Translate

Selasa, 04 Januari 2011

** Seri Buku 3 : Budaya

Judul :

Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan

Penulis :

Prof. Dr. Irwan Abdullah

Penerbit :

Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet 2, 2007

Buku yang ada dihadapan kita ini adalah buah tangan dari seorang antropolog Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Buku ini adalah merupakan kumpulan tulisan yang ia presentasikan di berbagai seminar-seminar baik di dalam maupun diluar negeri. Karena itu fokus pembahasan buku ini beragam.

Meskipun begitu kehadiran buku diikat oleh sebuah benang meras terkait pemosisian kebudayaan sebagai symbol yang mengandung empat persoalan penting sebagai fokus kajian buku ini.

Pertama, tentang batas-batas dari ruang budaya yang mempengaruhi pembentukan symbol dan makna yang ditransmisikan secara historis. Berbagai bentuk ekspresi kebudayaan dalam konteks ini berada dalam wilayah kebudayaan yang batas-batasnya mengalami pergeseran yang dinamis.

Kedua, batas-batas dari kebudayaan tersebut yang menentukan konstruksi makna dipengaruhi oleh hubungan kekuasaan yang melibatkan sejumlah actor. Makna dalam hal ini dibangun dan bahkan diubah dalam suatu ruang dengan serangkaian pilihan nilai dan kepentingan yang dimiliki oleh masing-masing actor atau agen dengan tingkat kekuasaan yang berbeda.

Ketiga, pola hubungan kekuasaan ini kemudian mengejawantah dalam identitas kelompok dan kelembagaan, yang menjadikannya realitas objektif dan menentukan cara pandang antar kelompok.

Keempat, identitas yang terbentuk melalui serangkaian symbol selain diterima juga menjadi objek pembicaraan, perdebatan, dan gugatan yang menegaskan perubahan yang mendasar dalam batas-batas kebudayaan. Sifat relative bukan saja menjadi bagian dari ruang negosiasi atas berlakunya suatu nilai dan praktik, tetapi juga menjadi titik penting bagi perubahan masyarakat secara mendasar di mana makna-makna mengalami pergeseran dari waktu ke waktu menuju suatu arah yang bersifat debatable dan kontestatif.[1]

Menari mengutip pernyataan Geertz bahwa kebudayaan adalah merupakan pola dari pengertian-pengertian atau makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam symbol-simbol dan ditransmisikan secara historis (Geertz, 1973, h. 89). Dalam bagian selanjutnya ia mengatakan bahwa kebudayaan adalah merupakan system mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik, yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan (Geertz, 1973, h. 89).

Dari pernyataan Geertz di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan akan selalu mengalami perubahan seiring dengan perubahan cara pandang perubahan manusia itu sendiri akibat perubahan lingkungan.

Menurut Irwan Abdullah di antara sebab perubahan budaya itu;

pertama, mencairnya batas-batas kebudayaan. Dahulu kebudayaan selalu diikat oleh batas-batas fisik yang jelas. Sebagai contoh pakaian kebaya, sungkeman, wayang kulit, blangkon selalu identic dengan pakaian atau adat buadaya jawa. Batas-batas fisik seperti kebaya, wayang kulit, belangkon, selalu dijadikan sebagai batas-batas atau symbol-simbol fisik yang menjadi dasar dalam pendefinisian keberadaan suatu kebudayaan, khsusnya pada saat sesuatu yang bersifat fisik itu masih dianggap paling penting dan menentukan.

Namun ketika kesadaran atau pola pikir manusia mengalami perubahan, mencairnya batas-batas teritorial identitas, mobilisasi manusia, kecanggihan intelektual yang dimiliki, media komunikasi yang semakin modern, masyarakat menjadi terintegrasi bukan hanya pada level local akan dunia, maka batas-batas identitas suatu kebudayaan itu pun mau tidak mau harus mencair atau memudar. Tradisi sungkeman pada masyarakat jawa sebagai symbol kepatuhan dan ketundukan seorang anak kepada orang tua pun menjadi tergantikan hanya lewat telepon atau alat canggih lainnya.

Bahkan dengan kecanggihan tekhnologi, batas-batas territorial sebuah komunitas, kelompok, terasa tak berarti. Orang Indonesia dalam waktu yang sama dapat berkomunikasi, berinteraksi dengan manusia luar yang tanpa di sadarinya transfer budaya pun saling berpindah. Manusia pun dalam waktu singkat dabat berganti-ganti karakter atau pola pikir layaknya seperti manusia “mutan”.

Irwan Abdullah mencontohkan bahwa dengan semakin canggihnya arus komunikasi dunia modern, unsur-unsur kebudayaan kerap kali mengalami penyusutan atau penyesuaian. Sebagai contoh, arsitektur Bali tidak hanya ditemukan di Bali, akan tetapi juga dapat ditemukan di Jakarta, orang-orang dapat dengan mudah kita jumpai di mana-mana bahkan sampai manca Negara. Karena itu kerajinan khas bali pun dengan mudah dapat kita temukan tidak hanya di Bali, akan tetapi diluar bahkan sampai dunia eropa. Kesimpulannya menurut Irwan Abdullah, apa yang ada atau khas di Bali tidak hanya harus menjadi monopoli Bali, karena unsur-unsur kebudayaan Indonesia yang lain atau unsur kebudayaan dunia dapat dengan mudah ditemukan dalam bentuk-bentuk ekspresi simbolik di Bali, demikian halnya dengan unsur-unsur kebudayaan Bali mulai tersebar diberbagai tempat akibat interaksi dengan berbagai manusia dari belahan manapun.[2]

Karena itu, dengan adanya integrasi tatanan global, kebudayaan kemudian tidak lagi terikat pada batas-batas fisik yang kaku yang disebabkan oleh ikatan ruang bersifat deterministic.

Kedua, sebab adanya perubahan budaya juga karena adanya politik ruang dan makna budaya. Makna suatu symbol juga disebabkan oleh struktur kekuasaan yang berubah. Hal ini terjadi karena menurut Irwan Abdullah suatu kebudayaan bagaimanapun tidak dapat dilepaskan begitu saja dari ruang di mana kebudayaan itu dibangun, dipelihara, dan dilestarikan, atau bahkan diubah.[3]

Dengan adanya kepetingan kekuasaan yang berbeda, maka ruang yang menjadi wadah tempat kebudayaan telah mengalami re-definisi baru sejalan dengan tumbuhnya gaya hidup modern yang secara langsung diawali dengan perubahan rancangan ruang. Dahulu pusat-pusat kebudayaan memegang kendali dan suara dalam menentukan karakter suatu ruang social, kemudian selanjutnya dengan berbeda kepetingan, Negara harus mengambil alih peran dengan mendefinisikan ulang ruang agar sesuai dengan kepetingan orientasinya.

Ketika kondisi ini terjadi, maka ruang pun menjadi arena yang diperebutkan, demi melanggengkan sebuah kepentingan kekuasaan atau politik tertentu. Karena itu, makna kebudayaan pun harus tunduk terhadap siapa yang mendefinisikan ulang. Buah dari semua ini, maka sebuah symbol dan makna kebudayaan pun menjadi suatu objek yang kehadirannya dihasilkan oleh suatu proses negosiasi yang melibatkan sejumlah kontestan yang terlibat dengan kepentingan yang berbeda.

Ketiga, ketika hegemoni kepentingan politik kekuasaan terjadi, maka secara bersamaan pemaksaan akan makna ruang dan makna sebuah identitas budaya pun terjadi. Posisi public yang enggan mengikuti keinginan penguasa pun tercerai berai menjadi kelompok-kelompok kecil yang juga beragam di dalam memaknai ruak dan makna identitas budaya.

Buah dari kondisi ini, maka mereka rindu akan masa lalu atau dalam bahasa Irwan Abdullah mereka tertarik melakukan replikasi dari kesukubangsaan dengan parameter yang berbeda yang didasarkan bukan pada nilai lokal yang sama, tetapi pada minat dan kepentingan yang sama dari mereka yang secara asal usul berbeda. Irwan Abdullan mencontohkan bahwa jika dahulu diyakini bahwa sifat baik dan buruk orang tua akan diwariskan pada anaknya, maka kini kita jangan heran jika berbeda. Menurutnya mengutip ungkapan Miller yang mengatakan bahwa pembentuk dan penentu nilai tidak lagi hanya terletak pada orang tua, tetapi sudah pada institusi-institusi lain di luar keluarganya.

Kontestasi berbagai institusi terjadi secara intensif yang menyebabkan individu menjadi objek dan komoditi dari kepentingan-kepentingan yang berbeda. Mereka yang tersubordinasi pun ikut melakukan kontestasi dalam bentuk pemaknaan dekonstruktif atau pembangkangan terhadap pendefinisian ruang dan makna identitas badaya yang dilakukan oleh hegemoni pemegang kendali kuasa.

Tarik menariknya antara pemegang kendali kuasa dengan mereka yang tersubordinasi pun menjadikan identitas kebudayaan pun mengalami konstruksi dan reproduksi yang berebda yang tentunya syarat akan kepentingan yang berbeda. Symbol-simbol budaya pun pada akhirnya dijadikan sebagai alas an penegasan autentisitas kelompok yang keberadaannya menjadi bagian dari system social global dengan pertentangan nilai yang juga tajam.

Meskipun begitu, Irwan Abdullah menyatakan bahwa tanpa adanya konflik kepentingan, maka sulit dibayangkan akan lahir sebuah kesadaran tentang perubahan yang sistematis menuju kepada suatu system social yang lebih berkembang.[4] Karena itu ia mengatakan bahwa memahami kebudayaan harus dimulai dengan mendefinisikan ulang kebudayaan itu sendiri, bukan sebagai kebudayaan generic (yang merupakan pedoman yang diturunkan secara turun temurun), tetapi haruslah dijadikan sebagai kebudayaan diferensial (yang dinegosiasikan dalam keseluruhan interaksi social). Kebudayaan bukanlah suatu warisan yang secara turun temurun dibagi bersama atau dipraktikkan secara kolektif, tetapi menjadi kebudayaan yang lebih bersifat situasional yang keberadaannya tergantung pada karakter kekuasaan dan hubungan-hubungan yang berubah dari waktu ke waktu. Usaha merajut kebudayaan telah berlangsung dalam suatu ruang yang penuh dengan kepentingan para pihak yang turut mengambil bagian dalam proses tersebut.

Antropologi dan Lahan Baru

Dengan buku ini Irwan Abdullah sebenarnya hanya ingin mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang berhenti, semuanya berjalan dan mengalami perubahan termasuk masalah kebudayaan

Karena alasan itu-lah maka penelitian antropologi pun hendaknya tidak berhenti atau kehilangan objek daya tariknya. Ia mencontohkan dengan apa yang pernah dilakukan oleh Geertz di Mojokuto pada tahun 50-an. Penelitian Geertz di Mojokuto yang mengklasifikasikan masyarakat menjadi tiga kelas atau tingkatan; abangan, santri dan priyayi, saat ini tentu sudah mengalami pergeseran seiring dengan perubahan masyarakat di daerah itu sendiri. Tetangganya yang dahulu abangan mungkin kini sudah berubah menjadi santri atau sebaliknya. Karena itu penelitian antropologi harus tetap berjalan seiring berjalannya perubahan masyarakat itu sendiri. Hal ini terjadi karena konstruksi nilai kebudayaan telah dilakukan secara sangat kompetitif oleh mereka yang berkepentingan antara pihak-pihak yang berbeda—baik itu keluarga, adat, media massa, pemerintah.[5] Nilai-nilai yang saling bertentangan itu menjadi fakta yang sah dalam kehidupan social yang menyebabkan system social terbentuk dan berlaku secara dinamis berdasarkan perubahan-perubahan kekuasaan dan dominasi pihak-pihak yang terlibat atau berkepentingan akan makna atau nilai dari kebudayaan itu sendiri.

Pemakalah : K. Muhammad Hakiki

Tulisan sederhana ini pernah di presentasikan di UIN Bandung dan IAIN Lampung



[1] Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. 2, 2007, h. 2.

[2] Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, h. 4.

[3] Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, h. 4

[4] Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, h. 9.

[5] Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, h. 22.

Tidak ada komentar: