bi al-ra’yi ternyata tak akan dapat mencapai salah satu corak penafsiran tanpa memakai salah satu dari empat metode penafsiran yang telah disebutkan diatas. Dan salah satu cara untuk mencapai apa yang diinginkan, sesorang harus dituntut menguasai secara mutlak ilmu metode tafsir atau yang disebut metodologi tafsir.[26]
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa jika seseorang hendak  menafsirkan al-Qur’an, ia harus menguasai berbagai tekhnik dan kerangka kerja  yang ada dari setiap  metodologi tafsir guna mencapai maksud apa yang penafsir inginkan.
Adapun dalam pembahasan ini yang akan diuraikan dari keempat metode tafsir (ijmali, tahlili, muqarin, dan maudhuiy) hanyalah metode tahlili, mengingat metode ini merupakan metode yang sampai saat ini masih eksis digunakan dan digemari.
 Metode Tahlili (Analitis)
a. Definisi
Metode tahlili atau yang disebut Muhammad Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi’iy [27]. Metode tahlili menurut Al-Farmawy adalah suatu metode menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.[28] sedangkan menurut Muhammad Baqir Al-Shadr adalah metode dimana mufasir membahas al-Qur’an ayat demi ayat, sesuai dengan rangkaian ayat yang tersusun di dalam al-Qur’an.[29] Dalam hal ini mufassir berusaha menjelaskan kandungan ayat al-Qur’an dari berbagai seginya yang dianggap perlu oleh seorang mufassir baik itu kosakata, asbab an nuzul, munasabat dan lain-lain dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaiman tercantum didalam mushaf. Dari definisi-definisi yang diungkapkan diatas dapat disimpulkan bahwa metode tahlili adalah metode yang berupaya menafsirkan ayat demi ayat al-Qur’an dari setiap surat-surat al-Qur’an  dengan seperangkat alat-alat penafsiran (asbab an-nuzul, munasabat, nasikh dan mansukh dan lain-lain) dimulai dari awal surat (al-Fatihah) sampai akhir surat dalam al-Qur’an (an-Naas).
Menurut Muhammad Baqir al-Shadr metode tahlili merupakan metode yang awal muncul dibandingkan dengan metode yang lain (Ijmali, muqarrin, maudhu’i), tafsir ini berasal sejak masa para sahabat Nabi Muhammad saw. Pada mulanya terdiri dari tafsiran atas beberapa ayat saja, yang kadang-kadang  mencakup penjelasan mengenai kosakatanya.[30] Dan pada akhirnya berkembanglah penafsiran-penafsiran sesuai dengan kebutuhan dan sekaligus dibarengi dengan perkembangan metode tafsir.
Dilihat dari segi uraian tafsir, metode tahlili mempunyai berbagai macam ragam diantaranya: 1). Ada yang mempunyai (uraian) redaksi yang panjang lebar, luas dan memasukan segala aspek dalam penafsirannya, seperti tafsir al-Thabari, tafsir Ibn Katsir. 2). Ada tafsir yang menguraikan secara sedang atau pertengahan (tidak panjang/luas dan ringkas), seperti tafsir Al-Naisaburi.
b. Ciri-Ciri Metode Tahlili
Diantara ciri-ciri dari tafsir yang menggunakan metode tahlili adalah sebagai berikut:
1.   Seorang penafsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara komprehensip dan menyeluruh, baik itu dari segi i‘rab-nya, munasabah ayatnya, asbab an-nuzul-nya dan yang lainnya.
2.   Dalam menafsirkan ayat, mufassir akan menfsirkan ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan apa yang terdapat dalam mushaf.
3.   Mufassir biasanya mengungkapkan berbagai macam pendapat atau penafsiran yang pernah diungkapkan baik itu oleh Rosulullah, Shahabat, tabi’in dan para ulama-ulama sebelumnya.
Dari beberapa ciri di atas, yang terpenting dan perlu diingat  bahwa yang menjadi ciri dari metode tahlili adalah bukan menafsirkan al-Qur’an dari awal mushaf sampai akhir surat, melainkan terletak pada pola atau kerangka pembahasan dan analisisnya. Artinya, selama proses penafsiran tidak mengikuti pola perbandingan seperti dalam tafsir muqarin atau pola tematik seperti yang ada dalam tafsir maudhu’iy atau pola global seperti dalam tafsir ijmali, maka tafsir tersebut dapat di golongkan dalam tafsir yang menggunakan metode tahlili. Sekalipun sajian tafsirnya tidak mencakup keseluruhan mushaf secara komprehensif dari mulai surat sampai akhir surat.
Dilihat dari bentuknya, metode tahlili (analitis) mempunyai dua bentuk penafsiran.
            1. Metode Tafsir Tahlili Bi al Ma’tsur
Metode tafsir tahlili bi al ma’tsur[31] atau disebut juga metode bi ar-riwayah yaitu tafsir yang menafsirkan al-Qur’an berdasarkan nash-nash baik dengan ayat-ayat al-Qur’an sendiri, dengan hadits nabi, dengan aqwal para sahabat, maupun dengan aqwal para tabi’in.[32]
Jika seorang mufassir menggunakan metode tahlili bi al ma’tsur akan mempunyai keistimewaan dan kelemahan diantaranya:[33]
Sisi  keistimewaan dari metode tahlili bi al ma’tsur adalah :
1.      Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur’an.
2. Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika ketika menyampaikan pesan-pesan al-Qur’an.
3.     Mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasasinya terjerumus pada subjektivitas yang berlebihan.
Disisi lain kelemahan metode ini adalah:
1.   Terjerumusnya sang mufassir dalam uraian kebahasaan yang bertele-tele, sehingga pasan-pesan al-Qur’an menjadi samar dan kabur.
2.   Seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbab an-nuzul) atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh atau mansukh  terabaikan.
3.  Tafsir yang menggunakan metode bi al-ma’tsur seringkali memakai riwayat yang maudhu‘ dan israiliyat; seperti penghilangan berbagai sanad setelah periode tafsir Al-Thabari, hal itu dilakukan oleh sebagian ahli tafsir dengan tujuan agar lebih ringkas dan singkat. Diantar mereka adalah Al-Baghawi Al-Farra’ (wafat 510 H), Ibn Katsir (wafat 774 H) dan Al-Suyuthi (wafat 911 H).[34]
Diantara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode bi al ma’tsur adalah Jami’u al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an (Tafsir al-Thabari) karya Muhammad bin Jarir at-Thabari. Kitab tafsir ini merupakan kitab tafsir bi al-ma’tsur yang pertama, ia menjadi rujukan utama para ahli tafsir naqli,[35] Bahrul ‘Ulum (Tafsir al-Samarqandi) karya Nashar bin Muhammad As Samarqandi, Al Kasyf Wa al-Bayan (Tafsir Ats Tsa’labi) karya Ahmad bin Ibrahim Al Naisaburi, Ma’alim al-Tanzil (Tafsir Al Baghawi) karya Al Husain bin Mas’ud Al Baghawi, Al Muharraru Al Wajiz Fi Tafsir Al Qur’an al-Aziz (Tafsir Ibnu ‘Uthiyyah) karya Abdul Haq bin Ghalib Al Andalusi, Tafsir Al-Qur’an Al ‘Adzim (Tafsir Ibn Katsir) karya Ismail bin Umar Ad Dimisyqi, Al Jawahirul Hasan Fi Tafsiril Qur’an (Tafsir Al Jawahir) karya Abdurrahman bin Muhammad Ats Tsa’labi, Ad Durr al-Ma’tsur Fi al-Tafsir Bil Ma’tsur (Tafsir As Suyuthi) karya Jalaluddin Al Suyuthi.
            2. Metode Tafsir Tahlili Bi al-Ra’yi
Dari segi bahasa al-Ra’yi berarti keyakinan, analogi, dan ijtihad. Orang-orang yang melakukan analogi biasanya disebut sebagai ahli ra’yi, karena mereka mengatakan sesuai pendapat (ra’yu) mereka pada saat mereka tidak mendapatkan dalil yang berupa hadits maupun atsar. Tafsir bi al-ra’yi muncul sebagai sebuah metodologi pada saat periode mutakhir munculnya tafsir bi al-ma’tsur.[36] Metode tafsir bi al-ra’yi atau disebut juga metode bi al-diroyah, tafsir Bi al-Ma ‘qul[37] atau al-tafsir bi al-ijtihad atau al-tafsir al-ijtihadi[38] yang dimaksud disini adalah penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad[39] atau upaya menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang berdasarkan pada ijtihad para mufassirnya dengan mempergunakan logika (akal) dan menjadikan akal pikiran sebagai pendekatan utamanya.[40] Menurut Muhammad Ali ash Shobuny tafsir bi al-ra’yi adalah suatu ijtihad dengan dibangun diatas dasar-dasar yang benar serta kaidah-kaidah yang lurus yang harus dipergunakan oleh setiap orang yang hendak menafsirkan al-Qur’an atau menggali maknanya.[41]
Diantara kitab-kitab tafsir bi al Dirayah (Bir Ra’yi) yang termasyhur adalah: Mafatih al-Ghaib (Tafsir Al Razi) karya Muhammad Bin Umar Al Husain Al Razi, Anwarut Tanzil Wa Asrarut Ta’wil (Tafsir Al Baidlawi) karya Abdullah bin Umar Al Baidlawi, Lubabut Ta’wil Fi Ma’anit Tanzil (Tafsir Al Khazin) karya Abdullah bin Muhammad dikenal dengan nama Al Khazin, Madarik al-Tanzil Wa Haqaiq al -Ta’wil (Tafsir Al Nisfi) karya Abdullah bin Ahmad Al Nisfi, Ruhu al-Ma’ani (Tafsir Al Alusi) karya Syihabuddin Muhammad Al Alusi Al Baghdadi, Al Bahr al-Muhid (Tafsir Abi Haiyyan) karya Muhammad bin Yusuf bin Hayyan Al Andalusi, Gharaib al-Qur’an Wa Raghaib al-Furqan (Tafsir Al Naisaburi) karya Nidzamuddin Al Hasan Muhammad An Naisaburi, As Siraj al-Munir (tafsir Al Khathib) karya Muhammad Asy Syarbini Al Khathib.
Pendapat para Ulama tentang tafsir bi al ra’yi
            Para ulama dalam memandang tafsir bi al ra’yi terbagi dalam dua kelompok (pendapat) atau madzhab [42] yaitu:
Pendapat pertama: Mereka memandang tafir bi al ra’yi tidak diperbolehkan, karena tafsir haruslah mauquf (didasarkan) pada pendengaran. Pendapat mereka berdasar pada ayat al-Qur’an:
Artinya: Sesungguhnya Syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. (al-Baqarah: 169).[43]
Artinya:  Dengan membawa keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (an-Nahl: 44).[44]
Sabda Rosulullah saw:
Artinya: “Takutlah engkau mengadakan perkataan terhadapku, kecuali apa apa yang engkau tahu. Barangsiapa berdusta atas aku dengan sengaja, maka ambil saja tempat duduknya di neraka. Dan barangsiapa berbicara tentang al-Qur’an menurut pendapatnya, maka abillah tempat duduknya di neraka.” (HR. At-Turmudzi).
Pendapat kedua: tafsir bi al-ra’yi diperbolehkan untuk digunakan tetapi dengan syarat mereka harus menguasai syarat-syarat menjadi seorang mufassir. Pendapat ini diikuti oleh jumhur ulama.[45] Mereka bersandar pada ayat al-Qurana dan hadits Ibn Abbas:
Artinya: Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.( Shaad: 29).[46]
Dan diperkuat oleh ucapan dari Rosulullah saw.
Artinya: “Allahumma ya Allah, fahamkan dia (Ibn Abbas) pada agama dan ajarkan kepadanya ilmu ta’wil.”(HR. Bukhari).
c.  Kelebihan dan Kekurangan Metode Tahlili
            Sebagaimana metode Ijmali, metode tahlili-pun mempunyai kelebihan juga kekurangan dari metode yang lainnya diantaranya:
1. Kelebihan metode tahlili
a. Ruang lingkup yang luas
Metode tahlili dalam pembahasannya mempunyai ruang lingkup yang luas, berbeda dengan metode ijmali. Dalam metode tahlili, penafsir diberikan kesempatan untuk menuangkan hasil pemahamannya tanpa ada batasan-batasan baik itu dengan cara bi al ma’tsur maupun bi al ra’yi.[47]
b. Memberikan  pemahaman yang luas
Dalam metode tahlili, penafsir akan memberikan kepada pembaca pemahaman yang sangat luas, karena dalam tefsir tersebut dituangkan berbagai macam penafsiran ulama-ulama terdahulu.
2. Kekurangan metode tahlili
            Diantara kekurangan dari metode tahlili (analitis ) adalah sebagai berikut:
a.      Melahirkan penafsiran yang subjektif
Metode tahlili sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, memberikan ruang  kepada penafsir dengan begitu luas sekali untuk menuangkan berbagaimacam ide-ide atau hasil tafsirannya. Sehingga kadang-kadang penafsir lupa atau terlena atau juga dengan sengaja menafsirkan al-Qur’an secara subjektif sesuai dengan hawanafsu atau keinginannya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah penafsiran.[48] Dengan demikian hasil penafsiran dengan menggunakan metode tahlili akan menghasilkan pandangan-pandangan yang bersifat parsial serta kontradiktif dalam kehidupan umat manusia.[49]
b.      Masuknya penafsiran Israiliyat
Dalam metode tahlili, peluang untuk masuknya hasil penafsiran israiliyat sangat terbuka, disebabkan metode ini memberikan ruang begitu luas kepada penafsir untuk menuangkan hasil penafsirannya.[50]
c.       Memberikan kejenuhan kepada pembaca
Keluasan ruangan yang diberikan kepada penafsir untuk menuangkan berbagi macam ide atau pemahaman, baik itu dari segi i’rabnya, munasabat, asbab an-nuzul, pendapat ulama sebelumnya. Akan mengasilkan penafsiran yang begitu panjang bahkan  sampai berpuluh-puluh lembar. Secara tidak langsung, hal itu akan memberikan kejenuhan atau kemalasan kepada pembaca untuk membacanya. Karena biasanya pembaca menyukai hal-hal yang praktis.
d.       Pembahasan yang mengikat
Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahlili adalah bahwa bahasan-bahasannya bersifat “mengikat” generasi berikutnya. Hal itu disebabkan karena hasil penafsirannya bersifat teoritis atau “melangit” tidak menyentuh terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat. Dan hasil penafsiran yang ditimbulkan oleh  metode tahlili mengesankan hanya itulah pandangan al-Qur’an untuk setiap waktu dan tempat.[51]
e.       Mufassir yang menggunakan metode ini tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau dalil pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat al-Qur’an.[52]
f.        Metode tahlili tidak mampu memberikan jawaban yang tuntas terhadap berbagai persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat[53]
g.      Walaupun pembahasannya sangat luas, namun tafsir ini tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada ayat lain.
d. Urgensi Metode Tahlili
Metode tahlili merupakan metode yang cukup dikenal dikalangan ulama-ulama tafsir klasik dan modern, hal itu terbukti dengan bermunculannya kitab-kitab tafsir yang berjilid-jilid, tafsir at-Tabari dan tafsir al-Manar misalnya. Dalam kitab tafsir tersebut barbagai segi di ungkapkan baik itu bahasa, hukum , teologi dan yang lainnya. Secara tidak langsung metode ini memberikan sumbangan yang sangat besar dalam mengembangkan khazanah pengetahuan umat islam. Membaca karya tafsir yang menggunakan metode tahlili, kita akan mendapatkan berbagai macam pengetahuan baik itu tentang fikih, teologi, filsafat ataup lainnya yang diungkapkan dalam kitab tafsir tersebut. Pemikir Aljazair kontemporer, Malik bin Nabi, menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan al-Qur’an dengan metode tahlili itu, tidak lain kecuali dalam rangka upaya mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan al-Qur’an.[54]
e. Kritik atas Metode Tafsir Tahlili
Metode tafsir tahlili sampai saat ini tampaknya masih tetap digunakan dan  kemungkinan besar sampai kapanpun metode ini akan tetap terpakai. Akan tetapi jika kita lihat lebih jauh bahwa tafsir dengan menggunakan metode tahlili nampaknya telah menghambat perkembangan pemikiran yang Qur’ani dan mengakibatkan studi-studi yang berkaitan terkesan berulang-ulang dan statis. Hal tersebut berbeda jika dibandingkan dengan tafsir yang menggunakan metode tematik (maudhu’iy). Tafsir yang menggunakan metode tematik lebih dapat memberikan jawaban yang konkrit dan solutif, hal tersebut disebabkan metode tematik lebih dapat memberikan ruang kreatifitas yang luas untuk melakukan ijtihad. Ada beberapa argumentasi yang mendukung pernyataan diatas:
Pertama, mufassir yang menggunakan metode analitis (tahlili) biasanya bersifat pasif. Maksudnya; ketika seorang penafsir akan menafsirkan ayat, ia tidak berangkat dari rumusan-rumusan dasar pemikiran atau rencana terlebih dahulu; ia langsung kepada pencarian pengertian dengan cara melakukan analisa perbendaharan kata. Secara garis besar bahwa usaha mufassir hanya terbatas pada penjelasan sebuah naskah al-Qur’an saja.  Dalam hal ini peran naskah serupa dengan si pembicara, dan tugas pasif si mufassir adalah mendengarkan dan mencatat. Dengan pikiran yang jernih, mufassir duduk menghadap al-Qur’an dan mendengarkannya dengan penuh perhatian. Mufassir mempunyai peran yang pasif sedangkan al-Qur’an bersifat aktif. Dengan kata lain aktifitas mufassir dimulai dari naskah al-Qur’an.
Berbeda dengan metode tematik,[55] mufassir yang menggunakan metode tematik tidak berangkat dari naskah al-Qur’an, melainkah dari realitas kehidupan. ia memusatkan perhatiannya pada sebuah subjek tertentu dari berbagai masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek kehidupan sosial dan kosmologis, dengan menggunakan kumpulan hasil pemikiran dan pengalaman manusia tentang subjek tersebut, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan pemecahan-pemecahan yang dianjurkan sehubungan dengan masalah tersebut. setelah itu, ia kembali kepada sajian naskah al-Qur’an, namun bukan sebagai penempat posisi yang pasif dan pencatat. Mufassir membuat topik yang tepat yang sesuai dengan masalah yang diperoleh dari pengalam sehari-hari. Kemudian ia mendialogkan dengan al-Qur’an, di mana si mufassir bertanya dan al-Qur’an menjawab dengan teks-teks sucinya.
Dengan demikian perbedaan antara analitis dan tematik adalah bahwa pada metode yang pertama mufassir memainkan peran yang pasif sebagai seorang pendengar dan pencatat yang baik berbeda dengan metode tematik adanya proses dialogis antara mufassir dengan al-Qur’an atau metode tematik selangkah lebih maju dari metode analitis (tahlili). Untuk itu sebagai anjuran bahwa penggunaan dua metode (analitis atau tahlili dan tematik atau maudhu’iy) untuk saat ini sangatlah penting dijadikan pola kerja, mengingat masing-masing kedua metode ini saling melengkapi satu dengan lainnya.
Ada beberapa anggapan [56] yang berbeda mengenai apakah metode tahlili terkesan pasif ataukah tidak. Mereka beranggapan bahwa prilaku pasif-nya metode tahlili hanya berlaku pada metode tahlili bi al-ma’tsur tidak pada metode tahlili bi al-ra’yi. Karena menurut mereka bahwa seorang mufassir yang menggunakan metode tahlili bi al-ra’yi justru sangatlah aktif. Hasil penafsiran berangkat dari dominasi imajinasi mufassir sendiri yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang tentunya dengan bersandarkan pada kaidah-kaidah penafsiran. Seorang mufassir dengan metode tahlili bi al-ma’tsur di berikan kebebasan di dalam menafsirkan ayat al-Qur’an yang tentunya hal ini tidak di peroleh dalam metode tafsir tahlili bi al-ma’tsur.
Pendapat di atas bisa dikatakan benar jika yang dimaksudkan aktif adalah dominasi peran seorang mufassir dalam menafsirkan teks al-Qur’an. Jika yang dimaksudkan seperti di atas, ternyata bukan hanya tahlili bi al-ra’yi saja akan tetapi semua metode tafsir sebenarnya bisa dikatakan aktif tidak bersikap pasif. Karena proses pemilihan ayat, hadits, pendapat sahabat dan hal-hal lain yang terkait dalam proses penafsiran sepenuhnya tergantung dari si mufasir sendiri.
Hal tersebut berbeda dengan yang dimaksud penulis.   Pasifnya mufasir yang menggunakan metode tahlili—baik itu tahlili bi al-ra’yi maupun tahlili bi al-ma’tsur—adalah mufassir tidak berangkat dari rumusan-rumusan dasar pemikiran atau rencana yang akan di bahas terlebih dahulu; tetapi justru ia langsung terjun kepada pencarian pengertian dengan cara melakukan analisa perbendaharan kata. Secara garis besar bahwa usaha mufassir hanya terbatas pada penjelasan sebuah naskah al-Qur’an saja.  Dengan kata lain aktifitas mufassir dimulai dari naskah al-Qur’an. Sehingga konsekwensinya mufassir tidak dapat memberikan pemecahan masalah yang dibutuhkan bahkan terkadang hasil penafsirannya tidak tuntas. Selain dari pada itu metode tahlili tidak memberikan ruang dialogis antara mufassir yang membawa permasalahan dengan al-Qur’an sebagai pemecah masalah.

Kesimpulan
Dalam sebuah proses penafsiran nampaknya jika hanya melibatkan metode tahlili maka pesan dan jawaban tidak akan memberikan alternatif solusi yang menggembirakan. Untuk itu penyatuan dan penggunaan dua metode yakni metode tahlili dan metode maudhu’iy (tematik) sangatlah penting untuk dilibatkan dalam proses penafsiran. Sebuah metode itu baik, ia tidak selalu harus menggantikan metode lainnya. Wallahu a’lam.
  

Dipubilasikan di: 
Jurnal Al-Dzikra Vol. 6   No. 1 Januari - Juni Tahun 2012, hlm. 81-102
 

Daftar Pustaka

‘Abd Hayy al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’I, Mathba’at al-Hadharat al-‘Arabiyah, 1977, Cet. 2, hlm. 24.
Abu al-Qasim Jar Allah Mahmud ibn ‘Umar al-Zamaksyari, Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi wujuh al-Ta’wil, Bairut, Dar al-Ma’arifah, Jilid I, t.t.
Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan’an Ta’wil ayat al-Qur’an, (atau yang lebih dikenal dengan tafsir At-Thabari), Mesir, Mushthafa al-Bab al-Halabi, Jilid I, Cet ke-2, 1954.
Ahmad Syurbasyi, Qishshatul Tafsir, Terj. Zufran Rahman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Jakarta: Kalam Mulia, 1999.
Ali Al-Usiy, dalam Jurnal Studi-studi Islam Al-Hikmah, Yayasan Muthahhari, Rabi’ Al-Tsani – Sya’ban 1412 / November 1991 – Februari 1992.
‘Ali Hasan Al-‘Aridl, Tarikh ‘Ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin, Terj. Ahmad Akrom, Sejarah Metodologi Tafsir, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.
As Suyuti, Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an, jilid I.
Departemen Agama (DEPAG) RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: PT.Sarajaya Santra, 1987.
Fuad Hasan dan Koentjoroningrat, Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, Dalam Koentjoroningrat (ed), Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1977.
Hamdani Anwar, Potret Tafsir Kontemporer di Indonesia, makalah yang disampaikan dalam semiloka Nasional FKMTHI dengan tema “ Rekonstektualisasi Al-Qur’an di Indonesia, Di Atrium madya IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 13 April 2002. 
Hasan Hanafi, Min al-‘Aqidah ila al-Tsawrah al-Muqaddimat al-Nazhariyah, Terj. Asep Usman Ismail, Suadi Putro dan Abdul rauf, Dari Akidah ke Revolusi; Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, Jakarta: Paramadina, 2003. 
________, Al-Yamin wa Al-Yasar Fi Al-Fikr Al-Diniy, Mesir: Madbuliy, 1989.
Hasbi ash Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an atau Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. VIII, 1980.
Muhammad ‘Ali Ash Shobuni, Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, Terj. Muhammad Qadirun Nur, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, Jakarta: Pustaka Amani, 1988.
Muhammad Baqir Al-Shadr, Al-Tafsir Al-Maudhu’iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi’iy fi Al-Qur’an Al-Karim.
________, Pendekatan Tematik Terhadap Tafsir Al-Qur’an, Jurnal Ululmul Qur’an, Vol. I, 1990
________, al-Madrasah al-Qur’aniyyah: al-Tafsir al-Maudhu’i wa al-Tafsir al-Tajzi’i  fi al-Qur’an al-Karim, Beirut: dar al-Ta’aruf li al-Matbu’at, t,t.
Malik bin Nabi, Le Phenomena Qur’anique, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Abdussabur Syahin dengan judul Al-Zahirah Al-Qur’aniyah, Lebanon: Dar Al-Fikr.
Manna’ Khalil al-Qattan dalam Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an; Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, 1973. 
Martin Van  Bruinessen, “Muhammad Arkoun tentang Al-Qur’an”, disampaikan dalam diskusi yayasan empati. Pada hal.2, ia mengutip Muhammad Arkoun, “Algeria”, dalam shireen T. Hunter (ed), The Politics if islamic Revivalisme, Bloomington Indiana University Press, 1988.
Muhammad Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, Cet. XXII, 2001.
Muhammad Quraisy Shihab, Ahmad Sukardja dkk, Sejarah dan ‘Ulum al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
Muhammad Syahrur, Al-Kitab wal Qur’an: Qira’ah Muasshirah (Damaskus: Ahali al-Nasyr wa at-tauzi, 1992.
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an; kajian Kritis Terhadap Ayat-ayat Yang Beredaksi Mirip, Yogyakarta: Pustaka Prlajar, 2002.
_________, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.



































                [1] Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung.
[2]Al-Qur’an menurut bahasa, ialah : bacaan atau yang dibaca. Al Qur’an adalah “masdar” yang diartikan dengan arti isim maf’ul, yaitu  “maqru = yang dibaca”. Sedangkan menurut Istilah ahli agama (‘uruf Syara’), ialah : Nama bagi Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw yang ditulis dalam Mushaf. (Hasbi ash Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an atau Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. VIII, 1980, h. 15. Definisi yang lain adalah “Al-Qur’an merupakan Kalam Allah yang bernilai mu’jizat. Yang diturunkan kepada ‘pungkasan’ para nabi dan rosul, dengan perantaraan malaikat Jibril as. Yang ditulis pada ‘mashahif’. Diriwayatkan kepada kita dengan mutawatir. Membacanya dinilai ibadah. Dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Naas.” Definisi tersebut telah disepakati oleh para ulama. (Muhammad Ali Ash Shabuni, Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, Terj. Muhammad Qadirun Nur, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, Jakarta: Pustaka Amani, 1988, h.11).
[3] Hasan Hanafi, Al-Yamin wa Al-Yasar Fi Al-Fikr Al-Diniy, Mesir: Madbuliy, 1989, h. 77.
[4]Hamdani Anwar, Potret Tafsir Kontemporer di Indonesia, makalah yang disampaikan dalam semiloka Nasional FKMTHI dengan tema “ Rekonstektualisasi Al-Qur’an di Indonesia, Di Atrium madya IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 13 April 2002. 
[5]Quraish  Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2001, h. 73.
[6]Muhammad Syahrur, Al-Kitab wal Qur’an: Qira’ah Muasshirah, Damaskus: Ahali al-Nasyr wa at-tauzi, 1992, h. 33.
[7]Martin Van  Bruinessen, “Muhammad Arkoun tentang Al-Qur’an”, disampaikan dalam diskusi yayasan empati. Pada hal.2, ia mengutip Muhammad Arkoun, “Algeria”, dalam shireen T. Hunter (ed), The Politics if islamic Revivalisme, Bloomington Indiana University Press, 1988, h. 182-183,  di kutip pleh Quraish Shihab dalam  Membumikan Al-Qur’an”, Bandung: Mizan, 2001, h. 72. 
[8]Muhammad ‘Abd Allah Darraz, Al-Naba’ al-‘Azhim, h. 117-118. Atau bisa dilihat dalam bukunya Nashruddin Baidan, Tafsir Maudhu’i; Solusi Qur’ani atas Masalah Sosial Kemasyarakatan, Yogyakarya: Pustaka Pelajar, 2001, h. 227. 
[9]Fuad Hasan dan Koentjoroningrat, Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, Dalam Koentjoroningrat (ed), Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1977, h. 16.
[10]Ibid, h. 649. Pengertian serupa juga terdapat dalam kamus Webster, h. 1134.
[11]Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an; kajian Kritis Terhadap Ayat-ayat Yang Beredaksi Mirip, Yogyakarta: Pustaka Prlajar, 2002, h. 55.
[12]Ibid, h. 94.
[13]Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, h. 4.
[14]Muhammad Baqir Al-Shadr, Al-Tafsir Al-Maudhu’iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi’iy fi Al-Qur’an Al-Karim, h. 10. Sebagaimana dikutip oleh M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, Cet. XXII, 2001, h. 86.
[15]Malik bin Nabi, Le Phenomena Qur’anique, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Abdussabur Syahin dengan judul Al-Zahirah Al-Qur’aniyah, Lebanon: Dar Al-Fikr, tt., h. 58.
[16] Hasan Hanafi, Min al-‘Aqidah ila al-Tsawrah al-Muqaddimat al-Nazhariyah, Terj. Asep Usman Ismail, Suadi Putro dan Abdul rauf, Dari Akidah ke Revolusi; Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, Jakarta: Paramadina, 2003, h. 3-4.  
[17]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an ……, h. 72.
[18]Ibid, h. 72.
[19]Ibid, h. 72.
[20]Ibid, h. 73.
[21] Ibid, h. 73.
[22] Ibid, h. 73.
[23] Ibid, h. 87.
[24] Ibid, h. 74.
[25] Ibid, h. 144.
[26]Nashruddin Baidan,  Metodologi Penafsiran Al-Qur’an......., h. 10.
[27]Muhammad Baqir al-Sadr menyebut metode tahlili dengan metode atau tafsir tajzi’i yang menurutnya adalah tafsir yang menguraikan berdasarkan bagian-bagian, atau tafsir parsial. (Muhammad Baqir al-Shadr, al-Madrasah al-Qur’aniyyah: al-Tafsir al-Maudhu’i wa al-Tafsir al-Tajzi’i  fi al-Qur’an al-Karim, Beirut: dar al-Ta’aruf li al-Matbu’at, t,t, h. 7-10.).
[28]‘Abd Hayy al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’I, Mathba’at al-Hadharat al-‘Arabiyah, 1977, Cet. 2, h. 24.
[29] Muhammad Baqir al-Shadr, Pendekatan Tematik Terhadap Tafsir Al-Qur’an, Jurnal Ululmul Qur’an, Vol. I, 1990, h. 28.
[30]Ibid, h. 10.
[31] Menurut beberapa ahli sejarah tafsir, bahwa metode yang selama ini digunakan para mufasir sejak masa kodifikasi tafsir di duga pertama kali dicetuskan oleh Al-Farra’ (w. 207).
[32] Ahmad Syurbasyi, Qishshatul Tafsir, Terj. Zufran Rahman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Jakarta: Kalam Mulia, 1999, h. 232. Hal senadapun diungkapkan oleh Manna’ Khalil al-Qattan dalam Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an; Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, 1973, h. 428. 
[33]Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an......., h. 84.
[34]Ali Al-Usiy, Dalam Jurnal Studi-studi Islam Al-Hikmah, Yayasan Muthahhari, Rabi’ Al-Tsani – Sya’ban 1412 / November 1991 – Februari 1992. h. 12.
[35] Ibid, h. 10
[36]Ibid, h. 12.
[37] Muhammad ‘Ali Ash Shobuni, Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, Terj. Muhammad Qadirun Nur, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, Jakarta: Pustaka Amani, 1988, h. 212.
[38]Muhammad Quraish Shihab, Ahmad Sukardja dkk, Sejarah dan ‘Ulum al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, h. 176.
[39]Ali Al-Usiy, Dalam Jurnal Studi-studi Islam Al-Hikmah......., h. 12.
[40] Ahmad Syurbasyi, Qishshatul Tafsir........, h. 232.
[41]Muhammadi ‘Ali Ash Shobuni,  Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an......., h. 212.
[42] Ibid, h. 228.
[43]Departemen Agama (DEPAG) RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: PT.Sarajaya Santra, 1987, h. 14.
[44]Ibid , h. 408.
[45] Diantara para ulama yang memperbolehkannya tafsir bir-ra’yi adalah: Imam Ghazali, Imam Ar-Raghib al-Ashfihani, Imam al-Qurthubi, Imam As-Suyuthi tetapi dengan pengecualian. Menurutnya ada tafsir bil ar-ra’yi yang diperbolehkan tetapi ada tafsir bil al-ra’yi yang tidak diperbolehkan dengan beberapa kriteria. yaitu ada lima macam kriteria: pertama; tafsir yang tidak disertai atau didasai ilmu-ilmu yang mestinya sebagai syarat penafsiran. Kedua; tafsir Al-Mutsyabih yang hanya diketahui oleh Allah Azza Wa Jalla. Ketiga; tafsir yang didasarkan atas madzhab yang rusak dan ikut-ikutan pada madzhab yang rusak itu. Keempat; menghukumi bahwa yang dimaksudkan  Allah Azza Wa Jalla itu “demikian” namun kepastian itu disertai dalil. Kelima; tafsir yang semata-mata didasarkan pada istihsan dan hawa nafsu. (Muhammad Ali Ash Shobuni, Op. Cit., hal. 233-236. Bandingkan dengan ‘Ali Hasan Al-‘Aridl, Tarikh ‘Ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin, Terj. Ahmad Akrom, Sejarah Metodologi Tafsir, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, h. 50.).
[46]Departemen Agama (DEPAG) RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: PT.Sarajaya Santra, 1987, h. 736.
[47] Nashruddin Baidan,  Metodologi Penafsiran Al-Qur’an........, 53.
[48] Ibid, h. 57.
[49] Ibid, h. 55.
[50] Ibid, h. 60.
[51] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…….., h. 87.
[52] Ibid, h. 86.
[53]Ibid, h. 87.
[54] Malik bin Nabi, Le Phenomena Qur’anique……., h. 58.
[55] Metode tafsir tematik dalam proses penafsirannya menggunakan pola kerja berurutan sebagai berikut: a). Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik), b). Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah  tersebut, c). Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzul-nya, d). Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing, e). Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out line); f). Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan; g). Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan. (ihat, Abd Hayy al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’I……Jilid II, h.62.
[56] Anggapan dan bantahan muncul ketika makalah ini dipresentasikan dan di diskusikan bersama Prof Dr Hamdani Anwar dan kawan-kawan di Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 28 November 2004.

Tidak ada komentar: