Translate

Kamis, 06 Januari 2011

** Nabi dan Misi Pembebasan Kaum Perempuan

Nabi Dan Misi Pembebasan Kaum Perempuan

Oleh:

K. Muhammad Hakiki

Peneliti LP3M, Universitas Mathla’ul Anwar, Banten

Artikel ini di tulis ketika saya membaca beberapa karya para orientalis kawakan diantaranya Sir William Muir dalam bukunya “Life of Mohammad”, Emile Dermenghem dalam bukunya “La Vie de Mahomet”, Washington Irving dalam bukunya “Life of Mahomed”, Hensi Lammens dalam “L'Islam” yang mencoba melakukan penelusuran sejarah Nabi (baca; Muhammad) sampai pada hal yang sangat pribadi sekali pun dalam hal ini tentang prilaku pernikahan nabi.

Bagi beberapa kaum orientalis, prilaku pernikahan nabi dalam hal ini poligaminya Nabi dianggap sebagai hal yang sangat nista dan licik. Nabi Muhammad dianggap Nabi yang haus sex, licik, karena ia telah melarang kaum-nya untuk menikah tidak lebih dari empat dalam waktu bersamaan akan tetapi ia sendiri malah sampai sembilan, bukankah hal ini adalah salah satu bentuk kecurangan dan pembohongan. Menurut mereka, Nabi Muhammad telah menjadi orang yang dibuai syahwat, air liurnya mengalir bila melihat wanita. Itulah di antara beberapa komentar para kaum orientalis terhadap Nabi Muhammad saw.

Dalam artikel kali ini, penulis akan mencoba menelusuri sejarah model pernikahan zaman pra-Islam, sekaligus penelusuran di balik pernikahan nabi dengan beberapa perempuan Arab pada waktu itu. Langkah ini untuk membuktikan apakah klaim-klaim yang "disarangkan" oleh kalangan orientalis itu benar atau sebaliknya, salah.

Jika kita membaca sejarah kehidupan masyarakat Arab pra-Islam, banyak tata cara perkawinan pada waktu itu menjadikan posisi perempuan sebagai pihak yang tertindas, makhluk pemuas nafsu kaum laki-laki. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa model perkawinan yang dipraktekkam pada masa pra-Islam, diantaranya:

Pertama, Model perkawinan Istibdha’ (jima), yakni suatu model perkawinan dimana seorang suami meminta istrinya melayani seorang laki-laki lain yang terkenal dengan kemuliaan, kecerdasan, demi untuk mengharapkan keturunan yang seperi itu. Pada saat itu, sang suami yang sah tidak boleh menggauli istrinya sampai telah jelas bahwa istrinya sedang dalam kondisi hamil. Tujuan model perkawinan ini adalah agar pasangan suami istri itu mempunyai keturunan yang sesuai dengan kualitas laki-laki yang dipilih untuk menggauli istrinya itu.

Kedua, Model perkawinan al-Maghtu (kebencian), yakni perkawinan dimana seorang anak laki-laki mengawini istri bapak kandungnya atau ibu tirinya setelah bapaknya meninggal. Jika sang anak tersebut menginginkan istri bapaknya yang sudah meninggal, maka ibu tirinya tersebut tidak boleh menolak keinginan anak tirinya. Apabila anak tirinya masih dalam usia belia, maka pihak keluarganya membolehkan untuk menawan ibu tiri tersebut sampai anak tersebut berusia dewasa.

Ketiga, Model perkawinan al-Rahthun (poliandri), yakni model perkawinan dimana beberapa orang laki-laki menggauli seorang perempuan. Seteleh perempuannya hamil dan melahirkan, maka ia mengumpulkan semua laki-laki yang pernah menggaulinya dan memilih salah satunya untuk menjadi bapak yang sah dari anaknya.

Keempat, Model perkawinan al-Syighar (tukar menukar), yakni model perkawinan dimana seorang laki-laki mengawinkan anak perempuan atau saudara perempuannya tanpa mahar. Dalam model perkawinan seperti ini telah dijelaskan oleh nabi bahwa seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain; kawinkan saya dengan anakmu dan aku akan kawinkan kamu dengan anakku. Dan nabi mengatakan bahwa perkawinan seperti ini dilarang.

Model perkawinan badal (tukar menukar istri), perkewinan seperti ini dilakukan pada zaman pra Islam dimana dua orang suami telah sepakat untuk saling menukar istri tanpa ada perceraian. Tujuan model perkawinan seperti ini bertujuan melepaskan libido atau kebosanan. Dan jenis hubungan seperti ini sampai saat ini masih marak di praktekkan, khususnya dikalangan perkotaan.

Kelima, Model perkawinan baghaya (perempuan tuna susila), dalam hal ini sekelompok laki-laki secara bergantian menggauli sorang perempuan pelacur. Jika kemudian pelacur itu melahirkan seorang anak, kelompok laki-laki itu pun mendatanginya, dan pelacur tersebut memilih laki-laki tersebut menjadi ayahnya sesuai dengan kemiripan anaknya.

Keenam, Model perkawinan khadan (berpacaran), sebuah model perkawinan dimana antara seorang laki-laki dan perempuan berkumpul layaknya seperti suami istri tanpa ada pernikahan yag sah (kumpul kebo).

Ketujuh, Model perkawinan al-Irits (warisan), model seperti ini dimuali ketika meninggalnya seorang suami yang tidak memiliki keturunan, dan sang istri diwariskan kepada kerabat terdekatnya.

Berbagai model perkawinan ini kemudian dikoreksi nabi dengan melakukan perkawinan yang dapat mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan, baik dari segi hukum, sosial dan kesopansantunan.

Akan tetapi sayangnya peraktek pernikahan yang dilakukan oleh Nabi dengan beberapa perempuan kemudian di salah pahami. Padahal praktek poligami Nabi dilakukan dengan beberapa alasasan. Ada beberapa faktor mengapa Nabi berpoligami pada sat itu;

Pertama adalah sebagai sarana pendidikan. Allah swt menurunkan Al-qur’an ke bumi masih dalam bentuk gelobal meskipun ada diantaranya yang sudah terperinci seperti dalam permasalahan warisan. Disinilah Posisi nabi sebagai penyampai risalah Tuhan sekaligus juga pentafsir awal ayat-ayat Tuhan yang masih global, penjelasan nabi tersebut kemudian disebut dengan hadits yeng terbagi ke dalam hadits qauliyah (ucapan), fi’liyah (perbuatan), dan taqririyah (ketetapan).

Penjelasan Nabi berupa hadits tersebut kemudian dijadikan sebagai ketetapan hukum kedua setelah Al-qur’an yang harus diinformasikan kepada umat. Atas dasar itu-lah kemudian Nabi melakukan poligami dalam rangka mencetak para ibu yang bisa manyampaikan penjelasan kepada kaum perempuan pada waktu itu, terutama hukum yang berkaitan dengan masalah perempuan seperti hubungan suami istri, haidh dan lain sebagainya. Keputusan untuk mempunyai banyak istri pada waktu itu disadari oleh Nabi karena karakter Nabi yang pemalu dan juga biasanya kalangan perempuan merasa malu untuk menanyakan langsung kepada Nabi. Dan disinilah posisi istri-istri Nabi menjadi peran sebagai juru dakwah.

Faktor kedua adalah sebagai usaha koreksi terhadap tradisi jahiliyah. Pada masa pra-Islam, teradisi berpoligami tidak ada batasnya dan cenderung melakukan marjinalisasi terhadap kaum perempuan. Bahkan pada masa itu, kedudukan perempuan sangat tidak manusia, kelahiran seorang perempuan dianggap sebagai aib bagi masyarakat sehingga banyak anak-anak perempuan yang harus dikubur hidu-hidup. Kaum perempuan hanya dijadikan sebagai objek nafsu belaka seperti yang terlihat dalam beberapa model perkawinan di atas.

Faktor ketiga yang menjadikan Nabi berpoligami adalah demi untuk kepentingan politik sebagai dakwah Islam dan mempererat tali persaudaraan. Langkah ini dilakukan oleh nabi dengan memperistri anak dari Abu Bakar yakni Aisyah dan Hafsah yang merupakan anak dari Umar.

Menarik untuk menyoroti pernikahan Nabi dengan Aisyah. Saat itu Aisyah masih sangat belia, dan rupanya, pernikahan itu menurut riwayat langsung atas petunjuk Tuhan sendiri. Dalam petunjuk itu, Aisyah akan menjadi seorang penceritra ucapan-ucapan Nabi setelah Nabi meninggal dan Aisyah pun mendapatkan jaminan umur panjang.

Bukti lain bagaimana poligami Nabi bernuansa politik dalam rangka mengembangkan sayap dakwah Islam adalah dengan memperistri Juwairiyah binti al-Harits yang merupakan putri dari pemimpin Bani Musthaliq, Syafiyah Binti Hayyi bin Akhtab putri dari pemimpin kabilah Bani Quraizhah, serta Ummu Habibah Ramlah binti Abi Sufyan bin Harb putrid seorang pemimpin Quraisy.

Dengan memperistri para petinggi Arab pada waktu itu diharapkan dakwah Nabi akan lebih mudah dan tidak lagi mendapat tekanan keras. Dan hal itu memang terbukti, banyak di antara para pengikut kabilah tersebut yang kemudian masuk Islam.

Tidak hanya itu, jika kita melihat dari segi usia istri-istri Nabi hanya satu orang yang berusi muda yakni Aisyah sedangkan istri-istri Nabi yang lainnya relatif sudah tak muda lagi dan sudah mempunyai anak seperti Umu Salama bt. Abi Umayya bin'l-Mughira, Sauda bint Zam'a, Hafsha, Zainab bt. Khuzaima, Zainab bt. Jahsy, Khadijah. Dan yang lebih penting, ketika Nabi melakukan poligami, saat itu ia telah berusi lebih dari lima puluh tahun. Jadi sangat tidak mungkin dan logis jika motif Nabi melakukan poligami adalah semata-mata karena faktor sexsual seperti apa yang dituduhkan kalangan orientalis di atas. Wallahu a’lam.

Artikel ini pernah di muat dalam surat kabar Fajar Banten, 14 Mei 2007

Tidak ada komentar: