Potret Tafsir
Al-Qur’an di Indonesia;
Studi Naskah Tafsir
Al-Azhar Karya Hamka
Oleh :
Kiki
Muhamad Hakiki[1]
Abstrak
Kemunculan
tafsir Al-Azhar karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) telah menjadi
tolak ukur bahwa umat Islam Indonesia ternyata tidak bisa dilihat sebelah mata.
Kwalitas tafsir ini tidak kalah jika dibandingkan dengan tafsir-tafsir yang
pernah muncul dalam dunia Islam. Jika dilihat dari isinya, tafsir setebal 30
jilid ini mempunyai keistimewaan yang luar biasa, diantaranya ; Pertama,
dari sisi sajian redaksi kalimatnya yang kental nuansa sastra. Kedua,
pola penafsirannya. Ketiga, kontekstualisasi penafsirannya dengan
kondisi keindonesiaan.
Kata Kunci : Tafsir
Al-Azhar, Hamka, Indonesia
Pendahuluan
Hamka sampai saat
ini masih pantas dikatakan sebagai intelektual terbesar dan tersohor yang
dimiliki oleh Organisasi Muhammadiyah. Statemen ini menurut saya tidak berlebihan
jika disematkan pada sosok diri Hamka. Ada banyak jasa yang telah ditorehkan
oleh Hamka dalam pengembangan umat Islam di Indonesia. Dan di antara jasa yang
paling berharga menurut saya adalah lahirnya sebuah karya yang bermutu tinggi
yang diberi nama “Tafsir Al-Azhar setebal 30 Jilid”.
Di saat umat
Islam masih diselimuti oleh rasa ketakutan dalam menafsirkan al-Qur’an, Hamka
telah berani mendobrak kejumudan itu dengan prestasinya membuat karya tafsir
yang begitu tebal dan yang pertama kali di Indonesia. Tafsir Al-Azhar ternyata
tidak hanya memiliki ketebalan yang luar biasa, akan tetapi tafsir ini
mempunyai kualitas tinggi yang tidak kalah jika dibandingkan dengan
tafsir-tafsir yang muncul di Timur Tengah. Buktinya, setelah tafsir ini selesai
ditulis dan dipublikasikan, penghargaan tinggi
(Dr. Hc) yang diterima oleh Hamka dari senat Universitas Al-Azhar Mesir
langsung diberikan.
Kemunculan tafsir ini jika dibandingkan dengan
karya-karya tafsir al-Qur’an di Indonesia yang pernah muncul sangatlah unik.
Tafsir ini berbeda dengan karya-karya tafsir sebelum maupun semasanya, terutama
dari segi metodologi yang digunakan atau pun hasil penafsirannya. Karena alasan
itulah, maka kajian atas tafsir ini mempunyai daya tariknya tersendiri.
Biografi Hamka
Nama
lengkap Hamka adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah disingkat dengan Hamka. (Untuk penulisan
selanjutnya ditulis Hamka). Beliau dilahirkan di Maninjau, Sumatra Barat pada
tanggal 16 Februari 1908, Hamka adalah seorang ulama terkenal, penulis
produktif, dan muballigh besar yang berpengaruh di Asia Tenggara. Ia adalah
putra Haji Abdul Karim Amrullah, seorang tokoh pelopor gerakan “Kaum Muda” di
Minangkabau. Kakek Hamka adalah Syaikh Amrullah, beliau adalah seorang mursyid
dari tarekat Naqsabandiyah, konon menurut cerita Syaikh Amrullah (kakek Hamka)
pernah menikah sebanyak 8 kali, dari pernikahan tersebut ia memiliki 46 anak.
Berbeda
dengan ayah Hamka, yang pernah belajar di Makkah antar tahun 1895 sampai 1906
justru ia merupakan seorang tokoh nomor satu yang menentang dunia ketarekatan.
Hamka dilahirkan pada masa awal gerakan “Kaum Muda”. Yang di pelopori oleh
empat ulama Minang yaitu Haji Abdul Karim Amrullah atau yang biasa dikenal
dengan sebutan Haji Rasul (ayah Hamka), Syaikh Taher Jalaluddin, Syaikh
Muhammad Djamil Djambek dan Haji Abdullah Ahmad.
Menarik
untuk mengetahui asal penyebutan nama Hamka, nama aslinya adalah Abdul Malik
Karim Amrullah, pada tahun 1927 ia menunaikan Haji ke Makkah sepulangnya dari
Haji namanya mendapatkan tambahan “Haji” sehingga menjadi Haji Abdul Malik
Karim Amrullah yang kemudian untuk memudahkan panggilannya disingkatlah namanya
menjadi Hamka. Tokoh yang dikenal dengan kesederhanaan ini pada tanggal 24 Juli
1981 di Jakarta, ia dikelilingi oleh istrinya Khadijah, beberapa teman dekatnya
dan putranya Afif Amrullah, Hamka berpulang ke Rahmatullah dalam usia 73 tahun.
Perjalanan
Inetelektual Hamka dimulai dengan pendidikan membaca Al-Qur’an di kampung
halaman bersama orang tuanya, dalam waktu bersamaan ia masuk sekolah desa
selama 3 tahun (pagi hari) dan sekolah Agama Diniyyah (petang hari) yang
didirikan oleh Zainuddin Labai al-Yunusi di Padangpanjang dan Parabek (Bukit
Tinggi) selama 3 tahun. Pada malam harinya Hamka bersama teman-temannya pergi
ke surau untuk mengaji.[2]
Begituluah putaran kegiatan Hamka sehari-hari dalam usia kanak-kanaknya.
Rutinitas kegiatan Hamka seperti itu setiap hari membutanya jenuh dan ia merasa
“terkekang” ditambah sikap ayahnya yang “otoriter”. Kondisi demikian itu
membuat prilaku Hamka menyimpang, sampai-sampai ia dikenal sebagai seorang “anak
yang nakal”. Kondisi tersebut dibenarkan oleh A.R. Sultan Mansur, seorang
yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan pribadi Hamka sebagai seorang
Muballigh.[3] Semenjak kecil sebenarnya meskipun ia dikenal
sebagai anak nakal, Hamka seorang yang cerdas, ia berbakat dalam bidang bahasa,
tidak heran sejak kecil ia mampu membaca berbagai literatur dalam bahasa Arab,
termasuk berbagai terjemahan dari tulisan-tulisan Barat. Sejak masih muda Hamka
dikenal sebagai seorang pengelana, sehingga Ayahnya memberikan gelar padanya
“Si Bujang Jauh”.[4]
Pada
tahun 1924, ia berencana pergi ke Jawa dalam usia 16 tahun, tapi sayang
kepergian Hamka ke tanah Jawa tidak kesampaian karena Hamka terkena wabah cacar
di daerah Bengkulen. Kondisi tersebut membuat Hamka harus terbaring di tempat
pembaringan selama dua bulan, setelah sembuh ia tidak melanjutkan perjalanannya
malahan ia kembali ke Padang Panjang dengan wajah penuh bekas luka cacar.
Kegagalan Hamka untuk pergi ke Jawa tidak membuat surut niatnya, setahun
kemudian Hamka dengan tidak bisa tercegah mewujudkan keinginannya untuk pergi
ke Jawa. Perjalanan kedua ini ternyata berhasil dan Hamkapun sampai di Jawa.
Perjalanan intelektual Hamka ketika di Jawa di mulai dari daerah Jogjakarta,
kota dimana tempat Organisasi Muhamadiyah lahir. Lewat pamannya Ja’far
Amrullah, Hamka mulai belajar keorganisasian dan mengikuti kursus-kursus yang
diadakan oleh Muhamadiyah dan Syarikat Islam.
Disana
beliau belajar mengenal dunia pergerakan Islam modern melalui H. Oemar Said
Tjokroaminoto, dari beliau Hamka sempat mendengar ceramah-ceramah tentang Islam
dan Sosialisme, Ki Bagus Hadikusumo
(ketua Muhamadiyyah 1944-1952) dari beliau ia menerima pengetahuan tentang
tafsir al-Qur’an.
Yogyakarta
sebuah kota yang mempunyai arti penting bagi perkembangan keilmuan dan
kesadaran keagamaan Hamka, sehingga ia menyebutkan bahwa di Yogyakarta ia
menemukan Islam sebagai sesuatu yang hidup, yang menyodorkan suatu pendirian
dan perjuangan yang dinamis.[5]
Perbedaan
nuansa ke-agamaan yang dilihat oleh Hamka antara di Minangkabau tempat
kelahiran Hamka dengan di Jawa nampaknya sangat jauh berbeda. Islam di
Minangkabau yang menemukan citra pembaharuan Islam dalam bentuk pemurnian,
lebih banyak beroriantasi dalam soal akidah, karena Islam di Minangkabau lebih
berhadapan (berbenturan) dengan tradisi adat daerah Minang yang barbau
jahiliyah. Sehingga orientasi yang ditampilkan oleh pembaharu lebih bercorak
puritan, yakni membersihkan akidah dan ibadah Islam dari hal-hal yang barbau
syirik dan bid’ah. Sebaliknya berbeda dengan pembaharuan di Jawa, dengan
gerakan-gerakan yang coba ditampilkan oleh Muhammadiyah dan Syarikat Islam,
telihat aktivitas pembaharuannya tidak lagi mempertentangkan permasalahan
khilafiyat, tetapi lebih berorientasi pada usaha memerangi keterbelakangan,
kebodohan dan kemiskinan serta mencegah bahaya Kristenisasi[6]
yang mendapat sokongan dari pemerintah kolonial. Adapun bentuk gerakan
pembaharuan yang dilakukan oleh kedua organisasi tersebut diantaranya adalah
Syarikat Islam menampilkan penggalangan kekuatan ekonomi masyarakat pribumi
dengan jiwa dan semangat Islam, sedangkan Muhamadiyah sendiri menyediakan
berbagai lembaga pendidikan formal dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.[7]
Aktivitas
Hamka di Jawa tidak hanya mengenal dunia pergerakan di lingkungan Muhamadiyah
dan Syarikat Islam saja, ia pun sempat “berkenalan” dengan faham komunis
yang ada di Jawa. Dari perkenalan dengan
faham komunis tersebut ia menyimpulkan bahwa faham komunis yang ada di
Jawa ternyata berbeda dengan faham komunis yang ada di Padang Panjang yang
dikembangkan oleh H. Datuk Batuah Thawalib, faham komunis yang berkembang di
Minangkabau bukanlah faham komunis yang sebenarnya. Ia berkata: “Rupanya komunis
yang dilihatnya di Sumatera Barat itu bukanlah komunis. Kekerasan sikap serta
kritik mereka terhadap pemerintahan kolonial dengan selalu memakai ayat-ayat
Al-Qur’an dan Hadits, itulah yang selalu didengarnya senantiasa menjadi
pendirian yang terang-terangan dari Syarikat Islam dan menjadi pembicaraan
dalam kalangan Muhamadiyah. Jadi Komunis Sumatera Barat adalah Islam yang
karena kurang pengetahuan dan penyelidikan lalu terperosok ke dalam komunis,
apa lagi pandangan umum ketika itu komunis ialah anti Belanda”.[8]
Setelah
malakukan perjalanan (berkelana) di jawa pada bulan Juli 1925 dalam usia 17
tahun, ia kembali ke Padangpanjang. Disana ia mengimplementasikan ilmu-ilmu
yang ia peroleh dari tanah Jawa dengan berpidato dan bertabligh, berkat
kepiawaiannya dalam menyusun kata-kata sehingga ia dikagumi oleh teman-teman
sebayanya. terkadang ia menuliskan teks-teks pidato untuk teman-temannya dan
diterbitkan dalam sebuah majalah yang dipimpinnya yang diberi nama Khatibul
Ummah.
Pada
bulan Februarui 1927 ia berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan
bermukim di sana selama 6 bulan, selama di Makkah ia bekerja pada sebuah
percetakan dan akhirnya pada bulan Juli ia kembali ketanah air. Sebelum tiba di
kampung halamannya, ia singgah di Medan dan sempat menjadi guru agama pada
sebuah perkebunan selamaa beberapa bulan, setelah itu ia pulang ke tanah
kelahirannya.[9]
Pada
tahun 1928 ia mengikuti Mukhtamar Muhamadiyah di Solo, sepulang dari solo ia
memangku jabatan-jabatan penting diantaranya pernah menjadi ketua bagian Taman Pustaka, ketua Tabligh sampai menjadi ketua Muhamadiyah
cabang Padangpanjang. Pada tahun 1930 atas prakarsa penguruas cabang Padang
Panjang ia diutus untuk mendirikan
Muhamadiyah di Bangkalis. Pada tahun 1931 ia diutus oleh oleh Pengurus Pusat
Muhamadiyah ke Makasar untuk menjadi mubaligh Muhamadiyah dalam rangka
menggerakan semangat untuk menyambut Mukhtamar Muhamadiyah ke-21 di Makasar.
Sehingga setelah pulang bertugas ia diangkat menjadi Majlis Konsul Muhamadiyah
Sumatera Tengah. Pada tanggal 22 Januari 1936 ia pindah ke Medan dan terjun
dalam gerakan Muhamadiyah Sumatera Timur dan memimpin majalah Pedoman
Masyarakat. Tahun 1942 ia tepilih penjadi pemimpin Muhamdiyah Sumatera
Timur. Tahun 1946 ia terpilih menjadi Ketua majelis Pimpinan Muhamadiyah Daerah
Sumatera Barat, kedudukannya ini dipegang sampai tahun 1949. Pada Mukhtamar
Muhamadiyah ke-32 di Purwokerto tahun 1953, ia terpilih menjadi anggota pimpinan
pusat Muhamadiyah dan sejak itu ia selalu terpilih dalam mukhtamar.[10]
Pada
tahun 1949, ia pindah ke Jakarta. Di Jakarta Hamka memulai kariernya dengan
bekerja sebagai pegawai negeri golongan F di Kementrian Agama yang waktu itu
dipimpin oleh KH. Abdul Wahab Hasyim. Disamping bekerja sebagai pegawai
negeria, ia juga mengajar di perguruan tinggi Islam diantaranya: IAIN
Yogyakarta, Universitas Islam Jakarta, Fakultas Hukum dan Filsafat Muhamadiyah
di Padangpanjang, Universitas Muslim Indonesia (MUI) di Makasar, Universitas
Islam Sumatera Utara. Pada tahun 1950 ia mengadakan kunjungan ke berbagai
negara yang ada di Timur Tengah. Pada tahun 1952 ia juga mendapat kesempatan
untuk berkunjung ke Amerika Serikat atas undangan Departemen Luar Negeri
Amerika Serikat. Pada tahun 1958 ia diutus untuk mengikuti simposium Islam di
Lahore kemudian menuju Mesir, dalam kesempatan ini ia menyampaikan pidato untuk
promosi mendapat gelar Doctor Honoris Causa di Universita al-Azhar, Mesir,
dengan judul pidato “Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia”.[11]
Disamping gelar Doctor yang ia raihnya di Mesir, ia juga mendapatkan gelar Doctor
Honoris Causa di Universitas Kebangsaan Malaysia pada tahun 1974. Dalam
kesempatan itu, Perdana mentri Malaysia berkata “Hamka bukan hanya milik bangsa
Indonesia, tetapi juga kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara”.[12]
Hamka dikenal sebagai seorang yang
produktif meskipun aktivitas Hamka yang begitu padat, tidak membuat surut tekad
Hamka untuk membuat berbagai karya tulis. Keproduktifan Hamka bukan hanya dari
segi ide atau gagasan tetapi dalam segi tulisan pun ia sangat produktif, lebih
kurang 118 buah buku dalam berbagai
disiplin ilmu (tafsir, hadits, sejarah, tasawuf, politik, akhlak, sastra, dll),
belum termasuk berbagai tulisannya yang berserakan di media masa, majalah, atau
makalah-makalah yang disampaikan untuk perkuliahan. Di antara karya-karya yang
telah dihasilkan oleh tangannya adalah sebagai berikut:
1.
Dalam bidang
tasawuf : Tasawuf modern, Tasawuf perkembangan dan pemurniannya
2.
Dalam bidang sastra
: Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil dan Di Tepi
Sungai Dajlah, si Sabariyah, Di Bawah Lindungan Ka’bah
(1938), Tenggelamnya kapal Van der Wijck (1939), Merantau ke Deli
(1940), Di Dalam Lembah Kehidupan (1940).
3.
Dalam bidang tafsir
: Tafsir al-Azhar (30 juz), Ayat-ayat Mi’raj.
4.
Dalam bidang
sejarah : Ayahku berisi tentang biografi orang tuanya (1949), Pembela
Islam (Tarich Sayyidina Abu Bakar), Ringkasan Tarich Umat Islam, Adat
Minangkabau dan Agama Islam (buku ini dilarang beredar oleh polisi), Sejarah
Umat Islam.
Tafsir Al-Azhar
Hamka di
Indonesia bahkan di mancanegara di kenal sebagai seorang mufassir salah satu
karyanya adalah tafsir al-Azhar yang menjadi karya manumental dari
seluruh karyanya. Tafsir al-Azhar pada mulanya merupakan materi yang di
sampaikan dalam acara kuliah subuh yang diberikan oleh Hamka di masjid Agung
al-Azhar Kebayoran, Jakrta sejak tahun 1959. Ketika itu masjid tersebut belum
dinamakan masjid al-Azhar.[13]
Dalam waktu yang sama bulan Juli 1959 Hamka bersama KH. Fakih Usman HM. Yusuf
Ahmad (Mentri Agama dalam kabinet Wilopo 1952, Wafat tahun 1968 ketika menjabat
ketua Muhamadiyyah) menerbitkan majalah “Panji
Masyarakat” yang menitik beratkan soal-soal kebudayaan dan pengetahuan
Agama Islam.[14]
Tidak
lama setelah itu suasana perpolitikan bangsa Indonesia tidak menentu, suasana
politik yang digambarkan terdahulu mulai muncul. PKI dalam usaha
mendiskreditkan pihak-pihak yang tidak sejalan dengan kebijaksanaan mereka
bertambah meningkat. Sampai-sampai masjid al-Azhar ketika itu menjadi sasaran.
Masjid tersebut di klaim menjadi sarang “Neo Masyumi” dan “Hamkaisme”.[15]
Suasana
bertambah tak menentu ketika majalah ini dibredel pada penerbitan No. 22. 17
Agustus 1960 dengan alasan memuat tulisan Dr. Muhammad Hatta yang berjudul “
Demokrasi Kita”. Tulisan ini memuat kritik tajam terhadap konsepsi
Demokrasi Terpimpin. Majalah Panji Masyarakat baru mulai terbit kembali ketika
Orde Lama tumbang pada tahun 1967, dan jabatan pimpinan ketika itu masih
dipegang oleh Hamka.[16]
Sebagaimana
kondisi yang dijelaskan di atas, izin penerbitan Majalah Panji Masyarakatpun
dicabut. Pendiskreditan terhadap Hamkapun bertambah meningkat, sehingga dengan
bantuan Jenderel Sudirman dan Kolonel Muchlas Rowi pada waktu itu menerbitkan
majalah Gama Islam. Peranan Hamka dalam majalah ini sangat aktif meskipun
sebenarnya Dalam struktur kepengurusan secara formal majalah ini dipimpin oleh Jenderal Sudirman dan Kolonel Muchlas
Rowi. Ceramah-cerama Hamka disetiap sehabis Sholat Shubuh secara teratur dimuat
dalam majalah tersebut, namun penerbitan tersebut berlangsung sampai pada bulam
Januari 1964.[17]
Penerbitan ceramah-seramah Hamka terhenti
dalam majalah tersebut disebabkan pada hari senin 12 Romadhan 1383 atau 27
Januari 1964, ia ditangkap oleh penguasa Orde lama pada saat setelah memberikan
pengajian di masjid al-Azhar dan pada akhirnya beliau dijebloskan dalam
penjara. Dalam tahanan, Hamka tidak membuang waktu dengan percuma, beliau isi
dengan membuat karya lanjutan dari tafsit al-Azhar.[18]
Kondisi
kesehatan Hamka dalam tahanan kian lama kian menurun, sehingga membuat ia harus
dipindahkan ke Rumah sakit Persahabatan Rawamangun, Jakarta. Dalam suasana
perawatan, Hamka melanjutkan kembali penulisan dari tafsir al-Azhar. Tak
lama setelah itu Orde Lamapun tumbang digantikan dengan Orde Baru, dan pada
akhirnya dibawah pimpinan Suharto Hamka dibebaskan. Dalam suasana bebas, Hamka
kembali mengedit ulang tafsir al-Azhar.
Tafsir
al-Azhar
pertama kali diterbitan oleh penerbit Pembimbing Masa pimpinan H. Mahmud. Dalam
penerbitan ini hanya merampungkan juz pertama sampai juz keempat. Setelah itu
diterbutkan juz 30 dan juz 15 samapi juz 29 dengan penerbit yang berbeda yakni
Pustaka Islam, Surabaya. Dan pada akhirnya juz 5 sampai dengan juz 14
diterbitkan dengan penerbit yang berbeda pula yakni Yayasan Nurul Islam,
Jakarta.[19]
Ditinjau
dari metode yang digunakan oleh Tafsir al-Azhar sebagai karya manumental
dari Hamka yang sampai saat ini tetap dipakai dan menjadi rujukan penting dalam
memahami ayat-ayat al-Qur’an. Dilihat dari metode penafsiran yang dipakai,
tafsir ini menggunakan metode tahlili sebagai pisau analisinya, terbukti
ketika menafsirkan surat al-Fatihah ia membutuhkan sekitar 24 halaman
untuk mengungkapkan maksud dan kandungan dari surat tersebut. Berbagai macam
kaidah-kaidah penafsiran dari mulai penjelasan kosa kata, asbab an-nuzul
ayat, munasabat ayat, berbagai macam riwayat hadits, dan yang
lainnya semua itu disajikan oleh Hanka
dengan cukup apik, lengkap dan mendetail.
Dalam
menggunakan metode penafsiran, Hamka sebagaimana diungkapkannya dalam tafsirnya
ia merujuk atau “berkiblat” peda metode yang dipakai dalam tafsir al-Manar
yakni metode tahlili (analitis). Berkiblatnya Hamka dalam menggunakan
metode penafsiran terhadap tafsir al-Manar, membuat corak yang dikandung
oleh tafsir al-Azhar mempunyai kesamaan. Untuk lebih jelas tentang
komentar Hamka terhadap tafsir al-Manar adalah sebagai berikut:
Tafsir
yang amat menarik hati penafsir buat dijadikan contoh ialah tafsir al-Manar
karangan Sayyid Rasyid Ridho, berdasarkan kepada ajaran tafsir gurunya Syaikh
Muhammad Abduh. Tafsir beliau ini, selain dari menguraikan ilmu berkenaan
dengan agama, mengenai hadits, fikih dan sejarah dan lain-lain, juga
menyesuaikan ayat-ayat itu dengan perkembangan politik dan kemasyarakatan yang
sesuai dengan zaman di waktu tafsir tersebut dikarang.[20]
Adapun
dilihat dari corak penafsiran, tafsir al-Azhar mempunyai corak Adab al-Ijtima’iy. Corak ini menitik
beratkan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an dengan ungkapan-ungkapan yang teliti,
menjelaskan makna-makna yang dimaksud al-Qur’an dengan bahasa yang indah dan
menarik, tafsir ini berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang tengah
dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.[21] Hal
tersebut bisa dilihat ketika Hamka menafsirkan
QS: al-Syura: 51-52. Hamka dalam menafsirkan ayat tersebut
mengkontekstualisasikan dengan berkomentar tentang KB, menurutnya boleh atau
tidaknya KB tergantung dengan alasan yang dipakai atau kuantitas dari mudharatnya.[22] Dan
pada ayat 28 surat yang sama, ia menafsirkan “turunnya hujan setelah masa
kekeringan” bukan hanya hujan secara fisik tetapi menurutnya adalah datangnya
kelonggaran setelah masa kesusahan atau kesempitan, seperti yang terjadi pada
bangsa Indonesia yang sebelumnya dijajah kini telah merdeka dan terbebas dari
penjajah.[23]
Demikian pula ketika ia menafsirkan QS: Al-Dukhan: 16, ia menafsirkan dengan
mengaitkan peristiwa yang terjadi pada waktu itu yaitu tragedi pengeboman yang
terjadi di Hirosima dan Nagasaki Jepang.[24] Dan
masih banyak penafsiran ayat-ayat lainnya yang beliau kaitkan dengan kondisi
yang terjadi ketika tafsir ini disusun oleh penulisnya yakni Hamka.
Contoh Penafsiran
Hamka; Surat Al-Fatihah
Sebelum
memulai menafsirkan surat al-Fatihah ia menulis ayat-ayat yang termasuk
dalam surat al-Fatihah disebelah kanan dan terjemahannya disebelah
kirinya. Setelah penulisan ayat, ia menjelaskan terlebih dahulu tentang surat al-Fatihah
yang ia letakan dalam halaman pendahuluan. Dalam pendahuluan surat al-Fatihah
ia menjelaskan kedudukan surat al-Fatihah dengan surat lainnya,
menjelaskan Asbab an-Nuzul-nya dengan mengutip bebera riwayat hadits
bahkan ia kerap kali mengutip beberapa pendapat ulama tentang surat al-Fatihah,
uarian tentang munasabah, jumlah turunnya surat al-Fatihah, nama-nama
lain dari surat al-Fatihah, mengunkapkan perbedaan pendapat para ulama
dalam menghitung jumlah ayat misalnya kontraversi tentang kedudukan ayat Bismillah
al-Rahman al-Rahim dengan menguraikan susunan katanya.
Setelah
semua hal ihwal yang berkaitan dengan surat al-Fatihah is jelaskan dalam
pendahuluan, kemudian ia melanjutkan dengan menafsirkan surat al-Fatihah.
Dalam menafsirkan ayat pertama (Bismillah al-Rahman al-Rahim) dari surat
al- Fatihah, ia menguraikan tentang urgensi dari ayat tersebut
yang menurutnya adalah apabila kita akan melakukan sesuatu hendaklah dimulai
dengan membaca lafadz tersebut. Dalam ayat pertama, ia menguraikan lafadz Allah
dengan mengutip pendapat seorang ulama bernama Raghib al-Isfahani seorang ahli
bahasa terkenal, yang menurutnya lafad Allah telah lama dipakai oleh bangsa
Arab untuk yang Maha Esa itu. Kalimat Allah menurutnya adalah perkembangan dari
kalimat al-llah. Dalam bahasa Melayu lafad tersebut diartikan Dewa atau Tuhan.
Segala sesuatu yang mereka anggap sakti dan mereka puja, mereka sebut dengan al-Ilah.
Dan apabila mereka hendak menyebut banyak Tuhan, mereka memakai kata jama’,
yaitu al-Alihah. Setelah menjelaskan ayat tersebut dari segi susunan
kalimatnya, ia memunasabatkan dengan beberapa ayat atau hadits Rosulullah saw. Seperti dalam
menguraikan kalimat Allah ia mengutip penjelasan dari ayat Al-Qur’an dalam hal
ini surat al-Ankabut ayat 61, dan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Abu daud dan Abu Hurairah.
Dalam
menafsirkan kalimat Allah, ia juga mengaikat dengan konteks ke-Indonesiaan
yakni sejarah bahasa Melayu, menurutnya kalimat ilah dalam bahasa Melayu
berarti dewa atau tuhan. Pendapat tersebut diperkuat dengan rujukan terhadap
beberapa karya, dalam hal ini ia mengutip peninggalan sejarah yakni sebuah batu
bersurat Trengganu yang ditulis dengan huruf Arab, kira-kira tahun 1303
M, kalimat Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah diartikan dengan Dewata Mulia
Raya. Perbedaan penggunaan huruf pun dijelaskan oleh Hamka, seperti ketika
menggunakan kata Tuhan sehari-hari, menurutnya kata Tuhan terpisah menjadi dua:
Tuhan dengan huruf (T) besar khusus hanya untuk Allah sedangkan tuan (t) kecil
untuk menghormati sesama manusia, seperti untuk raja disebut tuanku. Penafsiran
Hamka bahkan lebih jauh dan luas, ia mencoba membandingkan dengan konsep Tuhan
(trinitas) dalam agama kristen. Begitu juga ketika Hamka menafsirkan ayat-ayat
yang lainnya dalam surat al-Fatihah.
Hamka
dalam menafsirkan surat-surat al-Qur’an membagi dalam beberapa tema atau
terkadang menjelaskan urgensi atau hal-hal lain yang dipandang urgen untuk
dijelaskan dan untuk mencirikannya ia tulis dalam huruf tebal seperti dalam
surat al-Fatihah, 1). ia menjelaskan urgensi dari surat al-Fatihah
dengan tema “al-Fatihah sebagai rukun sembahyang” dengan
dilengkap penjelasan menurut ayat-ayat dan hadits-hadits, 2). pelafalan tentang
ayat Bismillah apakah dalam sembahyang harus jahar atau sirr, dengan
mengutip beberapa penjelasan dari hadits nabi, 3). penjelasan tentang hal Amin,
4). al-Fatihah dengan bahasa Arab. Pada akhir tafsiran surat al-Fatihah,
Hamka memberikan kesimpulan yang berisi tentang ringkasan dari tafsiran yang
sudah dipaparkan sebelumnya.
Unsur
kelebihan yang terdapat dalam tafsir al-Azhar karya Hamka diantaranya
adalah: Dalam penyajiannya Hamka terkadang membicarakan permasalan, antropologi,
sejarah; seperti ketika menafsirkan lafad “Allah” ia mengaikatkan dengan
sejarah Melayu dengan mengutip sebuah tuisan kelasik yang terdapat pada batu
kira-kira ditulis pada tahun 1303[25],
atau peristiwa-peristiwa kontemporen. Sebagai contoh ketika ia menafsirkan
tentang pengaruh orientalisme terhadap gerakan-gerakan kelompok nasionalis di
Asia pada abad ke-20.[26]
Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Howard M. Federspiel, tafsir yang ditulis oleh
Hamka mempunyai kelebihan yaitu diantaranya, tafsir ini menyajikan pengungkapan
kembali teks dan maknanya serta
penjelasan dalam istilah-istilah agama mengenai maksud bagian-bagian
tertentu dari teks. Disamping itu semua, tafsir ini delengkapi materi pendukung
lainnya seperti ringkasan surat, yang membantu pembaca dalam memahami materi
apa yang dibicarakan dalam surat-surat tertentu dari al-Qur’an.[27]
Dalam tafsir ini juga Hamka berusaha mendemonstrasikan keluasan pengetahuannya
pada hampir semua disiplin bidang-bidang ilmu agama Islam, ditambah juga dengan
pengetahuan-pengetahuan non-keagamaannya yang begitu kaya dengan informatif.[28]
Karakteristik seperti tersebut di atas sebagaiman diungkapkan oleh Karel
Steenbrink bahwa secara umum, Hamka dalam melakukukan tekhnik penafsirannya
“mencontoh” tafsir al-Manar karya rasyid Ridho dan tafsir al-Jawahir
karya Tantawi Jauhari.[29]
Dan yang terakhir Hamka lebih banyak menekankan pada pemahaman ayat secara
menyeluruh. Oleh karena itu dalam tafsirnya Hamka lebih banyak mengutip
pendapat para ulama terdahulu.[30]
Sikap tersebut diambil oleh Hamka karena menurutnya menafsirkan al-Qur’an tanpa
melihat terlebih dahulu pada pendapat para mufassir dikatakan tahajjum
atau ceroboh dan bekerja dengan serampangan.[31]
Adapun
diantara kekurangan dari tafsir al-Azhar adalah pada usaha penterjemahan
ayat. Nampaknya Hamka dalam melakukan penterjemahan menggunakan penterjemahan
harfiah.[32]
Terjemhan seperti itu terkadang membuat terjemahan kurang jelas dan sulit
ditangkap maksudnya secara langsung. Misalnya ketika Hamka menterjemahkan QS:
Al Syura: 42.
Artinya: “Ada jalan hanyalah terhadap orang-orang yang
menganiaya manusia dan berlaku sewenang-wenang di bumi dengan tidak menurut
hak. Bagi mereka itu adzab yang pedih.”
Sebagai
kesimpulan bahwa tafsir al-Azhar buah tagan Hamka merupakan tafsir yang
cukup baik, lengkap dan luas. Hadirnya tafsir ini menjadikan sebuah pembuktian
bagi dunia Internasional bahwa ulama asal Indonesia pun mampu berbuat hal yang
sama dengan ulama-ulama lain di seluruh dunia terutama di Timur Tengah.
Kesimpulan
Jika
membaca karya tafsir Al-Azhar milik Hamka ini terasa kita sebagai orang
Indonesia bangga sebagai umat Islam Indonesia. Meskipun Indonesia dilihat dari
sisi geografisnya jauh dari pusat Islam—dengan tidak mengatakan Islam Indonesia
sebagai Islam pinggiran, akan tetapi ulama-ulama dan karya-karya yang muncul
ternyata tidak kalah kualitasnya dengan karya-karya yang muncul dibelahan bumi
Timur Tengah. Akan tetapi harus diakui bahwa sampai saat ini mainstream Timur
Tengah masih melekat dalam karya-karya tafsir yang muncul di Indonesia, termasuk
di dalamnya tafsir Al-Azhar sendiri.
Penerapan
metodologi penafsiran, corak tafsir, model atau pola penafsiran, ternyata masih
mengikuti gaya yang berkembang di Timur Tengah khususnya di Mesir. Meskipun
begitu keunikan tafsir Al-Azhar adalah mencoba mendialogkan antara teks
al-Qur’an dengan kondisi umat Islam saat tafsir ini ditulis. Dengan pola ini,
nampaknya Hamka berkeinginan agar tafsir ini dapat mempu memberikan solusi atau
respon terhadap permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam di Indonesia. Dari
kelebihan ini-lah maka tafsir Al-Azhar bisa dimasukkan sebagai katagori tafsir
modern di Indonesia.Wallahu a’lm.
Dipublikasikan di :
Jurnal Al-Dzikra Vol. 5
No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
ISSN 1978-0893
Daftar Pustaka
Alwi
Shihab, Membendung Arus; Respons Gerakan Muhamadiyah Terhadap Penetrasi Misi
Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998).
Ensiklopedi
Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993).
Fakhruddin
Faiz, Hermeneutika Qur’ani; Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi,
(melacak Hermeneutika Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Manar, (Yogyakarta:
Qolam, 2002).
Hamka, Tafsir
Al-Azhar, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, Cet. I, 1966).
______, “Mensyukuri
Tafsir Al-Azhar”, (Jakarta: Majalah Panji Masyarakat, No.
317)
Howard
M. Federspel, Kajian Al-Qur’an di Indonesia, Terj. Tajul Arifin,
(Jakarta: Mizan, 1996).
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir
Indonesia; Dari Hermeneutika hingga Ideologi, (Bandung: Teraju, 2003).
Karel Steenbrink, Qur’an Interpretations of
Hamzah Fansuri (CA. 1600) and Hamka (1908-1982): A Comparison, (Jurnal Studi Islamika, Vol. 2, No. 2, 1995)
Manna’
Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Muassasah
Risalah, 1993).
Muhammad
Husen al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (juz. III, t.t).
Muhammad
Yunan yususf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1990).
________,
Karakteristik Tafsir Al-Qur’an di Indonesia Abad Ke-20, (Jurnal Ilmu dan
Kebudayaan Ulumul Qur’an, Volume III, No.4, 1992).
Tim
Penyusun buku 70 Tahun Buya Prof. Dr. Hamka, Kenang-kenangan 70 Tahun Buya
Hamka, (Pustaka Panjimas, 1983).
[1] Dosen Fakultas
Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung
[2] Ensiklopedi Islam, PT.
Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1993, hlm. 75. Bandingkan dengan Yunan yususf,
Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1990), hlm.34.
[3] Panitia Peringatan Buku
70 Tahun Buya Prof. Dr. Hamka, Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka,
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983),
selanjutnya buku tersebut diberi judul Kenang-kenangan 70 tahun,
hlm. XXIII.
[4] Ensiklopedi Islam, ………….,
hlm. 75.
[5] Hamka, Kenang-kenangan
Hidup……….., hlm. 102.
[6]Untuk lebih jelasnya
tantang bagaiman upaya Muahmadiyah dalam usaha mengkanter misi kristenisasi
dapat dilihat dalam bukunya Alwi Shihab, Membendung Arus; Respons Gerakan
Muhamadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan,
1998).
[7] Yunan Yusuf, Corak
Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar……..., hlm. 40-41.
[8] Hamka, Kenang-kengan
hidup……….., hlm. 153.
[9] Ensiklopedi Islam,
………., hlm. 76.
[10] Ibid, hlm. 76.
[11] Untuk lebih jelas
mengenai perjalanan Hamka dalam memperoleh gelar Doctor Hinoris Causa,
lihat Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, Cet. I,
1966), hlm. 43-47.
[12] Ensiklopedi Islam……….,
hlm. 77.
[13] Nama masjid Al-Azhar
diberikan oleh Syekh mahmud Syaltut Rektor Universitas Al-Azhar dalam acara
kunjungan ke Indonesia. (Hamka, Tafsir Al-Azhar………, hlm. 48.).
[14] Ensiklopedi Islam ………..,
hlm. 77.
[15] Yunan Yusuf, Corak
Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar…….,
hlm. 53.
[16] Ensiklopedi Islam……..,
hlm. 77.
[17] M. Yunan Yusuf, Corak
Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar……...,
hlm. 54.
[18] Hamka, Tafsir
Al-Azhar………, hlm. 50.
[19] Lihat Hamka, “Mensyukuri
Tafsir Al-Azhar”, (Majalah Panji Masyarakat, No.
317), hlm. 39. Untuk lebih
lengkap dalam mengetahu sejarah penulisan tafsir Al-Azhar dapat dilihat
dalam karya tafsirnya juz I, hlm. 50-58.
[20] Hamka,Tafsir Al-Azhar………
, Juz I, hlm. 41.
[21] Muhammad Husen
al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (juz. III, t.t), hlm. 213.
[22] Hamka, Tafsir
Al-Azhar……..., Juz. XXV, hlm. 44.
[23] Ibid, hlm. 29.
[24] Ibid, hlm. 99.
[25]Ibid, Juz. I, hlm. 68.
[26]Ibid, juz, VI, hlm. 346.
[27]Howard M. Federspiel, Kajian
Al-Qur’an di Indonesia, Terj. Tajul Arifin, (Jakarta: Mizan, 1996), hlm.
143.
[28]Fakhruddin Faiz, Hermeneutika
Qur’ani; Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, (melacak Hermeneutika
Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Manar, (Yogyakarta: Qolam, 2002), hlm. 73.
[29]Karel Steenbrink, Qur’an Interpretations of
Hamzah Fansuri (CA. 1600) and Hamka (1908-1982): A Comparison, (Jurnal Studi Islamika, Vol. 2, No. 2, 1995),
hlm. 83.
[30] Muhammad Yunan Yusuf, Karakteristik
Tafsir Al-Qur’an di Indonesia Abad Ke-20, (Jurnal Ilmu dan Kebudayaan
Ulumul Qur’an, Volume III, No.4, 1992), hlm. 57.
[31]Hamka, Tafsir Al-Azhar
………, Juz. I, hlm. 38.
[32] Dalam ilmu tafsir (ulama
tafsir klasik), ada pandangan yang mengatakan bahwa terjemahan ayat-ayat
al-Qur’an secara harfiah itu hukumnya haram. (Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits
fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Muassasah Risalah, 1993), hlm. 96.
2 komentar:
tafsir al azhar salah satu buku referensi di bidang tafsir alquran..
Ulasan yang sungguh komprehensif; betapa beruntungnya saya mendapatkan apa yang sangat saya cintai; ilmu Islam dng konteks ke Indonesiannya. Selamat atas ulasan ini yaa Ustadz! Semoga menjadi amal jariyah Ustadz yg hebat. JazakaLLOH khoyron katsiro
Posting Komentar