Translate

Kamis, 06 Januari 2011

** Menguak Motif Poligami Nabi Muhammad Saw

Menguak Motif Poligami Nabi

Oleh. K. Muhammad Hakiki

Santri Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Wacana tentag poligami kembali menyeruak dan menjadi isu kontroversial terpanas akhi-akhir ini. Arena diskusi dan perdebatan di berbagai media kembali di gelar. Ada yang pro dan banyak pula yang kontera. Mereka yang pro biasanya disuarakan oleh kalangan elite agama sebagai wujud pembelaan terhadap teks-teks suci-nya, sedangkan mereka yang kontera biasanya disuarakan oleh kalangan feminis.

Memanasnya kembali wacana ini (baca: poligami) dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, semakin banyaknya aksi kekerasan di rumah tangga baik yang menimpa istri maupun anak sebagai korbannya. Alasan kedua, dan mungkin ini hanya kebetulan saja yakni berpoligaminya da’i kondang Aa Gym.

Tulisan ini pun ikut mencoba nimbrung dalam arena diskusi tentang poligami. Akan tetapi, kajian ini tidak akan menyajikan pembahasan diseputar boleh atau tidak-nya berpoligami dengan segudang argumentasi. Tulisan ini akan mencoba mengungkap sejarah awal munculnya permasalahan poligami yang dilakukan oleh “manusia suci” yakni Nabi Muhammad saw. Dengan begitu, diharapkan permasalahan poligami yang memanas ini dapat disikapi dengan bijak.

Sejarah poligami Nabi.

Poligami yang dilakukan oleh Nabi pada awalnya begitu mulia. Ada beberapa faktor mengapa Nabi harus berpoligami pada sat itu;

Pertama adalah sebagai sarana pendidikan. Allah swt menurunkan Al-qur’an ke bumi masih dalam bentuk gelobal meskipun ada diantaranya yang sudah terperinci seperti dalam permasalahan warisan. Disinilah Posisi nabi sebagai penyampai risalah Tuhan sekaligus juga pentafsir awal ayat-ayat Tuhan yang masih global, penjelasan nabi tersebut kemudian disebut dengan hadits yeng terbagi ke dalam hadits qauliyah (ucapan), fi’liyah (perbuatan), dan taqririyah (ketetapan)

Penjelasan nabi berupa hadits tersebut kemudian dijadikan sebagai ketetapan hukum kedua setelah Al-qur’an yang harus diinformasikan kepada umat. Atas dasar itu-lah kemudian nabi melakukan poligami dalam rangka mencetak para ibu yang bisa manyampaikan penjelasan kepada kaum perempuan pada waktu itu, terutama hukum yang berkaitan dengan masalah perempuan seperti hubungan suami istri, haidh dan lain sebagainya. Keputusan untuk mempunyai banyak istri pada waktu itu disadari oleh nabi karena karakter nabi yang pemalu dan juga biasanya kalangan perempuan merasa malu untuk menanyakan langsung kepada Nabi. Dan disinilah posisi istri-istri nabi menjadi peran sebagai juru dakwah.

Factor kedua adalah sebagai usaha koreksi terhadap tradisi jahiliyah. Pada masa pra-Islam teradisi berpoligami tidak ada batasnya dan cenderung melakukan marjinalisasi terhadap kaum perempuan. Bahkan pada masa itu, kedudukan perempuan sangat tidak manusia, kelahiran seorang perempuan dianggap sebagai aib bagi masyarakat sehingga banyak anak-anak perempuan yang harus dikubur hidu-hidup. Kaum perempuan hanya dijadikan sebagai objek nafsu belaka. Banyak tata cara perkawinan pada waktu itu menjadikan perempuan sebagai pihak yang diragukan. Berikut beberapa model perkawinan yang dipraktekkam pada masa pra-Islam.

Model perkawinan Istibdha’ (jima), yakni suatu perkawinan dimana seorang suami meminta istrinya melayani seorang laki-laki lain yang terkenal dengan kemuliaan, kecerdasan, demi untuk mengharapkan keturunan yang seperi itu.

Model perkawinan al-Maghtu (kebencian), yakni perkawinan dimana seorang anak laki-laki mengawini istri bapak kandungnya atau ibu tirinya setelah bapaknya meninggal.

Model perkawinan al-Rahthun (poliandri), yakni model perkawinan dimana beberapa orang laki-laki menggauli seorang perempuan. Seteleh perempuannya hamil dan melahirkan, maka ia mengumpulkan semua laki-laki yang pernah menggaulinya dan memilih salah satunya untuk menjadi bapak yag sah dari anaknya.

Model perkawinan al-Syighar (tukar menukar), dalam model ini dijelaskan oleh nabi bahwa seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain; kawinkan saya dengan anakmu dan aku akan kawinkan kamu dengan anakku. Dan nabi mengatakan bahwa perkawinan seperti ini dilarang.

Model perkawinan badal (tukar menukar istri), perkewinan seperti ini dilakukan pada zaman pra Islam dimana dua orang suami telah sepakat untuk saling menukar istri tanpa ada perceraian.

Model perkawinan baghaya (perempuan tuna susila), sekelompok laki-laki secara bergantian menggauli sorang perempuan pelacur. Jika kemudian pelacur itu melahirkan seorang anak, kelompok laki-laki itu pun mendatanginya, dan pelacur tersebut memilih laki-laki tersebut menjadi ayahnya sesuai dengan kemiripan anaknya.

Model perkawinan khadan (berpacaran), sebuah model perkawinan dimana antara seorang laki-laki dan perempuan berkumpul layaknya seperti suami istri tanpa ada pernikahan yag sah (kumpul kebo).

Model perkawinan al-Irits (warisan), model seperti ini dimuali ketika meninggalnya seorang suami yang tidak memiliki keturunan, dan sang istri diwariskan kepada kerabat terdekatnya.

Berbagai model perkawinan di atas yang kemudian ditentang oleh nabi, dan nabi pun mengoreksinya dengan melakukan perkawinan yang dapat mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan, baik dari segi hukum, social dan kesopansantunan.

Factor ketiga yang menjadikan nabi berpoligami adalah demi untuk kepentingan politik sebagai dakwah Islam dan mempererat tali persaudaraan. Faktor ini dilakukan oleh nabi dengan memperistri anak dari Abu Bakar yakni Aisyah dan Hafsah yang merupakan anak dari Umar.

Menarik untuk menyoroti pernikahan nabi dengan Aisyah. Saat itu Aisyah masih sangat belia, dan rupanya, pernikahan itu menurut riwayat langsung atas petunjuk Tuhan sendiri. Dalam petunjuk itu, Aisyah akan menjadi seorang penceritra ucapan-ucapan nabi setelah nabi meninggal dan Aisyah pun mendapatkan jaminan umur panjang.

Bukti lain bagaimana poligami nabi bernuansa politik dalam rangka mengembangkan sayap dakwah Islam adalah dengan memperistri Juwairiyah binti al-Harits yang merupakan putri dari pemimpin Bani Musthaliq, Syafiyah Binti Hayyi bin Akhtab putri dari pemimpin kabilah Bani Quraizhah, serta Ummu Habibah Ramlah binti Abi Sufyan bin Harb putrid seorang pemimpin Quraisy.

Dengan memperistri para petinggi Arab pada waktu itu diharapkan dakwah nabi akan lebih mudah dan tidak lagi mendapat tekanan keras. Dan hal itu memang terbukti, banyak diantara para pengikut kabilah tersebut yang kemudian masuk Islam.

Demikianlah beberapa motif nabi melakukan poligami. Akan tetapi, sangat disayagkan, poligami yang awalnya begitu mulia, yakni sebagai sarana dakwah Islam kemudian pada fase berikutnya (baca: saat ini) harus dibumbui dengan alasan-alasan yang sifatnya kesenangan duniawi, yakni hanya sebagai pemenuhan hasrat seksual belaka, sehingga yag terjadi adalah poligami bukannya menyelesaikan permasalahan, akan tetapi, justru sebaliknya, poligami dapat merusak keharmonisan keluarga yang sebelumnya tertata rapi. Dan, pada akhinya yang menjadi korban adalah istri dan anak-anak. Wallahu a’lam.

Artike ini pernah dimuat di surat kabar Radar Lampung 15 Januari 2007

Tidak ada komentar: