Translate

Sabtu, 15 Januari 2011

Transmisi Ilmu

Transmisi Khazanah Intelektual Asing Ke Dunia Islam[1]

Oleh: K. Muhammad Hakiki, MA[2]

Dalam tulisan yang sederhana ini akan disajikan bentuk transmisi khazanah intelektual asing ke dunia Islam. Di antara bentuk transmisi tersebut adalah melalui penerjemahan beberapa karya tulis asing (warisan Yunani, Persia, India) dengan lebih terfokus pada masa dinasti Abasiyah. Adapun beberapa analisa akan lebih tertuju pada: masa awal transmisi khazanah intelektual, faktor-faktor yang melatar belakangi, aktor-aktor (transmitter) yang melakukan transmisi melalui bentuk penerjemahan.

Masa awal transmisi khazanah intelektual

Ekspedisi penaklukan oleh bangsa Arab yang dilakukan para khalifah Abu Bakar al-Siddik dan Umar ibn al-Khatthab dan diteruskan pada masa khalifah-khalifah Dinasti Umayyah dan Badi ‘Abbasiyah telah mencapai puncak kekuasaan yang begitu luas. Di antara daerah-daerah yang jatuh dalam kekuasaan bangsa Arab: Damsyik (4 H/629 M), seluruh Syam dan Irak (17 H/637 M), Mesir sampai Maroko (20 H/645 M), Persi (21 H/646 M), Samarkand (56 H/680 M), Andalusia (96 H/719 M). Pada masa penaklukan ke daerah-daerah tersebut, nampak misalnya bangsa Mesir, Syiria telah ditumbuhi oleh kebudayaan bangsa Yunani. Akan tetapi ketika daerah tersebut dikuasai oleh bangsa Arab, maka dengan begitu daerah tersebut telah lepas dari kungkungan bangsa Persi dan Bizantium.

Ada banyak faktor yang melatar belakngi kemenangan bangsa Arab yang begitu cepat menguasasi bangsa Timur Dekat semisal Mesir dan Syiria. Diantaranya adalah:

pertama, konflik yang sangat lama antara bangsa Persia dengan Romawi menyebabkan kekuatan mereka semakin lama semakin melemah, sehingga dengan melemahnya kedua adikuasa tersebut memudahkan bangsa Arab mengalahkannya.

Kedua, kedatangan bangsa Arab ke daerah Mesir, Siria dan Irak disambut dengan baik oleh mereka. Kedatangan bangsa Arab menurut mereka adalah sebuah proses pembebasan dari bangsa Konstantinopel yang pada waktu itu melakukan berbagai macam penindasan dengan dalih menjaga menjaga ortodoksi keagamaan, terutama sejak masa pemerintahan Justinan (527-565 M).

Pada saat Iskandariah, Mesir, Siria, dan Irak di kuasa bangsa Arab, daerah tersebut merupakan pusat studi filsafat dan teologi Yunani yang sangat penting, pada masa itu banyak banyak sekali karya-karya bangsa Yunan yang dikaji dan diterjemahkan, sehingga kajian mengenai ilmu filsafat, teoligi menjadi kajian menu yang digemari masyarakat pada waktu.

Ada dua buah lembaga studi Yunani yang masyhur pada waktu itu yakni Harran dan Jundisapur. Dua kota ini kelak yang akan membawa pengaruh pada dunia Islam. Harran, sebuah kota disebelah utara Syiria telah menjadi tempat bermukim aliran para pemuja binatang, yang selama pemerintahan dinasti ‘Abbasiyah dikelirukan dengan kaum Sabaean (al-Shaba’ah) yang disebut dalam al-Qur’an. Agama yang dianut mereka mampu membuat kaum Harran berbuat istimewa sebagai mata rantai penyebaran ilmu Yunani kepada bangsa Arab. Dan pada permulaan abad ke-9 mampu melengkapi istana ‘Abbasiyah dengan sekelompok astrolog yang terpilih. Diantara sarjana Harran yang utama diantaranya adalah Tsabit bin Qurra, putranya Sinan dan dua orang cucunya Tsabit dan Ibrahim. Mereka cukup banyak mempunyai peran atas tersebarnya ilmu Yunani di dunia Islam.[3]

Perguruan yang lainnya yakni Jundisapur, yang didirikan oleh Chosrous I (Anushirwan) sekitar tahun 555 M. lembaga ini dibangun sebagai lembaga utama pengkajian Helenik di Asia Barat, yang pengaruhnya telah menyebar sampai dunia Islam pada masa pemerintahan ‘Abbasiyah. Lembaga pendidikan Jundisapur mencapai masa puncaknya ketika lembaga pesaingnya Athena ditutup atas permintaan Kaisar Justianus. Zaman keemasan Jundisapur ternyata juga sampai pada masa kota Bagdad didirikan oleh Khalifah ‘Abbasiyah yaitu masa al-Mansur[4] pada tahun 762 M. karena Jundisapur secara geografis berdekatan dengan kota Bagdad, maka hubungan politis orang-orang Pesia dengan Khalifah ‘Abbasiyah semakin erat. Akibatnya, dari sekolah inilah perkembangan ilmiah dan intelektual menyebar ke dunia Isalam.

Bukti kedekatan mereka adalah adanya beberapa dokter yang menghunui di sekitar istana daulah ‘Abbasiyah, mereka adalah keluarga Nestorian dan Bakhtishu. Kedekatan mereka ditambah dengan ikut andilnya mereka dalam pembangunan rumah-rumah sakit dan tempat observatium di Bagdad dengan mengikuti model Jundisapur selama masa khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan al-Ma’mun (813-833 M).[5]

Berkat adanya kedekatan dengan orang-orang Jundisapur maka kian lama mereka yang berada di lingkungan istana merasa tertarik dengan khazanah yang berasal dari Yunani, meskipun pada waktu itu khazanah ilmu agam Islam (ilmu tafsir al-Qur’an, hadits, ushuluddin, fikih, tarikh, dan ilmu bahasa) telah mencapai pada fase puncak. Ketertarikan ini diwujudkannya dengan adanya perintah dari penguasa ‘Abbasiyah pada waktu itu untuk melakukan transmisi dengan cara melakukan serangkaian penerjemahan karya bangsa Yunani ke dalam bahasa Arab. Wujud dari adanya ketertarikan tersebut adalah dilakukannya dengan pendirian Bait al-Hikmah oleh al-Ma’mun[6] sebagai lembaga tempat pengkajian dan penerjemahan berbagai karya warisan bangsa asing.

Faktor yang melatar belakangi transmisi ilmu asing

Proses transmisi khazanah ilmu asing kedalam dunia Islam dilatar belakangi oleh beberapa faktor: pertama, luasnya daerah kekuasaan bangsa Arab, membuat daerah kekuasaan bangsa Arab dihuni oleh berbagai macam suku, etnis agama, kebudayaan, karakter yang berbeda-beda. Keanekaragaman tersebut membuat penguasa yakni bangsa Arab merasa perlu untuk melakukan tatanan pemerintahan demi terjaganya stabilitas negara atau pemerintahan. Karena itu berbagai bahasa, sistem tata negara, kebudayaan dan sejarahnya mestilah dipelajari untuk dapat menjalankan nastiti (policy) ketatanegaraan, hukum dan penyebaran agama Islam dengan baik. Di dalam perjumpaan dengan bangsa lain dan demi menjaga keutuhan agama Islam dari serangkaian “serangan” kepercayaan bangsa lain, maka kaum muslimin yang dimotori oleh penguasa melakukan atau mempelajari filsafat Yunani, tetapi dengan membersihkan terlebih dahulu dari unsur-unsur kesesatan atau kekafirannya. Untuk dapat memudahkan di dalam proses pemahaman maka dilakukanlah serangkaian penerjemahan pengetahuan bangsa Yunani kedalam bahasa Suryani. Penggunaan bangsa Suryani sebelum bahasa Arab sebagai media penerjemahan, karena bahasa Suryani serumpun dengan bahasa Arab, disamping itu banyak dari kaum Muslimin yang pandai berbahasa Suryani.[7]

Kedua, permasalahan praktis yakni bangsa Arab tidak mempunyai pengalaman dalam membuat laporan-laporan dan dokumentasi-dokumentasi negara. Sebelumnya bangsa arab memberikan tugas tersebut pada orang-orang yang sebenarnya masih mengabdi ke pada penguasa sebelumnya yakni Bizantium. oleh adanya kekhawatiran akan terjadi manipulasi, maka penguasa bangsa Arab mengganti bahasa Persia dan Yunani dengan bahasa Arab sebagai bahasa resmi menjelang akhir abad ke-7. pertimbangan praktis tersebut menghendaki adanya penterjemahan naskah-naskah ilmiah budaya asing ke dalam bahasa arab, sekalipun baru terbatas pada ilmu pragmatis seperti; ilmu kedokteran, kimia, dan astrologi.

Aktor-aktor (transmitter)

Ada banyak aktor (transmitter) yang melakukan usaha transmisi budaya asing (khazanah ilmu yang termaktub dalam berbagai karya tulis) ke dunia Islam dalam bentuk penerjemahan ke dalam bahasa Arab diantara mereka yang sangat berjasa adalah:

  1. Hunayn bin Ishaq (194-260 H./810-873 M)
  2. Hubbaisy al-A’sam
  3. ‘Isa ibn Ibrahim
  4. ‘Isa bin Yahya
  5. Stefannus ibn Bassilus
  6. Yahya ibn Bathriq (lahir 199 H./815 M)
  7. Yahya ibn Adiya
  8. Yahya ibn Adiya
  9. Qustha ibn Luqa (205-300 H./820-913 M)
  10. Matta al-Nathuri
  11. Ibn Naimat
  12. Abu Bisyri
  13. Ibrahim ibn ‘AbdillahAbu Ruh al-Shabi
  14. Al- Hajjaj ibn Maththar
  15. Tsabit ibn Qurra
  16. Abu ‘Ustman al-Damsyiq
  17. Ibrahim ibn Shalti
  18. Jabalah ibn Salim
  19. Abdullah ibn Muqaffa
  20. Maniaka al-Hindi
  21. Ibnu Dahni

Untuk mengetahui secara lengkap berbagai karya bangsa asing (Yunani, persia, India) yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab dapat dilihat dalam kitab karya Ibnu al-Nadhim, Fihrist al-‘Ulum. Kitab ini berisi catatan lengkap tentang karya-karya asli bangsa Yunani, Persi, India, Qibti, dan Suryani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa daulah ‘Abbasiyah, terutama pada masa menjelang Khalifah al-Watsiq. Wallahu a’lam.

Tulisan ini pernah di muat di Jurnal Dialektika Fakultas Hukum Universitas Mathla’ul Anwar Banten edisi 11 September 2009.



[1] Makalah sederhana ini awalnya adalah bahan diskusi yang dipresentasikan bersama Prof. Dr. Badri Yatim, MA dan Dr. Abdul Chaer, MA di PPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta tahun 2005.

[2] Dosen Fakultas Hukum Universitas Mathla’ul Anwar Banten dan IAIN Raden Intan Lampung. Kini sedang menyelesaikan studi S3 di UIN Bandung.

[3] Majid Fakhry, A. History of Islamic Philosophy, prtj. R. Mulyadhi Kartanegara, Pustaka Jaya, Jakarta, 1986, h. 30.

[4] Pada masa khalifah al-Mansur oleh para ahli dilaporkan sebagai masa diterjemahkannya beberapa risalah Aristoteles, Almageste karya Ptolemius, Elements karya Euclid dan beberapa karya Yunani lainnya. (lihat Al-Mas’udi, Muruj al-Dzahab, Jilid VIII, h. 291-292. adapun serjana yang terkenal sebagai penterjemah pada masa al-Mansur adalah al-Bithriq (dalam bahasa Yunani: Patrikios) yang dianggap berjasa dalam menterjemahkan karya-karya dalam bidang kedokteran dan astrologi. (lihat Ibnu al-Nadim, Al-Fihris, h. 354.

[5] Majid Fakhry, A History pf Islamic……., h. 31.

[6] Khalifa al-Ma’mun adalah seorang khalifah yang memberikan penghormatan yang mendalam terhadap khazanah intelektual. Sebagai bukti kecintaannya adalah beliau memimpin majlis para cendikiawan di mana perdebatan-perdebatan teologis dan folosofis seriing diperdebatkan secara bebas, disamping itu ia juga menyusun sejumlah risalah terutama yang berkenaan dengan masalah teologis yang dijiwa aliran Mu’tazilah seperti Risalah tentang Islam dan Syahadat Kesatuan dan risalah lain tentang Bintang-bintang Ramalan, dan masih banyak karya lainnya. (lihat, Ma’udi, Muruj……jilid VII, h. 7-10, 39. Khalifah al-Ma’mun dikenal sebagai penyokong terbesar daulah ‘Abbasiyah bagi kemajuan filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya sepanjang sejarah umat Islam. akan tetapi sangat disayangkan, al-Ma’mun sebagai seorang yang sangat menghargai kebebasan dan tidak disangsikan lagi kemurahan hatinya, tapi pemerintahannya hampir bisa dikatakan tidak toleran. Perhatiannya yang begitu besar terhadap salah satu aliran teologi yakni Mu’tazilah membuatnya ia melakukan berbagai penindasan dalam bentuk penyiksaan terhadap mereka yang mempunyai dan mempertahankan keyakinan kepercayaan diluar aliran teologi Mu’tazilah. Sebutsaja korbannya misalnya Ahmad bin Hambal, an-Nasai dan masih banyak lagi yang lainnya.

[7] S.I Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, P3M Cet II, Jakarta, 1986, h. 9.

Tidak ada komentar: