Translate

Sabtu, 10 November 2012

Filantropi Islam


Lampung Post, Jum'at, 25 Maret 2011

Optimalisasi Filantropi Islam

Oleh: K. Muhamad Hakiki
Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, Mahasiswa S-3 UIN Bandung

Tulisan ini merupakan refleksi ketika saya mengikuti seminar Internasional di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, bertema “Filantropi Islam; Media Membangun Peradaban Islam di Indonesia”.
Secara definisi, istilah filantropi (philanthropy) berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua kata yaitu Philos (cinta) dan Anthropos (manusia). Jika diterjemahkan secara harfiah, filantropi adalah konseptualisasi dari praktek memberi (giving), pelayanan (services) dan asosiasi (association) secara sukarela untuk membantu pihak lain yang membutuhkan sebagai ekspresi rasa cinta.
Melihat dari definisi di atas, maka jika ada suatu lembaga yang memiliki tiga unsur di atas (memberi, melayani, bersifat asosiasi) yang secara sukarela memberikan kepada mereka yang membutuhkan dan dibumbui rasa cinta, maka lembaga tersebut bisa dikatagorikan sebagai lembaga yang mengelola dana filantropi.
Praktik filantropi Islam di Indonesia ternyata dimulai sejak kehadiran agama Islam itu sendiri di Nusantara. Sejak itu, dua institusi yang menyemai tindakan filantropi bagi masyarakat Muslim adalah masjid dan pesantren.
Kedua lembaga ini telah mulai dibangun sejak abad ke-15 M, ketika komunitas Muslim khususnya di Jawa mulai menjadikan kedua tempat tersebut sebagai pusat gerakan pendidikan dan dakwah.
Lantas pertanyaannya, sudah berapa jauh perkembangan yang dicapai oleh lembaga-lembaga yang mengelola dana filantropi?. Apakah lembaga-lembaga filantropi di Indonesia mempunyai tanggapan positif di mata publik? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang menarik untuk diamati.
Menilik sejarahnya, kegiatan filantropi pada masa dahulu (baca: di Indonesia)  masih sangat tradisional, sehingga kegiatan-kegiatan filantropi kurang berkembang.  Penyebab kondisi tersebut  karena beberapa faktor, salah satu diantaranya adalah manajemen penggalangan dan penyaluran dana yang kurang tepat sehingga kepercayaan publik lambat laun menjadi hilang.
 Untuk itu, belajar dari pengalaman tersebut, maka kini banyak bermunculan beberapa lembaga atau yayasan yang  mengelola dana filantropi dengan menggunakan manajeman modern yang lebih baik.
 Gagasan dan Praktek filantropi sendiri di luar negeri khususnya di Amerika mulai menguat sekitar pada tahun 1950-an. Ketika itu publik Amerika mulai tertarik dengan ide untuk penguatan civil rights dan demokrasi yang mulai menggejala di sana yang salah satu tujuannya adalah pengentasan  kemiskinan.
Melihat dari fenomena perkembangan lembaga filantropi di Indonesia, maka, berdasarkan sifatnya dikenal dua bentuk filantropi. Pertama, filantropi tradisional dan filantropi untuk keadilan sosial. Filantropi tradisional menururt Andi Agung Prihatna adalah filantropi yang berbasis karitas.
Praktek filantropi tradisional berbentuk pemberian untuk kepentingan pelayanan sosial, misalkan pemberian langsung para dermawan untuk kalangan miskin dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Melihat dari bentuk penyaluran dana tersebut, bentuk filantropi seperti ini rawan adanya manipulasi dana berbentuk pengayaan individual, egosentrisme di mata publik . di samping kelemahan-kelemahan lainnya yakni tidak bisa mengembangkan taraf kehidupan masyarakat miskin atau dalam istilah sehari-hari hanya memberi ikan tapi tidak memberi pancing (kail).
Berbeda dengan bentuk filantropi untuk keadilan sosial (social justice philanthropy), bentuk filantropi seperti ini dapat menjembatani jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Jembatan tersebut diwujudkan dengan upaya memobilisasi sumberdaya untuk mendukung kegiatan yang menggugat ketidakadilan struktur yang menjadi penyebab langgengnya kemiskinan.
Dengan kata lain, filantropi jenis ini adalah mencari akar permasalahan dari kemiskinan tersebut yakni adanya faktor ketidakadilan dalam alokasi sumberdaya dan akses kekuasaan dalam masyarakat. Diantara lembaga filantropi yang menarapkan metode tersebut dan sukses saat ini adalah Yayasan Dompet Dhu’afa dan Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU).
Kehadiran  Yayasan Dompet Dhu’afa sejak 2 Juli 1993 dari “rahim” komunitas pers lambat laun semakin mununjukan perkembangannya. Bukti perkembangannya secara sederhana dapat dilihat dari hasil pengumpulan dana yang diperoleh.
Lihat saja, pada penerimaan dana dari tiga program strategi pengumpulan dana yakni zakat, infak atau sedekah, dan wakaf pada tahun 1993-2009 mencapai jumlah yang mencengangkan. Untuk zakat mereka memperoleh dana Rp. 71, 794,590,481.13, untuk infak dan sedekah Rp. 12,739,142,858.38, untuk wakaf Rp. 12,626,309,728.20 (Karlina Helmanita: 2005: 103). Kesuksesan tersebut bisa disebabkan oleh beberapa faktor.
Di antara faktor kesuksesan yayasan ini adalah pada kemampuannya melaksanakan secara sungguh-sungguh pola manajemen modern dari mulai pola strategi penghimpunan dana, pendistribusian dana dan target sasaran penerima dana, akuntabilitas dan yang labih penting adanya transparansi pengelolaan dana yang kemudian melahirkan kepercayaan public (trust public).
Besarnya dana yang dapat dikumpulkan oleh lembaga filantropi tersebut tentulah disebabkan oleh pola strategi yang apik—baik itu dari sisi manajemen, marketing, kerjasama dengan media dan sebagainya.
Karena itu, belajar dari pola pengelolaan lembaga filantropi yang sudah sukses tersebut, marilah kita bangun lembaga-lembaga filantropi lainnya sebagai media membangun bangsa ini lebih baik.[ ]


Sumber: Lampung Post, Jum'at, 25 Maret 2011


Tidak ada komentar: