Translate

Sabtu, 10 November 2012

Menusantarakan Islam


Lampung Post, Jumat, 06 January 2012

Menusantarakan Islam

Oleh: K. Muhamad Hakiki
Direktur Pusat Studi Agama dan Budaya
Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung

Jika menilik sejarah Islam di bumi Nusantara ini semenjak sebelum era kolonial, maka sebenarnya cikal bakal Islam yang berkarakter negeri ini memang sudah mulai terbentuk, antara lain ditunjukan oleh upaya-upaya untuk mendamaikan antara hukum adat dan hukum Islam.
Perjalanan Islam ke Nusantara tidaklah linier. Ia mengalami pergumulan yang luar biasa dengan realitas budaya setempat, agama lokal, dan agama impor, bahkan dengan politik.
Pergumulan Islam dan budaya lokal itu misalnya terlihat dalam berbagai hikayat para wali. Dalam hikayat itu seringkali diceritakan bagaimana sikap akomodatif yang dilakukan oleh penyiar Islam tersebut dalam rangka mendamaikan antara Islam dengan berbagai budaya pra-Islam.
Berkat apiknya para penyiar Islam dalam usaha mendamaikan Islam dengan budaya lokal Nusantara, membuat  kuatnya Islam melekat dalam keberagamaan orang Indonesia.
Upaya-upaya mendamaikan Islam dengan budaya lokal ternyata tetap berlangsung hingga hari ini. Dalam kacamata beberapa intelektual muslim, menggagas Islam khas Indonesia masih saja menjadi daya tarik tersendiri. Di antara buku terbaru yang mencoba menggagas kembali Islam khas Indonesia adalah berjudul “Mengindonesiakan Islam; Representasi dan Ideologi karya Dr. Mujiburrahman dan “Menusantarakan Islam” karya Dr. Aksin Wijaya.
Gagasan mendamaikan Islam dengan budaya lokal memang sudah lama terjadi, akan tetapi menurut saya, gagasan tersebut baru mendapatkan respon luar biasa ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada era 1980-an menggulirkan ide “pribumisasi Islam” yang ia tulis dengan judul “Salahkah Jika Dipribumikan” di sebuah kolom Tempo tahun 1983.
Dalam kolom tersebut, Gus Dur berkata bahwa Islam jangan sampai tercerabut dari akar-akar budaya lokal. Lebih lanjut Gus Dur mengkritik dengan sebuah pertanyaan, mengapa kita harus mengganti kata “sembahyang” dengan “shalat”, kata “langgar” dan “surau” dengan “mushalla”, “kiai” atau “tuan guru” dengan “ustadz”?. Bukankah hal tersebut menurutnya akan menjadikan formalisme yang berujung pada arabisme total. Di sini Gus Dur sadar bahwa Islam itu muncul bukan pada ruang kosong yang hampa pesan sejarah. Karena itu, menurutnya proses mempribumikan Islam menjadi penting.
Gus Dur memang tangguh, setelah artikelnya tersebut mendapat kecaman dari berbagai pihak, karena dianggap akan merusak Islam itu sendiri dari dalam, justru ia tetap istiqomah dengan pendiriannya sampai akhir hayatnya.
 Kemajemukan Indonesia
Siapapun orangnya yang ingin mencoba mengenali Indonesia, tanpa perlu banyak berfikir, ia akan segera sadar betapa beragam dan majemuknya masyarakat negeri ini. Di Indonesia, ada begitu banyak suku dan sub-suku dengan bahasa-bahasa dan dialek yang juga khas. Ada belasan ribu pulau-pulau yang terpisah-pisah. Ada banyak agama dan kepercayaan. Ada aneka warna adat istiadat. Bahkan ada puluhan partai politik yang berbeda-beda. Ada organisasi sosial keagamaan, baik dalam Islam sendiri maupun agama lainnya.
Jika kita menyadari akan kondisi bangsa Indonesia yang heterogen itu, maka sangat utopis jika kita berani mengatakan dan menginginkan Islam menjadi satu warna saja, seperti apa yang disuarakan oleh beberapa kelompok keagamaan yang mengatasnaman gerakan pemurnian Islam, dengan dalih penghapusan Islam dari unsur-unsur bid’ah.
Gagasan menusantarakan Islam—dengan cara mendialogkan Islam dengan budaya lokal—sangatlah penting karena memberikan perhatian yang serius kepada masalah kemajemukan sebagai sebuah fakta yang tak bisa ditolak, apalagi sengaja dibuang.
Saat ini tak ada cara lain selain harus bersikap positif terhadap kemajemukan yang dimiliki oleh Indonesia, bukan sebaliknya. Dengkan kata lain, sikap yang harus dikembangkan adalah upaya untuk menghormati berbagai perbedaan yang ada sambil mencoba mengelolanya secara damai dan berkeadilan.
Sikap negatif yang mencoba menaklukkan kemajemukan menjadi keseragaman, atau berusaha mengasingkan diri dari berinteraksi dengan kemajemukan adalah sikap yang tidak realistis.
Di sinilah nampaknya kita harus arif dan cermat menghadapi itu. Ternyata hidup modern tidak mesti melacurkan diri dengan menjual, menggadaikan apalagi mengorbankan, atau membuang  tradisi-tradisi mulia yang sudah lama kita gugu dan amalkan sejak dulu kala. Bukankah ada pepetah mengatakan bahwa “Bangsa yang besar adalah bangsa yang sanggup menghargai dan mencintai tradisi leluhurnya”.[ ]


Tidak ada komentar: