Translate

Kamis, 06 Januari 2011

** Perempuan Dalam Belenggu Ketidakadilan

Perempuan Dalam Belenggu Ketidakadilan ;

Membincangkan Posisi Perempuan Dalam Teks Dan Konteks ke Indonesiaan[1]

By. K. Muhammad Hakiki[2]

Pendahuluan

Kajian atas wacana keperempuanan masih tetap ramai di perbincangkan bahkan semakin memanas terlebih setelah munculnya wacana diseputar perdebatan tentang poligami baru-baru ini-meskipun sebenarnya perdebatan ini adalah tema klasik.[3] Akan tetapi, kondisi ini akan tetap terjadi selagi kondisi di masyarakat masih tetap menampakan ketimpangan peranan antara perempuan dan laki-laki.

Munculnya berbagai ketimpangan dan perlakukan tidak adil terhadap perempuan menurut Quraish Shihab ditengarai oleh bias penafsiran atas ajaran-ajaran agama.[4] Para pelaku penafsir agama kerapkali melakukan pendustaan dan penyelewengan penafsiran dengan tak adil. Mereka menganggap bahwa tugas dan hasil penafsiran mereka adalah sesuatu yang sakral karena mereka merasa sebagai penyambung “lidah” Tuhan. Apabila ucapan Tuhan adalah suci, benar dan sakral maka ucapan kalangan elite agama adalah sesuatu hal yang sama pula.

Kondisi ini kian menjadi ketika ucapan mereka “ditularkan” kepada masyarakat awam. Kalangan elite agama-dalam menularkan virus penafsiran yang kerapkali di bumbui dengan perkataan “apabila menolak ucapan kami maka anda sama dengan menolak kebenaran Tuhan, karena kamilah sesungguhnya yang paling berhak “menterjemahkan” sabda Tuhan”.

Kondisi masyarakat yang tak tahu menahu membuat mereka dengan seratus persen manut akan ucapan kalangan elite agama. Dan kondisi ini kemudian dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian lambat laun mengkristal menjadi tradisi dan budaya di masyarakat luas.

Dalam berbagai literatur Islam klasik, baik itu kitab tafsir, kitab hadits, dan kitab fikih, banyak sekali ditemukan ungkapan-ungkapan yang memposisikan pihak perempuan selalu dalam kelompok termarjinal dibandingkan pihak laki-laki. Hal ini disebabkan mereka cenderung menafsirkan teks-teks Alqur’an dan hadits secara tekstual, sehingga dengan begitu, produksi hukum pun akan menghasilkan bentuk marjinalisasi terhadap perempuan. Padahal, kalau kita kaji secara mendalam, hal seperti itu tidak pernah diajarkan oleh Islam. Karena dasar ajaran Islam adalah moral, keadilan dan kemanusiaan, serta tidak pernah membedakan laki-laki dan perempuan terutama dari segi kemampuan; baik itu amaliyah maupun aqliyah.

Posisi Perempuan dalam teks

Dalam penulisan kitab tafsir, misalnya, selalu didominasi oleh pihak laki-laki. Pihak perempuan dianggap mempunyai kualifikasi setengah akal dari laki-laki, sehingga perempuan dianggap tak layak untuk menafsirkan Alqur’an. Kondisi ini kemudian menghasilkan produk penafsirannya yang selalu memenangkan pihak laki-laki dan merendahkan pihak perempuan. Dalam ayat-ayat yang berkaitan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan misalkan surat al-Nisa: 34, surat al-Baqarah: 282 tentang kesaksian, tentang pembagian harta warisan, produk penafsiran yang muncul adalah selalu pihak perempuan diperlakukan sebagai pihak kelas kedua yang berada di bawah laki-laki.

Atau misalnya tentang ayat poligami (an-Nisaa: 3)-yang akhir-akhir ini kembali diperdebatkan-yang kemudian dijadikan sebagai absahnya prilaku poligami dilakukan dimasyarakat tanpa syarat yang ketat. Bahkan yang lebih parah lagi prilaku poligami Nabi kemudian dibumbui oleh anggapan sebagai sunnah yang kemudian harus diikuti. Padahal sebenarnya kalau kita melihat ayat poligami tersebut mensyaratkan keadilan yang sangat sulit untuk dipraktekkan bahkan bisa dikatakan mustahil.

Prilaku poligami Nabi sebenarnya banyak disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya;[5] Pertama adalah sebagai sarana pendidikan. Allah swt menurunkan Al-qur’an ke bumi masih dalam bentuk gelobal meskipun ada diantaranya yang sudah terperinci seperti dalam permasalahan warisan. Disinilah Posisi Nabi sebagai penyampai risalah Tuhan sekaligus juga pentafsir awal ayat-ayat Tuhan yang masih global, penjelasan Nabi tersebut kemudian disebut dengan sunnah yang terbagi ke dalam sunnah qauliyah (ucapan), fi’liyah (perbuatan), dan taqririyah (ketetapan)

Penjelasan Nabi berupa sunnah tersebut kemudian dijadikan sebagai ketetapan hukum kedua setelah Al-qur’an yang harus diinformasikan kepada umat. Atas dasar itu-lah kemudian Nabi melakukan poligami dalam rangka mencetak para ibu yang bisa manyampaikan penjelasan kepada kaum perempuan pada waktu itu, terutama hukum yang berkaitan dengan masalah perempuan seperti hubungan suami istri, haidh dan lain sebagainya. Keputusan untuk mempunyai banyak istri pada waktu itu disadari oleh Nabi karena karakter Nabi yang pemalu dan juga biasanya kalangan perempuan merasa malu untuk menanyakan langsung kepada Nabi. Dan disinilah posisi istri-istri Nabi menjadi peran sebagai juru dakwah.

Faktor kedua adalah sebagai usaha koreksi terhadap tradisi jahiliyah. Pada masa pra-Islam teradisi berpoligami tidak ada batasnya dan cenderung melakukan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Bahkan pada masa itu, kedudukan perempuan sangat tidak manusiawi, kelahiran seorang perempuan dianggap sebagai aib bagi masyarakat sehingga banyak anak-anak perempuan yang harus dikubur hidup-hidup. Kaum perempuan hanya dijadikan sebagai objek nafsu belaka. Banyak tata cara perkawinan pada waktu itu menjadikan perempuan sebagai pihak yang diragukan. Berikut beberapa model perkawinan yang dipraktekkam pada masa pra-Islam:[6]

Pertama, model perkawinan Istibdha’ (jima), yakni suatu perkawinan dimana seorang suami meminta istrinya melayani seorang laki-laki lain yang terkenal dengan kemuliaan, kecerdasan, demi untuk mengharapkan keturunan yang seperi itu. Kedua, model perkawinan al-Maghtu (kebencian), yakni perkawinan dimana seorang anak laki-laki mengawini istri bapak kandungnya atau ibu tirinya setelah bapaknya meninggal. Ketiga, model perkawinan al-Rahthun (poliandri), yakni model perkawinan dimana beberapa orang laki-laki menggauli seorang perempuan. Seteleh perempuannya hamil dan melahirkan, maka ia mengumpulkan semua laki-laki yang pernah menggaulinya dan memilih salah satunya untuk menjadi bapak yag sah dari anaknya. Keempat, model perkawinan al-Syighar (tukar menukar), dalam model ini dijelaskan oleh nabi bahwa seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain; “kawinkan saya dengan anakmu dan aku akan kawinkan kamu dengan anakku”. Dan nabi mengatakan bahwa perkawinan seperti ini dilarang. Kelima, model perkawinan badal (tukar menukar istri), perkewinan seperti ini dilakukan pada zaman pra Islam dimana dua orang suami telah sepakat untuk saling menukar istri tanpa ada perceraian. Keenam, model perkawinan baghaya (perempuan tuna susila), sekelompok laki-laki secara bergantian menggauli sorang perempuan pelacur. Jika kemudian pelacur itu melahirkan seorang anak, kelompok laki-laki itu pun mendatanginya, dan pelacur tersebut memilih laki-laki tersebut menjadi ayahnya sesuai dengan kemiripan anaknya. Ketujuh, Model perkawinan khadan (berpacaran), sebuah model perkawinan dimana antara seorang laki-laki dan perempuan berkumpul layaknya seperti suami istri tanpa ada pernikahan yag sah (kumpul kebo). Kedelapan, model perkawinan al-Irits (warisan), model seperti ini dimuali ketika meninggalnya seorang suami yang tidak memiliki keturunan, dan sang istri diwariskan kepada kerabat terdekatnya.

Berbagai model perkawinan di atas yang kemudian ditentang oleh nabi, dan nabi pun mengoreksinya dengan melakukan perkawinan yang dapat mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan, baik dari segi hukum, social dan kesopansantunan.

Faktor ketiga yang menjadikan nabi berpoligami adalah demi untuk kepentingan politik sebagai dakwah Islam dan mempererat tali persaudaraan. Faktor ini dilakukan oleh nabi dengan memperistri anak dari Abu Bakar yakni Aisyah dan Hafsah yang merupakan anak dari Umar.

Menarik untuk menyoroti pernikahan nabi dengan Aisyah. Saat itu Aisyah masih sangat belia, dan rupanya, pernikahan itu menurut riwayat langsung atas petunjuk Tuhan sendiri. Dalam petunjuk itu, Aisyah akan menjadi seorang penceritra ucapan-ucapan nabi setelah nabi meninggal dan Aisyah pun mendapatkan jaminan umur panjang.

Bukti lain bagaimana poligami nabi bernuansa politik dalam rangka mengembangkan sayap dakwah Islam adalah dengan memperistri Juwairiyah binti al-Harits yang merupakan putri dari pemimpin Bani Musthaliq, Syafiyah Binti Hayyi bin Akhtab putri dari pemimpin kabilah Bani Quraizhah, serta Ummu Habibah Ramlah binti Abi Sufyan bin Harb putri seorang pemimpin Quraisy.

Dengan memperistri para petinggi Arab pada waktu itu diharapkan dakwah nabi akan lebih mudah dan tidak lagi mendapat tekanan keras. Dan hal itu memang terbukti, banyak di antara para pengikut kabilah tersebut yang kemudian masuk Islam.

Demikianlah beberapa motif Nabi melakukan poligami. Akan tetapi, sangat disayangkan, poligami yang awalnya begitu mulia, yakni sebagai sarana dakwah Islam kemudian pada fase berikutnya (baca: saat ini) harus dibumbui dengan alasan-alasan yang sifatnya kesenangan duniawi, yakni hanya sebagai pemenuhan hasrat seksual belaka, sehingga yag terjadi adalah poligami bukannya menyelesaikan permasalahan, akan tetapi, justru sebaliknya, poligami dapat merusak keharmonisan keluarga yang sebelumnya tertata rapi. Dan, pada akhinya yang menjadi korban adalah istri dan anak-anak.

Tidak hanya dalam kitab-kitab tafsir yang uraiannya kerapkali mendiskriditkan pihak perempuan, kitab-kitab hadits pun berprilaku sama. Banyak hadits yang muncul adalah hadits-hadits misoginik yakni hadits yang “seolah-olah” membenci kaum perempuan. Seperti hadits yang menyatakan bahwa “perempuan adalah makhluk yang lemah akalnya”, “akal wanita kurang dibandingkan dengan laki-laki, keberagamaannya pun demikian”. Atau hadits tentang politik yang berkitan dengan kepemimpinan seperti hadits: “Tidak akan berbahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”. Bahkan yang lebih menarik adalah tidak adanya seorang perempuan yang mencoba melakukan pembukuan hadits secara utuh seperti Bukhari, Muslim, Ibn Mahaj, Ahmad bin Hambal dan lainnya.

Perlakukan yang sama-dan ini adalah babak kelanjutan dari penafsiran terhadap ayat-ayat Al-qur’an dan Hadits-juga terjadi dalam kitab-kitab fikih. Berbagai macam mazhab fikih telah ikut terlibat bahkan “mengkristalkan” di dalam pengkerdilan dan pembodohan pihak perempuan. Doktrin-doktrin fikih baik itu dalam ibadah, muamalah selalu memperlakukan perempuan sebagai pihak yang rendah. Misalnya al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘ulum al-Din mengatakan “pernikahan merupakan sebentuk perbudakan. Kewajiban bagi istri adalah mentaati suaminya secara mutlak, bukan menggugat dan mempertanyakannya”.[7] Bahkan Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad mengatakan bahwa perempuan tak layak menjadi pemimpin. Al-Razi dalam salah satu kitabnya juga mengatakan bahwa akal dan pengetahuan laki-laki pasti mengungguli akal dan pengetahuan perempuan.[8] Di antara kitab-kitab fikih klasik yang juga mempunyai kecenderungan bias gender adalah kitab Matan Taqrib Abu Syuja Fi Fiqhi asy-Syafi'i karya ulama Iran yakni Qadli Abu Syuja' Ahmad bin al-Husain bin Ahmad al-Isfahani (434-593 H), kitab Uqud al-Lujain karya Syaikh Nawawi al-Jawi, dan masih banyak lagi kitab-kitab fikih lainnya.

Yang menarik ternyata dan hal ini berbeda dengan ulama tafsir, hadits, dan ulama fikih di atas, pandangan para sufi justru lain. Mereka lebih mengangkat harkat dan martabat perempuan bahkan meletakkannya ke dalam kedudukan tertinggi—meskipun tak menutup kemungkinan ada di antara beberapa sufi yang juga sedikit melakukan diskriminasi atau berprilaku kurang adil terhadap kaum perempuan.[9] Hal tersebut bisa dilihat dalam berbagai literatur kitab tasawuf. Akan tetapi kebanyakan dari kitab tasawuf menceritakan bagaimana penghargaan kalangan sufi terhadap perempuan.

Dalam sejarah Islam ternyata banyak sekali perempuan memainkan peran penting. Di antaranya yang pertama dan mungkin hal ini merupakan fase pertama keterlibatan perempuan dalam perkembangan fase mistis adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Ia seorang sufi perempuan par-excellence yang masyhur, dus pecinta sejati pada abad ke-dua Hijriyah.[10] Banyak di antara para sufi yang memujinya bahkan tak jarang para sufi dalam hal ini sufi laki-laki memuji akan keluhuran tingkat maqam-nya (tingkatan spiritual yang ada dalam tasawuf). Diantaranya; Fariduddin Attar yang mengenang Rabi'ah dengan mengatakan:

“Dia adalah seseorang yang menjauhkan diri di dalam pengasingan kesucian; seorang perempuan yang tertutup dengan tutup ketulusan agama ; seorang yang terbakar dengan cinta dan kerinduan; seorang yang terpikat oleh keinginan untuk mendekati Tuhan-Nya, dan larut dalam keagungan-Nya; seorang perempuan yang menghilangkan dirinya di dalam kesatuan dengan Tuhan; seorang yang diterima oleh kaum laki-laki sebagai Maria kedua yang suci, Rabi'ah al-Adawiyah, semoga Tuhan memberikan rahmat padanya".[11]

Banyaknya para ahli sufi yang memuji keluhuran derajat tasawufnya dan tak jarang di antara mereka belajar, meskipun secara tak langsung dari Rabi’ah melalui bait-bait syairnya. Sehingga dengan demikian, wajar jika Rabi’ah dijuluki sebagai ibunda para sufi, seperti; Hasan Bashri, Malik bin Dinar, Sufyan ats-Tsauri, Syaqiq Balkhi.

Syaikh Akbar sufi Ibn ‘Arabi (w. 1240) dalam salah satu kitab yang di terjemahan dalam bahasa Inggris “Sufis of Andalusia” menulis dan menceritakan para ahli sufi dari kalangan perempuan yang pernah ia jumpai. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa ia menghabiskan waktunya dengan dua orang perempuan sufi yang lebih tua dan berpengaruh mendalam pada dirinya; yakni Syams dari Marchena, salah seorang yang senantiasa mengeluh, dan Fatimah dari Kordoba.

Dengan Fatimah ia menceritakan: “Aku membaktikan diri sebagai murid salah seorang pencinta Tuhan, seorang ‘arif billah, perempuan dari Seville yang bernama Fatimah binti ibn al-Mutsanna dari Kordoba. Aku berkhidmat padanya selama beberapa tahun. Ia perempuan yang berusia lebih dari 95 tahun. Ia bisa memainkan tamborin dan menunjukan kebahagiaan besar dalam memainkannya. Saat aku menanyakan kepadanya tentang hal itu, ia menjawab: aku berbahagia dengan-Nya Yang telah berpaling menggunakan aku demi keinginan-keinginan-Nya. Siapakah aku yang harus dipilih-Nya di antara sekian banyak manusia? Dia cemburu kepadaku karena, kapanpun aku berpaling kepada sesuatu selain-Nya, Ia mengirimku cobaan-cobaan menyengkut sesuatu hal tersebut. Dengan tanganku sendiri aku membangun gubuk untuknya yang ukurannya setinggi dia. Di dalamnya, ia tinggal sampai wafat. Ia biasa berkata kepadaku, “Aku ibu spiritualmu dan cahaya ibu bumimu.” Ketika ibuku datang mengunjungiku, Fatimah berucap kepadanya, “Wahai cahaya, inilah putraku dan ia ayahmu, maka perlakukan ia secara anak-anak dan jangan membencinya”.[12]

Sufi lainnya yakni Bayazid al-Busthami (w. 874) pernah di tanya mengenai siapa gurunya, ia menjawab bahwa gurunya adalah seorang perempuan tua yang dijumpainya di padang pasir. Perempuan itu menyebut dirinya (Bayazid) sebagai penindas yang tidak berguna. Dalam pertemuan itu Bayazid bertanya kepada perempuan itu prihal penyebutan namanya. Perempuan itu menjawab bahwa ketika Bayazid memerlukan seekor singa untuk membawa sekarung tepung, maka ia sedang menindas makhluk Allah itu sendiri yang telah dibiarkan bebas berkeliaran, dan dengan menginginkan pengakuan atas karamah tersebut, ia tengah memperlihatkan kebanggaannya. Dengan ucapan tersebut nampaknya Bayazid tersentuh hatinya dan ia memikirkan ucapan sang perempuan tersebut berhari-hari.

Dalam buku Javad Nurbakhsy berjudul “Sufi Women”, Bayazid al-Busthami menceritakan seorang sufi perempuan lainnya, ia bernama Fatimah Naisapuri (w. 838). Mengenai sufi ini Bayazid menceritakan: “ tidak ada maqam di jalan sufi yang kuceritakan kepadanya yang belum pernah dialaminya”. Suatu saat seorang bertanya kepada sufi besar asal Mesir, Dzunun al-Mishri prihal siapakan sufi yang peling tinggi kedudukannya. Dzunun menjawab: “Seorang perempuan di Makkah, Fatimah Naisapuri, yang ucapan-ucapannya menunjukan pemahaman yang mendalam atas makna batin Al-qur’an”.[13]

Cerita-cerita di atas dikutip dari berbagai karya tasawuf yang ditulis oleh para sufi laki-laki. Hal ini membuktika bahwa perbedaan dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam dunia tasawuf tidaklah penting. Bagi mereka tingkatan spiritual adalah lebih penting dan bisa dicapai oleh siapapun, baik itu laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, ternyata para sufi lebih memberikan penghargaan dan kedamaian terhadap perempuan dibandingkan para ahli tafsir, ahli hadits dan terlebih tentunya ahli fikih. Untuk itu, hendaklah kita meniru akan keramahan yang dicontohkan oleh para sufi, bagaimana ia mencintai perempuan dan “menyamakannya” dengan laki-laki, yang terpenting adalah kondisi spiritual bagi mereka. Bukankah Al-qur’an sendiri mengatakan dengan tegas bahwa tidak ada yang lebih baik di mata Tuhan kecuali mereka yang bertakwa (laki-laki atau perempuan).

Posisi Perempuan dalam konteks ke Indonesiaan

Kalau kita lihat salah satu sisi sejarah kenapa agama ini (baca: Islam) diturunkan dengan kitab panduan yakni Al-qur’an ke bumi adalah yakni berkaitan dengan pengangkatan harkat dan martabat posisi perempuan yang pada waktu itu mengalami penistaan. Tapi apa yang terjadi kini? Sungguh ironis memang, disaat Islam sudah mulai menyebar keseluruh dunia dengan mempunyai penganut yang sangat banyak, akan tetapi mengapa masih saja bersikap seperti pada zaman pra-Islam atau Jahiliah. Posisi perempuan saat ini masih tetap tidak dihargai, disepelekan, bahkan di diskriditkan baik itu dalam berprilaku, berfikir, seolah-olah pihak laki-laki enggan setara atau dipimpin dan diungguli oleh perempuan.

Di antara beberapa hal kebijakan yang kadang pihak perempuan selalu mendapat diskriminasi adalah sebagai berikut;

Pertama, dalam dunia pendidikan. Lihat saja dalam kasus pendidikan dikeluarga saja. Antara anak laki-laki dan perempuan kerapkali dibeda-bedakan. Pendidikan perempuan biasanya dibatasi hanya tingkat SD atau mungkin SMP dengan alasan perempuan tak perlu sekolah, ia hanyalah bertugas mengurusi urusan domestik; seperti mengurusi anak, dapur dan kasur, dan semua itu tak butuh pendidikan tinggi. Lain halnya dengan anak laki-laki, pendidikan adalah faktor penunjang di dalam mengurusi keluarga dan ekonomi. Kondisi itu kemudian diperparah lagi dengan biaya sekolah yang melambung tinggi yang juga menjadi kendala bagi perempuan untuk dapat mengakses pendidikan.

Padahal kalau kita sadari dan realistis sebagai contoh dalam sekup kecil saja, saat ini banyak keluarga justru yang menjadi kepala keluarga atau yang menafkahi kebutuhan keluarga adalah perempuan (Istri), dan pihak laki-laki (Bapak) tak bisa berbuat apa-apa, dan masih banyak contoh-contoh lainnya.

Kedua, aturan perundang-undangan dalam agama (baca: Islam) misalnya yang mengatur tentang tata cara pembagian harta warisan, meskipun dalam Al-qur’an telah jelas di katakan bahwa laki-laki mempunyai bagian dua kali lipat dari posisi anak perempuan, akan tetapi hukum tersebut untuk saat sudah tidak kontekstual dan perlu dirubah atau di balik. Dan menurut saya gagasan yang disuarakan oleh Munawir Sjadzali kala itu untuk membalikan ketentuan menjadi perempuan dua kali lipat dari laki-laki adalah langkah yang kontekstual untuk kasus saat ini terutama di Indonesia. Dan gagasan itu hendaklah tidak hanya dirumuskan akan tetapi haruslah dipraktekkan dan diundangkan dalam dunia nyata, meskipun kemudian yang terjadi adalah penentangan, tetapi yakinlah bahwa perombakan hukum itu adalah sebuah kebutuhan mendesak dan kontekstual.

Ketiga, dalam percaturan politik khususnya di Indonesia. Upaya untuk melakukan diskriminasi terhadap perempuan masih sangat kuat, meskipun terkadang sifatnya kondisional. Seperti kasus dalam pemilu yang pernah terjadi di Indonesia ketika Megawati Sukarno Putri hendak mencalonkan diri menjadi Presiden. Saat itu partai yang berhaluan Islam secara ramai-ramai mengecam bahkan menolak kepemimpinan perempuan dengan argumentasi teks-teks al-Al-qur’an dan Hadits.

Dalam sisi yang lain, rendahnya keterwakilan kaum perempuan dalam hal pemutusan kebijakan baik itu dilembaga yudikatif, eksekutif, dan legislatif juga sangat berpengruh di dalam hasil keputusan yang sensitif gender. Tidak terwakilinya kaum perempuan di dalam penentuan kebijakan juga berdampak pada "pengurangan" penyediaan sarana oleh pemerintah bagi kaum perempuan sebagai wadah mengabdikan apresiasinya.

Keempat, dalam bidang kesehatan. Di antara dampak dari kurangnya keterwakilan kaum perempuan dalam penentuan kebijakan adalah di antaranya dalam bidang kesehatan. Anggaran kesehatan yang belum memadai menyebabkan mahalnya pelayanan kesehatan bagi masyarakat luas terutama bagi kaum perempuan dalam hal ini terkait dengan kesehatan reproduksi. Lihat saja, dalam indeks Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia saat ini menempati peringkat terburuk pertama di ASEAN dan lima besar di Asia. Kondisi ini sangat membahayakan jika tetap berlangsung mengingat akan dapat mengancam kualitas SDM bangsa Indonesia di masa yang akan datang.

Kelima, dalam perumusan Undang-Undang atau Perda.

Karena itulah pemahaman yang selalu menganggap perempuan sebagai kelas nomor dua baik itu yang tertuang dalam teks-teks seperti tafsir, hadits (syarah), fikih, haruslah dibongkar, ditinjau kembali bila perlu dilakukan penafsiran baru yang berkeadilan gender. Sehingga dengan demikian pesan Alqur’an yang mengatakan bahwa yang mulia disisi Allah (laki-laki atau perempuan) hanyalah yang bertaqwa betul-betul terbukti.

Daftar Rujukan

Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘ulum al-Din, Juz. II, t.tp., t.t,

Fakhruddin Al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz. X.

Ibn 'Arabi, Sufis of Andalusia, Penj. R.W.J. Austin (Sherbone, Gloucestershire: Beshara Publications, 1988)

Javad Nurbakhsy, Sufi Women, Penj. Leonard Lewishon (London: Khaniqah Ni'matullah Publications, 1990).

Margareth Smith, Rabi'a: The Life and Work of Rabi'a Other Women Mysticm in Islam,

Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2001)

Musfir Al-Jahrani, Poligami Dari Berbagai Persepsi, Penj. Suten Ritonga, (Jakarta; Gema Insani Press, 1997)

Sachiko Murata, dalam Seyyed Hossein Nasr (ed), The Heritage of Sufism, Volume II; The Legacy of Medieval Persian Sufism (1150-1500), (Oxford: Oneworld Publications, 1999)



[1] Makalah ini sebelumnya pernah di presentasikan dalam seminar internasional bertema “ Women For Peace” di Hotel Grand Hyatt, Bundaran HI Jl. MH. Thamrin Kav. 28-30 Jakarta 10350 pada Senin, 30 April – Selasa, 1 May 2007.

[2] Staf Pengajar Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung. Kini sedang studi S3 Program Religious Studies UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

[3] Kasus poligami yang menghentak dan membuat heboh media adalah praktek poligami yang dilakukan oleh da'i kondang yakni Aa Gym dengan seorang selebritis. Poligami tersebut kemudian menjadi wacana perbincangan yang kembali menyeruak baik itu di media masa maupun elektronik prihal perdebatan tentang boleh tidaknya berpoligami saat ini.

[4] Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 269.

[5] Musfir Al-Jahrani, Poligami Dari Berbagai Persepsi, Penj. Suten Ritonga, (Jakarta; Gema Insani Press, 1997), hal. 98-103.

[6] Musfir Al-Jahrani, Poligami Dari Berbagai Persepsi........, hal. 5-12.

[7] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘ulum al-Din, Juz. II, t.t, hal. 48.

[8] Fakhruddin Al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz. X, hal. 88.

[9] Seperti Syaikh Ahmad Ibn Jalal al-Din Khawajagi Kasani seorang sufi yang dilahirkan di Kasan, Fargana yang menulis kitab Asrar an-Nikah (Mysteries of Marriage). Di antara isi kitab ini beliau mengungkapkan makna dibalik berpoligami yang salah satu diantaranya ungkapan beliau adalah bahwa wanita itu adalah lahan "bertanam" bagi si Jantan (laki-laki). Sachiko Murata, dalam Seyyed Hossein Nasr (ed), The Heritage of Sufism, Volume II; The Legacy of Medieval Persian Sufism (1150-1500), (Oxford: Oneworld Publications, 1999), hal. 595.

[10] Rabi'ah al-Adawiyyah adalah seorang sufi asal Bashra, Irak. Menurut Ibn Khallikan, nama lengkapnya adalah Rabi'ah al-Adawiyyah adalah Ummul Khair Rabi'ah binti Isma'il al-Adawiyyah al-Qasiyyah. Rabi'ah al-Adawiyyah juga lebih populer dikenal dengan nama Rabi'ah Bashri. beliau di lahirkan dari keluarga miskin. menurut cerita, ketika orang tuanya meninggal, ia dijual dan dijadikan sebagai budak, tetapi pada akhirnya ia dibebaskan oleh majikannya karena takwa dan kezuhudan dan kecintaannya. begitu cintanya ia kepada sang pencipta, sehingga ia dikenal oleh sufi-sufi sesuadahnya sebagai serang pengarung cinta sejati.

[11] Margareth Smith, Rabi'a: The Life and Work of Rabi'a Other Women Mysticm in Islam, hal. 56).

[12] Ibn 'Arabi, Sufis of Andalusia, Penj. R.W.J. Austin (Sherbone, Gloucestershire: Beshara Publications, 1988), hal. 25-26.

[13] Javad Nurbakhsy, Sufi Women, Penj. Leonard Lewishon (London: Khaniqah Ni'matullah Publications, 1990), hal. 162.

Tidak ada komentar: