Lampung Post, Jum'at,
25 Maret 2011
Optimalisasi
Filantropi Islam
Oleh: K.
Muhamad Hakiki
Dosen
Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, Mahasiswa S-3 UIN Bandung
Tulisan
ini merupakan refleksi ketika saya mengikuti seminar Internasional di UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta, bertema “Filantropi Islam; Media Membangun
Peradaban Islam di Indonesia”.
Secara definisi, istilah filantropi
(philanthropy) berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua kata yaitu Philos
(cinta) dan Anthropos (manusia). Jika diterjemahkan secara harfiah, filantropi
adalah konseptualisasi dari praktek memberi (giving), pelayanan (services) dan
asosiasi (association) secara sukarela untuk membantu pihak lain yang
membutuhkan sebagai ekspresi rasa cinta.
Melihat dari definisi di atas, maka
jika ada suatu lembaga yang memiliki tiga unsur di atas (memberi, melayani,
bersifat asosiasi) yang secara sukarela memberikan kepada mereka yang
membutuhkan dan dibumbui rasa cinta, maka lembaga tersebut bisa dikatagorikan
sebagai lembaga yang mengelola dana filantropi.
Praktik filantropi
Islam di Indonesia ternyata dimulai sejak kehadiran agama Islam itu sendiri di
Nusantara. Sejak itu, dua institusi yang menyemai tindakan filantropi bagi
masyarakat Muslim adalah masjid dan pesantren.
Kedua lembaga ini
telah mulai dibangun sejak abad ke-15 M, ketika komunitas Muslim khususnya di
Jawa mulai menjadikan kedua tempat tersebut sebagai pusat gerakan pendidikan
dan dakwah.
Lantas pertanyaannya,
sudah berapa jauh perkembangan yang dicapai oleh lembaga-lembaga yang mengelola
dana filantropi?. Apakah lembaga-lembaga filantropi di Indonesia mempunyai tanggapan
positif di mata publik? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang menarik untuk diamati.
Menilik sejarahnya, kegiatan
filantropi pada masa dahulu (baca: di Indonesia) masih sangat tradisional, sehingga kegiatan-kegiatan
filantropi kurang berkembang. Penyebab
kondisi tersebut karena beberapa faktor,
salah satu diantaranya adalah manajemen penggalangan dan penyaluran dana yang
kurang tepat sehingga kepercayaan publik lambat laun menjadi hilang.
Untuk itu, belajar dari pengalaman tersebut,
maka kini banyak bermunculan beberapa lembaga atau yayasan yang mengelola dana filantropi dengan menggunakan
manajeman modern yang lebih baik.
Gagasan dan Praktek filantropi sendiri di luar
negeri khususnya di Amerika mulai menguat sekitar pada tahun 1950-an. Ketika
itu publik Amerika mulai tertarik dengan ide untuk penguatan civil rights
dan demokrasi yang mulai menggejala di sana yang salah satu tujuannya adalah
pengentasan kemiskinan.
Melihat dari
fenomena perkembangan lembaga filantropi di Indonesia, maka, berdasarkan
sifatnya dikenal dua bentuk filantropi. Pertama, filantropi tradisional
dan filantropi untuk keadilan sosial. Filantropi tradisional menururt Andi
Agung Prihatna adalah filantropi yang berbasis karitas.
Praktek filantropi
tradisional berbentuk pemberian untuk kepentingan pelayanan sosial, misalkan
pemberian langsung para dermawan untuk kalangan miskin dalam rangka memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
Melihat dari bentuk
penyaluran dana tersebut, bentuk filantropi seperti ini rawan adanya manipulasi
dana berbentuk pengayaan individual, egosentrisme di mata publik . di samping
kelemahan-kelemahan lainnya yakni tidak bisa mengembangkan taraf kehidupan
masyarakat miskin atau dalam istilah sehari-hari hanya memberi ikan tapi tidak
memberi pancing (kail).
Berbeda dengan
bentuk filantropi untuk keadilan sosial (social justice philanthropy),
bentuk filantropi seperti ini dapat menjembatani jurang pemisah antara si kaya
dan si miskin. Jembatan tersebut diwujudkan dengan upaya memobilisasi
sumberdaya untuk mendukung kegiatan yang menggugat ketidakadilan struktur yang
menjadi penyebab langgengnya kemiskinan.
Dengan kata lain,
filantropi jenis ini adalah mencari akar permasalahan dari kemiskinan tersebut
yakni adanya faktor ketidakadilan dalam alokasi sumberdaya dan akses kekuasaan
dalam masyarakat. Diantara lembaga filantropi yang menarapkan metode tersebut
dan sukses saat ini adalah Yayasan Dompet Dhu’afa dan Pos Keadilan Peduli Umat
(PKPU).
Kehadiran Yayasan Dompet Dhu’afa sejak 2 Juli 1993 dari
“rahim” komunitas pers lambat laun semakin mununjukan perkembangannya. Bukti
perkembangannya secara sederhana dapat dilihat dari hasil pengumpulan dana yang
diperoleh.
Lihat saja, pada
penerimaan dana dari tiga program strategi pengumpulan dana yakni zakat, infak
atau sedekah, dan wakaf pada tahun 1993-2009 mencapai jumlah yang
mencengangkan. Untuk zakat mereka memperoleh dana Rp. 71, 794,590,481.13, untuk
infak dan sedekah Rp. 12,739,142,858.38, untuk wakaf Rp. 12,626,309,728.20
(Karlina Helmanita: 2005: 103). Kesuksesan tersebut bisa disebabkan oleh
beberapa faktor.
Di antara faktor
kesuksesan yayasan ini adalah pada kemampuannya melaksanakan secara
sungguh-sungguh pola manajemen modern dari mulai pola strategi penghimpunan
dana, pendistribusian dana dan target sasaran penerima dana, akuntabilitas dan
yang labih penting adanya transparansi pengelolaan dana yang kemudian
melahirkan kepercayaan public (trust public).
Besarnya dana yang dapat
dikumpulkan oleh lembaga filantropi tersebut tentulah disebabkan oleh pola
strategi yang apik—baik itu dari sisi manajemen, marketing, kerjasama dengan
media dan sebagainya.
Karena itu, belajar dari
pola pengelolaan lembaga filantropi yang sudah sukses tersebut, marilah kita
bangun lembaga-lembaga filantropi lainnya sebagai media membangun bangsa ini
lebih baik.[ ]
Sumber:
Lampung Post, Jum'at, 25 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar