Translate

Selasa, 04 Januari 2011

** Seri Buku I : Kearifan Lokal

Seri: Ulasan Buku I

Judul Buku :

Agama dan Kearifan Lokal Dalam Tantangan Global

Editor:

Irwan Abdullah, Ibnu Mujib, dan M. Iqbal Ahnaf

Penerbit;

Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet. 1 April 2008

Tebal:

457 halaman

Buku yang ada di hadapan kita berisi kumpulan tulisan dari berbagai peneliti yang memfokuskan pada studi ke-lokal-an tepatnya berbagai nilai kearifan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia. Ada 16 tema yang disajikan buku ini, yang dihimpun dalam empat tema besar. Pertama, menguraikan tentang kearifan local dan tantangan global. Kedua, konstruksi makna dalam ritual. Ketiga, survival strategy, marginalisasi dan agama local. Keempat, dinamika Islam dan budaya local.

Berbicara tentang makna kearifan local memang sangat menarik. Tema ini masih menjadi tema yang selalu diperdebatkan hingga saat ini. Sedikitnya ada dua kelompok yang tarik menarik bahkan terkesan bertolak belakang. Kelompok pertama adalah mereka yang khawatir jika studi kearifan local ini justru akan mengancam idiologi, integrasi bangsa dan nasionalisme. Kelompok kedua adalah mereka yang sadar bahwa negeri ini memang secara kultural adalah beragam, multikultur, atau berbineka. Masing-masing identitas local justru mempunyai kearifan local yang harus dimunculkan. Menurut mereka kita harus bangga akan bangsa Indonesia yang memiliki berbagai nilai kearifan local. Dan buku yang ada dihadapan kita ini “Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global” adalah wujudn nyata dari mereka yang merasa terpanggil untuk mencoba menggali dan menghidupkan kebali “barang antic” yang hampir punah itu.

Kehadiran buku ini diharapkan bisa berfungsi sebagai salah satu cara atau pendekatan baru dalam studi agama dengan sudut pandang yang berbeda yakni local wisdom.[1] Diskusi tentang local wisdom memang tema wacana yang dikembangkan oleh para pemikir Pos-kolonial.

Era pos-kolonial merupakan era baru sejarah dimulainya perspektif kearifan local menjadi rujukan para pemerhati social untuk melihat arah dan konteks disiplin keilmuannya, tidak saja dalam bidang agama, politik, ekonomi, konflik, tetapi juga hubungan agama dan Negara yang terus menerus dikonstruksi secara sepihak. [2]

Lebih lanjut Irwan Abdullah mengatakan bahwa Era pos-kolonial merupakan tahapan zaman yang melahirkan konstruksi-konstruksi kognitif tentang bagaimana kebebasan, hilangnya diskriminasi, lahirnya masyarakat toleran, adil, dan menjaga hak-hak sipil menjadi capital social bagi masyarakat.[3]

Kajian tentang kearifan local juga merupakan bagian dari konstruksi budaya. Dalam pandangan John Haba, “kearifan local mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat dikenal, dipercayai, diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi social di antara warga masyarakat”.[4] Karena itu, kearifan local dapat dimanfaatkan sebagai pendekatan dalam memecahkan berbagai konflik yang terjadi. Di antara manfaat dari kearifan local adalah; pertama, sebagai penanda identitas sebuah komunitas. Kedua, elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama dan kepercayaan. Ketiga, kearifan local tidak bersifat memaksa atau dari atas, tetapi sebuah unsur kultural yang ada dan hidup dalam masyarakat. Keempat, kearifan local memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas. Kelima, kearifan local mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dengan meletakkannya di atas common ground atau kebudayaan yang dimiliki. Keenam, kearifan local dapat berfungsi mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebagai sebuah mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang mereduksi, bahkan merusak solideritas komunal yang dipercayai berasal dan tumbuh di atas kesadaran bersama, dari sebuah komunitas terintegrasi.[5]

BAGIAN I

KEARIFAN LOKAL DAN TANTANGAN GLOBAL

Dalam bagian ini ada empat tema yang disajikan; 1). Kearifan Loka Kosmologi Kejawen; Studi Poskolonial Pandangan Kosmologi Romo Yoso dan Implikasinya Bagi Warga Tutup Ngisor, Magelang karya Muhammad Baidhowi. 2). Mengenal Kearifan Lokal di Klepu-Ponorogo; Praktik Hubungan Sosial Lintas Agama dan Mekanisme Pencegahan Konflik karya Marwan Sholahuddin. 3). Pluralisme di Tengah Masyarakat Santri Malang; Sebuah Potret Pluralitas Lokal di Sumatera Barat karya Wenda Fitri. 4). Pasag Merapi; Kebijakan Lokal Pengelolaan Bencana, Pola Penanganan Darurat Letusan Merapi 2006 karya Ikhsan Ghozali.

Melihat dari sudut pandang tema-tema yang disajikan dalam bagian pertama ini, para penulisnya ingin membuktikan bahwa berbagai kearifan local tersebut ternyata pada kenyataannya masih tetap eksis meskipun ditengah gempuran zaman global. Bahkan tradisi local tersebut dapat mampu menjadi solusi ditengah arus modernisasi.

Dalam kasus Romo Yoso sebagai seorang tokoh lokal yang bijak misalnya, bagaimana pandangan kosmologinya meskipun sederhana dapat di gugu dan dipraktekkan oleh masyarakat sekitar Tutup Ngisor-Magelang. Bagi masyarakat Ngisor, pandangan Romo dijadikan acuan dalam memelihara hubungan social, politis, maupun hubungan ekologis dengan alam raya. Dengan pendekatan teori hermeneutika postcolonial yakni teori liminitasl,[6] sedikitnya menurut Muhammad Baedhowi bahwa pandangan Romo Yoso bermanfaat setidaknya dalam beberapa hal; pertama, dalam pemikiran tradisional jawa, antara masyarakat dan lingkungan alam ternyata senantiasa ada rasa saling ketergantungan di mana keselarasan di antara manusia juga terdapat keselarasan terhadap lingkungan. Kedua, dalam suasana ketergantungan tersebut mengharuskan sebuah masyarakat (Tutup Ngisor) untuk bersikap tidak menguasai, tetapi bersikap lebih menyesuaikan terhadap lingkungan alam sehingga mereka menjadi arif dan ramah lingkungan. Ketiga, dalam kepercayaan kejawen-nya, masyarakat Tutup Ngisor dapat mengimplementasikan melalui sarana kesenian untuk memperkuat pandangan kosmologisnya. Pandangan tersebut menjadikan kehidupan mereka lebih luwes, toleran dan akomodatif namun tidak oportunistis dalam berbagai praktek kehidupan.[7]

Respon yang sama pun diperlihatkan oleh masyarakat Klepu-Ponorogo dalam makalahnya saudara Marwan salahuddin berjudul “Mengenal Kearifan Lokal di Klepu-Ponorogo; Praktik Hubungan Sosial Lintas Agama dan Mekanisme Pencegahan Konflik”.

Dengan pendekatan teorinya Ashutosh Varshney,[8] Marwan Salahuddin menemukan bahwa meskipun masyarakat Klepu-Ponorogo sangat heterogen, di dalamnya masih banyak penganut aliran kebatinan yang masih memperaktekkan berbagai tardisi leluhur, ada banyak ditemui heterogenitas agama (islam, Kristen, Katolik, Hindu), bahkan mereka juga terkadang melakukan kawin campuran. Akan tetapi kehidupan mereka tetap rukun. Apa yang terjadi?. Berdasarkan penelitian Marwan Sholahuddin ditemukan bahwa masyarakat Klepu meskipun di dalamnya heterogen, akan tetapi tetap memegang teguh prinsip persaudaraan dan kekeluargaan antarwarga. Nilai solideritas warga tersebut dapat dilihat saat mereka melakukan aktivitas-aktivitas bersama, seperti acara selametan, kunjungan hari raya (idul fitri dan idul adha), gotong royong bersih desa, peringatan HUT kemerdekaan RI,

Untuk membina harmonisasi warga, masyarakat Klepu menggunakan beberapa cara; pertama, mengintensifkan pertemuan-pertemuan yang melibatkan berbagai pihak sehingga dapat menimbulkan kesadaran pentingnya saling hormat menghormati antar pemeluk agama. Dari situ-lah maka banyak melahirkan kesepakatan-kesepakatan demi menjaga keharmonian warga. Kedua, kebersamaan warga masyarakat dalam bentuk saling berkunjung kepada sesame warga dalam bentuk perayaan hari raya idul fitri, idul adha, natal, selametan leluhur, saling membantu jika ada warga yang terkena musibah, hajatan, dan acara-acara lainnya yang melibatkan banyak warga. Ketiga, menjunjung tinggi tradisi leluhur tanah jawa secara bersama-sama dalam bentuk pelestarian tradisi slametan . keempat, pernikahan antar agama yang dilakukan oleh para warga.

Buah dari kerukunan itu melahirkan kehidupan masyarakat Klepu sejahtera, harmonis, bahagia, interaksi antar warga semakin lancer, segala kesulitan cepat terselesaikan.

Di antara tema lain bagaimana tradisi local dapat merespon tantangan golab adalah respon masyarakat Minang terhadap tema-tema global dalam hal ini tentang gagasan pluralism. Meskipun MUI secara jelas mengharamkan gagasan pluralism agama akan tetapi respon yang terjadi di masyarakat sangatlah berbeda menyikapi adanya perbedaan, baik idu identitas maupun paham keagamaan.

Dalam kasusus masyarakat Minang misalnya sedikitnya ada tiga kelompok masyarakat yang berbeda di dalam menyikapi adanya keragaman terutama keragaman paham keagamaan. Kelompok pertama adalah mereka yang menolak. Kelompok kedua adalah mereka yang menerima adanya keragaman. Kelompok ketiga adalah mereka yang mempunyai pandangan yang tidak jelas (menerima atau menolak). Meskipun pendapat masing-masing kelompok tersebut berbeda bahkan bertolak belakang, akan tetapi ketiganya tetap hidup rukun. Hal ini disebabkan karena prinsip masyarakat Minang sendiri sebagaimana hasil temuannya Sanday bahwa masyarakat Minang meyakini bahwa Islam itu adalah agama sekaligus budaya.[9] Masyarakat Minang juga dikenal sebagai masyarakat yang egaliter.

BAGIAN II

KONSTRUKSI MAKNA DALAM RITUA

Dalam bagian ini ada empat tema yang disajikan; 1). Keberagamaan Masyarakat Ujung Bone; Sebuah Ritual “Addewatang Putta Sereng” di Sulawesi Selatan karya Muhammad Rais Amin. 2). Konstruksi Makna Budaya ‘Macanan” di Adipala Cilacap karya Agus Sutiyono. 3). Memaknai Tradisi Berkat Mauludan di Krajen Purweredjo karya Muhammad Arwani. 4). Barongsai Muslim; Keterlibatan Orang Islam dalam Ritus Agama Khonghucu di Surabaya karya Wawan Djunaedi.

Dalam kasus keberagamaan masyarakat Bone yang mempreaktekkan pemujaan Addewatang Putta Sereng yang ditulis oleh Muhamad Rais Amin yang pada awalnya hanyalah sebuah tempat peninggalam orang terdahulu kemudian dianggap bernilai sacral dan mistis. Karena itu masyarakat bone melakukan berbagai ritual ditempat itu dengan maksud-maksud tertentu. Ritual itu sampai saat ini masih dipertahankan meskipun masyarakat Bone sudah beragama Islam.

Yang menariknya lagi, ritual yang sudah dilakukan secara turun temurun semenjak pra-Islam kemudian setelah mereka menyatakan diri masuk Islam, ritual itu pun kemudian dikonstruksi dengan ritual dan nilai-nilai Islam agar sesuai dengan apa yang diajarkan Islam. Ritual yang pada awalnya adalah berbentuk penyembahan kemudian saat ini mengalami perubahan esensi. Dari sini terlihat bahwa Islam telah menjadi bagian integral dan esensial dari adat istiadat dan budaya masyarakat setempat.[10] Apa yang dilakukan masyarakat Bone adalah usaha konstruksi social imaginasi masyarakat setempat terhadap melalui symbol-simbol dalam memahami sesuatu kekuatan yang berada di luar dirinya.[11]

Masyarakat bone meyakini bahwa dengan menjalankan ritual tersebut, masyarakat akan mendapatkan beberapa manfaat; pertama, berfungsi latent (terembunyi) misalnya mendapatkan keselamatan. Kedua, berfungsi manifest (Nampak) misalnya dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Ketiga, menguatkan jaringan social keagamaan. Keempat, secara psikologis dapat meningkatkan keyakinan diri dengan adanya pelindung kehidupan mereka sehari-hari.

Tema kajian yang kedua bagaimana masyarakat mengkonstruksi makna adalah apa yang dilakukan oleh masyarakat Adipala Cilacap terhadap ritual “Macanan”.[12] Dengan teorinya Giddens yang mengatakan bahwa ‘Agama jika dipahami secara lebih lanjut merupakan seperangkat symbol yang bisa membangkitkan perasaan takzim dan khidmat.” Teori ini menurut Agus Sutiyono mendapatkan pembenarannya pada apa yang dilakukan oleh Masyarakat Adipala Cilacap terhadap ritual budaya “Macanan”.

Ritual macanan yang dilakukan oleh Masyarakat Adipala Cilacap ini dilakukan secara turun temurun dengan harapan seluruh anak cuku dan masyarakat yang berada di wilayah Cilacap mendapatkan keselamatan, kesejahteraan, keberkahan serta diberikan kemudahan segala urusan.

Dari fenomena ini terlihat bagaimana masyarakat Cilacap mengkonstruksi ritual macanan ini berdampak positif bagi kelangsungan hidup masyarakat Cilacap. Agus Sutiyono dengan memakai teorinya Turner yakni “Prosesual simbolik”[13] menemukan bahwa symbol-simbol ritual “macanan” dapat menggerakan tindakan social karena masyarakat dengan melalui symbol tersebut dapat memetik mancaat untuk kelangsungan hidup mereka.

Konstruksi Negara atas agama local yang dinilai sepihak akan diprediksi menciptakan dinamika politik diberbagai tingkat, termasuk tarik menarik soal kebijakan antara Negara dengan rakyatnya. Cara semacam ini akan melahirkan kebijakan dengan model top down, dimana konstruksi Negara selalu melibatkan pendekatan kuasa dan atas nama kuasa pula yang seringkali membangkitkan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif dan bahkan memunculkan konflik.[14] Munculnya konflik itu disebabkan elit penguasa memberikan makna secara sepihak terhadap ritualitas agama yang dipraktekkan oleh masyarakat local.

Konstuksi manusia atas berbagai ritual juga terjadi pada tradisi Mauludan di Krajen Purwerejo. Arwani sebagai peneliti tradisi Mauludan ini memakai teori tanda-nya George Herbert Mead[15] mengatakan bahwa tradisi mauludan tersebut mempunyai beraneka ragam makna bagi masyarakat Purwerejo.

Berdasarkan teori klasifikasi kebutuhan yang ditemukan oleh Maslow,[16] masyarakat Purwerejo melakukan tradisi mauludan ini disebabkan adanya lima aspek motivasi. Pertama, motivasi yang muncul dari pengaruh pemahaman dan keyakinan terhadap agama. Kedua, motivasi yang disebabkan oleh adanya proses interaksi social. Ketiga, motivasi yang dilandasi oleh factor kebudayaan. Keempat, motivasi yang dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, kelima, motivasi yang berorientasi pada kekuasaan.

BAGIAN III

SURVIVAL STRATEGY, MARGINALISASI DAN AGAMA LOKAL

Ada empat tema yang disajikan dalam bagian ini; 1). Agama Tolotang di Tengah Dinamika-Politik Indonesia: Konstruksi Negara Atas Komunitas Tolotang di Sulawesi Selatan” karya Hasse J. 2). Kelangsungan Hidup Masyarakat Marginal; Potret Perempuan Pedagang Sayur Keliling di Tulungagung karya Nur Aini Latifah. 3). Etika Subsisten orang-orang Pinggiran; Tukang Ojek Anak-anak Sekolah di Perum Trangkil, Semarang karya Rosichin Mansur. 4). Bisu Gaul; Re-invensi Budaya Kelompok Bissu di Kabupaten Wojo Sulawesi Selatan karya Andi Muhammad Yauri.

Dalam ulasan buku yang singkat dan sederhana ini, saya tertarik mencoba mengelaborasi salah satu yakni “Agama Tolotang di Tengah Dinamika-Politik Indonesia: Konstruksi Negara Atas Komunitas Tolotang di Sulawesi Selatan” karya Hasse J.

Saudara Hasse J menstudi tentang ‘Eksistensi Agama Tolotang” ini dilatarbelakangi oleh adanya kebijakan Undang-undang Negara Indonesia terkait dengan keberadaan agama yang diakui secara resmi oleh Negara. Dalam UU No.1/PNPS/ 1965 dijelaskan bahwa hanya ada enam agama yang diakui oleh Negara, yakni; Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu.[17] Lebih parah dari itu, Negara Indonesia mengatur syarat-syarat sebuah normative sebuah agama. Pertama, bersumber dari garis monoteistik. Kedua, mempunyai kitab suci. Ketiga, memiliki nabi. Keempat, mempunyai pengikut dan komunitas. Dari aturan ini, maka dapat disimpulkan bahwa sebuah ajaran—termasuk ajaran agama local—jika tidak memenuhi empat syarat di atas, maka sampai kapan pun tidak akan diakui eksistensinya sebagai agama-termasuk di dalamnya ‘Agama Tolotang”.

Dengan memakai teorinya Email Durkheim yang mendefinisikan agama secara lebih komprehensif. Duekheim mengatakan bahwa agama tidak lain merupakan system keyakinan dan praktik terhadap hal-hal yang sacral, yakni keyakinan dan praktik yang membentuk suatu moral komunitas pemeluknya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa agama berfungsi sebagai perekat kohesi social antara satu sama lain yang mengintegrasikan manusia ke dalam satu ikatan moral yang kolektif. Manusia berada pada posisi pasif yang di atur berdasarkan system moral yang menjadikannya sebagai bagian yang terintegrasi dalam mekanisme kelembagaan masyarakat.[18] Hamper sama dengan Durkheim, Anthony Giddens, mengatakan bahwa agama sebagai seperangkat symbol yang membangkitkan perasaan takzim dan khidmat, serta terkait dengan praktek ritual maupun upaca yang dilaksanakan oleh komunitas pemeluknya.[19]

Dengan memakai teori itu selayaknya eksistensi Agama Tolotang tidak mengalami diskriminasi dengan mendapatkan klaim-klaim sesat atau lainnya. Karena bagia masyarakat Sulawesi Selatan, Agama Tolotong adalah warisan para leluhur yang harus dipelihara. Dengan adanya seperangkat aturan pemerintah terkait dengan agama, syarat agama, maka keberadaan eksistensi dan keutuhan agama Tolotong dalam kondisi terancam.[20]

Untuk menghindari kepunaha, berdasarkan penemuan Hasse J, agama Tolotong melakukan berbagai cara; pertama, berafiliasi ke dalam salah satu agama resmi—dalam hal ini agama Hindu. Kedua, bergabung ke dalam salah satu partai politik. Ketiga, menghindari konfrontasi dan pernikahan beda keyakinan. Keempat, merubah berbagai strategi dari waktu ke waktu.[21]

Nasib yang sama pun di alami oleh komunitas Bissu Gaul di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan. Eksistensi Bissu Gaul yang pada awalnya begitu mulai sebagai pihak perantara antara manusia dan Tuhannya, kini hanya sebagai pelengkap saja dalam berbagai rutus keagamaan di Wajo. Bahkan pihak pemerintah memposisikan keberadaan Bissu Gaul sebagai bagian dari asset pariwisata yang mendatangkan nilai ekonomis tinggi.

BAGIAN IV

DINAMIKA ISLAM DAN BUDAYA LOKAL

Tema yang disajikan dalam bagian ini; 1). Implementasi Syari’at Islam di Banten karya Muhammad Subkhan. 2). Prilaku Anak Muda Kota Langsa Aceh dalam Bayang-bayang Syari’at karya Syamsul Rizal. 3). Mencairnya Batas Komunikasi Sosial-Keagamaan Elit NU-Muhammadiyah di Metro Lampung karya Nasir. 4). Tradisi Menghafal Al-Qur’an di Masyarakat Benda, Berebes Jawa Tengah karya Mutammam.

Di antara tema yang menarik dalam bagian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Syamsul Rizam tentang prilaku anak muda kota Langsa Aceh menyikapi perda syariat Islam. Dengan memakai teorinya Max Weber yang membagi dominasi terhadap tiga bagian; pertama, dominasi tradisional yang berdasrkan pada legitimasi karena ciri sakralitas tradisi yang melekat kepadanya. Kedua, dominasi kharismatik yang merupakan dominasi suatu personalitas tertentu dan dikarunia aura khusus. Ketiga, dominasi legal rasional yang bertumpu pada kekuatan hokum formal dan impersonal. Dominasi rasional berlangsung melalui kepatuhan terhadap sebuah kitab suci.[22]

Berdasarkan teori Max Weber di atas dan membandingkannya dengan fenomena di masyarakat Langsa, Syamsul Rizal menemukan bahwa bentuk dominasi syari’at yang dipraktekkan di Kota Langsa Aceh justru menimbulkan problem dilematis yaitu; di satu memberikan keamanan bagi anak muda khsusnya dari perbuatan keji dan munkar. Tapi di sisi lain dengan cara yang dominative secara tidak langsung syari’at telah melakukan pemaksaan yang serius terhadap prilaku anak muda secara umum. Bahkan menurutnya secara lebih fulgar anak muda di kota Langsa telah melakukan protes social terhadap dominasi Negara atas hak-hak sipil anak muda.

Pemakalah: K Muhammad Hakiki

Tulisan sederhana ini pernah dipresentasikan di Program Pascasarjana UIN Bandung



[1] Irwan Abdullah, Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hlm. 9

[2] Ibid., hlm. 2

[3] Ibid., hlm. 2

[4] John Haba, Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso, Jakarta: ICIP dan Eropean Commision, 2007. Hlm. 11. Atau lihat Irwan Abdullah (ed), Kearifan Lokal……, hlm. 7.

[5] Haba, Ibid., 2007, hlm. 334-335. Atau Irwan Abdullah (ed), Ibid., 8.

[6] Teori ini berusaha mencari ketepatan mendayagunakan jati diri di antara ruang antar budaya (dua kutub budaya yang beroposisi secara biner) yang secara evolutif mengalami perubahan sehingga kedirian personal maupun komunal dapat didayagunakan dan dikembangkan. (Bill Aschroff, Key Concept in Postkolonial Studies, London and New York: Routledge, 1998, hlm. 130.)

[7] Muhammad Baedhawi, Kearifan Loka Kosmologi Kejawen; Studi Poskolonial Pandangan Kosmologi Romo Yoso dan Implikasinya Bagi Warga Tutup Ngisor, Magelang, dalam Irwan Abdullah (ed), Ibid., hlm. 43-44.

[8] Dalam teorinya dikatakan bahwa perdamaian antara dua komunitas yang berbeda akan tercipta bila dilakukan ikatan kerjasama dalam bentuk hubungan kemanusiaan yang teratur. Menurutnya, ikatan kerjasama itu dapat diwujudkan dalam dua bentuk; pertama, bentuk hubungan asosiasi., kedua, bentuk hubungan kegiatan hidup sehari-hari. Bentuk asosiasi bisa lebih baik jika dapat diikat oleh organisasi tertentu. Adapun hubungan kerjasama dapat dibentuk dengan dua macam; pertama, meningkatkan komunikasi antaranggota masyarakat yang berbeda agama. Kedua, membentuk kerjasama dalam bidang ekonomi dan budaya sesuai dengan kebutuhan masyarakat kedua belah pihak. (Varshney, Ethnic Conflict and Civic Life, Hindus and Muslims in India, London: Yale University Press, t.th, hlm. 9.

[9] Sanday mengatakan bahwa Islam di Minangkabau adalah agama sekaligus budaya. Paham ini yang menjadikan Islam minang berbeda dengan komunitas Islam lainnya di Indonesia. (dalam Irwan Abdullah, Kearifan Lokal………., hlm. 76).

[10] Christian Pelras, Manusia Bugis, Jakarta: Nalar bekerjasama dengan Forum Jakarta-Paris, EFEQ, 2006, hlm. 4

[11] V Turner, Dramas, Fields, and Metaphors, Ithaca: Cornell University Press, 1976, hlm. 19

[12] Ritual macanan adalah sejenis ritual yang dimaknai sebagai perjalanan napak tilas untuk mengenang seorang yang diyakini pertama kali babad wilayah Cilacap. Nama rlain dari ritual ini adalah “ritual pengabul do’a”.

[13] Irwan Abdullah, Simbol, Makna, dan Pandangan Hidup Jawa; Analisi Gunungan Pada Upacara Grebeg, Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2002, hlm. 13.

[14] Irwan Abdullah (ed), Kearifan Lokal……., hlm. 2

[15] George Herbert Mead menemukan bahwa sebuah tanda itu ada dua macam; pertama, tanda yang bernilai alamiah (natural sign). Tanda ini biasanya bersifat naluriah serta menimbulkan reaksi yang sama bagi setiap orang , dan tanda yang mengandung makna (significant Symbols). Tanda ini biasanya menimbulkan makna yang berbeda bagi setiap orang.

[16] Menurut Maslow ada lima hirarki kebutuhan manusia dalam melakukan sesuatu; 1). Physiological needs. 2). Belongingness and love needs. 3). Safety meeds. 4). Self actualization. 5). Esteem meeds. (Lester Lefton dan Laura Valvatne, Mastering Psychology, Boston: Allyn and Bacon, 1988, hlm. 168.

[17] Dalam surat edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 tahun 1973 pemerintah tidak menyebut lagi agama Khonghucu sebagai agama resmi di Indonesia.

[18] Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, New York: The Free Press, 1926, hlm. 251.

[19] Anthony Giddens, Sociology, Cambridge: Polity Press, 1989, hlm. 452.

[20] Agama Tolotong berdasarkan ritualnya, Negara memesukan atau meng-afiliasi-kan agama tolotong ke dalam agama Hindu.

[21] Irwan Abdullah (ed), Kearifan Lokal….., hlm. 256.

[22] Giddens, Sociology….., hlm. 38.

Tidak ada komentar: