Tinjauan Kritis Metodologi Tafsir Al-Qur’an
(Studi Atas Metode Tahlili)
Oleh:
Kiki Muhamad Hakiki[1]
Abstrak
Artikel ini mencoba mengungkap
sejarah, perkembangan, kelebihan dan kekurangan dari metode tahlili. Keberadaan metode tahlili dalam dunia penafsiran
sangatlah penting. Penerapan metode ini paling digemari oleh para ahli tafsir.
Hal itu bisa dilihat dari begitu banyaknya karya tafsir dengan penggunaan
metode tahlili dalam teknik penulisannya. Meskipun begitu, nampaknya tidak ada
metode yang paling sempurna dan tanpa kekurangan, termasuk metode tahlili.
Metode tahlili menurut hemat saya banyak sekali kekurangannya, meskipun juga
ada beberapa kelebihannya. Karena itu, untuk menutupi kekurangan itu, maka
perpaduan antara metode tahlili dan maudhu’i akan lebih baik dalam rangka
mencapai penafsiran yang komprehensif dan juga aktual menjawab berbagai
permasalahan yang muncul..
Kata Kunci : Metodologi,
Tafsir, Al-Qur’an, Tahlili
Pendahuluan
Al-Qur’an[2]
adalah petunjuk dan sumber ajaran Islam yang menempati posisi sentral, bukan
saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga
merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang
empat belas abad sejarah pergerakan umat ini.[3]
Dengan kandungan yang sedemikian penting, dan
isinya sangat diperlukan oleh manusia dalam melakukan aktifitas sehari-hari,
tidak mengherankan bila Al-Qur’an menjadi objek kajian yang paling banyak dan
tak akan habis-habisnya diperbincangkan umat yang berakal ini.
Setiap saat ada saja hasil kajian terhadap
Al-Qur’an, muncul dari mereka-mereka yang terketuk hatinya untuk mendalami
kandungan kitab suci. Dengan keberadaan umat islam di seluruh pelosok dunia,
maka tafsir juga berkembang disemua tempat yang merupakan konsentrasi dari
pemeluk agama islam. Sudah barang tentu tafsir yang muncul disuatu tempat atau
kawasan akan berlainan dan memiliki kekhususan sendiri dibanding dengan yang
muncul dikawasan lain. Demikian pula tafsir yang dihasilkan pada suatu masa
cenderung berbeda dari sebelum atau sesudahnya.[4]
Perbedaan-perbedaan tersebut dipengaruhi oleh budaya, situasi dan kondisi,
perkembangan ilmu pengetahuan yang kesemuanya itu tentu akan berpengaruh
terhadap kemampuan olah untuk menganalisis dan menerapkan metodologi yang
digunakan untuk menafsirkan Al-Qur’an . Karena setiap mufassir mempunyai
metodologi yang berbeda dalam perinciannya dengan mufassir lainnya.[5]
Dinamika penafsiran
Al-Qur’an tidak pernah mengalami stagnasi, sejak kitab suci tersebut
diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Berbagai macam metodologi (ijmali,
tahlili, muqarrin dan maudhu’i) dan corak penafsiran (shufi,
fikih, falsafi, siyasi, adab al-ijtima’i) telah ditawarkan oleh para
mufassir baik klasik maupun modern. Aktivitas eksegetik akan selalu
mengalami dinamika perkembangan dan tidak akan sampai pada titik final, hal itu
seiring dan senafas dengan tuntutan perkembangan zaman. Kajian kritis terhadap
Al-Qur’an akan selalu memunculkan berbagai ragam penafsiran (yahtamilu
wujuhal ma’na) baik itu dari segi metode dan karakteristik penafsiran. Hal
tersebut merupakan konsekwensi logis dari adanya keinginan umat islam untuk
selalu mendialogkan antara Al-Qur’an sebagai teks (nash) yang terbatas,
dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi manuisa sebagai
konteks (waqaa’i) yang tak terbatas.
Hal itu merupakan salah satu implikasi dari
pandangan teologis umat islam bahwa Al-Qur’an itu shalihun li kulli zaman
wal makaan (Al-Qur’an itu selalu cocok untuk setiap waktu dan
tempat). Sebagaimana dikatakan Muhammad Syahrur seorang pemikir asal Syiria
mengatakan bahwa Al-Qur’an harus selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan
kontemporer yang dihadapi umat manuisa.[6]
Hal tersebut senada dengan apa yang dikatakan Muhammad Arkoun seorang pemikir
al-jazair kontemporer mengatakan bahwa “Al-Qur’an memberikan
kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas.
Kesan-kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya
mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan
demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan
tertutup dalam interpretasi tunggal”.[7]
Maka tidaklah berlebihan jika Al-Qur’an diibaratkan
seperti lautan yang tak bertepi karena kandungan maknanya sangat luas atau
sebagaimana yang diungkapan oleh Dr.Darraz menyatakan bahwa
ayat-ayat al-Qur’an itu bagaikan batu permata
yang setiap sudut-sudutnya dapat memancarkan berbagai ragam cahayanya.
Cahaya-cahaya yang dipancarkannya itu tidak sama kesannya pada masing-masing
sisi, tergantung pada sudut pandang orang yang melihatnya.[8]
Perbedaan sudut pandang juga berdampak terhadap
perbedaan bentuk tafsir, dan perbedaan bentuk tafsir juga dipengaruhi oleh
seperangkat alat kerja penafsiran yang disebut dengan metodologi penafsiran.
Tafsir yang menggunakan metode tahlili misalnya akan mempunyai bentuk
yang berbeda dengan tafsir-tafsir yang menggunakan metode lainnya seperti ijmali,
muqarin dan maudhu’iy.
Untuk itu kajian terhadap metodologi tafsir
tampaknya sangat diperlukan sekali. Mengingat metode tafsir merupakan
seperangkat alat tekhnis yang harus dikuasai oleh setiap penafsir yang akan
memnafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Kemudian dengan mengetahui karakteristik dari setiap metode, maka kita akan
mengetahui berbagai karakteristik dan bentuk dari setiap tafsir.
Akan tetapi dalam pembahasan kali ini, penulis
tidak membahas secara komprehensif dari setiap metode tafsir. Penulis hanya
memfokuskan pembahasan pada kajian metode tahlili. Adapun sistematikan
pembahasannya dimulai dari: pembahasan seputar definisi metodologi tafsir,
perkembangan metodologi tafsir, Posisi Metodologi Tafsir Dalam Ilmu Tafsir,
pembahasan metode tahlili dilengkapi dengan kritik terhadap metode tahlili.
Definisi
Metodologi Tafsir
Dilihat
dari akar katanya, kata metodologi berasal dari dua kata : “metodos” dan
“logos”. “metode” (bahasa yunani “methodos”) yaitu cara, jalan.[9] sedangkan “logos” (bahasa Yunani) artinya
ilmu .
Dalam
bahasa Inggris, kata ini ditulis method dan bangsa Arab menerjemahkannya
dengan thariqat dan manhaj. Dalam kamus besar bahasa indonesia
kata tersebut mengandung arti: “ cara yang teratur dan terpikir baik-baik
untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya), cara kerja yang
bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang
ditentukan”.[10]
Jadi metodologi adalah ilmu tentang metode, uraian
tentang metode. Adapun bila dikaitkan dengan pembahasan tafsir maka metode
tafsir al-Qur’an adalah seperangkat kaidah dan aturan yang harus diindahkan
ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. atau cara yang teratur dan terpikirkan
baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan
Allah di dalam ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan-Nya kepada nabi Muhammad
saw.[11] Sedangkan metodologi tafsir ialah pembahasan
ilmiah tentang metode-metode penafsiran Al-Qur’an.
Perkembangan Metodologi Tafsir
Sejak pertama kali al-Qur’an diwahyukan ke bumi
oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril kepada nabi Muhammad saw, aktivitas
eksegetik yang dilakukan oleh para ahli (Muslim maupun non-Muslim) terhadap
Al-Qur’an tidak mengalami pasang surut sedikitpun. Bahkan kajian terhadap al-Qur’an selalu ramai diperbincangkan,
diantaranya kajian metodologi penafsiran al-Qur’an. Perkembangan metodologi
tafsir ternyata membawa angin segar terhadap pemahaman baru terhadap kandungan
al-Qur’an. Kajian yang dilakukan oleh para serjana terhadap al-Qur’an bukan
hanya dari redaksi susunan al-Qur’an saja malainkan dari sisi cara atau jalan
(metode) penafsiran al-Qur’an tetap menarik untuk dikaji, meskipun para ulama
telah menetapkan bahwa ilmu-ilmu al-Qur’an itu telah final dan tuntas. Bahkan
Al-Zarkasyi lebih ekstrim dari itu dengan mengatakan bahwa ilmu al-Qur’an telah
matang dan gosong (Nadhaja wa ihtaraqa).[12]
Perkembangan tafsir al-Qur’an dari zaman pertama
kali turun samapai sekarang jika ditelusuri dari segi metode penyusunannya
hanya di lakukan dalam empat metode yaitu: metode ijmali (global), metode
tahlili (analisis), metode muqarrin (komperatif), metode maudhu’i
(tematik).
Metode ijmali sebegai metode yang mula-mula
muncul, metode ini pertama kali diperkenalkan pada masa Nabi dan para sahabat.
Nabi dan para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an secara ijmali, tidak mencoba
merincikan hasil penafsirannya, hal itu disebabkan karena pada masa zaman nabi
dan sahabat, mereka adalah seorang yang ahli dalam tata bahasa, mengetahui asbab
an-nuzul ayat dengan pasti, mengetahui secara jelas kondisi ketika ayat
diturunkan. Sehingga dengan hal itu mereka akan dapat mengetahui penafsiran dari setiap ayat dengan
cara yang mudah dan singkat tidak membutuhkan penjelasan-penjelasan yang
mendetail.[13] Di antara kitab-kitab tafsir yang menerapkan
metode ijmali diantarnya adalah tafsir al-jalalain.
Perkembangan metode tafsir kemudian diikuti oleh
metode tahlili atau sebagaiman Baqir al-Shadr menyebutnya metode tajzi’iy.[14] Metode ini bertujuan sebagaimana di katakan oleh
malik bin Nabi adalah tidak lain kecuali dalam rangka upaya mereka meletakkan
dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan al-Qur’an.[15]
Metode
tahili dilihat dari segi bentuknya terdapat dua bentuk yakni bentuk bi
al-ma’tsur dan bi al-ra’yu. Adapun praktek penafsiran dari bi al-ma’tsur
adalah mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an ayat dengan ayat lainnya atau
dengan riwayat dari Roaulullah saw, para sahabat dan para tabiin. Kitab tafsir
pertama bi al-ma’tsur adalah jami’ al-Bayan karya Ath-Thabari.
Metode tahlili bi al-ma’tsur sebagai sebuah
metode penafsiran ternyata tidak lagi dapat memberikan solusi permasalahan
dengan tuntas. Hal itu disebabkan oleh perbedaa tempat dan kondisi, kwalitas
daya nalar mufassir, perkembangan zaman yang selalu berubah secara drastis, [16] perkembangan tekhnologi sehingga “memaksa” para
ulama untuk membuat tafsiran terhadap al-Qur’an yang lebih solutif maka
terlahirlah karya tafsir berbentuk bi al-ma’tsur.
Perkembangan
tafsir yang terus meningkat juga berdampak tehadap kitab tafsir sehingga karya
tafsir yang muncul itu akan mempunyai
karakteristik yang berbeda antara satu tafsir dengan tafsir lainnya.
diantara perbedaan karakteristik adalah dilihat dari coraknya.
Corak-corak penafsiran yang dikenal dan masih
berkembang sampai saat ini adalah 1) Corak sastra Budaya, corak ini
muncul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama islam, serta akibat
kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga kebutuhan
akan sastra sangat penting dalam rangka menjelaskan keistimewaan dan kedalaman
kandungan al-Qur’an.[17] 2). Corak Filsafat, corak ini muncul akibat
penerjemaham kitab filsafat yang mempengaruhi kreatifitas berfikir, serta
akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau
tanpa sadar mesih mempercayai kepercayaan
lama.[18] 3). Corak Ilmi, corak ini timbul akibat kemajuan ilmu
pengetahuan dan usaha penafsiran untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan.[19] 4). Corak Fikih, corak ini muncul akibat
perkembangan ilmu fikih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fikih, yang setiap
golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan
penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat
hukum yang ada dalam al-Qur’an: 5)[20] Corak
tasawuf, corak ini muncul akibat timbulnua berbagai gerakan sufi sebagai
reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai
kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.[21] 6). Corak sastra, Budaya dan Kemasyrakatan
(adab al-ijtima’i) corak ini bermula pada masa Saikh Muhammad Abduh
(1849-1905 M), corak ini bertujuan menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat
al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta dalam
rangka menanggulangi “penyakit-penyakit”
atau masalah mereka berdasarkan petunjuk al-Qur’an.[22]
Metode selanjutnya adalah metode muqarrin, metode
ini muncul dalam rangka mempermudah
dalam memahami kandungan isi al-Qur’an. banyak diantara ayat-ayat al-Qur’an
yang mempunyai redaksi mirip tetapi sebenarnya mempunyai maksud yang berbeda,
banyak diantara hadits-hadits yang secara lahiriah terlihat bertentangan baik
itu dengan hadits sendiri atau dengan ayat al-Qur’an atau bahkan banyak para
ulama tafsir yang mempunyai pemikiran berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an.
Disinilah letak urgensi dari pada metode muqarrin sebagai salah satu
metode penafsiran al-Qur’an yang mencoba mengkompromika hal-hal yang secara
lahiriah berbeda sehingga akan dihasilkan suatu penafsiran yang komprehensif
dan objektif. Diantara kitab tafsir yang menggunakan metode muqarrin adalah al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi.
Terakhir adalah metode maudhu’iy (tematik),
konon metode ini muncul disebabkan oleh ucapan Ali ibn Abi Thalib ia berkata: “Istanthiq
al-Qur’an” (“Ajaklah al-Qur’an berbicara” atau Biarkan ia menguraikan
maksudnya”).[23]
Metode maudhu’iy sebagai sebuah metode yang
sampai saat ini masih di gandrungi karena dianggap lebih dapat meyelesaikan
permasalahan, menyuguhkan pesan dari mekasud al-Qur’an dengan tuntas. Metode
jika ditelusuri sejarah munculnya berawal dari ucapan Al-Syathibi yang
mengatakan bahwa setiap surat, walaupun masalah-masalah yang dikemukakan
berbeda-beda, namun ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan
masalah-masalah yang berbeda tersebut. Dari ungkapan tersebut, sehingga pada
bulan Januari 1960, Syaikh Muhammad Syaltut menyusun sebuah tafsir yang
diberinama Tafsir Al-Qur’an Al-Karim. Dalam tafsir tersebut Syaltut
membahas surat demi surat atau bagian tertentu dalam satu surat. Dan pada
akhirnya metode ini di kenal dengan metode maudhu’iy.[24]
Apa yang dilakukan oleh Syaltut ternyata belum
mencapai maksimal, karena beliau hanya menafsirkan surat demi surat atau satu tema dalam satu surat, padahal
suatu masalah (tema) dapat ditemukan ( terkait) dalam berbagai surat. Atas
dasar itu semua, muncul sebuah konsep baru yang berusaha menghimpun semua
ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara dalam satu tema (topik).
Konsep baru ini pertama kali dikembangkan di Mesir oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid
Al-Kummy pada tahun 1960, Ketua Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushulluddin
Universitas Al-Azhar.[25] Diantara karya tafsir yang menggunakan metode maudhu’iy
adalah Al-Insan fi Al-Qur’an, Al-Mar’ah fi Al-Qur’an karya Abbas
Mahmud Al-Aqqad.
Posisi Metodologi Tafsir Dalam Ilmu Tafsir
Diatas
telah dijelaskan tentang perkembangan metodologi tafsir, munculnya metodologi
tafsir berbarengan dengan penafsiran itu sendiri. Sehingga dengan demikian
metodologi tafsir merupakan “kembaran”, bagian yang tidak dapat dipisahkan atau
bisa disebut substansi dari ilmu tafsir (Ulum al-Tafsir).
Metodologi tafsir sebagai cara atau jalan dalam
menafsirkan al-Qur’an, ternyata sangat berpengaruh terhadap hasil atau tujuan
akhir dari suatau penafsiran. Dalam bentuk bagaimanapun suatu penafsiran, bi al-ma’tsur atau bi
al-ra’yi ternyata tak akan dapat mencapai salah satu corak penafsiran tanpa
memakai salah satu dari empat metode penafsiran yang telah disebutkan diatas.
Dan salah satu cara untuk mencapai apa yang diinginkan, sesorang harus dituntut
menguasai secara mutlak ilmu metode tafsir atau yang disebut metodologi tafsir.[26]
Dari
penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa jika seseorang hendak menafsirkan al-Qur’an, ia harus menguasai
berbagai tekhnik dan kerangka kerja yang
ada dari setiap metodologi tafsir guna
mencapai maksud apa yang penafsir inginkan.
Adapun dalam pembahasan ini yang akan diuraikan
dari keempat metode tafsir (ijmali, tahlili, muqarin, dan maudhuiy)
hanyalah metode tahlili, mengingat metode ini merupakan metode yang
sampai saat ini masih eksis digunakan dan digemari.
Metode Tahlili
(Analitis)
a. Definisi
Metode tahlili atau yang disebut Muhammad
Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi’iy [27].
Metode tahlili menurut Al-Farmawy adalah suatu metode menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalam
ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup
didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan
ayat-ayat tersebut.[28]
sedangkan menurut Muhammad Baqir Al-Shadr adalah metode dimana mufasir membahas
al-Qur’an ayat demi ayat, sesuai dengan rangkaian ayat yang tersusun di dalam
al-Qur’an.[29]
Dalam hal ini mufassir berusaha menjelaskan kandungan ayat al-Qur’an dari
berbagai seginya yang dianggap perlu oleh seorang mufassir baik itu kosakata, asbab
an nuzul, munasabat dan lain-lain dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat
al-Qur’an sebagaiman tercantum didalam mushaf. Dari definisi-definisi yang
diungkapkan diatas dapat disimpulkan bahwa metode tahlili adalah metode
yang berupaya menafsirkan ayat demi ayat al-Qur’an dari setiap surat-surat
al-Qur’an dengan seperangkat alat-alat
penafsiran (asbab an-nuzul, munasabat, nasikh dan mansukh dan lain-lain)
dimulai dari awal surat (al-Fatihah) sampai akhir surat dalam al-Qur’an
(an-Naas).
Menurut Muhammad Baqir al-Shadr metode tahlili
merupakan metode yang awal muncul dibandingkan dengan metode yang lain (Ijmali,
muqarrin, maudhu’i), tafsir ini berasal sejak masa para sahabat Nabi
Muhammad saw. Pada mulanya terdiri dari tafsiran atas beberapa ayat saja, yang
kadang-kadang mencakup penjelasan
mengenai kosakatanya.[30]
Dan pada akhirnya berkembanglah penafsiran-penafsiran sesuai dengan kebutuhan
dan sekaligus dibarengi dengan perkembangan metode tafsir.
Dilihat dari segi uraian tafsir, metode tahlili
mempunyai berbagai macam ragam diantaranya: 1). Ada yang mempunyai (uraian)
redaksi yang panjang lebar, luas dan memasukan segala aspek dalam
penafsirannya, seperti tafsir al-Thabari, tafsir Ibn Katsir. 2).
Ada tafsir yang menguraikan secara sedang atau pertengahan (tidak panjang/luas
dan ringkas), seperti tafsir Al-Naisaburi.
b. Ciri-Ciri Metode Tahlili
Diantara ciri-ciri dari tafsir yang menggunakan
metode tahlili adalah sebagai berikut:
1. Seorang penafsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara
komprehensip dan menyeluruh, baik itu dari segi i‘rab-nya, munasabah
ayatnya, asbab an-nuzul-nya dan yang lainnya.
2. Dalam menafsirkan ayat, mufassir akan menfsirkan ayat demi ayat dan
surah demi surah sesuai dengan apa yang terdapat dalam mushaf.
3. Mufassir biasanya mengungkapkan berbagai macam pendapat atau penafsiran
yang pernah diungkapkan baik itu oleh Rosulullah, Shahabat, tabi’in dan para
ulama-ulama sebelumnya.
Dari beberapa ciri di atas, yang terpenting dan
perlu diingat bahwa yang menjadi ciri
dari metode tahlili adalah bukan menafsirkan al-Qur’an dari awal mushaf
sampai akhir surat, melainkan terletak pada pola atau kerangka pembahasan dan
analisisnya. Artinya, selama proses penafsiran tidak mengikuti pola
perbandingan seperti dalam tafsir muqarin atau pola tematik seperti yang ada
dalam tafsir maudhu’iy atau pola global seperti dalam tafsir ijmali,
maka tafsir tersebut dapat di golongkan dalam tafsir yang menggunakan metode tahlili.
Sekalipun sajian tafsirnya tidak mencakup keseluruhan mushaf secara
komprehensif dari mulai surat sampai akhir surat.
Dilihat dari bentuknya, metode tahlili
(analitis) mempunyai dua bentuk penafsiran.
1.
Metode Tafsir Tahlili Bi al Ma’tsur
Metode tafsir tahlili bi al ma’tsur[31] atau disebut juga metode bi ar-riwayah
yaitu tafsir yang menafsirkan al-Qur’an berdasarkan nash-nash baik dengan
ayat-ayat al-Qur’an sendiri, dengan hadits nabi, dengan aqwal para sahabat,
maupun dengan aqwal para tabi’in.[32]
Jika seorang mufassir menggunakan metode tahlili
bi al ma’tsur akan mempunyai keistimewaan dan kelemahan diantaranya:[33]
Sisi keistimewaan dari metode tahlili
bi al ma’tsur adalah :
1.
Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur’an.
2. Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika ketika
menyampaikan pesan-pesan al-Qur’an.
3. Mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat,
sehingga membatasasinya terjerumus pada subjektivitas yang berlebihan.
Disisi lain kelemahan metode ini adalah:
1. Terjerumusnya sang mufassir dalam uraian kebahasaan
yang bertele-tele, sehingga pasan-pesan al-Qur’an menjadi samar dan kabur.
2. Seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbab
an-nuzul) atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari
uraian nasikh atau mansukh terabaikan.
3. Tafsir yang menggunakan metode bi al-ma’tsur
seringkali memakai riwayat yang maudhu‘ dan israiliyat; seperti
penghilangan berbagai sanad setelah periode tafsir Al-Thabari, hal itu
dilakukan oleh sebagian ahli tafsir dengan tujuan agar lebih ringkas dan
singkat. Diantar mereka adalah Al-Baghawi Al-Farra’ (wafat
510 H), Ibn Katsir (wafat 774 H) dan Al-Suyuthi (wafat 911 H).[34]
Diantara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode
bi al ma’tsur adalah Jami’u al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an (Tafsir
al-Thabari) karya Muhammad bin Jarir at-Thabari. Kitab tafsir ini merupakan
kitab tafsir bi al-ma’tsur yang pertama, ia menjadi rujukan utama para
ahli tafsir naqli,[35] Bahrul
‘Ulum (Tafsir al-Samarqandi) karya Nashar bin Muhammad As Samarqandi, Al
Kasyf Wa al-Bayan (Tafsir Ats Tsa’labi) karya Ahmad bin Ibrahim Al
Naisaburi, Ma’alim al-Tanzil (Tafsir Al Baghawi) karya Al Husain bin
Mas’ud Al Baghawi, Al Muharraru Al Wajiz Fi Tafsir Al Qur’an al-Aziz
(Tafsir Ibnu ‘Uthiyyah) karya Abdul Haq bin Ghalib Al Andalusi, Tafsir
Al-Qur’an Al ‘Adzim (Tafsir Ibn Katsir) karya Ismail bin Umar Ad Dimisyqi, Al
Jawahirul Hasan Fi Tafsiril Qur’an (Tafsir Al Jawahir) karya Abdurrahman
bin Muhammad Ats Tsa’labi, Ad Durr al-Ma’tsur Fi al-Tafsir Bil Ma’tsur
(Tafsir As Suyuthi) karya Jalaluddin Al Suyuthi.
2. Metode Tafsir
Tahlili Bi al-Ra’yi
Dari segi bahasa al-Ra’yi berarti keyakinan,
analogi, dan ijtihad. Orang-orang yang melakukan analogi biasanya disebut
sebagai ahli ra’yi, karena mereka mengatakan sesuai pendapat (ra’yu) mereka
pada saat mereka tidak mendapatkan dalil yang berupa hadits maupun atsar.
Tafsir bi al-ra’yi muncul sebagai sebuah metodologi pada saat periode
mutakhir munculnya tafsir bi al-ma’tsur.[36]
Metode tafsir bi al-ra’yi atau disebut juga metode bi al-diroyah,
tafsir Bi al-Ma ‘qul[37]
atau al-tafsir bi al-ijtihad atau al-tafsir al-ijtihadi[38]
yang dimaksud disini adalah penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad[39]
atau upaya menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang berdasarkan pada ijtihad para
mufassirnya dengan mempergunakan logika (akal) dan menjadikan akal pikiran
sebagai pendekatan utamanya.[40]
Menurut Muhammad Ali ash Shobuny tafsir bi al-ra’yi adalah suatu ijtihad
dengan dibangun diatas dasar-dasar yang benar serta kaidah-kaidah yang lurus
yang harus dipergunakan oleh setiap orang yang hendak menafsirkan al-Qur’an
atau menggali maknanya.[41]
Diantara kitab-kitab tafsir bi al Dirayah
(Bir Ra’yi) yang termasyhur adalah: Mafatih al-Ghaib (Tafsir Al Razi)
karya Muhammad Bin Umar Al Husain Al Razi, Anwarut Tanzil Wa Asrarut Ta’wil
(Tafsir Al Baidlawi) karya Abdullah bin Umar Al Baidlawi, Lubabut Ta’wil Fi
Ma’anit Tanzil (Tafsir Al Khazin) karya Abdullah bin Muhammad dikenal
dengan nama Al Khazin, Madarik al-Tanzil Wa Haqaiq al -Ta’wil (Tafsir Al
Nisfi) karya Abdullah bin Ahmad Al Nisfi, Ruhu al-Ma’ani (Tafsir Al
Alusi) karya Syihabuddin Muhammad Al Alusi Al Baghdadi, Al Bahr al-Muhid
(Tafsir Abi Haiyyan) karya Muhammad bin Yusuf bin Hayyan Al Andalusi, Gharaib
al-Qur’an Wa Raghaib al-Furqan (Tafsir Al Naisaburi) karya Nidzamuddin Al
Hasan Muhammad An Naisaburi, As Siraj al-Munir (tafsir Al Khathib) karya
Muhammad Asy Syarbini Al Khathib.
Pendapat para Ulama tentang tafsir bi al ra’yi
Para ulama dalam
memandang tafsir bi al ra’yi terbagi dalam dua kelompok (pendapat) atau
madzhab [42]
yaitu:
Pendapat pertama: Mereka
memandang tafir bi al ra’yi tidak diperbolehkan, karena tafsir haruslah
mauquf (didasarkan) pada pendengaran. Pendapat mereka berdasar pada ayat
al-Qur’an:
Artinya: Sesungguhnya Syaitan itu hanya menyuruh
kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui. (al-Baqarah: 169).[43]
Artinya: Dengan membawa keterangan-keterangan
(mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan. (an-Nahl: 44).[44]
Sabda Rosulullah saw:
Artinya: “Takutlah engkau mengadakan perkataan
terhadapku, kecuali apa apa yang engkau tahu. Barangsiapa berdusta atas aku
dengan sengaja, maka ambil saja tempat duduknya di neraka. Dan barangsiapa
berbicara tentang al-Qur’an menurut pendapatnya, maka abillah tempat duduknya
di neraka.” (HR. At-Turmudzi).
Pendapat kedua: tafsir bi al-ra’yi diperbolehkan untuk
digunakan tetapi dengan syarat mereka harus menguasai syarat-syarat menjadi
seorang mufassir. Pendapat ini diikuti oleh jumhur ulama.[45] Mereka bersandar pada ayat al-Qurana dan hadits
Ibn Abbas:
Artinya: Ini adalah sebuah
kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka
memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai pikiran.( Shaad: 29).[46]
Dan diperkuat oleh ucapan dari
Rosulullah saw.
Artinya: “Allahumma ya
Allah, fahamkan dia (Ibn Abbas) pada agama dan ajarkan kepadanya ilmu ta’wil.”(HR.
Bukhari).
c. Kelebihan
dan Kekurangan Metode Tahlili
Sebagaimana
metode Ijmali, metode tahlili-pun mempunyai kelebihan juga kekurangan
dari metode yang lainnya diantaranya:
1. Kelebihan metode tahlili
a.
Ruang lingkup yang luas
Metode tahlili dalam pembahasannya mempunyai
ruang lingkup yang luas, berbeda dengan metode ijmali. Dalam metode tahlili,
penafsir diberikan kesempatan untuk menuangkan hasil pemahamannya tanpa ada
batasan-batasan baik itu dengan cara bi al ma’tsur maupun bi al ra’yi.[47]
b.
Memberikan pemahaman yang luas
Dalam metode tahlili, penafsir akan
memberikan kepada pembaca pemahaman yang sangat luas, karena dalam tefsir
tersebut dituangkan berbagai macam penafsiran ulama-ulama terdahulu.
2. Kekurangan metode tahlili
Diantara
kekurangan dari metode tahlili (analitis ) adalah sebagai berikut:
a.
Melahirkan penafsiran yang subjektif
Metode tahlili sebagaimana yang telah
dijelaskan diatas, memberikan ruang
kepada penafsir dengan begitu luas sekali untuk menuangkan berbagaimacam
ide-ide atau hasil tafsirannya. Sehingga kadang-kadang penafsir lupa atau
terlena atau juga dengan sengaja menafsirkan al-Qur’an secara subjektif sesuai
dengan hawanafsu atau keinginannya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah penafsiran.[48]
Dengan demikian hasil penafsiran dengan menggunakan metode tahlili akan
menghasilkan pandangan-pandangan yang bersifat parsial serta kontradiktif dalam
kehidupan umat manusia.[49]
b.
Masuknya penafsiran Israiliyat
Dalam metode tahlili, peluang untuk masuknya
hasil penafsiran israiliyat sangat terbuka, disebabkan metode ini memberikan
ruang begitu luas kepada penafsir untuk menuangkan hasil penafsirannya.[50]
c.
Memberikan kejenuhan kepada pembaca
Keluasan ruangan yang diberikan kepada penafsir
untuk menuangkan berbagi macam ide atau pemahaman, baik itu dari segi i’rabnya,
munasabat, asbab an-nuzul, pendapat ulama sebelumnya. Akan mengasilkan
penafsiran yang begitu panjang bahkan
sampai berpuluh-puluh lembar. Secara tidak langsung, hal itu akan
memberikan kejenuhan atau kemalasan kepada pembaca untuk membacanya. Karena
biasanya pembaca menyukai hal-hal yang praktis.
d.
Pembahasan yang mengikat
Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir
yang menggunakan metode tahlili adalah bahwa bahasan-bahasannya bersifat “mengikat”
generasi berikutnya. Hal itu disebabkan karena hasil penafsirannya bersifat
teoritis atau “melangit” tidak menyentuh terhadap persoalan-persoalan
yang dihadapi oleh umat. Dan hasil penafsiran yang ditimbulkan oleh metode tahlili mengesankan hanya itulah
pandangan al-Qur’an untuk setiap waktu dan tempat.[51]
e.
Mufassir yang menggunakan metode ini tidak jarang hanya berusaha
menemukan dalil atau dalil pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat al-Qur’an.[52]
f.
Metode tahlili tidak mampu memberikan jawaban yang tuntas
terhadap berbagai persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat[53]
g.
Walaupun pembahasannya sangat luas, namun tafsir ini tidak menyelesaikan
satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau
kelanjutannya pada ayat lain.
d. Urgensi Metode Tahlili
Metode tahlili merupakan metode yang cukup
dikenal dikalangan ulama-ulama tafsir klasik dan modern, hal itu terbukti
dengan bermunculannya kitab-kitab tafsir yang berjilid-jilid, tafsir
at-Tabari dan tafsir al-Manar misalnya. Dalam kitab tafsir
tersebut barbagai segi di ungkapkan baik itu bahasa, hukum , teologi dan yang
lainnya. Secara tidak langsung metode ini memberikan sumbangan yang sangat
besar dalam mengembangkan khazanah pengetahuan umat islam. Membaca karya tafsir
yang menggunakan metode tahlili, kita akan mendapatkan berbagai macam
pengetahuan baik itu tentang fikih, teologi, filsafat ataup lainnya yang
diungkapkan dalam kitab tafsir tersebut. Pemikir Aljazair kontemporer, Malik
bin Nabi, menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan al-Qur’an dengan metode
tahlili itu, tidak lain kecuali dalam rangka upaya mereka meletakkan
dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan al-Qur’an.[54]
e. Kritik atas Metode Tafsir Tahlili
Metode tafsir tahlili sampai saat ini tampaknya
masih tetap digunakan dan kemungkinan
besar sampai kapanpun metode ini akan tetap
terpakai. Akan tetapi jika kita lihat lebih jauh bahwa tafsir dengan
menggunakan metode tahlili nampaknya telah menghambat perkembangan
pemikiran yang Qur’ani dan mengakibatkan studi-studi yang berkaitan terkesan
berulang-ulang dan statis. Hal tersebut berbeda jika dibandingkan dengan tafsir yang menggunakan
metode tematik (maudhu’iy). Tafsir yang menggunakan metode tematik lebih
dapat memberikan jawaban yang konkrit dan solutif, hal tersebut disebabkan
metode tematik lebih dapat memberikan ruang kreatifitas yang luas untuk
melakukan ijtihad. Ada beberapa argumentasi yang mendukung pernyataan diatas:
Pertama, mufassir yang menggunakan metode analitis (tahlili)
biasanya bersifat pasif. Maksudnya; ketika seorang penafsir akan menafsirkan
ayat, ia tidak berangkat dari rumusan-rumusan dasar pemikiran atau rencana
terlebih dahulu; ia langsung kepada pencarian pengertian dengan cara melakukan
analisa perbendaharan kata. Secara garis besar bahwa usaha mufassir hanya terbatas pada penjelasan
sebuah naskah al-Qur’an saja. Dalam hal
ini peran naskah serupa dengan si pembicara, dan tugas pasif si mufassir adalah
mendengarkan dan mencatat. Dengan pikiran yang jernih, mufassir duduk menghadap
al-Qur’an dan mendengarkannya dengan penuh perhatian. Mufassir mempunyai peran
yang pasif sedangkan al-Qur’an bersifat aktif. Dengan kata lain aktifitas
mufassir dimulai dari naskah al-Qur’an.
Berbeda dengan metode tematik,[55] mufassir yang menggunakan metode tematik tidak
berangkat dari naskah al-Qur’an, melainkah dari realitas kehidupan. ia
memusatkan perhatiannya pada sebuah subjek tertentu dari berbagai masalah yang
berhubungan dengan aspek-aspek kehidupan sosial dan kosmologis, dengan
menggunakan kumpulan hasil pemikiran dan pengalaman manusia tentang subjek
tersebut, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan pemecahan-pemecahan yang
dianjurkan sehubungan dengan masalah tersebut. setelah itu, ia kembali kepada
sajian naskah al-Qur’an, namun bukan sebagai penempat posisi yang pasif dan
pencatat. Mufassir membuat topik yang tepat yang sesuai dengan masalah yang
diperoleh dari pengalam sehari-hari. Kemudian ia mendialogkan dengan al-Qur’an,
di mana si mufassir bertanya dan al-Qur’an menjawab dengan teks-teks sucinya.
Dengan demikian perbedaan antara analitis dan
tematik adalah bahwa pada metode yang pertama mufassir memainkan peran yang
pasif sebagai seorang pendengar dan pencatat yang baik berbeda dengan metode
tematik adanya proses dialogis antara mufassir dengan al-Qur’an atau metode
tematik selangkah lebih maju dari metode analitis (tahlili). Untuk itu
sebagai anjuran bahwa penggunaan dua metode (analitis atau tahlili dan
tematik atau maudhu’iy) untuk saat ini sangatlah penting dijadikan pola
kerja, mengingat masing-masing kedua metode ini saling melengkapi satu dengan
lainnya.
Ada beberapa anggapan [56] yang berbeda mengenai apakah metode tahlili
terkesan pasif ataukah tidak. Mereka beranggapan bahwa prilaku pasif-nya metode
tahlili hanya berlaku pada metode tahlili bi al-ma’tsur tidak pada
metode tahlili bi al-ra’yi. Karena menurut mereka bahwa seorang mufassir
yang menggunakan metode tahlili bi al-ra’yi justru sangatlah aktif.
Hasil penafsiran berangkat dari dominasi imajinasi mufassir sendiri yang
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang tentunya dengan bersandarkan pada
kaidah-kaidah penafsiran. Seorang mufassir dengan metode tahlili bi
al-ma’tsur di berikan kebebasan di dalam menafsirkan ayat al-Qur’an yang
tentunya hal ini tidak di peroleh dalam metode tafsir tahlili bi al-ma’tsur.
Pendapat di atas bisa dikatakan benar jika yang
dimaksudkan aktif adalah dominasi peran seorang mufassir dalam menafsirkan teks
al-Qur’an. Jika yang dimaksudkan seperti di atas, ternyata bukan hanya tahlili
bi al-ra’yi saja akan tetapi semua metode tafsir sebenarnya bisa dikatakan
aktif tidak bersikap pasif. Karena proses pemilihan ayat, hadits, pendapat
sahabat dan hal-hal lain yang terkait dalam proses penafsiran sepenuhnya
tergantung dari si mufasir sendiri.
Hal tersebut berbeda dengan yang dimaksud
penulis. Pasifnya mufasir yang
menggunakan metode tahlili—baik itu tahlili bi al-ra’yi maupun tahlili
bi al-ma’tsur—adalah mufassir tidak berangkat dari rumusan-rumusan dasar
pemikiran atau rencana yang akan di bahas terlebih dahulu; tetapi justru ia
langsung terjun kepada pencarian pengertian dengan cara melakukan analisa
perbendaharan kata. Secara
garis besar bahwa usaha mufassir hanya terbatas pada penjelasan sebuah naskah
al-Qur’an saja. Dengan kata lain
aktifitas mufassir dimulai dari naskah al-Qur’an. Sehingga konsekwensinya
mufassir tidak dapat memberikan pemecahan masalah yang dibutuhkan bahkan
terkadang hasil penafsirannya tidak tuntas. Selain dari pada itu metode tahlili
tidak memberikan ruang dialogis antara mufassir yang membawa permasalahan
dengan al-Qur’an sebagai pemecah masalah.
Kesimpulan
Dalam sebuah proses penafsiran nampaknya jika hanya
melibatkan metode tahlili maka pesan dan jawaban tidak akan memberikan
alternatif solusi yang menggembirakan. Untuk itu penyatuan dan penggunaan dua
metode yakni metode tahlili dan metode maudhu’iy (tematik)
sangatlah penting untuk dilibatkan dalam proses penafsiran. Sebuah metode itu baik, ia tidak selalu harus
menggantikan metode lainnya. Wallahu a’lam.
Daftar Pustaka
‘Abd Hayy al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir
al-Maudhu’I, Mathba’at al-Hadharat al-‘Arabiyah, 1977, Cet. 2, hlm. 24.
Abu al-Qasim Jar Allah Mahmud ibn ‘Umar al-Zamaksyari,
Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi wujuh al-Ta’wil,
Bairut, Dar al-Ma’arifah, Jilid I, t.t.
Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Jami’
al-Bayan’an Ta’wil ayat al-Qur’an, (atau yang lebih dikenal dengan tafsir
At-Thabari), Mesir, Mushthafa al-Bab al-Halabi, Jilid I, Cet ke-2, 1954.
Ahmad Syurbasyi, Qishshatul Tafsir, Terj.
Zufran Rahman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Jakarta: Kalam
Mulia, 1999.
Ali Al-Usiy, dalam Jurnal Studi-studi Islam
Al-Hikmah, Yayasan Muthahhari, Rabi’ Al-Tsani – Sya’ban 1412 / November 1991 –
Februari 1992.
‘Ali Hasan Al-‘Aridl, Tarikh ‘Ilm al-Tafsir wa
Manahij al-Mufassirin, Terj. Ahmad Akrom, Sejarah Metodologi Tafsir,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.
As
Suyuti, Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an, jilid I.
Departemen Agama (DEPAG) RI, Al-Qur’an dan
Terjemahannya, Jakarta: PT.Sarajaya Santra, 1987.
Fuad Hasan dan Koentjoroningrat, Beberapa Asas
Metodologi Ilmiah, Dalam Koentjoroningrat (ed), Metode-Metode Penelitian
Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1977.
Hamdani Anwar, Potret Tafsir Kontemporer di
Indonesia, makalah yang disampaikan dalam semiloka Nasional FKMTHI dengan
tema “ Rekonstektualisasi Al-Qur’an di Indonesia, Di Atrium madya IAIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta, 13 April 2002.
Hasan Hanafi, Min al-‘Aqidah ila al-Tsawrah
al-Muqaddimat al-Nazhariyah, Terj. Asep Usman Ismail, Suadi Putro dan Abdul
rauf, Dari Akidah ke Revolusi; Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama,
Jakarta: Paramadina, 2003.
________, Al-Yamin wa Al-Yasar Fi Al-Fikr
Al-Diniy, Mesir: Madbuliy, 1989.
Hasbi ash Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Al-Qur’an atau Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. VIII, 1980.
Muhammad ‘Ali Ash Shobuni, Al-Tibyan fi ‘Ulum
al-Qur’an, Terj. Muhammad Qadirun Nur, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis,
Jakarta: Pustaka Amani, 1988.
Muhammad Baqir Al-Shadr, Al-Tafsir Al-Maudhu’iy
wa Al-Tafsir Al-Tajzi’iy fi Al-Qur’an Al-Karim.
________, Pendekatan Tematik Terhadap Tafsir
Al-Qur’an, Jurnal Ululmul Qur’an, Vol. I, 1990
________, al-Madrasah al-Qur’aniyyah: al-Tafsir
al-Maudhu’i wa al-Tafsir al-Tajzi’i fi
al-Qur’an al-Karim, Beirut: dar al-Ta’aruf li al-Matbu’at, t,t.
Malik bin Nabi, Le Phenomena Qur’anique,
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Abdussabur Syahin dengan judul Al-Zahirah
Al-Qur’aniyah, Lebanon: Dar Al-Fikr.
Manna’ Khalil al-Qattan dalam Mabahits fi
‘Ulumil Qur’an; Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, 1973.
Martin Van
Bruinessen, “Muhammad Arkoun tentang Al-Qur’an”, disampaikan
dalam diskusi yayasan empati. Pada hal.2, ia
mengutip Muhammad Arkoun, “Algeria”, dalam shireen T. Hunter (ed), The
Politics if islamic Revivalisme, Bloomington Indiana University Press,
1988.
Muhammad Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an,
Bandung: Mizan, Cet. XXII, 2001.
Muhammad Quraisy Shihab, Ahmad Sukardja dkk, Sejarah
dan ‘Ulum al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
Muhammad Syahrur, Al-Kitab wal Qur’an: Qira’ah
Muasshirah (Damaskus: Ahali al-Nasyr wa at-tauzi, 1992.
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an;
kajian Kritis Terhadap Ayat-ayat Yang Beredaksi Mirip, Yogyakarta: Pustaka
Prlajar, 2002.
_________, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
[2]Al-Qur’an
menurut bahasa, ialah : bacaan atau yang dibaca. Al Qur’an adalah “masdar” yang
diartikan dengan arti isim maf’ul, yaitu
“maqru = yang dibaca”. Sedangkan menurut Istilah ahli agama (‘uruf
Syara’), ialah : Nama bagi Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw
yang ditulis dalam Mushaf. (Hasbi ash Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Al-Qur’an atau Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. VIII, 1980, h. 15.
Definisi yang lain adalah “Al-Qur’an merupakan Kalam Allah yang bernilai
mu’jizat. Yang diturunkan kepada ‘pungkasan’ para nabi dan rosul,
dengan perantaraan malaikat Jibril as. Yang ditulis pada ‘mashahif’.
Diriwayatkan kepada kita dengan mutawatir. Membacanya dinilai ibadah. Dimulai
dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Naas.” Definisi tersebut
telah disepakati oleh para ulama. (Muhammad Ali Ash Shabuni, Al-Tibyan fi
‘Ulum al-Qur’an, Terj. Muhammad Qadirun Nur, Ikhtisar Ulumul Qur’an
Praktis, Jakarta: Pustaka Amani, 1988, h.11).
[3] Hasan
Hanafi, Al-Yamin wa Al-Yasar Fi Al-Fikr Al-Diniy, Mesir: Madbuliy, 1989,
h. 77.
[4]Hamdani
Anwar, Potret Tafsir Kontemporer di Indonesia, makalah yang disampaikan
dalam semiloka Nasional FKMTHI dengan tema “ Rekonstektualisasi Al-Qur’an di
Indonesia, Di Atrium madya IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 13 April
2002.
[5]Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung:
Mizan, 2001, h. 73.
[6]Muhammad
Syahrur, Al-Kitab wal Qur’an: Qira’ah Muasshirah, Damaskus: Ahali
al-Nasyr wa at-tauzi, 1992, h. 33.
[7]Martin
Van Bruinessen, “Muhammad Arkoun
tentang Al-Qur’an”, disampaikan dalam diskusi yayasan empati. Pada hal.2,
ia mengutip Muhammad Arkoun, “Algeria”, dalam shireen T. Hunter (ed), The
Politics if islamic Revivalisme, Bloomington Indiana University Press,
1988, h. 182-183, di kutip pleh Quraish
Shihab dalam “Membumikan Al-Qur’an”,
Bandung: Mizan, 2001, h. 72.
[8]Muhammad
‘Abd Allah Darraz, Al-Naba’ al-‘Azhim, h. 117-118. Atau bisa dilihat
dalam bukunya Nashruddin Baidan, Tafsir Maudhu’i; Solusi Qur’ani atas
Masalah Sosial Kemasyarakatan, Yogyakarya: Pustaka Pelajar, 2001, h.
227.
[9]Fuad
Hasan dan Koentjoroningrat, Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, Dalam Koentjoroningrat
(ed), Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1977, h.
16.
[10]Ibid, h. 649.
Pengertian serupa juga terdapat dalam kamus Webster, h. 1134.
[11]Nashruddin
Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an; kajian Kritis Terhadap Ayat-ayat Yang
Beredaksi Mirip, Yogyakarta: Pustaka Prlajar, 2002, h. 55.
[12]Ibid, h.
94.
[13]Nashruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998, h. 4.
[14]Muhammad
Baqir Al-Shadr, Al-Tafsir Al-Maudhu’iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi’iy fi Al-Qur’an
Al-Karim, h. 10. Sebagaimana dikutip oleh M. Quraisy Shihab, Membumikan
Al-Qur’an, Bandung: Mizan, Cet. XXII, 2001, h. 86.
[15]Malik
bin Nabi, Le Phenomena Qur’anique, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
oleh Abdussabur Syahin dengan judul Al-Zahirah Al-Qur’aniyah, Lebanon:
Dar Al-Fikr, tt., h. 58.
[16] Hasan
Hanafi, Min al-‘Aqidah ila al-Tsawrah al-Muqaddimat al-Nazhariyah, Terj.
Asep Usman Ismail, Suadi Putro dan Abdul rauf, Dari Akidah ke Revolusi; Sikap
Kita Terhadap Tradisi Lama, Jakarta: Paramadina, 2003, h. 3-4.
[17]M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an
……, h. 72.
[18]Ibid, h. 72.
[19]Ibid, h. 72.
[20]Ibid, h. 73.
[21] Ibid, h. 73.
[22] Ibid, h. 73.
[23] Ibid, h. 87.
[24] Ibid, h. 74.
[25] Ibid, h. 144.
[26]Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an......., h. 10.
[27]Muhammad Baqir al-Sadr
menyebut metode tahlili dengan metode atau tafsir tajzi’i yang menurutnya
adalah tafsir yang menguraikan berdasarkan bagian-bagian, atau tafsir parsial.
(Muhammad Baqir al-Shadr, al-Madrasah al-Qur’aniyyah: al-Tafsir al-Maudhu’i
wa al-Tafsir al-Tajzi’i fi al-Qur’an
al-Karim, Beirut: dar al-Ta’aruf li al-Matbu’at, t,t, h. 7-10.).
[28]‘Abd Hayy al-Farmawi, Al-Bidayah
fi al-Tafsir al-Maudhu’I, Mathba’at al-Hadharat al-‘Arabiyah, 1977, Cet. 2,
h. 24.
[29] Muhammad Baqir al-Shadr,
Pendekatan Tematik Terhadap Tafsir Al-Qur’an, Jurnal Ululmul Qur’an,
Vol. I, 1990, h. 28.
[30]Ibid, h. 10.
[31] Menurut beberapa ahli
sejarah tafsir, bahwa metode yang selama ini digunakan para mufasir sejak masa
kodifikasi tafsir di duga pertama kali dicetuskan oleh Al-Farra’ (w. 207).
[32] Ahmad Syurbasyi, Qishshatul
Tafsir, Terj. Zufran Rahman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an
Al-Karim, Jakarta: Kalam Mulia, 1999, h. 232. Hal senadapun diungkapkan
oleh Manna’ Khalil al-Qattan dalam Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an; Mansyurat
al-‘Asr al-Hadits, 1973, h. 428.
[33]Muhammad
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an......., h. 84.
[34]Ali
Al-Usiy, Dalam Jurnal Studi-studi Islam Al-Hikmah, Yayasan Muthahhari, Rabi’
Al-Tsani – Sya’ban 1412 / November 1991 – Februari 1992. h. 12.
[35] Ibid, h. 10
[36]Ibid, h.
12.
[37]
Muhammad ‘Ali Ash Shobuni, Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, Terj. Muhammad
Qadirun Nur, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, Jakarta: Pustaka Amani,
1988, h. 212.
[38]Muhammad
Quraish Shihab, Ahmad Sukardja dkk, Sejarah dan ‘Ulum al-Qur’an,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, h. 176.
[39]Ali
Al-Usiy, Dalam Jurnal Studi-studi Islam Al-Hikmah......., h.
12.
[40] Ahmad
Syurbasyi, Qishshatul Tafsir........, h. 232.
[41]Muhammadi
‘Ali Ash Shobuni, Al-Tibyan
fi ‘Ulum al-Qur’an......., h. 212.
[42] Ibid, h.
228.
[43]Departemen
Agama (DEPAG) RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: PT.Sarajaya
Santra, 1987, h. 14.
[44]Ibid , h.
408.
[45]
Diantara para ulama yang memperbolehkannya tafsir bir-ra’yi adalah: Imam
Ghazali, Imam Ar-Raghib al-Ashfihani, Imam al-Qurthubi, Imam As-Suyuthi tetapi
dengan pengecualian. Menurutnya ada tafsir bil ar-ra’yi yang diperbolehkan
tetapi ada tafsir bil al-ra’yi yang tidak diperbolehkan dengan beberapa
kriteria. yaitu ada lima macam kriteria: pertama; tafsir yang tidak disertai
atau didasai ilmu-ilmu yang mestinya sebagai syarat penafsiran. Kedua; tafsir
Al-Mutsyabih yang hanya diketahui oleh Allah Azza Wa Jalla. Ketiga; tafsir yang
didasarkan atas madzhab yang rusak dan ikut-ikutan pada madzhab yang rusak itu.
Keempat; menghukumi bahwa yang dimaksudkan
Allah Azza Wa Jalla itu “demikian” namun kepastian itu disertai dalil.
Kelima; tafsir yang semata-mata didasarkan pada istihsan dan hawa nafsu.
(Muhammad Ali Ash Shobuni, Op. Cit., hal. 233-236. Bandingkan dengan ‘Ali Hasan
Al-‘Aridl, Tarikh ‘Ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin, Terj. Ahmad
Akrom, Sejarah Metodologi Tafsir, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, h.
50.).
[46]Departemen
Agama (DEPAG) RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: PT.Sarajaya
Santra, 1987,
h. 736.
[47] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an........, 53.
[48] Ibid, h. 57.
[49] Ibid, h. 55.
[50] Ibid, h. 60.
[51] M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an…….., h. 87.
[52] Ibid, h. 86.
[53]Ibid, h. 87.
[54] Malik
bin Nabi, Le Phenomena Qur’anique……., h.
58.
[55] Metode
tafsir tematik dalam proses penafsirannya menggunakan pola kerja berurutan
sebagai berikut: a). Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik), b).
Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut, c). Menyusun runtutan ayat sesuai
dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzul-nya,
d). Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing, e).
Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out line); f). Melengkapi
pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan; g).
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun
ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara
yang ‘am (umum) dan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau
yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara,
tanpa perbedaan atau pemaksaan. (ihat, Abd Hayy al-Farmawi, Al-Bidayah fi
al-Tafsir al-Maudhu’I……Jilid II, h.62.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar