Translate

Selasa, 04 Januari 2011

** Seri Buku II : Adat

Judul Buku : Adat Dalam Politik Indonesia

Penulis : Jamie S. Davidson (ed)

Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Mei 2010

Sub Tema: Kritik Terhadap Gerakan Masyarakat Adat Di Indonesia

Penulis: Arianto Sangaji

Pengulas: K. Muhammad Hakiki

Membaca buku ini sangatlah menarik dan kita semakin tersadarkan bahwa kajian tentang nilai lokal sangatlah penting. Tradisi lokal (adat) yang pada awalnya kita “pinggirkan” karena dianggap sudah tidak relevan dan ketinggalan zaman ternyata saat ini mengandung nilai-nilai kearifan menarik yang harus digali dan dikembangkan. Terlebih ketika keran reformasi pasca jatuhnya rezim orde baru (Soeharto) tumbang.

Masyarakat di berbagai daerah pasca runtuhnya orde baru 1998 terasa menemukan momentumnya untuk secara terbuka dan lantang mendeklarasikan identitas lokal masing-masing. Nilai-nilai lokal yang pada orde baru “diberengus”—baik dari segi pemaknaan istilah dan tujuan—kini dengan leluasa bisa membongkar “keborokan” hegemoni orde baru dan menyuarakannya dengan ekspresi sekehendak hatinya. Bahkan ada juga sebagian dari mereka yang juga menyuarakannya secara transparan yakni menginginkan formalisasi penerapan adat sebagai identitas di daerahnya masing-masing.

Karena factor ini-lah buku ini hadir dalam rangka menyoroti era kebangkitan adat dalam ranah perpolitikan di Indonesia. Yang menurut saya penting untuk diamati dari buku ini adalah usahanya dalam menimbang apakah era kebangkitan adat akhir-akhir ini dapat memberikan kontribusi konstruktif positif bagi masa depan Indonesia, ataukah sebaliknya, dapat menjadi alat pemesah nilai-nilai nasionalisme dan kebangsaan Indonesia itu sendiri.

Buku yang pada awalnya adalah hasil lokakarya yang di adakan oleh Asia Research Institute (ARI) di Batam pada tanggal 26-27 Maret 2004 ini menyajikan 15 tema penting yang layak untuk dibaca dan dicermati.

Satu di antara 15 tema penting yang menurut saya harus dibaca secara serius terutama oleh mereka yang rajin menyuarakan dan mengkampanyekan pentingnya nilai-nilai lokal atau adat adalah tulisan yang berjudul “Kritik Terhadap Gerakan Masyarakat Adat di Indonesia” yang ditulis oleh Arianto Sangaji seorang akitivis LSM dan akademisi yang cukup mumpuni.

Hadirnya tulisan Sangaji ini menarik karena didalamnya berusaha melakukan elaborasi terhadap berbagai modus usaha “penunggangan” oleh pihak-pihak tertentu—diantaranya para LSM—yang mengambil keuntungan dari beberapa gerakan adat di Indonesia dengan memakai studi kasus di wilayah Sulawesi Tengah.

Yang menambah nilai daya tarik dari tulisan ini adalah sebelum menguraikan tema inti dari studinya, ia mencoba berusaha melakukan pembongkaran terhadap pemaknaan dari istilah “adat” itu sendiri yanhg terkadang dimaknai bias kepetingan.

Polemic Istilah Adat

Menurut Sangaji, kosa kata penyebutan istilah “adat” adalah merupakan usaha tandingan terhadap berbagai sebutan yang merendahkan, seperti; suku terasing, masyarakat terbelakang, perambah hutan, yang digunakan secara resmi oleh pemerintah (Sangaji: 2010:347). Menurut Sangaji pula, bahwa banyak akhir-akhir ini gerakan adat ditunggangi oleh kepentingan kelompok-kelompok tertentu (sepert; LSM, elit politik dan ekonomi) yang menginginkan adanya revitalisasi feodalisme pada tingkat lokal.

Lebih lanjut Sangaji mengatakan bahwa penyebutan istilah adat cenderung merupakan terjemahan dari indigenous people dan atau tribal people. Tema ini menurutnya sebenarnya telah lama menjadi bahan perbincangan di dunia internasional. Salah satu di antaranya adalah ILO, sebuah badan yang menjadi penghubung antar wakil pemerintahan, pengusaha-pengusaha nasional, organisasi-organisasi buruh yang mencoba memperkenalkan isu pentingnya indigenous people dengan salah satu tema perjuangannya memperkerjakan penduduk asli pada tahun 1920-an.

Sangaji menguraikan ciri-ciri atas kelompok yang disebut sebagai indigenous people dengan mengutip uraian Kingsbury (1995:33) yang mengatakan bahwa indigenous people haruslah mempunyai karakteristik; 1). Mengidentifikasi dirinya secara otonom sebagai kelompok suku yang berbeda.2). Pengalaman historis dalam hubungan dengan kerentanan kondisi kehidupan mereka terhadap gangguan, dislokasi, dan eksploitasi. 3). Memiliki hubungan panjang dengan wilayah yang didiaminya. 4).Berkeinginan mempertahankan idiologi yang berbeda.(Sangaji:2010:348).

Untuk kasus Indonesia, pengenalan terkait pentingnya nilai adat ini telah dimulai sekitar 10 tahun yang lalu. Di antara mereka yang berjasa memperkenalkan tema ini adalah sejumlah Ornop (Organisasi Non Pemerintah), salah satu di antaranya adalah yang dilakukan oleh WALHI di Tanah Toraja pada tahun 1993.

Dalam pertemuan itu dirumuskanlah bahwa masyarakat adat adalah sebagai kelompok masyarakat yang mempunyai asal usul secara turun temurun di wilayah geografis tertentu, serta memiliki system nilai, ideology, politik, ekonomi, social budaya dan wilayah sendiri. (Sangaji: 2010: 349). Pada saat itu penyebutan adat tidak atau belum dikenal, penyebutan istilah suku atau masyarakat terasing jauh lebih popular terutama dikalangan elit pemerintah.[1]

Setelah tumbangnya Orde Baru, maka saat ini menurut Sangaji Pemerintah merubah penyebutan yang diskriminatif itu kearah yang lebih netral. Hal itu misalnya terlihat pada Keputusan Presiden No. 111 tahun 1999 dengan menggunakan istilah “Komunitas Adat Terpencil”. Dalam keputusan itu dijelaskan bahwa KAT dimaknai sebagai kelompok social budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik social ekonomi maupun politik.

Definisi yang lebih netral itu pun kemudian diterima oleh beberapa Ornop termasuk dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara. Pada fase kemudian, definisi itu pun kemudian dipermasalahkan karena dianggap terlalu luas dan ideal yang justru bertentangan dengan dunia realitas yang sebenarnya.

Definisi itu dipahami bahwa masyarakat adat adalah komunitas yang berdiri sendiri dan mempunyai kekhasan yang tidak dimiliki oleh yang lain (bersifat ekslusif), dan terisolasi dari pengaruh manapun dan hal ini berresiko akan terjebak pada feodalisme yang kerap kali melekat dalam pola pikir bangsa Indonesia.

Karena alasan itu-lah maka Sangaji mencoba merekonstruksinya dengan mengatakan bahwa masyarakat adat harus berpijak pada realitas empiric proses pertumbuhan dan pembentukan masyarakat adat itu sendiri.

Sulawesi Tengah Sebagai Objek Kajian

Secara demografis penduduk Sulawesi Tengah sangat heterogen baik dilihat dari suku (asli dan pendatang), agama (Islam, Hindu, Budha, Agama suku), kelompok etnik (Kaili, Tomini, Pamona, Lore, Mori, Bungku, Saluan, Balantak, Banggai, Toli-toli, Buol). Bahkan yang uniknya lagi kelompok-kelompok etnik itu juga saling mendominasi satu sama lain.

Adanya perebutan kapling dominasi diwilayah Sulawesi Tengah menurut Sangaji disebabkan karena adanya; silang migrasi penduduk, pengaruh agama samawi terutama pada kasus agama Islam dan Kristen, control politik oleh pemerintah modern dan perebutan pengaruh ekonomi pasar baik lokal, regional maupun internasional.

Pembajakan Isu Masyarakat Adat

Akibat adanya perebutan kapling dominasi yang dilatarbelakangi oleh factor-faktor di atas membuat masyarakat Sulawesi Tengah sadar bahwa mereka semakin terkotak-kotak yang suatu saat nanti justru akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Karena alasan itu-lah mereka sadar bahwa apa yang dilakukan selama ini adalah justru akan menghancurkan identitas lokal atau adat mereka. Karena itu-lah maka berbagai pihak mencoba membangun kembali keutuhan tersebut.

Ditengah menguatnya isu promosi tentang masyarakat adat, ada sebagian dari mereka yang justru mengambil keuntungan dan membajaknya kearah tujuan yang berbeda terutama para elit politik yang justru mengambil keuntungan dengan rancangan proyek pembangunan. Sangaji mencontohkan pada kasus Prof. Dr. Aminuddin Ponulele (Rektor Universitas Tadulako) dan juga Ketua DPD Golkar Sulteng yang diangkat sebagai Kepala Suku Laudje. Maneuver politik ini nampaknya disengaja dilakukan untuk melicinkan jalan bagi Aminudin untuk menjadi Gubernur Sulteng dan kemudian akhirnya terpilih sebagai Gubernur Sulteng.

Pembajakan atas nama masyarakat adat juga terjadi di Sulteng ketika pemilihan kepala daerah. Sentiment identitas di sini nampaknya cukup ampuh untuk memuluskan tujuan politik. Ketika pemilihan Bupati Kabupaten Parigi Mautong (Parimo), seorang tokoh adat Olongian Pepitu Muhammad Al-Amin dari Desa Lombok Kecamatan Tinobo mengancam akan memisahkan diri dari Privinsi Sulawesi Tengah dan akan bergabung dengan Provinsi Gorontalo jika aspirasi mereka untuk mencalonkan empat putra daerah asal Tinombo Tomini Moutong sebagai kandidat bupati tidak didengar oleh DPRD tingkat II setempat.

Di antara kasus contoh di atas terlihat bagaimana oknum-oknum tertentu kerapkali memakai identitas adat demi untuk memuluskan kepentingan politiknya.

Dari hasil penelitian, Sangaji sadar bahwa masyarakat adat Sulawesi Tengah bukanlah entitas yang terisolasi dan tidak pernah berubah, tetapi telah mengalami perubahan sedemikian rupa akibat adanya migrasi penduduk, agama, kepentingan politik, hegemoni ekonomi pasar. Karena itu menurutnya masyarakat adat harus dipahami sebagai entitas yang kompleks dan dinamis.

Berbagai gerakan perjuangan adat yang terjadi di Sulteng adalah sebagai reaksi terhadap pembangunan yang restriktif. Berbagai proyek pembangunan baik yang dimotori oleh pemerintah maupun swasta nasional dan asing yang berbasis sumber daya alam sama sekali tidak bersahabat dengan kelompok masyarakat adat.

Lebih lanjut Sangaji menyoroti bahwa untuk kasus Sulteng gerakan masyarakat adat menghadapi cobaan karena transisi demokrasi yang tidak tuntas. Indikasinya dapat terlihat dari munculnya beberapa bentuk pembajakan terhadap isu masyarakat adat oleh actor-aktor politik dan ekonomi di daerah yang mencoba membangun oligarki gaya baru pasca orde baru.

Dengan alasan itu, maka Sangaji mencoba membenahi tentang pentingnya masa depan gerakan masyarakat adat yang berpangkal pada dua prinsip; pertama, gerakan masyarakat adat harus mempromosikan keadilan, menentang hierarki dan eksploitasi, menjaga jarak dari kepentingan elite, dan mencegah setiap usaha untuk menghidupkan feodalisme, dengan kata lain gerakan masyarakat adat harus menjadi sebuah gerakan dari kelompok yang tertindas. Kedua, gerakan masyarakat adat tidak berkaitan dengan ekslusivisme etnik. Gerakan ini dapat menggunakan identitas etnik sebagai titik tolak, tetapi mengartikulasikannya tidak dalam semangat etnosentrik. Gerakan masyarakat adat pada dasarnya mempromosikan keragaman etnik sebagai kekuatannya. (Sangaji: 2010: 366).**

Makalah sederhana ini pernah dipresentasikan bersama Dr. Abdul Syukur di Program Pascasarjana UIN Bandung 25 Oktober 2010.



[1] Di antara penyebutan itu seperti yang dilakukan oleh Kementerian Sosial yang menyebut masyarakat terasing sebagai kelompok-kelompok masyarakat yang bertempat tinggal atau berkelana ke tempat-tempat yang secara geografis terpencil, terisolasi, dan secara social budaya terasing atau masih terbelakang dibandingkan dengan masyarakat bangsa Indonesia pada umumnya (Setyoko, Upaya Pemerintah Indonesia dalam Pembangunan Masyarakat Terasing, 1998).

1 komentar:

PB mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.